SBY-Boediono, Rezim Fasis anti
Rakyat dan Anti Demokrasi
“Kekerasan
adalah khas pemerintahan SBY-Boediono dalam Mengimplementasikan Berbagai skema
Penghisapan dan Penindasannya terhadap Rakyat!”
Perkembangan
Situasi Internasional dan Krisis Umum Imperialisme

Overproduksi
atas barang-barang komoditas merupakan masalah hakiki penyebab krisis yang
tidak akan bisa diselesaikan oleh sistem kapitalisme. Barang-barang komoditas
produksi massal yang dihasilkan semakin menumpuk di tengah perkembangan pasar
yang semakin menyempit dan merosotnya daya beli rakyat. Situasi ini membuat
negeri-negeri imperialis memaksakan liberalisasi perdagangan melalui berbagai
skema seperti WTO maupun perjanjian perdagangan bebas (FTA) bilateral maupun
regional[1]
agar kepentingan imperialis bisa mengikat. Selain ekspor barang komoditas,
imperialis juga berkepentingan atas ekspor kapital supaya terhindar dari
pembusukan kapital.
Ditengah
kekalutannya dalam usaha keras menyelesaikan krisis tersebut, berbagai paket
kebijakan penyelamatan dilakukan oleh pemerintah negara-negara imperialis
melalui skema dana talangan (bail-out)
dan dana stimulus sebagai bentuk subsidi keuangan terhadap
perusahaan-perusahaan besar yang dibiayai dengan menggunakan dana publik yang
dihasilkan oleh rakyat pekerja, telah digunakan untuk menyelamatkan kerakusan
dan kesalahan yang telah mereka perbuat hingga naraca keuntungan
perusahaan-perusahaan besar kembali stabil, pasar saham kembali bekerja dan
bisnis berjalan seperti biasa (bussiness
as usual). Negara sebagai alat kepentingan klas telah benar-benar
menjalankan fungsinya melayani borjuis besar dunia dan kaki tangannya.
Krisis
susulan pasca krisis keuangan 2008-2009 yang menimpa perusahaan-perushaan besar
kini menjelma krisis utang yang menimpa negeri-negeri besar seperti AS dan Uni
Eropa seperti Yunani, Portugal, Spanyol, Italia, Irlandia, dan Hongaria. Krisis
utang ini meliputi masalah pembengkakan utang publik yang telah melewati batas
wajar karena melebihi PDB suatu negeri dan masalah ancaman gagal bayar (default). Pembengkakan utang yang
melebihi PDB secara pasti menandakan kebutuhan yang lebih besar dari kemampuan
produktif ekonomi nasional suatu negeri. Masalah pembengkakan utang ini tidak
hanya sebatas membebani publik, namun resiko gagal bayar bisa menyeret
negeri-negeri pemberi utang (kreditur) ke dalam krisis keuangan yang semakin
dalam.
Dalam
ssituasi demikian, imperialis terus berusaha menimpakan semua beban krisis di
atas pundak seluruh rakyat dunia. Kecenderungan umum ekonomi dunia sekarang
adalah stagnasi produksi dan meningkatnya jumlah pengangguran dan setengah
pengangguran, meluasnya kemiskinan
karena beban hidup rakyat yang meningkat di tengah massifnya perampasan upah,
kerja dan tanah. Situasi ini menjelaskan kepada massa rakyat dunia akan
kebangkrutan dan kebusukan sistem kapitalisme di seluruh negeri sekaligus
kegagalan globalisasi neo-liberal di bawah pimpinan AS. Situasi obyektif yang
matang ini menjelaskan pada massa rakyat dunia atas jalan tanpa pilihan kecuali
meningkatkan intensitas perjuangan melawan imperialisme dan kaki tangannya
untuk menyongsong harapan baru pada dunia baru yang lebih adil. Hal tersebut
terbukti dengan Bangkitnya gerakan rakyat yang terus meluas dan semakin
membesar diberbagai negeri, bahkan di Amerika serikat sendiri.
Imperialisme terus
menyebar Petaka bagi Rakyat diseluruh Dunia
Dengan
Wataknya yang Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif dalam mengembangkan dan
mempertahankan diri, maka dengan cara itupula Ia berupaya mencari jalan keluar
atas krisis deritanya yang sesungguhnya tidak akan pernah dapat Ia selesaikan,
sebab sudah menjadi hukum baginya bahwa hakekat dari Imperialisme adalah Krisis
yang secara perlahan terus mendorongnya
hingga puncak kehancuran. Sistem kapitalisme tidak pernah bebas dari krisis
yang tercipta dari kontradiksi internal sistem itu sendiri.
Selain
krisis over-produksi, saat ini, krisis tersebut terus berkembang hingga krisis
hutang sebagai dampak dari krisis keuangan yang melanda negeri-negeri
imperialis, di mana pemerintah negeri-negeri tersebut telah menerapkan
kebijakan penyelamatan terhadap perusahaan-perusahaan besar swasta yang
mengalami kebangkrutan dengan menggunakan dana publik dalam jumlah besar.
Akibatnya, defisit anggaran pemerintah juga bertambah besar yang harus ditutup
dengan jumlah utang publik yang semakin besar dan harus ditanggung oleh rakyat.
Krisis
utang publik seperti yang kini dialami oleh AS dan negeri-negeri di wilayah Uni
Eropa telah membawa dampak serius terhadap moneter, perbankan, kemerosotan
ekonomi, naiknya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Kemerosotan ekonomi yang
menimpa dunia sekarang ini menandakan ketidakberdayaan seluruh negeri
imperialis (G-8) beserta institusi keuangan dunia bentukan imperialis (IMF,
Bank Dunia, EOCD, ADB). Kebijakan fiskal dan moneter yang telah mereka terapkan
untuk mengatasi krisis keuangan 2008 justeru telah memperdalam krisis sistem
produksi, keuangan, perdagangan imperialis dan sekarang melahirkan krisis
utang.
Ditengah
kekalutannya atas situasi tersebut, Imperialisme terus menimpakan beban
tersebut diatas pundak Rakyat diseluruh dunia dengan berbagai skema penghisapan
yang dibentuknya dan, melalui perjanjian-perjanjian dan kerjasama baik
bilateral maupun multilateral, skema-skema tersebut dititipkan kepada Rezim
boneka yang telah dibentuknya untuk diimplementasikan dan dijalankan secara
maksimal di Negara-negara yang berada dibawah dominasinya, terutama
Negara-negara Setengah jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia. Bahkan, terhadap
Negara-negara yang mengambil posisi berhadap-hadapan atau melakukan proteksi
atas dominasi Imperialis didalam Negerinya, harus dihadapkan dengan Agresi dan
berbagai provokasi yang sudah pasti menyengsarakan Rakyat.
Selain
dengan Upaya-upaya tersebut, Imperialisme juga melakukan Konsolidasi atas
negara-negara kawasan baik di Kawasan Eropa maupun Asia untuk memastikan
kesatuan sikap dan komitmen dari Negara-negara tersebut ikut bertanggungjawab
atas krisis yang dialaminya. Melalui konsolidasi-konsolidasi tersebut akan
melahirkan berbagai kesepakatan yang akan diterapkan secara liberal dan brutal
terhadap Rakyat diberbagai sector di Negara-negara tersebut. Kongkritnya,
selain pemaksaan untuk melakukan pemotongan subsidi Publik, menaikkan pajak dan
menjalankan kebijakan neo Liberal yang manifes dalam bentuk Komersialisasi dan
privatisasi atas berbagai sector public dan jasa, Negara-negara tersebut juga tetap
akan dijadikan sebagai sumber penghisapan bahan mentah, sumber tenaga kerja
murah dan pasar yang luas bagi pasar produksi Imperialisme yang telah lama dan
terus menumpuk.
Saat inipun,
Imperialisme yang masih dibawah kepemimpinan AS terus melakukan konsolidasi
atas Negara-negara kawasan Eropa dan Asia. Di Asia sendiri, Melalui ASEAN, Negara-negara
yang kaya akan sumber daya alam yang tentunya dapat menjamin terpenuhinya bahan
mentah yang dibutuhkan Imperialisme, selanjutnya populasi yang besar sebagai
jaminan tersedianya tenaga kerja murah dan sekaligus sebagai Pangsa pasar yang
besar. Saat ini pula, Konsolidasi ASEAN terus diperluas dan dikembangkan untuk
konsolidasi Asia timur dan membangun Komunitas Asia timur yang disandarkan pada
empat Negara besar yang memiliki jaminan atas bahan mentah dan Populasi
tersebut yaitu, China, India, Australia dan Indonesia. Keterhubungan empat kawasan
tersebut secara letak geografis sangat strategis, sehingga akan lebih mudah dalam meningkatkan kerjasama
ekonomi. Komposisi keanggotaan EAS yang begitu penting dalam ekonomi dunia,
membuat Amerika Serikat semakin agresif dalam melakukan dominasi dan memegang
kendali atas EAS.
Selain dengan
skema-skema perjanjian ekonomi, Politik dan Kebudayaan tersebut, Imperialisme
AS juga terus melakukan promosi dan memabangun kerjasama militer dan pertahanan
dengan menggunakan isu terorisme. Dalam aspek tersebut sesungghnya, selainn
kepentingannya atas perdagangan senjata, Imperailisme AS sangat berkepentingan
untuk membangun persatuan dan kerjasama Militer untuk mengcounter gerakan
Rakyat anti Imperialisme yang terus meluas. Bahkan Imperialisme AS sendiri
telah menjalankan program dan kebijakan Counter Insurgency (COIN) dan telah
menerbitkan buku panduan (Guide Book) untuk menjalankan COIN tersebut
diberbagai Negeri. Artinya bahwa, segala upaya akan dilakukan oleh Imperialisme
dalam melakakan penghisapan dan upaya penyelamatan dirinya atas krisis yang
tengah diderita, baik dengan penghisapan melalui jalan damai (Perjanjian
kerjasama) maupun jalan kekerasan bahkan agresi militer.
Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Kacung Paling Setia Imperialisme, Musibah bagi Rakyat
Indonesia
Angka
pertumbuhan ekonomi dunia sekarang ini adalah 3,3 persen dengan tingkat
pengangguran dunia mencapai 8,8 persen. Secara umum menunjukkan gap yang
semakin besar antara besaran angka pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan akibat besarnya
jumlah pengangguran yang melanda dunia. Sementara instrumen penanganan krisis
sekarang ini tidak sebanyak di masa krisis 2008-2009 disebabkan krisis
likuiditas dan defisit anggaran negara yang membesar dan memaksa pemerintah
bergantung pada utang. Demikian pula halnya di Indonesia, Angka pengangguran
dan kemiskinan terus meningkat. Setelah kemenangannya sebagai Presiden untuk
kedua kalinya, melalui Pemilu tahun 2009, Susilo Bambang Yudhoyono telah secara
lansung mendeklariskan berbagai program yang akan dijalankan selama dalam
pemerintahannya yang tiada lain adalah hasil-hasil konsolidasi G20 yang diinisiasi oleh AS, dengan target jangka
pendek untuk mengatasi krisis yang tengah terjadi. Program tersebut juga untuk
mengimplementasikan seluruh regulasi dan kebijakan yang telah dibuat selama
pemerintahan periode pertama SBY.
Adapun
15 (Lima belas) program unggulan SBY-Boediono dalam 100 hari pertama pemerintahannya yaitu:
1.
Pemberantasan
mafia hukum diseluruh lembaga negara dan penegakan supremasi hukum
2.
Revitalisasi industri pertahanan
3.
Pemberantasan terorisme
4.
Memenuhi kebutuhan listrik diseluruh
Indonesia dalam jangka waktu lima tahun kedepan
5.
Peningkatan produksi dan ketahanan
pangan
6.
Revitalisasi industri pabrik pupuk dan
gula yang meliputi penggunaan teknologi dan pembiayaannya
7.
Pembenahan atas kesimpangsiuran
penggunaan tanah dan tata ruang. Terutama sinkronisasi antara UU Kehutanan, UU Pertambangan,
UU Lingkungan Hidup serta tata perijinan dan penggunaan dilapangan.
8.
Pembangunan infrastruktur, dengan
prioritas pematangan rencana pembangunan ruas-ruas jalan yang penting antar
provinsi dan pulau besar. Termasuk didalamnya adalah fasilitas pelabuhan,
dermaga, bandara, infrastruktur perhubungan dan perikanan.
9.
Pemberdayaan usaha mikro, usaha kecil
dan menengah yang diakitkan dengan KUR. Pemantapan rencana penyaluran KUR
senilai Rp. 10 trilliun dalam lima tahun yang melibatkan bank, swasta dan
lembaga penjaminan
10.
Mobilisasi sumber pembiayaan diluar APBN
dan APBD untuk membiayai pembangunan. Hal ini terkait dengan pembangunan
infrastruktur, listruk, ketahanan pangan yang sinergis dengan segi pembiayaan
dan investasi.
11.
Perubahan iklim dan lingkungan hidup,
dengan mengintensifkan pemberantasan pembalakan hutan, menjaga hutan lindung
dan mencegah kebakaran hutan serta menjaga kelestarian terumbu karang
12.
Reformasi kesehatan. Prioritas program
ini tidak lagi pada pengobatan gratis, melainkan sehat gratis bagi warga
miskin. Dengan demikian fasilitas kesehatan masyarakat harus lebih diberikan
penguatan kapasitan dan kapabilitas.
13.
Reformasi Pendidikan. Memastikan adanya
keterkaitan antara tenaga yang dihasilkan dari lembaga pendidikan dengan
kebutuhan dunia usaha selaku pasar tenaga kerja
14.
Peningkatan kesiagaan penanggulangan
bencana dengan membentuk satuan khusus dengan segala fasilitas yang dibutuhkan
dan memiliki kesiapan diterjunkan ke lokasi bencana setiap saat
15.
Sinergi antara pusat dan daerah yang
bisa mencegah pemborosan. Sinergi ini meliputi jajaran pemerintahan, kegiatan
pembangunan ekonomi, kesejahteraan, hukum dan pemerintahan
Didasarkan
atas kedudukannya sebagai Rezim boneka
yang selalu berada dibawah dominasi dan intervensi Sang tuan,
Kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan pernah diabdikan untuk menjawab
persoaln-persoalan rakyat didalam Negeri. Faktanya bahwa, Sesuai dengan kepentingan imperialis AS, skema G20
sebagaimana dirancang untuk menggantikan kedudukan oligarkis negara-negara maju G8 dalam menentukan kebijakan utama
ekonomi dan politik dunia, memberikan satu arah garis yang tegas agar seluruh
hambatan investasi dan perdagangan yang masih ada harus segera dihapuskan.
Indonesia, dibawah pemerintahan SBY kemudian menyerah atas kebijakan ini dan
mengikuti seluruh kemauan AS. Pemerintahan SBY sangat takut dengan ancaman
isolasi secara ekonomi dan militer oleh AS kepada negara yang tidak bersedia
membentuk area perdagangan bebas (Free
Trade Area) tingkat regional.
Kongkretnya, Indonesia baik
sebagai sebuah negara maupun sebagai anggota, sekaligus Ketua ASEAN telah
terikat dengan berbagai perjanjian dan kerjasama dengan negeri-negeri
imperialis. Seperti kerjasama ekonomi Japan-Indonesia Economic Partnership
Agreement, Kerjasama ekonomi Indonesia dan Korea Selatan, Kerjasama antara
ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru, Kerjasama ASEAN dengan India dan juga
China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA).
Aspirasi
imperialis AS melalui sekutu-sekutunya seperti Jepang, Korea Selatan, Australia
terus menyeret negeri-negeri di Asia Timur ke arah pengintegrasian kawasan
dengan ekonomi global. Liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia Timur
benar-benar disiapkan sebagai wilayah taklukan kapital dan barang dagangan
imperialis AS, selain memperdalam intervensi militer bagi keamanan kawasan.
Selama SBY berkuasa, rezim ini secara langsung dan terang-terangan telah
berperan sebagai pemerintah boneka yang paling loyal dan aktif melayani
kepentingan imperialis AS di panggung politik Asia. Pemerintah Indonesia telah
menjadi pintu gerbang bagi intervensi imperialis AS yang semakin dalam di
wilayah Asia yang menjadi wilayah kunci dalam skema AS dalam mengatasi krisis
ekonomi dan keuangan yang sedang mengoyak negerinya.
Sebagai
Rezim boneka yang paling loyal dan
efektif melayani kepentingan Imperialisme AS, di dalam politik regional Asia,
SBY terus didorong sebagai punggawa kekuasaan dan dominasi Imperialisme di kawasan
Asia. Berbagai konsesi politik telah didapat dari SBY sebagai politik balas
jasa kepada imperialis AS yang telah mendudukkan Indonesia sebagai bagian dari
G-20 dan ketua ASEAN pada tahun 2011 – dan sekaligus sebagai ketua komunitas
negeri-negeri Asia Timur (EAS -- East
Asia Summit). Dalam periode satu tahun duduk sebagai ketua ASEAN, SBY
mewakili pemerintah Indonesia secara resmi mengusulkan AS sebagai anggota tetap
EAS untuk memperkuat peranan AS dalam hal keamanan regional dan masa depan
kawasan Asia Timur. Masih dalam periode SBY juga, pada tahun 2013 Indonesia
akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan APEC yang akan mensahkan aspirasi AS
untuk menjadikan Asia Pasific sebagai kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area of Asia Pacific –
FTAAP). Hal ini menjelaskan secara politik bagaimana Indonesia tengah
memerankan peran strategis bagi skema Imperialis AS di kawasan Asia dan dunia.
Cengkraman
imperialis AS di Indonesia melalui kaki tangannya terus menggunakan isu krisis
global sebagai alasan untuk semakin menindas politik melalui sistem demokrasi
palsu, menjajah ekonomi dan kebudayaan untuk menghancurkan kedaulatan rakyat.
Berbagai peraturan dan badan-badan baru dibentuk untuk menopang kepentingan
tersebut. Di bidang ideologi dan politik, intervensi dan propaganda utama
imperialisme AS adalah menjadikan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan
melalui demokrasi palsu yang ditopang oleh klas reaksi borjuis komprador dan
tuan tanah.
Telah
sejak lama penghisapan terhadap rakyat Indonesia, hingga saat ini tiada henti
bahkan semakin brutal dan bar-bar. Hal tersebut tampak dari berbagai kebijakan
yang dijalankan oleh Rezim saat ini dalam mengimplentasikan skema penghisapan
Tuan Imperialismnya. Perampasan atas tanah petani, tak putus-putusnya hingga
saat ini semakin meluas. Buruh yang selalu diperas tenaganya dengan beban kerja
yang tinggi, dilain sisi Buruh dihadapkan dengan upah yang rendah dan jauh dari
cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya, Buruh Migran
yang dalam Program seratus harinya SBY tahun 2009 lalu ditargetkan agar
Indonesia dapat mengeksport Buruh Migran minimal satu juta pertahun keberbagai
Negeri, berbagai skema digunakan untuk dapat melakukan perdagangan atas manusia
baik yang dipekerjaan didalam negeri ataupun diluar negeri dengan upah yang
murah. Sampai saat ini, Berjuta-juta buruh Migrant yang tersebar diberbagai
Negeri hidup dibawah ancaman keselamatan, pemotongan upah bahkan tidak dibayar
sama sekali. Hal tersebut karena Pemerintah tidak pernah memberikan
tanggungjawabnya untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan Rakyatnya diluar
Negeri.
Hal
yang serupa jug aterjdi disektor Pendidikan. Berbagai pasal hingga Ayat dalam
Undang-Undang 1945, sampai dengan Undang-undang dan peraturan turunannya
mengatur akan hak rakyat atas pendidikan. Namun hal tersebut kemudiuan hilang
begitu saja dengan kebijakan liberalisasi Pendidikan yang tampak paling nyata
dalam praktek Komersialisasi dan privatisasi Pendidikan sehingga Biaya pendidina
yang harus ditanggung oleh Rakyat mencapai jumlah yang berlipat-lipat, sehingga
kesempatan bagi rakyat semakin terbatas untuk dapat mengakses Pendidikan.
Kenyataannya, biaya pendidikan terus naik bahkan hampir mencapai 50%.
Untuk
diperguruan Tinggi sendiri, biaya pendidikan mulai dari Rp. 600.000 hingga
Puluhan juta, bahkan di beberapa Perguruan tinggi dengan fakultas dan jurusan
tertentu, biaya pendidikannya mencapai Ratusan juta Rupiah, Hal tersebut tentu
menjadi beban yang sangat berat bagi Rakyat. Bahkan saat ini, paska pencabutan
Undang-undang BHP, Pemerintah terus membuat berbagai skema untuk tetap dapat
mengambil keuntungan sebesar-besarnya melalui pendidikan, salah satunya adalah
Rancangan UU Pendidikan tinggi yang saat ini masih di godok di DPR akan sangat
mengancam Pendidikan tinggi di Indonesia kembali jatuh dalam komersialisasi dan
privatisasi yang dibungkus dengan berbagi konsep pembodohan dan disorientasi.
Secara
umum, untuk memnjalankan seluruh Skema Imperialisme tersebut, di Indonesia juga
saat ini semakin gencar dipromosikan berbagai bentuk program pembangunan yang disatukan
dalam Program “Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI” yang
jauh dari kepentingan Rakyat. Bahkan melalui program tersebut, sangat besar
memberikan Potensi terjadinya perampasan tanah dan penggusuran yang semakin
meluas dan, untuk menjamin keberlansungan dari Program tersebut, Pemerintah
telah membentuk berbagai kebijakan, khususnya RUU Pengadaan tanah sebagai
legitimasinya atas praktek perampasan tanah rakyat. Rancangan Undang-undang
Intelijen yang sudah disahkan pada tanggal 11 Oktober lalu, juga sebagai
legitimasi dalam melakukan tindak kekerasan dan upaya untuk menghadapi Rakyat
yang berusaha mempertahankan dan merebut Haknya. Selanjutnya Rancangan UU
Pendidikan Tinggi yang akan mengarahkan pendidikan yang secara Orientasi jauh
dari kehendak rakyat melalui kurikulum yang sangat jauh dari kondisi objektif Rakyat.
Pendidikan hanya dijadikan sebagai Sarana transformasi ide dan kepentingan Imperialisme,
sekaligus sebagai lahan bisnis yang luas dan menggiurkan.
Selain
aspek Ekonomi, sosial dan kebudayaan, tidak kalah pentingnya yang harus menjadi
perhatian kita adalah watak dan tindakan Fasis yang dilakukan oleh Rezim SBY dalam
menjalankan kebijakannya. Rezim SBY selama dua periode berkuasa, telah sukses
menjalankan skema politik AS melalui penyempurnaan terus menerus negara reaksi
melalui demokrasi palsu. Politik yang berlaku di dalam kekuasaan politik Rezim
boneka di tengah periode krisis sekarang semakin berwatak korup dan fasis, baik
fasis terselubung (silent fascism)
maupun fasis yang terbuka. Tindasan terhadap rakyat melalui kekerasan militer
telah terjadi dan semakin luas seiring dengan perampasan hak-hak ekonomi rakyat
demi kepentingan ekonomi imperialis dengan banjir investasi langsung di
berbagai wilayah yang subur dan kaya-raya di negeri ini.
Akibat
penjajahan politik, ekonomi dan kebudayaan oleh imperialis AS, banyak kalangan
rakyat di Indonesia seperti borjuis kecil dan borjuis nasional yang terjajah
secara pikiran berpandangan sesuai dengan isi propaganda politik imperialis AS,
bahwa Indonesia adalah Negara Demokrasi. Atau yang sering dipropagandakan oleh
Imperialisme maupun rezim Boneka dalam negeri bahwa Indonesia adalah Negara
yang telah berhasil menerapkan Demokrasi.
Rakyat Indonesia telah menjadi korban propaganda kebudayaan secara sistematis
tentang sistem demokrasi palsu yang gencar dilakukan oleh imperialis AS. Seluruh
pandangan yang membagus-baguskan sistem demokrasi di Indonesia sekarang
merupakan pandangan reaksi yang mewakili kepentingan imperialis, klas reaksi
lokal sebagai kaki tangannya.
Rakyat
harus berani menyatakan sendiri pendapatnya secara mandiri tentang demokrasi di
Indonesia, bahwa di Indonesia tidak ada demokrasi. Demokrasi yang sedang
berlangsung sekarang adalah demokrasi palsu karena dihasilkan oleh penjajahan
politik imperialis yang ditopang oleh dua kekuatan klas reaksi yakni borjuis
komprador dan tuan tanah. Demokrasi palsu yang kita nyatakan di sini adalah
karena eksisnya fasisme di Indonesia yang secara esensi adalah tindasan
kekerasan militer yang dilakukan oleh kapitalis monopoli dunia melalui rezim
boneka yang berkuasa untuk memaksakan kehendaknya baik secara terselubung
maupun terang-terangan. Operasi COIN di Indonesia dalam pengertian yang hakiki
telah berlangsung melalui sokongan dana yang besar, pelatihan militer,
pembentukan densus 88, proyek ‘anti-terorisme”.
Fakta
penerapan fasisme di Indonesia bisa dengan mudah kita lacak dari jejak berdarah
tindasan militer yang dilakukan oleh imperialisme melalui rezim boneka dan alat
kuasanya, kapitalis birokrat mulai dari Presiden, TNI-Polri, Gubernur, hingga
Bupati dari Sabang hingga Merauke. Kapitalis birokrat saat ini terus melengkapi
diri bagi tindakan fasisnya dengan berbagai perundang-undangan yang mengesahkan
penangkapan, penculikan, penghilangan paksa, penyadapan, pembreidelan,
pelarangan organisasi, penggusuran massal, perampasan tanah, pengusiran paksa,
pembubaran paksa demonstrasi, dan sebagainya. Secara militer, pemerintah juga
belum membubarkan komando teritori dari tingkat Kodam hingga Koramil dan terus
bergerak aktif dalam mengintimidasi kehidupan rakyat serta mengamankan
kepentingan vital milik imperialis.
Dengan
berbagai kedok mereka juga membangun dan membina berbagai organisasi masyarakat
yang berjubah agama dan kesukuan untuk memecah-belah dan mengadu-domba rakyat,
bahkan disiapkan untuk melakukan tindakan fasis atas nama agama (clerico fascism) setiap kali dibutuhkan.
Secara umum, jejak langkah fasis yang berderap ini menyertai isu-isu strategis
yang disokong langsung imperialisme AS seperti anti-terorisme maupun
proyek-proyek besar milik imperialis yang tengah membuang kapitalnya ke
Indonesia agar tidak membusuk seperti pertambangan besar, perkebunan besar,
taman nasional, kawasan industri, dan proyek infrastruktur besar.
Rakyat
suku bangsa minoritas di Papua belum bebas dari operasi militer, mengalami
penindasan fasis militer oleh aparat TNI-Polri yang mengamankan perusahaan
tambang emas terbesar di dunia PT Freeport Mc Moran maupun proyek perkebunan
pangan besar (MIFEE). Di Sulawesi, investasi besar-besaran di tambang nikel dan
minyak, (Inco, Exxon Mobile Oil, Medco), perkebunan kelapa sawit (Sinarmas,
Cargill), bendungan besar (Bank Dunia, ADB), taman nasional, dan infrastruktur
(PLTA), semuanya menggusur tempat tinggal dan sumber ekonomi rakyat atas nama
pembangunan, penanaman investasi dan perdagangan yang kesemuanya adalah
kepentingan bisnis imperialis. Di Kalimantan dan Sumatra, proyek perkebunan
kelapa sawit (Cargill, Sinar mas), perkebunan tanaman industri (Barito Pasific,
Sinarmas, Golden Eagle), tambang batubara, taman nasional, juga membawa
konsekwensi kejam bagi suku bangsa minoritas maupun rakyat setempat.
Hak-hak
politik rakyat untuk menyuarakan aspirasinya secara bebas terus ditindas dengan
berbagai cara lama maupun cara baru yang intinya adalah anti-demokrasi rakyat
Indonesia. Di perkotaan, serikat buruh semakin banyak diberangus di tingkat
pabrik, di kawasan industri hingga di kawasan ekonomi khusus; selain adanya
pemberlakukan pelarangan melakukan pemogokan bagi kaum buruh di kawasan ekonomi
khusus. Kawasan ekonomi khusus yang merupakan kawasan istimewa bagi industri
milik imperialis benar-benar telah menjadi kawasan yang bebas dalam menindas
dan menghisap klas buruh Indonesia.
Sementara
di kalangan borjuis kecil perkotaan, mahasiswa dan intelektual semakin
diisolasi dan dipasung kebebasan mimbar akademisnya. Komersialisasi pendidikan
yang bermakna menjadikan kampus sebagai ladang investasi, telah mengakibatkan
represifitas yang meningkat bagi kehidupan demokrasi di kampus-kampus. Pengembangan
kampus dan dunia ilmu pengetahuan semakin bertalian erat dengan kucuran modal
dan kepentingan imperialis, di mana riset dan kajian dibawa pada pelayanan atas
proyek-proyek milik imperialis. Hak-hak politik mahasiswa, Guru, dosen dan kaum
intelektual dalam hal berorganisasi, berbicara dan mimbar kebebasan akademis
dibelenggu karena harus mengikuti visi baru kampus yang mengabdi pada
kepentingan pasar dan klas-klas reaksi yang berkuasa.
Di
bidang Ekonomi, rakyat Indonesia mengalami penjajahan ekonomi yang semakin
dalam dan brutal. Apa yang selama ini dipropagandakan oleh pemerintah reaksi
sebagai “pertumbuhan ekonomi yang tinggi” pada intinya adalah mesin penghisapan
yang menjadikan rakyat dan bumi Indonesia sebagai sapi perah bagi negeri-negeri
imperialis. Dalam pidato politik pada peringatan 17 Agustus 2011, Presiden SBY
dan release resmi BPS 2011 sebagai corong propaganda statistik pemerintah
reaksi kembali membanggakan ketangguhan ekonomi nasional yang tumbuh dari 5,6
menjadi 6,5 persen, penurunan angka kemiskinan dari 31,02 juta jiwa menjadi
30,02 juta jiwa, dan jumlah pengangguran sebanyak 42,31 juta jiwa (2011 kwartal
II) dengan 119 juta jiwa angkatan kerja.
Seluruh
propaganda statistik reaksioner dan kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional
sungguh bertolak belakang dengan kenyataan. Presiden SBY seperti membungkus
kehidupan rakyat yang menderita tiada tara dengan hiburan angka-angka statistik
palsu yang sama sekali bertolak belakang dengan kenyataan. Seluruh propaganda
kepalsuan ini harus kita bongkar dengan menghadap-hadapkannya dengan kenyataan
yang menderitakan rakyat di seluruh penjuru negeri. Siapa pemilik kapital yang
mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia? Siapa yang perampas dan penikmati
hasil pertumbuhan ekonomi tersebut? Untuk memahami masalah ini lebih terang,
kita harus memberi perhatian yang tinggi terhadap perkembangan implementasi
kebijakan imperialis apa yang sering dikenal dengan ‘neo-liberal’: Deregulasi,
Privatisasi dan Liberalisasi.
Deregulasi bermakna pembrangusan seluruh
dasar hukum yang bertentangan dengan kepentingan imperialis. Seluruh peraturan
perundangan-undangan, mulai dari UUD 1945, Undang-undang turunan, Surat
Keputusan presiden, menteri, dirjen, gubernur hingga walikota atau bupati,
harus menjamin dan mengamankan kepentingan imperialis dalam hal investasi
langsung dan perdagangan. Seluruh investasi baik besar maupuin kecil diarahkan
pada seluruh sumber kehidupan mayoritas rakyat dihancurkan dan dirampas oleh
ekspansi besar-besaran kapital asing milik imperialis. Seluruh perampasan dan
penghancuran sumber hidup rakyat ini sah dan legal karena dilindungi oleh
peraturan hukum dan aparatus pemaksa (militer-polisi-sipil) Pemerintah.
Privatisasi secara hakiki merupakan ujung
tombak bagi penaklukan kapital asing atas seluruh industri strategis milik
negara dan borjuis domestik. Perwujudan dari privatisasi ini adalah penjualan
besar-besaran BUMN yang menunjukkan keperkasaan modal asing yang menguasai
seluruh industri strategis di Indonesia. Pemerintah SBY sendiri telah merancang
roadmap perampingan BUMN yang
sekarang berjumlah 141 perusahaan, dimana pada tahun 2014 akan menjadi 78 BUMN
dan pada tahun 2025 nanti akan tersisa 25 BUMN. Dalam periode sepuluh tahun
terakhir, tercatat puluhan lebih perusahaan nasional di berbagai sektor yang
telah jatuh ke tangan asing. Kapital asing yang didapat dari akumulasi super
profit dari perusahaan besar imperialis atas sumber alam dan buruh murah kita,
kembali ke Indonesia sebagai ekspor kapital asing dan mencaplok seluruh
perusahaan strategis nasional baik melalui skema akuisisi maupun merger. Sektor
perbankan, telekomunikasi, energi, perkebunan, industri perkapalan, industri
kimia, industri sandang, properti, transportasi, air minum, dsb, telah dikuasai
oleh kapital asing. Dampak dari privatisasi tidak semata-mata menghancurkan
perekonomian nasional, namun menghancurkan martabat bangsa karena kehidupan
rakyat semakin terbelakang dan hanya menjadi bangsa kuli bagi industri milik
asing.
Liberalisasi merupakan nyawa bagi barang
dagangan massal milik industri besar imperialis agar terhindar dari
overproduksi dan terus mengalami peningkatan produksi untuk meraih keuntungan
yang lebih besar. Liberalisasi adalah pembebasan pasar dari sekat-sekat
nasionalisme, regionalisme dan berbagai faktor regulasi penghambat agar
sepenuhnya terintegrasi dalam ekonomi global di bawah dominasi imperialis.
Untuk menunjang pasar bebas imperialis AS getol dalam melakukan intervensi pembebasan pasar bagi eksport barang-barang
komoditas milik industri besar imperialis agar tidak mengalami ancaman
overproduksi. World Trade Organization (WTO), Free
Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP), Asean
Free Trade Area (AFTA), China-Asean
Free trade Aggreement (CAFTA) dan berbagai kerjasama regional lainnya.
Dampak
dari seluruh skema Imperialis AS tersebut telah menghasilkan keterpurukan dan
kehancuran seluruh sendi kehidupan rakyat secara ekonomi, politik, kebudayaan
dan militer. Hal yang paling kasar dan bengis terjadi di wilayah pedesaan
Indonesia. Perampasan tanah dalam skala besar terjadi untuk berbagai
kepentingan imperialis. Perampas tanah rakyat nomor satu adalah perkebunan
kelapa sawit yang dialokasikan lebih dari 26 juta hektar, menyusul alokasi bagi
pertambangan lebih dari 20 juta hektar, perkebunan kayu 16 juta hektar dan
taman nasional 15 juta hektar. Sementara di perkotaan yang menjadi tempat
berbagai industri juga mengalami pukulan krisis sekarang ini. Mayoritas industri di Indonesia adalah
industri perakitan dan pengolahan milik asing yang berorientasi ekspor atau
untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional.
Penderitaan
rakyat yang luas akibat serangan ekonomi, politik, kebudayaan imperialis AS
secara langsung turut menjelaskan bahwa rejim SBY sebagai boneka imperialis di
Indonesia sekarang berdiri di atas magma api yang membara dan setiap saat bisa
menyulut krisis politik di Indonesia. Berbagai isu politik panas yang telah
menjadi ‘percikkan api’ krisis politik nasional juga menjelaskan hubungan erat
antara imperialisme AS dan rejim SBY sebagai kaki tangannya. Berbagai kasus
yang terjadi di Indonesia seperti halnya kasus Bank Century, Kasus Korupsi dan
kasus-kasus lainnya telah melahirkan penolakan luas dari rakyat Indonesia,
termasuk krisis politik yang mengambil bentuk serangan pemblejetan politik
terhadap rejim SBY di Parlemen.
Krisis
politik yang menajam semacam ini sesungguhnya memiliki watak anti-imperialis
mengingat akar masalah yang melahirkan kebijakan dana talangan yang jelas-jelas
anti-rakyat tersebut bersumber dari imperialisme AS melalui forum G-20.
Demikian hal-nya dengan gerakan rakyat anti-korupsi yang terjadi dalam skala
luas baik di daerah maupun di nasional. Korupsi menjadi isu panas karena telah
menjadi watak dasar dari birokrasi negeri setengah jajahan di Indonesia yang
sangat dibenci oleh rakyat yang hidup miskin dan menderita tiada tara.
Kapitalis birokrat telah menjadi pelayan setia bagi imperialis dan menjadi
sumber ekonomi bagi mereka.
Klas
buruh Indonesia terus bangkit dan melawan menghadapi serangan imperialis yang
semakin intensif. Berbagai pemogokan mewarnai gerakan buruh yang menuntut
kenaikan upah (PT Freeport Indonesia di Papua, Carrefour), menolak diskriminasi
upah antara pekerja lokal dan asing (Garuda Airlines), menolak perampasan upah
(gerakan buruh migran), menolak PHK massal (Carrefour), menuntut jaminan sosial
(gerakan buruh di Jabodetabek), menolak outsourcing
dan kontrak jangka pendek, menuntut kepastian kerja (PNS dan perguruan tinggi)
dan menolak pembrangusan serikat buruh.
Sementara
di pedesaan, penjajahan imperialis melalui tuan tanah lokal telah menyebabkan
perampasan tanah skala luas untuk kepentingan perkebunan besar, pertambangan
besar dan taman nasional yang mengakibatkan penderitaan kaum tani yang tida
tara. Tuan tanah besar dan borjuis besar komprador yang melakukan monopoli
tanah dalam skala yang luas, maupun tindasan fasis yang dilakukan kapitalis
birokrat sipil maupun militer menjadi sumber penderitaan massa rakyat tani yang
luas di pedesaan. Peristiwa terbaru adalah penembakan terhadap buruh PT
Freeport di Papua yang mengakibatkan dua buruh meninggal dunia selain puluhan
buruh mengalami kekerasan fisik lainnya.
Dalam
tahun 2011, tercatat sudah 20 petani meninggal dunia akibat kekerasan dan
penembakan oleh aparat. Tindasan
kekerasan militer hingga penembakan seperti yang dialami oleh petani di Jambi,
petani di Sumatra Utara, Kebumen, Morowali, hingga kekerasan fisik seperti
dialami petani di Poso, pengusiran paksa terhadap Suku Anak Dalam di Taman
Nasional Bukit Dua Belas, TN Kerinci Sebelat, juga rakyat di sekitar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Leuser, pengusiran petani di Lampung
oleh PT Silva Inhutani, dan masih banyak lagi kekerasan yang dialami oleh kaum
tani di seluruh pedesaan Indonesia.
Dalam
situasi dengan berbagai kenyataan kongkrit akan ketertindasan rakyat saat ini,
telah terbukti melecut kesadaran rakyat yang semakin maju untuk berlawan, yang
terbukti dengan bangkitnya gerakan rakyat diberbagai daerah, disetiap sector
dengan berbagai bentuknya. Maka dalam situasi tersebut, tugas kita semua adalah
terus secara gencar dan semakin intensif melakukan kerja massa untuk
“Membangkitkan, Mengorganisasikan dan Menggerakkan Massa” untuk bersama-sama
menggelorakan perjuangan anti imperalisme dan anti feodalisme.
[1]
Asean +3, +5, EAS (East Asia Summit), APEC (Asia
Pacific Economic Cooperation), CAREM (Central Asia regional Meeting), ASEM
(Asia-Europe meeting), PIF (Pacific Island Forum), SAAR (South Asian Association
Regional Cooperation), semunya merupakan forum kerja sama regional dan trans
regional yang secara efektif digunakan oleh imperialis pimpinan AS untuk
menjalankan dominasi dan intervensi kepentingannya
keluar dari krisis ekonomi dan keuangan yang sedang memukul negeri-negeri
imperialis.
0 komentar:
Posting Komentar