BLEJETI
DAN KUCILKAN REZIM FASIS PERAMPAS TANAH RAKYAT
SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
“Hentikan Perampasan Tanah dan
Lawan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Rakyat!”
A)
Monopoli
dan Perampasan Tanah Rakyat

Kata “agraria” berasal dari bahasa latin yaitu “ager”
yang artinya lapangan, wilayah dan tanah. Agraria secara terminologi memilik makna tentang apa yang terkandung di dalam
tanah dan apa yang berada di atas tanah. Kedua hal tersebut meliputi
air, lautan, sungai, daratan dan sumber-sumber yang ada di dalam perut bumi,
udara dan angkasa. Hal yang melingkupi agraria disebut sumber agraria. Dengan mengetahui konsep dasar dari agraria maka sudah
jelas bahwa apapun yang terkandung di dalam dan di atas akan selalu berhubungan
dengan tanah.
Sumber daya
agraria yang dimiliki oleh Indonesia seperti tanah yang suburu cocok untuk
lahan pertanian skala besar, perkebunan skala besar, pertambangan migas,
batubara dan mineral lainnya akan melahirkan keuntungan bagi pihak yang mampu
menguasai sumber daya agraria tersebut. Bagi pihak agar keuntungan maksimal
(baca: super profit) tersebut dapat diraihnya. Salah satu syarat wajib yang
harus dipenuhi berupa monopoli tanah secara besar. Namun untuk melakukan
monopoli atas tanah dalam skala atau jumlah yang sangat besar membutuhkan
legitimasi dari penguasa negeri ini (baca: rezim SBY). Pihak yang memiliki
kepentingan untuk memonopoli lahan merupakan borjuasi yang mendapatkan suntikan
modal baik berupa pinjaman/joint venture dari Imperialis atau dikenal dengan
borjuasi komprador yang masuk dalam jenis tuan tanah tipe 3, selain itu juga
ada pihak yang tidak berhubungan dengan modal asing alias mandiri atau dikenal
dengan borjuasi nasional yang masuk dalam kategori tuan tanah tipe 2, serta
representasi negara melalui perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) ikut
ambil bagian yang masuk dalam kategori tuan tang tipe 4. Sedangkan tuan tanah
klasik yang sifatnya personal atau tuan tanah yang didasarkan atas keturunan
raja/bangsawan disebut dengan tuan tanah tipe 1. Akan tetapi, pada
perkembangannya tuan tanah tipe 2,3 dan 4-lah yang mampu memonopoli tanah di
Indonesia dan berhasil mendapatkan keuntungan yang maksimal dari hasil
penjualan komoditi yang diproduksi oleh tuan tanah-tuan tanah besar tersebut
baik berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan pertambangan.
Kondisi
tersebut sangat dimungkinkan terjadi karena tuan tanah-tuan tanah yang sudah
berbentuk koorporasi baik swasta dan atau milik negara sudah berselingkuh
dengan rezim penguasa hari ini yakni SBY.
Hal ini dapat kita lihat bahwa SBY hari ini merupakan rezim boneka
Imperialisme (yang hari ini Imperialisme masih dipimpin oleh AS) dengan wujud
pemerintahan yang mengedepankan adanya kebijakan-kebijakan untuk mempermudah
terjadinya monopoli atas tanah dalam skala besar misalnya UU tentang
Perkebunan, UU tentang Pertambangan Minerba, UU tentang sumber daya air, UU
tentang Perlindungan Lahan Pangan yang Berkelanjutan, UU tentang Kehutanan
terakhir yakni UU tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Kenyataan faktual Indonesia hari ini dengan maraknya monopoli lahan dalam
jumlah yang sangat besar oleh tuan tanah-tuan tanah besar dan rezim SBY yang
merupakan boneka Imperialis pimpinan AS maka Indonesia merupakan negeri yang
terjebak/terbelenggu dalam sistem setengah jajahan setengah feodal atau SJSF.
Kepentingan
imperialis bersama tuan tanah-tuan tanah besar lainnya yakni mengeksploitasi
sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia agar memperoleh keuntungan yang
sangat besar. Kenyataan ini dapat kita lihat dari jutaan hektar lahan yang
digunakan untuk perkebunan skala besar, food
estate dan areal pertambangan tidak memberikan kontribusi positif bagi
Indonesia kecuali hanya dalam statistik semata (baca: pertumbuhan ekonomi dan
PDB). Namun kondisi tersebut berlawanan dengan keadaan masyarakat Indonesia
yang pada umumnya adalah buruh tani (landless peasant), tani miskin (small
farmers) dan buruh manufaktur serta buruh jasa perdagangan (toko) yang banyak menyumbang jumlah angka kemiskinan di
Indonesia.
Kedudukan Indonesia sebagai
negeri SJSF yang dicirikan salah satunya monopoli tanah secara besar-besaran
dapat kita lihat dari 6 tahun pemerintah SBY sebagai rezim boneka. Selama periode 2004-2010, SBY telah
“berprestasi” dalam meningkatkan monopoli atas tanah yang dilakukan oleh tuan
tanah tipe 2 dan tipe 3 dengan merampas tanah rakyat melalui berbagai macam
cara. Dari data yang berhasil dikumpulkan
dari Dirjen Perkebunan maupun catatan dari Sawit Watch, periode 2004-2010 total
luas tanah perkebunan yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar (PBS) seperti
SinarMas Gorup, Bakrie Group, Lonsum Gorup, Wilmar Group, Raja Garuda Group,
Salim Group dan Cargill Corp yang memproduksi 7 komoditas hasil perkebunan (sawit, karet, kakao, teh, tebu, kelapa, pulp and paper)
adalah 21.267.510 hektar. Sementara total luas perkebunan yang dikuasai oleh PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) yang memnghasilkan lebih dari 7 komoditas di luar Rajawali Group, adalah sebesar 1.729.251,48 hektar. Pada periode 2004-2010 ini pula, perampasan tanah yang terjadi di sektor perkebunan
besar swasta dan milik negara
meliputi 24,7 juta hektar tanah yang menyengsarakan lebih dari 11,4 juta orang kaum tani. Hal ini
dikarenakan 44 juta lebih kaum tani di Indonesia yang diantaran 11,4 juta orang
bergantung pada hasil perkebunan.
Namun dengan adanya monopoli tanah yang
disertai dengan perampasan tanah rakyat secara paksa maka rumlah rakyat yang menderita akibat perampasan tanah dalam
sektor perkebunan, diperkirakan akan
jauh lebih besar lagi. Karena ini baru merupakan jumlah petani yang hidup dari
kebun kelapa sawit swadaya belum termasuk petani yang tidak memiliki
lahan atau landless peasant. Dengan demikian, data ini belum mencakup jumlah petani
yang hidup dan bekerja dari komoditas lainnya seperti palawija, padi
dan tanaman pangan lainnya (Kompas, 28 Desember 2010). Sektor
perkebunan swasta besar (PBS) terbukti semakin menguasai perkebunan di seluruh
Indonesia dibandingkan dengan perusahaan milik negara (PTPN). Bila
dipersentasekan, kepemilikan swasta besar dalam sektor perkebunan Indonesia
adalah sebesar 92,5% untuk periode 2004-2010. Berarti dari total luas gabungan perkebunan yang dikuasai
swasta dan negara selama periode
2004-2010 seluas kurang lebih 22,9 juta hektar itu adalah
hasil perampasan tanah dari kaum tani dan rakyat Indonesia pada umumnya. Jadi, dengan
bertambah dalam jumlah luasan tanah
yang dimiliki perkebunan swasta dan milik negara pada satu sisi, berarti pada sisi lainnya adalah
kehilangan tanah bagi kaum tan akibat monopoli atas tanah yang dilakukan
oleh tuan tanah-tuan tanah dalam belum perusahaan swasta dan milik negara..
Khusus
upaya
monopoli atas tanah yang berbentuk proyek
MIFEE di Merauke, Papua yang banyak menyita perhatian. Proyek (food
estate) ini dipastikan
akan merusak hutan purba Papua, mengancam
akses pangan rakyat, membangkitkan kembali program transmigrasi guna
mendatangkan tenaga kerja proyek dari pulau-pulau di luar Papua, dan
pembangunan infrastruktur proyek yang begitu luasnya (jalan-jalan baru,
pabrik-pabrik pengolahan energi nabati, dan lain sebagainya). Jumlah tenaga
kerja yang diperlukan untuk menyokong proyek pertanian skala raksasa
(pembangunan infrastruktur pendukung dan operasionalisasi produksi) ini adalah sekitar 6,4 juta orang atau tiga kali lipat dari jumlah penduduk Papua yang saat ini
berjumlah 2,1 juta jiwa.
Data Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan, luas lahan
untuk investasi proyek MIFEE adalah 2,823 juta hektar. Lahan yang berizin
lokasi 670.659 hektar. Dengan MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi pangan
nasional Indonesia di bagian timur. Dalam konsepnya, masyarakat di Merauke tak
akan jadi penonton. Mereka berkolaborasi menjadi petani plasma. Mereka tidak
menjual lahan pertanian kepada pihak lain, tetapi menyewakan kepada para
pengusaha (Kompas 4 Agustus 2010).
Selain disektor perkebunana, ada pula monopoli tanah
dalam skala besar yakni disektor pertambangan. PT. Caltex Pacific
Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah
seluas + 3,2 juta hektar atau sekitar 32.000 KM2. (ditambah data
tentang luas areal pertambangan di indonesia)
Dalam mempermudah upaya
monopoli atas tanah, tentunya dilaksanakan dengan tidak secara baik-baik dalam
realisasinya. Hal ini dikarenakan tanah yang diperuntukkan areal pertambangan,
perkebunan, food estate dan lain-lain
merupakan sumber kehidupan bagi jutaan rakyat Indonesia seperti untuk tempat
tinggal dan tempat berproduksi (bertani, berkebun, berladang, berburu, meramu
dsbnya). Maka, hal yang wajar jika banyak upaya yang dilakukan oleh tuan tanah
besar untuk mempertahankan dan memperluas atas monopoli lahan yang dilegalkan
oleh rezim SBY dalam 8 tahun terakhir.
Hal ini dapat
kita lihat dari peristiwa atau aktivitas perampasan tanah rakyat yang dilakukan
oleh perusahaan swasta dan atau miliki negara yang berselingkuh dengan rezim
penguasa hari ini. Misalnya kasus penembakan petani dan warga alas tlogo di
Pasuruan pada tahun 2007 yang mencoba mempertahankan tanahnya (4 orang
meninggal). Namun pihak TNI yang menguasai tanah yang ditinggali dan dikelola
oleh petani dan warga alas tlogo melakukan penyerangan dengan alasan telah
melanggar hak kepemilikan dan penguasaan TNI atas tanah tersebut. Padahal pada
kenyataan, tanah yang seharusnya dijadikan untuk tempat latihan tempur TNI AL
malah disewakan untuk menjadi ladang bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi
TNI AL. Sumatera, pada pertengahan 2011 petani di Mandailing Natal juga menjadi
korban PT PN II dengan menggunakan brimob untuk mengusir dari lahan yang
dikuaasi oleh PT PN II. Padahal lahan ribuan ha yang dikelola PT PN II terlantar dan tidak terurus dengan
baik. Namun petani setempat mampu mengelola dengan baik walaupun demikian warga
Mandailing Natal terpaksa harus digusur secara paksa dan beberapa orang menjadi
korban kriminalisasi dengan berbagai macam tuduhan.
Pada bulan November 2009,
di Jawa Tengah seorang nenek tua yang buta huruf harus menjadi korban
kriminalisasi dari PT Rumpun Sari Antan (Anak perusahan dari PT Astra
Agrolestari yang bekerja sama dengan Kodam Diponegoro) dengan tuduhan mencuri 3
buah biji kakao yang seharga Rp 20.000 dan harus merasakan tahanan rumah selama
3 bulan. Ratusan ha yang menjadi HGU dari PT RSA telah ditelantarkan dan warga
sekitar yang berprofesi sebagai buruh tani telah mampu mengelola tanah tersebut
menjad produktif. Namun, pihak PT RSA selalu melakukan pelaporan kepada
kepolisian setempat untuk menangkap petani atau warga yang dinilai telah
melanggar batas wilayah HGU PT RSA seperti yang dialami oleh nenek Minah. Lalu,
penangkapan 3 orang yang dilakukan oleh Perhutani KPH Banyumas Timur pada tahun
2008 atas tuduhan pencurian kayu di wilayah Perhutani. Padahal warga sekitarlah
yang sering menanam dan merawat pohon-pohon bernilai komoditi. Namun ketika
pemanfaatan hasil kayu yang tidak diketahui oleh Perhutani, warga sekitar yang
berprofesi sebagai buruh tani dan penderes (pengambil getah aren) ditangkap
dengan tuduhan pencurian dan melakukan illegal
logging.
Ada pula kasus
penembakan terhadap petani Senyerengan, Jambi hingga 2 orang meninggal pada
awal tahun 2011. Petani Senyerengan, Jambi berusaha mempertahankan tempat
tinggal dan tempat bertaninya malah diusir dan diberondong pentungan serta
peluru dari brimob yang “dibayar” oleh perusahaan kelapa sawit setempat (PT WKS
yang merupakan anak perusahan Sinarmas Group). Bahkan dari kabar terakhir,
puluhan brimob siap masuk kedalam untuk mengusir warga yang telah kembali
melakukan pendudukan di atas tanah milik PT WKS sejak tragedi penembakan pada
awal tahun 2011 dengan mendirikan bangunan semi permanen dan melakukan pengelolaan
tanah melalui bercocok tanam. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan akan
terjadi peristiwa berdarah dan memakan jatuh korban di phak petani dan warga di
Senyerengan, Jambi.
Masih di pulau
Sumatera, di Mesuji baik di Provinsi Palembang dan Lampung. Total 30 petani
menjadi korban kebiadaban dan keberingasan dari aparat kepolisian dan
pamswakarsa yang didirikan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit setempat (PT
Silva Inhutani). Puluhan ribu ha yang dikuasai oleh PT Silva Inhutani tidak
memberikan kesejahteraan bagi warga sekitar khususnya di Mesuji (desa woro-woro
di register 45). Puluhan ribu ha yang dikuasai oleh PT Silva Inhutani
berdasarkan HGU yang mereka dapatkan, tidak mampu dijalankan secara maksimal
atau masih banyak lahan yang ditelantarkan oleh perusahaan tersebut. Warga yang
pada umumnya adalah dari pulau Jawa (transmigran) memiliki insiatif agar tanah
yang ditelantarkan oleh PT Silva Inhutani
untuk dikelola denagn cara menanam tanaman palawija. Namun, aktivitas
yang dilakukan oleh warga ini tidak diterima oleh PT Silva Inhutani dan pihak
perusahaan bersama aparat kepolisian serta pamswakarsa sering melakukan
penangkapan (kriminalisasi), pemukulan dan pengrusakan hingga berujung pada
pembantaian 30 orang warga Mesuji.
Selain di
sektor perkebunan, kasus perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh tuan tanah
besar yang dibantu oleh aparat keamanan juga terjadi di sektor pertambangan.
Hal ini terjadi di Bima, NTB ketika warga Bima yang notabene adalah petani akan
dirugikan jika aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Sumber Mineral
Nusantara (anak perusahaan dari Australia). Kerugian tersebut yakni pencemaran
sumber mata air, kerusakan lingkungan, hilangnya sumber irigasi untuk
pertanian. Dengan demikian sumber penghidupan yang selama ini menjadi tempat
bergantung bagi warga Bima akan terancam jika rencana eksplotasi pertambangan
emas dilakukan oleh PT Sumber Mineral Nusantara. Namun ketika warga Bima
melakukan aksi protes penolakan atas pemberlakukan pertambangan emas sejak
tahun 2010 sudah mendapatkan tindak kekerasan dari aparat brimob. Puncaknya
pada tanggal 24 Desember 2011, ketika ratusan warga Bima yang mulai berdatangan
untuk melanjutkan pemblokiran pelabuhan Sape, Bima, NTB. Pihak Brimob melakukan
penyerangan yang brutal terhadap warga Bima hingga 3 orang meninggal akibat
peluru tajam yang ditembakkan oleh aparat kepolisian dan puluhan lainnya
terluka akibat diamuk oleh polisi yang sedang bertugas saat itu.
B)
Kekerasan Dalam Perampasan Tanah dan Rezim Fasis SBY
Dengan melihat
monopoli atas tanah yang dilakukan oleh tuan tanah besar yang berselingkuh
dengan rezim penguasa hari ini telah melegalkan praktek perampasan tanah
rakyat. Namun ada hal yang menarik disimak dalam praktek perampasan tanah
rakyat yang dilegalkan oleh rezim SBY. Praktek perampasan atas tanah rakyat
untuk mempermudah para tuan tanah besar dalam memonopoli tanah di Indonesia
pasti melakukan tindak kekerasan baik berupa kriminalisasi, pemukulan dan
penembakan yang berujung pada banyaknya korban jiwa yang berjatuhan dari pihak
rakyat Indonesia.
Sejak
tahun 2004 hingga Agustus 2008 (periode I SBY memimpin), di Jawa Timur tercatat 25 sengketa tanah yang
melibatkan masyarakat dan militer. Luas tanah yang disengketakan adalah 15.374
hektar
(Kompas, 1 Agustus 2008).
Hidup
Kaum Tani Indonesia!
Hidup
Rakyat Indonesia!
Jayalah
Perjuangan Massa!
0 komentar:
Posting Komentar