“Gerakan
Rakyat Melawan Rezim SBY
Budiono Boneka Imperialis AS. Tolak
Kenaikan Harga BBM Turunkan dan Kontrol Harga-harga Kebutuhan Pokok- Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Bangun
Industrialsiasi Nasional untuk Rakyat”.
Naikkan Upah Buruh.
Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing
Berikan Jaminan Kebebasan berserikat
Jadikan 1 Mei Sebagai hari Buruh dan Libur
Nasional
Hentikan Perampasan Upah, Tanah, Kerja
Diterbitkan oleh:
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
I. Pengantar
Dalam tekanan yang luar biasa, baik tekanan upah yang semakin rendah,
kesejahteraan dan tekanan dalam aspek demokratisasi dalam memperjuangkan
haknya, dinamika perjuangan buruh terus berkembang dan semakin meluas
diberbagai daerah, seakan saling menyahut bak keokan kodok dimusim penghujan,
atau seperti ledakan petasan dimusim lebaran atau bak kembang api di tahun baru.

Materi propaganda ini akan
mengulas tentang masalah-masalah utama buruh Indonesia dan kaitannya dengan
persoalan Rakyat disektor lainnya. Yaitu persoalan yang disebabkan oleh
dominasi Imperialime yang terus melakukan penghisapan atas seluruh sumber daya
dan kekayaan (Alam dan Manusia) yang ditopang penuh oleh Tuan tanah dan rezim
boneka dalam negeri, teruama dalam upaya
menyelesaikan krisis imperialism yang semakin akut saat ini.
Persoalan yang akan
diuraikan dalam tulisan ini adalah terkait persoalan perampasan upah dan
seluruh skema politik upah murah yang dijalankan oleh pemerintah terhadap kaum
buruh, seperti sistem kerja kontrak dan Outsourching. Tidak terkecuali, materi
ini juga akan membongkar praktek pemberangusan serikat buruh yang acap kali
dihadapi oleh buruh, sebagai upaya dari pengusaha bersama pemerintah untuk
meredam bahkan menghilangkan upaya-upaya perlawanan yang dilakukan oleh Buruh
dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak lainnya. Selanjutnya, tulisan
ini akan di akhiri dengan simpulan dan arahan perjuangan buruh Indonesia
didalam melawan perampasan upah untuk terus secara bertahap mengurangi beban
penindasan dan penghisapan yang selama ini terus berlangsung.
Bahan propaganda ini selain
diperuntukkan bagi seluruh anggota FPR baik di Pusat maupun Nasional yang
tersebar di berbagai wilayah, juga ditujukan kepada seluruh buruh indonesia dan
massa luas yang tersebar diberbagai sector lainnya. Karenanya, untuk dapat
memahami secara mendalam atas keterkaitan antara krisis Imperialisme dengan
Persoalan Buruh dan persoalan rakyat disektor lainnya, sehingga penyajian
materi propaganda ini juga akan memaparkan secara singkat perkembangan situasi
umum Nasional dan Internasional, khususnya perkembangan krisis Imperialisme.
II. Sekaratnya Sistem
kapitalisme dan Merosotnya penghidupan Rakyat
A. Imperialisme
Memperkuat dominasinya diberbagai Negeri untuk terus melimpahkan beban
Krisisnya
Kenyataan Imperialisme
dibawah kepemimpinan Amerika Serikat (AS) yang tengah menderita akan krisis
yang secara bertahap, bahkan dengan begitu cepat terus merosot dan semakin
memburuk saat ini semakin membuktikan bahwa Imperialisme tidak akan pernah
mampu menyelesaikan deritanya kecuali kehancuran yang akan menjadi
penghujungnya. Faktanya hari ini bahwa krisis tersebut telah mengarah pada
krisis yang semakin dalam, meluas dan kronis. Krisis ekonomi dan keuangan
global yang terjadi di AS pada tahun 2008 akibat over-produksi atas
barang-barang teknologi tinggi, elektronik dan senjata telah menyebabkan
depresi ekonomi dunia yang berat hingga sekarang. Dampak krisis ini telah
menghantarkan perusahaan-perusahaan besar dunia pada kebangkrutannya,
mengeringkan likuiditas lembaga-lembaga keuangan (Per-Bankkan) besar dunia,
menghamburkan dana publik dalam jumlah besar dan secara langsung memerosotkan
ekonomi dunia ke lembah stagnasi.
Overproduksi atas
barang-barang komoditas merupakan penyebab utama krisis yang tidak akan bisa
diselesaikan oleh sistem kapitalisme. Barang-barang komoditas produksi massal
yang dihasilkan semakin menumpuk di tengah perkembangan pasar yang semakin
menyempit dan merosotnya daya beli rakyat. Situasi ini membuat negeri-negeri
imperialis memaksakan liberalisasi perdagangan melalui berbagai skema seperti
WTO maupun perjanjian perdagangan bebas (FTA) bilateral maupun regional agar
kepentingan imperialis bisa mengikat. Selain ekspor barang komoditas,
imperialis juga berkepentingan atas ekspor kapital supaya terhindar dari
pembusukan kapital.
Berbagai paket kebijakan
penyelamatan dilakukan oleh pemerintah negara-negara imperialis melalui skema
dana talangan (bail-out) dan dana stimulus sebagai bentuk subsidi
keuangan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang dibiayai dengan menggunakan
dana publik untuk menyelamatkan kerakusan dan kesalahan yang telah mereka
perbuat hingga naraca keuntungan perusahaan-perusahaan besar kembali stabil,
pasar saham kembali bekerja dan bisnis berjalan seperti biasa (bussiness as
usual). Sementara itu, Negara sebagai alat kepentingan klas telah
benar-benar menjalankan fungsinya melayani borjuis besar dunia dan kaki
tangannya. Namun, skema dana talangan (Bail-out) dan dana stimulus yang selalu
menjadi solusi utama (andalan) dalam menyelesaikan krisisnya, sejak fase
perkembangan dari system kapitalisme hingga zaman Imperialisme saat ini, tidak
pernah terbukti mampu menyelesaikan krisis yang dideritanya.
Krisis susulan pasca krisis
keuangan 2008-2009 yang menimpa perusahaan-perushaan besar kini menjelma krisis
utang yang menimpa negeri-negeri besar seperti AS dan Uni Eropa seperti Yunani,
Portugal, Spanyol, Italia, Irlandia, dan Hongaria. Krisis utang ini meliputi
masalah pembengkakan utang publik yang telah melewati batas wajar karena
melebihi PDB suatu negeri dan masalah ancaman gagal bayar (default).
Pembengkakan utang yang melebihi PDB secara pasti menandakan kebutuhan yang
lebih besar dari kemampuan produktif ekonomi nasional suatu negeri.
Krisis utang publik seperti
yang kini dialami oleh AS dan negeri-negeri di wilayah Uni Eropa telah membawa
dampak serius terhadap moneter, perbankkan, kemerosotan ekonomi, naiknya jumlah
pengangguran dan kemiskinan. Kemerosotan ekonomi yang menimpa dunia sekarang
ini menandakan ketidakberdayaan seluruh negeri imperialis (G-8) beserta
institusi keuangan dunia bentukan imperialis (IMF, Bank Dunia, EOCD, ADB).
Kebijakan fiskal dan moneter yang telah mereka terapkan untuk mengatasi krisis
keuangan 2008 justeru telah memperdalam krisis sistem produksi, keuangan,
perdagangan imperialis dan sekarang melahirkan krisis utang.
Dalam situasi demikian,
Imperialisme terus menimpakan beban tersebut diatas pundak Rakyat diseluruh
dunia dengan berbagai skema penghisapan yang dibentuknya. Melalui
perjanjian-perjanjian dan kerjasama baik bilateral maupun multilateral,
skema-skema tersebut dititipkan kepada Rezim boneka yang telah dibentuknya
untuk diimplementasikan dan dijalankan secara maksimal di Negara-negara yang
berada dibawah dominasinya, terutama Negara-negara Setengah jajahan dan
setengah feudal seperti Indonesia. Bahkan, terhadap Negara-negara yang
mengambil posisi berhadap-hadapan atau melakukan proteksi atas dominasi
Imperialis didalam Negerinya, harus dihadapkan dengan Agresi dan berbagai
provokasi yang sudah pasti menyengsarakan Rakyat.
Selain dengan upaya-upaya
tersebut, Imperialisme juga melakukan Konsolidasi atas negara-negara kawasan
baik di Kawasan Eropa maupun Asia untuk memperkuat pengaruh dan dominasinya guna
memaksakan Negara-negara dalam kawasan tersebut ikut bertanggungjawab atas
krisis yang dialaminya. Melalui konsolidasi-konsolidasi tersebut telah
melahirkan berbagai kesepakatan yang akan diterapkan secara liberal dan brutal
terhadap Rakyat diberbagai sector. Kongkritnya, selain pemaksaan untuk
melakukan pemotongan subsidi Publik, menaikkan pajak dan menjalankan kebijakan
neo Liberal yang manifes dalam bentuk Komersialisasi dan privatisasi atas
berbagai sector public dan jasa, Negara-negara tersebut juga tetap akan
dijadikan sebagai sumber penghisapan bahan mentah, sumber tenaga kerja murah
dan pasar yang luas bagi pasar produksi Imperialisme yang telah lama tertimbun
dan terus menumpuk.
Di Asia sendiri, melalui
ASEAN dengan Negara-negara yang kaya akan sumber daya alam didalamnya tentu
dapat menjamin terpenuhinya bahan mentah yang dibutuhkan Imperialisme.
Selanjutnya, populasi yang besar sebagai jaminan tersedianya tenaga kerja murah
dan sekaligus sebagai pangsa pasar yang besar, sehingga konsolidasi ASEAN terus
diperluas dan dikembangkan. Untuk konsolidasi Asia timur dan membangun
Komunitas Asia timur yang dipuncaki pada pertemuan (KTT ASEAN dan ASIA Timur)
Internasional di Bali pada bulan November 2011 lalu, telah disandarkan pada
empat Negara besar yang memiliki jaminan atas bahan mentah dan populasi
tersebut yaitu, China, India, Australia dan Indonesia. Keterhubungan empat
kawasan tersebut secara letak geografis sangat strategis, sehingga akan lebih mudah dalam meningkatkan kerjasama
ekonomi. Komposisi keanggotaan Asia Timur yang begitu penting dalam ekonomi
dunia, membuat Amerika Serikat semakin agresif dalam melakukan dominasi dan
memegang kendali atas Asia Timur.
Dalam perkembangan saat ini,
konsolidasi-konsolidasi tersebut telah terbukti berhasil memperkuat Dominasi
Imperialisme didalam Negeri. Hal tersebut terbukti dengan semakin loyalnya
Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dalam
memberikan pelayanan dan memfasilitasi Imperialisme melakukan penghisapan atas
seluruh sumber daya (Kekayaan Alam dan tenaga Manusia) didalam Negeri melalui
berbagai kebijakan Anti Rakyatnya yang dibungkus dalam topeng ”ILUSI” Demokrasi
berwujud Perundang-undangan dan berbagai peraturan lainnya.
Selain dengan skema-skema
perjanjian ekonomi, Politik dan Kebudayaan tersebut, Imperialisme AS juga terus
melakukan promosi dan membangun kerjasama militer dan pertahanan dengan
menggunakan isu terorisme. Dalam aspek tersebut sesungghnya, selain
kepentingannya atas perdagangan senjata, Imperailisme AS sangat berkepentingan
untuk membangun persatuan dan kerjasama Militer untuk meng-counter gerakan
Rakyat anti Imperialisme yang terus meluas. Bahkan Imperialisme AS sendiri
telah menjalankan program Counter Insurgency-nya (COIN) dan telah menerbitkan
buku panduan (Guide Book) untuk menjalankan COIN tersebut diberbagai Negeri.
Artinya bahwa, segala upaya akan dilakukan oleh Imperialisme dalam melakukan
penghisapan dan upaya penyelamatan dirinya atas krisis yang tengah diderita,
baik dengan penghisapan melalui jalan damai (Perjanjian kerjasama) maupun jalan
kekerasan bahkan agresi militer.
B. Pemerintahan SBY-Boediono yang Fasis dan Korup
Dalam berbagai kenyataan,
melalui perjanjian dan kerjasama serta kebijakan-kebijakan yang dibentuknya
didalam negeri, SBY telah menunjukkan ketidak berpihakannya terhadap rakyat.
Dari berbagai tindakan reaksinya terhadap rakyat secara lansung, Rezim ini
terus membuktikan loyalitasnya kepada Sang Tuan (Imperialis), bahkan dengan
tanpa ragu menjadikan rakyat sebagai tumbalnya. Melalui forum-forum
Internasional, Regional maupun Bilateral yang melahirkan berbagai perjanjian
kerjasama bilateral dan multilateral telah menciptakan penderitaan rakyat yang
semakin hebat. Melalui pertemuan Bilateral Barrack Husein Obama dengan Susilo
Bambang Yudhoyono di Jakarta pada akhir tahun 2010 lalu, menghasilkan Kerjasama
Komprehensif US-Indo diseluruh sector dan dalam berbagai aspek kehidupan
rakyat.
Program-program tersebut
diantaranya adalah upaya-upaya penghapusan bea Eksport-Import secara bertahap yang
ditargetkan hingga titik “NOL” untuk menjamin terbukanya pasar didalam negeri
dan terlaksananya perdagangan bebas,
kerjasama untuk fleksibelitas pasar tenaga kerja (Labor Market
Flexibility) untuk mendapatkan tenaga kerja murah, dan dilapangan kebudayaan
tetap melakukan efisiensi dan relevansi pendidikan (Terutama pendidikan Tinggi)
yang diorientasikan untuk mencetak tenaga-tenaga kerja berketrampilan rendah
yang hanya dapat dijadikan sebagai buruh murah pelayan Imperialisme, serta
Program yang saat ini sedang digencarkan oleh Pemerintah, yaitu Program “Master
Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)” yang akan semakin
mensyaratkan terjadinya perampasan tanah rakyat dalam skala besar dan
penggusuran terhadap rakyat miskin diperkotaan dengan dalih untuk pembangunan
dan kepentingan umum. Esensi program tersebut sesungguhnya akan semakin
intensifnya penghisapan Imperialisme atas seluruh sumberdaya alam Indonesia dan
sebagai upaya untuk mempermudah (Efisiensi) produktifitas Industri Imperialis yang
bercokol didalam negeri.
Untuk melegitimasi seluruh
skema penghisapannya, Pemerintah telah melahirkan berbagai bentuk kebijakan dan
regulasi yang semakin mengancam Rakyat. Dalam mengintensifkan perampasan dan
monopoli atas Tanah, Pemerintah telah membentuk Undang-Undang Pengadaan Tanah
yang telah di sahkan pada akhir 2011 lalu. Selain itu, Pemerintah juga telah
Membentuk RUU Intelejen (Telah di Sahkan 11
Oktober 2011 menjadi UU) sebagai legitimasi tindak kekerasan dan upaya untuk
menghambat dan memberangus gerakan Rakyat. Selain itu, Untuk Melegitimasikan
Privatisasi dan Disorientasi Pendidikan, serta berbagai bentuk Liberalisasi
lainnya, Pemerintah juga telah membentuk RUU Pendidikan Tinggi yang kini
semakin Mengancam Sektor Pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi. Masih banyak
lagi kebijakan anti rakyat lainnya.
Secara khusus terhadap kaum
buruh, pemerintah juga telah membentuk berbagai produk perundang-undangan untuk
terus menjalankan skema politik upah murah dan berbagai bentuk upaya
pemberangusan terhadap gerakan buruh yang semakin intensif melakukan
perjuangannya.
III. Nasib Buruh di Indonesia dalam Skema Politik Upah Murah
Dengan berbagai fenomena
yang terjadi di Indonesia saat ini, semakin terang menunjukkan bahwa penderitaan yang begitu hebat dialami oleh rakyat saat ini adalah
akibat dari dominasi Imperialisme baik secara ekonomi, politik, militer dan
kebudayaan di Indonesia. Dominasi Imperialisme masih tetap kokoh berdiri atas
bantuan dan sokongan dari para perpanjangan tangannya yaitu borjuasi besar komperador dan tuan tanah
besar di bawah kuasa Susilo Bambang Yudhoyono.
Kita memahami bahwa
Imperialisme AS sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai
dari bahan mentah untuk Industri, lahan yang luas terutama untuk pertambangan dan
perkebunan-perkebunan besar, sampai pada jumlah penduduk
yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh yang
sangat murah. Di bawah rejim penghamba Imperialis (SBY-Boediono) inilah rakyat
Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, akibat
berbagai kebijakan yang dikeluarkan hanya diorientasikan untuk melayani
kepentingan sang tuan untuk terus memperkuat dominasinya didalam negeri.
Ditengah penghisapan Imperialisme yang demikian hebat tersebut, Persoalan utama
yang dihadapi oleh kaum buruh di Indonesia saat ini adalah “Perampasan Upah,
Kerja kontrak dan Outsourcing, serta Pemberangusan serikat (Union Busting)”.
A. Rezim SBY Perampas Upah dan Kerja Klas Buruh Indonesia
Lewat kolaborsi tiga poros
utama (Borjuasi besar komperador, Tuan Tanah dan kapitalis birokrat) di bawah
kepemimpinan SBY-Budiono inilah Imperialisme dengan leluasa menggerakkan roda
penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Buruh dihargai dengan upah yang
sangat rendah dengan sistem kerja yang fleksibel dengan kondisi kerja yang
sangat buruk. Kaum tani di singkirkan dari tanah–tanahnya, sehingga
mengakibatkan jutaan petani hidup dalam kemiskinan, padahal Indonesia selama
ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di Indonesia
sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri. Rakyat miskin perkotaan
yang terus di gusur tempat tinggalnya dengan alasan pembangunan, dan masih
banyak lagi persoalan-persoalan rakyat lainnya yang hampir tidak pernah
berhenti.
SBY–Budiono lebih memilih
memperluas tanah untuk perkebunan dan pembangunan industri dari pada harus
memberikan tanah untuk kaum tani yang pada hakekatnya untuk kesejahteraan dan
pembangunan industri nasional. Disisi lain industri di Indonesia dengan
karakternya yang masih sangat terbelakang (Manufaktur) tidak mampu memberikan
nilai apapun untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memenuhi kepentingan
perusahaan-perusahaan besar Imperialis, Buruh
Indonesia selain dihadapkan dengan skema politik upah murah yang dijalankan dan
terus dipertahankan oleh rezim, Buruh juga mengahadapi berbagai macam bentuk
perampasan Upah yang semakin besar dan
intensif, baik dengan secara terang terangan maupun terselubung.
Selain dihadapkan dengan
upah murah dan pemotongan upah dengan berbagai cara, Buruh Indonesia juga masih
dihadapkan dengan ancaman PHK yang bisa
datang setiap saat. PHK massal dan tanpa ada kompensasi, penggunaan sistem
kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu) dan outsourching yang sangat
menindas buruh, pemberangusan serikat (Union Busting) yang semakin nyata dan
meluas. Penghapusan berbagai macam tunjangan adalah salah satu bentuk nyata
dari perampasan upah, sedangkan untuk mempertahankan hidupnya buruh Indonesia
dipaksa harus bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, kondisi kerja yang sangat buruk tanpa ada
perlindungan keselamatan kerja yang memadai dan masih banyak
persoalan-persoalan lainnya.
Pada tahun 2010 pemerintahan
SBY atas kepentingan dan desakan imperialis, kembali merencanakan untuk
melakukan revisi UUK 13/2003, yang isinya jauh lebih buruk bila dibandingkan
dengan yang ada sekarang, Draf revisi UUK tersebut isinya justru akan memangkas
hak-hak pekerja seperti diantaranya adalah mengurangi hak buruh atas uang
pesangon dan penghargaan masa kerja. Hal ini tidak terlepas dari tekanan
dari negara-negara Imperialis, dengan
dalih menciptakan iklim yang ramah investasi. Padahal, sebenarnya hanya ingin
mendapatkan tenaga kerja murah. Terang dalam kebijakan seperti
Revisi UUK, diorientasikan tiada lain hanya untuk menghilangkan
hambatan-hambatan dalam rangka penciptaan fleksibilitas pasar tenaga kerja
(flexibility labor market).
Hal tersebut di antaranya
dibuktikan dengan pengaturan kontrak kerja jangka pendek (perjanjian kerja
waktu tertentu dan penggunaan outsourcing yang sangat bebas). Padahal, praktik
outsourcing tersebut, jelas-jelas merupakan bentuk praktik perbudakan modern
(modern slavery). Pengaturan perjanjian outsourcing-antara perusahaan
outsourcing dengan pekerja- dianggap sebagai hubungan perdata biasa yang
dinilai tidak perlu diatur dalam UUK. Begitu pun dalam hal penggunaan tenaga kerja asing yang akan semakin bebas
tanpa pendamping untuk menggantikan tenagakerja asing tersebut.
Sejatinya UUK No. 13 Tahun
2003 adalah undang-undang yang pro Imperialis (Kapitalis Monopoli) dan anti buruh.
Sebab Undang-undang tersebut adalah merupakan undang-undang yang melegalkan
perampasan upah, dan kerja bagi buruh. Pasal yang mengatur tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing adalah bentuk nyata dari perampasan
upah dan kerja bagi buruh. Besaran pesangon yang selalu di keluhkan oleh
pengusaha hanyalah merupakan bualan semata, karena mustahil saat ini buruh bisa
mendapatkan hak atas pesangon dan penghargaan sesuai dengan ketentuan, umumnya
buruh hanya mendapatkan setengah atau bahkan jauh lebih kecil dari aturan yang
ada di dalam UUK No. 13 Tahun 2003.
Dengan Undang-Undang nomor 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), rejim
boneka pelayan imperialisme SBY-Budiono berusaha untuk memuluskan kepentingan
kapitalis monopoli untuk memecat buruh sesuka hatinya. Dalam skema UU nomor 2
tahun 2004, perselisihan perburuhan diringkas dalam serangkaian prosedur yang
pada intinya menekankan maksimalisasi peranan bipartit dalam penyelesaiannya.
Dalam konteks itu, UU mengidamkan buruh dan pengusaha berada dalam posisi
sejajar dan memiliki kesempatan untuk saling mempengaruhi dalam negosiasi
selayaknya di negeri-negeri imperialis, sesuatu hal yang mustahil dapat terjadi
di Indonesia.
Akibat diterapkannya sistem
perburuhan yang fleksibel maka buruh akan akan sangat mudah di PHK, sehingga
akan berdampak pada semakin lemahnya peranan serikat pekerja/serikat buruh
didalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan dan hak-hak dasar (normatif)
buruh. Melemahnya peranan serikat sama dengan rusaknya “benteng terakhir”
pertahanan dari buruh. Jumlah buruh yang di PHK dan dirumahkan terus mengalami
kenaikan. Sepanjang periode Januari – Maret 2010 saja PHK mencapai 68.332 orang
dan 27.860 yang dirumahkan atau naik dari jumlah 37.909 diperiode yang sama
tahun 2009.
B. Kebijakan Politik Rezim penghamba Legitimasi Perampasan Upah
Dasar penentuan Upah di
Indonesia saat ini adalah UUK No. 13 Tahun 2003 psl 88 dan psl 89 serta
Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen dan pelaksanaan tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak Untuk buruh”. Sistem Penentuan Upah
(pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang berbasis indeks biaya
hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai proksi dari
tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan angka hidup layak (KHL) dan
tingkat inflasi. Sistem pengupahan di Indonesia juga mendasarkan penentuannya
melalui mekanisme konsultasi tripartit dalam menetapkan upah minimum antara
wakil pengusaha, wakil pekerja dan wakil dari pemerintahan. Wakil pemerintah
selain dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator namun pada akhirnya juga
akan berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus mengesahkannya secara
hukum.
Di dalam Permenaker No. 17
Tahun 2005, penentuan upah hanya di tujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
buruh lajang, artinya kebutuhan hidup
bagi para buruh yang berkeluarga, tidak masuk dalam hitungan, jangankan untuk
kebutuhan pendidikan anak, untuk kebutuhan makan keluarga saja tak masuk dalam
komponen kebutuhan hidup buruh, (Lihat 46 komponen KHL yang diatur dalam
kepmen no 17 th 2005). Fakta yang lain di dalam permen 17 Th 2005 adalah
nilai KHL hasil survey dewan pengupahan hanya dijadikan salah satu pertimbangan
dalam penetapan UMK/UMP, sehingga wajar kemudian di hampir semua kota/kabupaten
atau Provinsi di Indonesia tidak ada yang UMK/UMP-nya sesuai dengan hasil
survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Jika di hitung rata-rata upah minimum yang
di tetapkan oleh pemerintah provinsi hanya sekitar 80 % dari nilai KHL.
Ditahun 2012 ini, setelah
mengalami desakan yang keras dan massif bahkan hingga terjadi
pemogokan-pemogokan melalui perjuangan panjang kaum buruh diberbagai daerah,
Pemerintah baru merealisasikan kenaikan upah bagi buruh, itupun masih sangat
terbatas bahkan masih jauh dari standar upah layak jikapun mengcu pada KHL yang
telah ditetapkan. Sebagai contoh, Kenaikan upah buruh di DKI saja hanya
mencapai kurang lebih 15% atau dari 1,3 juta menjadi 1,5 juta, atau rata-rata
kenaikan upah buruh secara Nasional hanya mencapai 6-8% saja. Sementara itu,
inflasi terus terjadi bahkan melebihi kenaikan upah. Saat ini, sejak awal bulan
maret sampai sekarang, kenaikan harga kebutuhan pokok sudah mencapai 30-33%.
Selain upah yang sangat
minim dan jauh dari setandart KHL,
pemerintah hari ini tidak pernah serius dalam menjalankan keputusannya
mengenai upah, sebab upah yang sudah di tetapkan oleh pemerintah melalui SK
Gubernur di masing-masing Provinsi ternyata tidak mengikat sepenuhnya agar
dapat di laksanakan oleh pengusaha, melalui Kepmenaker Nomor 231 Tahun 2003
pengusaha dengan alasan tidak mampu membayar upah sesuai dengan UMK/UMP dapat
mengajukan penangguhan pelaksanaan upah dengan sangat mudah, sehingga banyak
pengusaha hari ini terbebas dari kewajibannya membayar upah buruh sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Padahal sudah sangat terang
dan jelas bahwa didalam Permenaker 17 Th 2003 penetapan UMK/UMP salah satu
dasar pertimbangannya selain hasil survey KHL yang dilakukan oleh dewan
pengupahan, juga mempertimbangkan kemampuan usaha kecil (marginal), maka
seharusnya tidak ada alasan lagi bagi
pemerintah untuk mengeluarkan aturan lain yang membolehkan penangguhan membayar
upah.
Upah buruh yang sangat minim
masih harus di rampas lagi oleh pemerintah, hal ini tampak dari upaya
pemerintah SBY-Budiono terus menggenjot APBN terutama di sector perpajakan.
Pemberlakuan PPH 21 adalah merupakan bukti nyata bahwa rezim hari ini merupakan
rezim perampas upah buruh. Didalam undang-undang PPh Nomor 36 tahun 2008 dan
sesuai dengan aturan pelaksanaan UU
yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21. Dengan demikian, maka
beban pajak yang di tanggung oleh buruh tidak hanya untuk upah pokok saja, akan
tetapi seluruh penghasilan/upah buruh yang di terima, baik berupa tunjangan
maupun THR juga di kenakan pajak sebesar 5-6%.
Melalui Kebijakan Fiskal
(Anggaran), Pemerintah SBY terus berusaha memaksimalkan perolehan pajak
dari pajak penghasilan (PPh) yang merupakan pajak yang wajib dibayarkan oleh
perorangan. Target penerimaan pajak negara tahun 2011 mencapai Rp 708 trilliun
atau naik Rp 102 trilliun dari target tahun 2010 sebesar Rp 606
trilliun. Bahkan pada tahun 2014 penerimaan Negara dari pajak ditargetkan
mencapai lebih dari Rp. 1000 trilliun, tujuannya adalah agar pembiayaan
anggaran kebutuhan pemerintah bisa dipenuhi dari pajak sehingga dapat
mengurangi nilai hutang negara.
Dijalankannya UU No 2 Tahun
2004 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan juga menambah beban
perampasan upah buruh, meskipun didalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa
proses penyelesaian perkara murah, cepat, dan efisian akan tetapi faktanya sama
sekali tidak demikian. Buruh untuk dapat
menyampaikan gugatannya harus dikenai beban biaya yang sangat mahal, biaya
leges, uang pendaftaran gugatan dll.
membutuhkan biaya yang sangat besar untuk ukuran buruh yang upahnya sangat
minim, belum lagi di tambah dengan celah hukum yang memberi peluang bagi pengusaha
dapat menangguhkan pembayaran upah. Dengan demikian, maka dapat di pastikan
buruh tidak akan mendapatkan keadilan, karena buruh tidak akan kuat menanggung
seluruh biaya yang harus dikeluarkan selama proses persidangan, yang sangat
panjang dan lama. Umumnya kemudian kasus-kasus perburuhan diselesaikan dengan
cara konsesi yang sangat merugikan buruh.
Selain bentuk-bentuk
perampasan upah yang di legalkan oleh negara, upah buruh juga masih harus
dirampas oleh pengusaha dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah :
1. Tanpa melalui mekanisme panangguhan upah pengusaha dengan
mudah membayar upah buruh di bawah UMK/UMP;
Mayoritas pengusaha tidak
menjalankan UMK/UMP yang sudah di tetapkan oleh pemerintah, mereka dengan
berbagai macam alasan terutama karena perusahaan tidak mampu, telah sengaja
membayarkan upah buruh di bawah ketentuan, sedangkan pihak pemerintah dalam hal
ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi meskipun mengetahuinya tidak ada
tindakan tegas terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran upah, bahkan
seolah tidak bisa berbuat apa-apa, dan ketika mendapat tekanan dari buruh agar
upah dibayar sesuai dengan aturan yang berlaku maka pemerintah justru
menyarankan agar buruh bersedia menerima begitu saja dari pada tidak
mendapatkan pekerjaan.
2. Kebijakan perusahaan yang meningkatkan target kerja
produksi;
Kenaikan upah biasanya
segera di susul dengan kenaikan target kerja produksi, situasi ini umum dialami
oleh buruh terutama perusahaan-perusahaan padat karya seperti perusahaan
garmen, tekstile, sepatu, rokok dll. Artinya
buruh dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi agar dapat mencapai target, dan
ketika buruh tidak mencapai target maka dia harus bekerja lebih lama lagi
melebihi jam kerja yang telah di tentukan tanpa diberikan upah lembur. Bahkan
tidak jarang banyak pengusaha menggunakan alasan tersebut melakukan mutasi atau
melakukan PHK terhadap buruh karena dinilai tidak mampu bekerja dengan baik,
padahal faktanya hampir dapat di pastikan tiap tahun seiring dengan kenaikan
upah maka target kerja produksi selalu naik.
3. Lembur yang tidak dibayar atau dibayar akan tetapi tidak
sesuai dengan ketentuan upah lembur;
Banyak pengusaha yang tidak
memberikan upah lembur sesuai dengan ketentuan, juga di temukan di banyak
perusahaan yang menetapkan upah lembur berlaku tetap, sehingga berapapun jam
kerja lembur yang dijalankan buruh upahnya akan tetap. hal ini disebabkan tidak
semata-mata buruh tidak mengetahui penghitungan upah lembur, akan tetapi
kondisi ini terjadi karena pengusaha mengancam tidak akan memberikan lemburan/menghapuskan
lemburan apabila buruh mempersoalkannya. Sehingga buruh dengan terpaksa harus
mengikuti peraturan perusahaan karena di tuntut agar bisa mencukupi kebutuhan
hidupnya.
4. Pengusaha tidak memberikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(JPK) atau di berikan akan tetapi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan atau JPK adalah merupakan Hak buruh yang wajib di berikan oleh
pengusaha terhadap buruh dan sudah diatur pelaksanaannya didalam pasal 16
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa ayat (1) “Tenaga
kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan”. Ayat (2) “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi: rawat
jalan tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap, pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan, penunjang diagnostic, pelayanan khusus, pelayanan gawat darurat”.
Dari hasil investigasi
ditemukan bahwa mayoritas perusahaan tidak memberikan JPK kepada buruhnya,
sebagian perusahaan mengelola sendiri akan tetapi di dalam pengelolaannya
sangat buruk dan tidak memenuhi standar minimum yang sudah di tetukan
sebagaiman diatur dalam Permen no. 12 Tahun 2007.
5. Penghapusan dan atau pengurangan uang bonus, premi dan
tunjangan-tunjangan lainnya
Karena alasan kenaikan
UMK/UMP, banyak perusahaan melakukan pengurangan bahkan menghapuskan upah dalam
bentuk tunjangan seperti tunjangan uang makan, transport, bonus, premi hadir
dan tunjangan-tunjangan yang biasa mereka dapat sebelumnya. Sehingga meskipun
upah pokok dinaikkan sesuai dengan ketentuan UMK/UMP yang berlaku, akan tetapi
pendapatan buruh tetap bahkan cenderung mengalami penurunan, kondisi semacam
ini sangat umum terjadi di banyak perusahaan.
C. Sistem Kerja Kontrak dan
Outsourcing Adalah Bentuk Perampasan Upah
1. Kenapa sistem kerja kontrak (PKWT) dan Outsourcing adalah
merupakan bentuk perampasan upah?
Sebab Buruh dengan status
kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu tidak mendapatkan lagi hak atas
uang pesangon, uang penghargaan serta uang ganti rugi jika di PHK oleh
perusahaan/di putus kontraknya. Mereka juga tidak mendapatkan jaminan sosial
tenaga kerja baik itu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Kematian (JK), dan hampir
semua buruh kontrak jangka pendek (PKWT) tidak mendapatkan THR, kalaupun ada
jauh di bawah aturan. Mereka juga tidak mendapatkan tunjangan-tunjangan ataupun
bonus, bahkan buruh dengan status PKWT dipaksa untuk bekerja lebih keras agar
bisa di perpanjang kontrak kerjanya.
Sedangkan buruh dengan
status Outsourcing kondisinya jauh lebih parah lagi, mereka selain dirampas
upahnya oleh pengusaha yang memberikan pekerjaan dengan status kontrak mereka
juga harus di rampas lagi upahnya oleh pihak yayasan atau perusahaan penyalur
tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan buruh tetap, buruh kontrak dan
outsourcing mengalami perampasan upah mencapai 30% s/d 40% tiap bulannya dari
upah yang seharusnya mereka terima.
2. Apa motif dan latar belakang di terapkannya sistem kerja
kontrak dan outsourcing di Indonesia?
Penggunaan sistem ini di
latar belakangi atas kepentingan Imperialis agar dapat menciptakan tenaga kerja
murah dan flaksibel, sudah menjadi tren di dunia bahwa pasar tenaga kerja yang
flaksibel di terapkan di hampir seluruh negara-negara di dunia. Namun Sistem
ini sangat tidak relevan di jalankan di Indonesia, sebab Indonesia adalah
negeri yang masih terbelakang dengan karakter Industri manufaktur tanpa
ditopang dengan industry dasar. Persoalan lainnya yang paling pokok adalah meluasnya
monopoli atas tanah dan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia oleh tuan tanah
besar komprador dan Imperialis yang seharusnya menjadi dasar utama terbangunnya
Industri Nasional yang mandiri. Kenyataan demikianlah yang menyebabkan
terjadinya penumpukan tenaga kerja yang semakin melimpah atau angka
pengangguran yang sangat tinggi karena tidak terserap dalam lapangan kerja yang
masih sangat terbatas.
Kondisi demikian
mengakibatkan posisi buruh yang sangat lemah di hadapan pengusaha. Motif di
terapkannya sistem ini sesungguhnya adalah merupakan bagian dari sekema politik
upah murah rezim dan merupakan bagian nyata dari bentuk perampasan upah yang
dipertahankan oleh negara. Dan untuk memenuhi kebuasan dan kerakusan Imperialis
agar mendapatkan tenaga buruh murah serta sumber bahan baku dan kekayaan alam
yang melimpah dan murah.
Berdasarkan data hasil
investigasi yang di lakukan oleh DPP-GSBI menunjukkan bahwa buruh kontrak dan
Outsourcing mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5 % tiap tahun. Pada tahun
2010 saja jumlah buruh kontak dan outsourcing di Indonesia diperkirakan
mencapai 66,425%, sektor yang paling banyak menggunakan sistem kerja kontrak
dan outsourcing adalah pertama sektor/industri Jasa (Satpam, Caining
service, ritel, perbankkan dll) jumlahnya mencapai 85 %, kedua sektor/industri
Garment-Tekstil dan Sepatu jumlahnya diperkirakan mencapai 65%, sektor industri
metal dan elektronik diperkirakan sekitar 60,7%, Sektor/Industri dasar dan
pertambangan diperkirakan mencapai 55%. Data ini lebih besar bila dibandingkan
dengan data yang pernah di keluarkan oleh Bank dunia dan ILO pada akhir tahun
2010.
Data hasil riset yang
dilakukan oleh Bank Dunia dan Organisasi Buruh Internasional (International
Labor Organization/ILO) menunjukkan bahwa Jumlah pekerja atau buruh berstatus
tetap hanya tinggal 35 % dari 33 juta buruh formal di Indonesia. Padahal, lima
tahun lalu jumlahnya mencapai 70 persen, artinya sebanyak 65% adalah buruh
dengan status outsourcing dan buruh kontrak.
Buruh dengan status kontrak
dan outsourcing tidak mendapatkan hak atas uang pesangon, uang penghargaan
serta uang ganti rugi jika di PHK oleh perusahaan. Mereka juga tidak
mendapatkan JAMSOSTEK, tidak mendapatkan THR, Mereka juga tidak mendapatkan
tujangan-tunjangan ataupun bonus, selain juga harus membayar yayasan penyalur
tenaga kerja.
- Pemerintah mempertahankan stabilitas angka
pengangguran sebagai cadangan tenaga kerja murah yang melimpah
Dengan berbagai persoalan
atas hilangnya kedaulatan rakyat atas sumber daya alam dan seluruh kekayaan
Indonesia telah menjebak rakyat dalam berbagai skema penghisapan oleh
Imperialisme melalui perpanjangan tangannya didalam negeri, yaitu borjuasi
besar komprador dan Rezim boneka.
Sudah menjadi persoalan
pokok rakyat Indonesia hingga saat ini, yaitu perampasan dan monopoli atas
tanah baik yang dilakukan oleh Perusahaan-perusahaan swasta milik Imperialisme
ataupun oleh Negara Sendiri telah mengantarkan rakyat Indonesia dalam jurang
kemiskinan yang mendalam. Dengan kenyataan bahwa mayoritas (Mencapai 65%) populasi
Indonesia adalah kaum tani, seiring perampasan dan monopoli atas tanah yang
kian massif diseluruh wilayah Indonesia secara terus menerus menambah angka
buruh tani yang semakin besar, bahkan menduduki jumlah terbesar dari total
jumlah petani yang ada.
Dengan kondisi demikian,
sudah pasti mengakibatkan semakin hilangnya mata pencaharian sebagian besar
rakyat Indonesia, ditambah lagi dengan persoalan sistem pendidikan di Indonesia
yang sama sekali taidak mampu mengakomodir kepentingan Rakyat untuk dapat
memecahkan persoalannya secara mandiri dengan seluruh potensi yang dimiliki dan
kekayaan alam Indonesia. Dimana pendidikan sebagai topangan mendasar akan maju
dan berkembangnya kebudayaan suatu bangsa yang tercermin dalam kemampuannya
memecahkan setiap persoalan yang ada disekitarnya baik secara politik, ekonomi
maupun kebudayaan, kenyataan pendidikan di Indonesia sudah sangat jauh dari
perspektif dan Orientasinya untuk memajukan budaya dan mensejahterakan Rakyat
Indonesia. Hal tersebut, tampak dari sistem penyelenggaraan, pembiayaan dan
kurikulum yang jauh dari kenyataan hidup Rakyat.
Sementara itu, ditengah
perampasan dan monopoli tanah yang meluas dan Disorientasi pendidikan yang
menghambat berkembangnya sumberdaya manusia yang ada, Pemerintah juga tidak
mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang merata dan dapat diakses oleh seluruh
Rakyat sebagai jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, telah menciptakan
angka pengangguraan yang melimpah. Besarnya angka pengangguran tersebutlah yang
kemudian menjadi salah satu primadona akan dgangan pemerintah untuk menarik
investasi ataupun perdagangan tenaga kerja murah baik didalam negri maupun
diluar Negeri.
Untuk tenaga kerja yang
dijual keluar Negeri (BMI), telah ditargetkan oleh pemerintah untuk dapat melakukan Eksport tenaga kerja dengan
jumlah yang besar (Minimal 1 juta pertahun) dengan dalih untuk mengurangi angka
pengangguran dan meretas kemiskinan. Buruh migrant yang telah disebarkan
keberbagai negeri (Kurang lebih 40 Negara) telah memberikan devisa yang besar
bagi Negara (menempati urutan kedua tertinggi) dalam sumber pendapatan Negara. Saat ini
Indonesia berhasil meningkatkan ekspor buruh migran hingga lebih dari 8 juta
orang di Luar Negeri dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun per
tahun. Mayoritas dari buruh migran yang diekspor dari Indonesia adalah
perempuan dengan pekerjaan mayoritas Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dilain sisi, Buruh
migrant juga tidak terbebaskan dari persoalan perampasan atas upah dan tidak
adanya jaminan perlindungan dari pemerintah, karenanya tidak heran jika banyak
BMI yang pulang dengan tangan kosong, meninggalkan hutang, bahkan tidak sedikit
yang pulang tak bernyawa kaibat tindak kekerasan ataupun penyiksaan yang
dilakukan oleh majikan diluar Negeri. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah
memang tidak memberikan jaminan perlindungan apapun bagi BMI dan keluarganya.
Sementara itu, pemerintah justeru terus berupaya melakukan percepatan
peningkatan ekspor buruh migran dengan rencana mengubah Undang-Undang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri No. 39 tahun
2004(UUPPTKILN No.39/2004) yang dianggap belum mampu merealisasikan peningkatan
ekspor buruh migran untuk mencapai keuntungan yang lebih besar.
Dari berbagai kasus yang ada, pemerintahan SBY-Boediono tidak pernah
memberikan pertanggungjawaban yang kongkrit atas persoalan-persoalan
yang dialami BMI dan keluarganya. Pemerintah justeru jauh lebih sibuk
menunjukkan pertanggung jawabannya dengan politik pencitraan dan pembenaran
yang sudah dilakukan oleh pemerintah, pembentukan satgas-satgas yang hanya
menghabiskan anggaran negara dan tidak berhenti melakukan perampasan uapah
terhadap BMI. Bentuk-bentuk perampasan upah yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap BMI antara lain seperti pemotongan upah melalui biaya penempatan yang
tinggi, pemaksaan untuk mengikuti program Asuransi yang secara prosedural
samasekali tidak dipahami oleh BMI bai secara definitif, klaim keanggotaan,
kegunanaan dan transparansi. Sehingga, hal semacam ini dimanfaatkan oleh
negara, perusahaan asuransi dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, juga
PJTKI dalam memanfaatkan BMI untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari
pembodohan dan pemiskinan tersebut yang mengatas namakan perlindungan bagi BMI.
E. Apresiasi atas perjuangan BMI untuk
Pengesahan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya
Dengan desakan dan perjuangan
yang dilakukan oleh BMI dan rakyat lainnya selama bertahun-tahun, pada tanggal 12
April 2012 DPR dan Pemerintah Indonesia yang diwakili Kementrian Luar Negeri,
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementrian Hukum dan HAM,
mengesahkan RUU Ratifikasi Konvensi Internastional mengenai Hak-Hak
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Dengan
demikian Indonesia menjadi negara pihak ke 46 negara dari Konvensi ini di dunia
dan negara pihak ke- 2 di antara Negara anggota ASEAN setelah Filipina.
Dengan demikian, maka Pemerintah
harus segera medeklarasikan keputusan Pengesahan Konvensi PBB 1990 dimuka
internasional. Pemerintah tidak boleh lagi menggunakan alasan utnuk penyesuaian
iklim dalam negeri dan luar negeri untuk tidak mengimplentasi Konvensi PBB 1990
terhadap Undang-Undang Perlindungan Sejati. Langkah konkret yang harus
dilakukan segera oleh pemerintah adalah membuat kontrak standar yang melindungi
hak buruh migrant dan keluarganya, penghapusan biaya penempatan (overcharging),
memperbolehkan kontrak mandiri dengan syarat yang mudah, penghapusan sistim KUR
(Kredit Usaha Rakyat), KTKLN dan berbagai skema perampasan upah dengan berkedok
perlindungan.
Dengan disahkannya Konvensi PBB
1990, patutlah kemudian kita semua memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas
perjuangan keras yang dilakukan buruh migran Indonesia untuk mendapatkan
perlindungan sejati melalui pendesakan pengesahan Konvensi PBB 1990 dan dengan
berbagai upaya, melalui ajakan dialog dengan pemerintah dan aksi-aksi besar
baik yang dilakukan di dalam Negeri maupun di Luar Negeri serta berbagai bentuk
presure lainnya. Hal tersebut juga harus menjadi inspirasi bagi gerakan
rakyat disektor lainnya dalam memperjuangkan persoalannya secara sektoral
ataupun persoalan lainnya yang paling mendasar yang dialami oleh seluruh Rakyat
Indonesia.
- Pemberangusan Serikat (Union Busting) Pertajam
Perampasan Upah
Dalam upaya menjamin
terpenuhinya kesejahteraan dan memperjuangkan berbagai persoalan yang
dialaminya, Kebebasan berserikat, menyampaikan pendapat dan berunding adalah
merupakan hak dasar bagi kaum buruh Indonesia. Hal tersebut adalah hak buruh
yang dilindungi dan diatur didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
serta peraturan Internasional seperti yang terurai dalam UUD 1945 jo Pasal 28
UU No. 21 tahun 2000; UU No. 13 tahun 2003 serta Konvensi ILO No. 87 jo
Konvensi ILO No. 98. Akan tetapi kenyataannya hak tersebut belum dinikmati oleh
kaum buruh di Indonesia, karena sampai saat ini masih banyak permasalahan yang
dihadapi oleh buruh ketika menggunakan haknya dalam berorganisasi, perlakuan
intimidasi, diskriminasi bahkan sampai pada pemecatan terhadap buruh yang
berorganisasi umum terjadi di Indonesia, penyebabnya adalah karena rezim SBY
belum sepenuhnya memberikan ruang kebebasan untuk berorganisasi bagi buruh.
Praktek-prketek anti
serikat, berunding dan menyampaikan pendapat hampir dapat kita temukan di
setiap perusahaan, tindakan yang di lakukan oleh pengusaha ketika buruhnya
membentuk serikat buruh diantaranya adalah melakukan intimidasi, tidak diberi
pekerjaan, tidak memberikan lembur, memaksa untuk mengundurkan diri, dan
apabila dengan cara-cara tersebut tidak efektif, maka pengusaha dengan berbagai
macam alasan segera melakukan PHK, bahkan tidak jarang pengusaha meloporkan
buruhyan kepada pihak kepolisian (kriminalisasi kasus perburuhan).
Meskipun Undang-Undang
tentang Serikat Buruh telah disahkan, akan tetapi buruh sampai saat ini tidak
secara otomatis dapat menikmatinya. Kenyataannya dilapangan membuktikan bahwa
Pengusaha telah melakukan berbagai macam cara untuk menghambat pembentukan atau
perkembangan serikat buruh yang sering disebut sebagai tindakan anti
serikat buruh (union busting), Tindakan PHK terhadap pengurus/pimpinan dan anggota serikat
buruh adalah cara ampuh untuk
memberangus aktivitas serikat buruh. Cara yang umum dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh
tersebut, tetap saja dibiarkan oleh negara.
Berbagai bentuk
pemberangusan serikat yang dilakukan oleh perusahaan secara terang-terangan
diantaranya adalah dengan bentuk
intimidasi, tidak memberikan akses pada pimpinan serikat yang ingin menemui
anggotanya, tidak diberikan lembur kepada para anggota dan pengurus serikat,
mutasi pengurus serikat, memberikan SP, scorsing, dikucilkan di dalam
lingikungan kerja sampai pada bentuk-bentuk penawaran pensiun muda bagi anggota
dan pimpinan serikat buruh yang kritis dan lain sebagainya. Sedangkan cara-cara
terselubung yaitu dengan memberikan suap terhadap para pimpinan serikat dengan
menawarkan sejumlah posisi jabatan dan memberikan tambahan bonus agar
perjuangan serikat menjadi kaku dan tidak secara bebas melakukan pembelaan
terhadap anggota, mengadu domba antar serikat, membentuk serikat tandingan,
mengubah status tetap menjadi kontrak dan lain sebagainya.
Motif terjadinya
pemberangusan serikat pada umumnya di latar belakangi oleh perjuangan buruh
dalam mendapatkan hak normatif-nya yang dilanggar oleh pengusaha. sehingga
dampak dari pemberangusan serikat adalah hilangnya hak-hak buruh, terutama hak
dalam mendapatkan upah, karena ketika para pimpinan atau anggota serikat di PHK
maka mereka tidak lagi mendapatkan upah.
Dalam kenyatan demikian,
Pemerintahan secara kongkrit tidak berusaha memberikan perlindungan dan
kebebasan bagi buruh untuk berserikat, akan tetapi justru sebaliknya SBY telah
menjalankan politik anti demokrasi dalam perburuhan di Indonesia dengan cara
melakukan praktek pembrangusan kebebasan berserikat atau Union Busting.
Kebijakan paling nyata adalah dengan penerapan UU no 39 tahun 2009 tentang
kawasan ekonomi khusus (KEK) yang salah satu pointnya hanya memperbolehkan satu
serikat buruh dalam satu kawasan.
IV. Kebijakan Sesat Susilo Bambang Yudhoyono dan Derita bagi Rakyat
Situasi politik dunia
sekarang ini semakin memanas seiring badai krisis ekonomi dunia yang akan
berlangsung lama karena bangkrutnya sistem kapitalisme dalam skala global.
Aksi-aksi protes dan perlawanan rakyat dunia mewarnai hari-hari dalam badai
krisis sekarang ini, termasuk di dalam negeri. Keresahan umum rakyat Indonesia
semakin meluas dan menciptakan pertentangan yang semakin tajam antara rakyat
melawan klik paling reaksi yang berkuasa (SBY) maupun antara klik reaksi yang berkuasa dengan klas-klas
reaksi lemah. Pada perkembangan situasi nasional sekarang, masalah politik
semakin memanas oleh berbagai isu sosial-ekonomi maupun politik.
Tindakan-tindakan perlawanan kolektif massa yang luas semakin ditindas oleh
tindasan klas reaksi baik oleh imperialis secara langsung maupun tindasan fasis
melalui tentara dan polisi di bawah pemerintah SBY.
Ditengah situasi itupula, rakyat Indonesia telah dihantam
dengan berbagai bentuk kebijakan dan regulasi yang hanya menguntungkan
Imperialisme, borjuasi komprador dan Tuan tanah didalam negeri serta Rezim
boneka itu sendiri yang juga telah mengambil keuntungan besar sebagai
kapitalisme birokrat. Sementara itu, rakyat selalu menjadi korban atas setiap
kebijakan tersebut. Saat ini, rakyat Indonesia kembali mendapatkan pukulan
telak melalui kebijakan terbaru dari rezim saat ini, yaitu kebijakan akan
rencananya untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam rentan waktu 6
(enam) bulan ini.
Dengan berbagai alasan palsu yang semakin membodohi Rakyat, pemerintah
terus kekeh untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk yang keempat kalinya dalam dua
Periode/selama pemerintahan rezim boneka anti rakyat yang bernama “Susilo Bambang Yudhoyono” saat ini, yakni pada: Maret 2005, Oktober 2005, dan Mei 2008 yang tujuannya
tidak lain adalah penghapusan subsidi kepada rakyat. Dalam berbagai perdebatan
dipanggung politik negeri ini, Pikiran Rakyat terus diarahkan untuk tidak dapat
memahami secara esensial persoalan mendasar dan sebab utama dari kenaikan harga
BBM tersebut.
Penaikan harga didalam Negeri, persoalan utamanya
bukanlah karena seperti alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah, yaitu
karena “naiknya harga minyak dunia \sehingga
akan menyebabkan jebolnya Anggaran dalam APBN karena pembengkakan subsidi BBM”,
Padahal kenyataannya Indonesia adalah termasuk negara produsen yang seharusnya
diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah juga mengatakan
bahwa “subsidi BBM salah sasaran karena
rakyat kecil bukan konsumen utama premium dan solar, sehingga subsidi bahan
bakar ini hanya menguntungkan orang kaya Indonesia”. Jika demikian, mengapa
kenaikan BBM tidak mengarah pada mempertahankan subsidi bagi konsumen rakyat
miskin dan menghapus subsidi pada warga kaya, namun menaikkan secara pukul rata
kemudian dampaknya yang menderita rakyat umum yang mayoritas miskin?.
Pemerintah juga memberikan alasan bahwa “maraknya penyelundupan dan penyelewengan
BBM karena harga jual premium
dan solar yang terlalu rendah di dalam negeri, sehingga subsidi BBM hanya
menguntungkan para penyelundup dan penyeleweng”. Alasan tersebut
menunjukkan betapa tidak berdayanya SBY dalam melakukan penegakan hukum untuk
menangkap dan menindak para penyelundup dan penyeleweng BBM di dalam negeri.
Lantas apa pekerjaan aparat hukum dari intelejen, kepolisian, tentara di
wilayah perbatasan bila mereka tidak sanggup menangkap para penyelundup dan
penyeleweng BBM ke luar negeri? Alasan tersebut adalah dasar argumen yang
paling dangkal dan solusi yang justru merugikan rakyat pada umumnya.
Pemerintah juga memperkuat alasannya dengan mengatakan bahwa kenaikan BBM
disebabkan oleh “Semakin kecilnya
pendapatan dari sektor migas karena produksinya yang menurun, sementara jumlah
subsidi semakin besar”. Alasan tersebut sesungguhnya telah mengungkapkan
akibat dari kebijakan Pemerintah SBY sendiri yang membudak pada imperialis
dengan melepaskan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam didalam negeri dengan
menyerahkan bulat-bulat seluruh kekayaan alam, minyak dan gas kepada pihak
asing.
Jadi, persoalan utama kenaikan harga BBM tersebut adalah karena tidak
adanya kedaulatan rakyat atas minyak dan seluruh sumber daya alam didalam
Negeri. Selebihnya kemudian disebabkan karena terjadinya monopoli mulai dari
bahan baku, proses dan alat produksi hingga pasarnya oleh kapitalisme monopoli
(Imperialisme) melalui berbagai instrument yang dikuasainya. Penguasaan minyak
dunia saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar milik Imperialis,
terutama oleh Exxon Mobile,
Chevron, Shell, BP, dan Conocco Phillips.
Selanjutnya,
instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli minyak dunia tidak hanya
sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS
menggunakan pasar sebagai intrumen pengendali industri minyak dunia, melalui
pasar minyak terbesar seperti NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York
dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan
perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai, dimana spekulan
minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak. Selain itu, untuk
mempermudah dan memperlancar proses produksi dan distribusinya keberbagai
negeri, Imperialisme juga melakukan kerjasama dengan perusahaan keuangan dan
perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs,
Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP
Morgan Chase yang menguasai lebih dari
75% spekulasi dan harga minyak dunia.
Lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley,
Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak
dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh
melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk
mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Yang harus
menjadi catatan penting kita kemudian adalah bagaimana memahami bahwa
sesungguhnya monopoli imperialisme atas minyak dunia dan seluruh sumber daya
didalam negeri tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan rejim komprador di
berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak dunia di Timur
Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal
yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk di dalamnya
Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).
Seperti pada umumnya pemerintah boneka di berbagai
negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan untuk membantu eksploitasi dan
penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber bahan mentah bagi kepentingan
imperialisme. Operator utama tentu saja adalah borjuasi besar komprador yang
dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang seolah olah menjadi pengusaha
nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau calo penjual kekayaan
negeri seperti Indonesia.
V. Dampak Kenaikan Harga BBM
Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Buruh dan Rakyat secara umum
Sangat jelas, kenaikan harga
BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas
penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri setengah jajahan dan setengah
feudal (SJSF) seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin
terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta
meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya
berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus
menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri imperialis.
Beban itu dapat dilihat dari
dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan
sektor-sektor penting dalam ekonomi.
Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga
kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha
kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan
kemiskinan.
Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok
masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging,
dan lain-lain. Dampak kenaikan tersebut juga sangat memberatkan bagi masyarakat
di pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan
infrastruktur. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang
dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua misalnya, harga eceran
bensin sudah mencapai antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat
memberatkan rakyat, apalagi ditambah penaikan harga BBM yang sudah pasti
ditetapkan oleh Pemerintah dalam rentang
waktu 6 (Enam) bulan sekarang ini.
Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM
adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 persen. Peningkatan biaya
transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya. Pemerintah berencana
akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak kendaraan bagi usaha
transportasi, tetapi hal itu hanya ditujukan bagi pengusaha transportasi.
Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang harus menanggung
pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan (semi proletar) karena
akan menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka. Contoh,
sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per hari yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik
armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp
200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama
operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak
mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu
per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka. Dilain
sisi, Sopir (Sopir taksi sebagai Contoh
awal) juga dihadapkan dengan tekanan psychology yang tinggi, dimana ketika
tidak mampu memberikan setoran sesuai target, yakni Rp. 300.000/hari, maka Ia
terancam Skors (Tidak dipekerjakan samapi target setoran dapat dipenuhi).
Di sektor industri, khususnya Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha
akan mengalami kebangkrutan akibat meningkatnya harga bahan baku, listrik,
transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses
pasar di level nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi
komprador. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi
mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga
akan mengalami kebangkrutan.
Kenaikan harga tentu akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai
riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti
apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima.
Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai delapan persen di tahun 2012
tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting
lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM sebesar 33 persen.
Selain itu, kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat
kebijakan efesiensi tenaga kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan
biaya produksi. Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut
adalah peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk
itu semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan
berserikat dan pemogokan buruh.
Struktur industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang
bekerjasama dengan kaki tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah
menjadikan tidak adanya industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah
menjadikan Indonesia menjadi lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40
juta dan semakin bertambah akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu
merupakan tumpukan orang yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban
PHK oleh perusahaan yang melakukan
efesiensi.
Sementara itu, kaum tani menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita
akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi
imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya
biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah
darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang harus ditanggung petani
miskin dan buruh tani untuk input pertanian
yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.
Kaum nelayan juga sangat menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah
penggunaan solar yang merupakan komponen terbesar biaya produksi yang mencapai
60 persen lebih. Mayoritas nelayan di Indonesia
dari 2,6 juta adalah nelayan
pengguna kapal kecil yang bobotnya di bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar eceran yang
harganya dapat mencapai dua kali lipat per liter. Tentunya, para nelayan semakin
membatasi aktivitasnya atau terjerat oleh tengkulak dan lintah darat sebagai
sumber pembiayaan aktivitasnya.
Jelas, tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat.
Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah
kenaikan tarif baru nanti. Keadaan itu
akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 6,5 persen sehingga nilai uang
serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional,
Pegawai rendahan, dan Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring
terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang
mereka.
Kenaikan harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka
kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian
Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30
persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau
sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen
dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Pemerintah
selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan
sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun lalu. Akan
tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan tunai langsung
(BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa
Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori
palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat
miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.
Kedua, Politik. Demi
menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung
berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY akan
meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti
akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim merasa
terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya,
imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini telah memberi ancaman bagi gerakan
rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap
anti kemajuan negara. Bahkan pemerintah, oleh Presiden SBY secara lansung
menyatakan “Akan Menindak Tegas” setiap demonstrasi atau gerakan-gerakan lain
yang menolak rencana kebijakan tersebut.
Ketiga, Kebudayaan. Sudah
pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu
bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan
subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan
semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.
Sebagai contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008,
subsidi pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi
yang dikenal dengan “Bantuan Operasional
Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya
tidak pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta didik dari
keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun masih
melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan diskriminasi
dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru mengurangi tanggungan wajib
pemerintah (20% Anggaran pendidikan dari
APBN), dimana anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran
20% tersebut yang juga tidak pernah terealisasi secara utuh, meskipun
pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran tersebut sudah
terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi
dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya
termasuk dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah tampak
menjadi lebih besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih
tidak lebih dari hanya 11%.
Dampak
lansung, dari kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah
angka putus sekolah dan pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun
2009, terhitung jumlah siswa putus sekolah
untuk Sekolah Dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000
siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap
tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000 siswa. Sementara akses ke
pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan menunjukkan kesenjangan yang sangat
tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah (18-25 tahun), yang dapat mengenyam
pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa,
dan dari angka tersebut menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari
150.000 Mahasiswa setiap tahun.
Selain
dampak lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda
Indonesia secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut
kemudian menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di release
BPS tahun 2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor
pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi.
Tercatat, Pengangguran dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus
2008 berjumlah 4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada
periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari pendidikan tinggi berjumlah
961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada Februari 2009.
Artinya bahwa kenaikan harga BBM kali inipun pasti akan
menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih pemerintah sendiri
oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran Pendidikan dan Kesehatan”
menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas pemotongan subsidi yang akan
dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM 2012). Menurut forum rektor
yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan tinggi, juga telah
menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan kenaikan harga BBM.
UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan menaikkannya sesuia dengan
kenaikan BBM.
Dilihat dari
sisi lainpun, tentu dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak hanya
pada meningkatnya biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik dan
keluarganya, namun selain itu, peserta didik juga harus menyiapkan anggaran
sendiri yang lebih tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan memenuhi
kebutuhan belajar mengajar lainnya, seperti untuk pembelian seragam sekolah,
buku, bolpoin, bahan praktikum, biaya potocopy, transportasi, akses internet,
dll.
Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk
akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012,
harga obat telah naik hingga 10 persen,
bahkan obat yang mengandung parasetamol
mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak
menanggung semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi
keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga
makanan dan nutrisi yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.
VI. Penundaan penaikan harga BBM oleh
Pemerintah adalah akal-akalan untuk menipu dan membawa rakyat pada Ilusi yang
menyesatkan
Ditengah bangkitnya gerakan rakyat yang kian meluas dan
terus menunjukkan peningkatan eslkalasinya secara kualitas dan kuantitas yang
semakin tinggi dalam upaya menolak penaikan harga BBM , Pemerintah kembali
menunjukkan sikapnya yang anti-rakyat. Kepemimpinan atas negara yang buruk,
licik dan penuh konspirasi diperlihatkan di Parlemen yang sebagian besar
merupakan penyokong setia pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang anti-rakyat.
Hal tersebut ditunjukkan dalam keputusan yang diambil
oleh Parlemen (DPR) dalam Sidang Paripurna membahas harga BBM tanggal 30 Maret
lalu. DPR seolah-olah menolak kebijakan kenaikan harga BBM pada tanggal 1 April
2012, akan tetapi hal tersebut hanyalah penundaan sementara melalui skenario
untuk membohongi rakyat yang terus berjuang menolak kenaikan harga BBM, yang
dilakukan dengan gagah berani di seluruh penjuru negeri. Perlu dicatat bahwa
besarnya arus penolakan rakyat yang kemudian memaksakan penundaan kenaikan
harga BBM. Suara anggota DPR yang kemudian berbondong-bondong mengubah
“suaranya” ikut menolak meskipun itu semua merupakan cermin kepalsuan sikap
anggota DPR terhadap penderitaan rakyat.
DPR telah terlibat dalam pembohongan dan pengkhianatan
terhadap rakyat. Selama SBY berkuasa, DPR telah menorehkan prestasi sebagai
benteng klas reaksi yang anti-rakyat, sebagai lembaga yang secara aktif
mendukung segala kebijakan yang dikeluarkan dan dijalankan oleh pemerintahan
boneka imperialis Susilo Bambang Yudhoyono. Secara kontroversial DPR telah
menambahkan ayat dalam UU APBN P 2012 yang tidak memiliki landasan hukum jelas,
yaitu bahwa DPR menerima penambahan
pasal 7 ayat 6a yang isinya adalah “Memperbolehkan pemerintah mengubah harga BBM jika harga minyak mentah
mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata 15% dalam waktu 6 bulan”.
Sebuah hal yang secara nyata menunjukan bagaimana akal licik dari DPR
dalam mendukung rejim komprador SBY dalam melakukan liberalisasi energi
termasuk minyak dan gas di Indonesia, karena keputusan tersebut artinya telah
menyerahkan harga eceran terendah BBM di Indonesia sesuai mekanisme pasar
Internasional.
Penetapan ayat tersebut
sekaligus menghilangkan kedaulatan rakyat atas APBN, karena memberikan ruang
yang begitu besar terhadap pasar yang liberal dalam penentuan harga minyak yang
dijual untuk rakyat, secara hakekat itu semua bertentangan dengan UUD 1945
terutama pasal 33. Hal tersebut
sama dengan harga BBM akan ditunda, akan tetapi dipastikan akan mengalami
perubahan harga cukup dengan menghitung perubahan harga minyak dunia rata–rata
selama 6 bulan, dan perubahan harga yang ditetapkan pemerintah tanpa meminta
persetujuan dari DPR.
Untuk menyesatkan
rakyat, SBY melalui kaki-tangannya yang loyal, baik di Parlemen, Kabinet,
maupun Setgab juga terus melakukan propaganda omong kosong tentang kompensasi
bagi rakyat jika BBM dinaikan seprti BLSM, subsidi pendidikan dan transportasi
serta pembagian beras bagi keluarga miskin. Selama
ini SBY selalu menyembunyikan fakta bahwa sebagian besar kekayaan energi
Indonesia, baik minyak maupun gas dieksploitasi habis-habisan oleh perusahaan
imperialis. Dalam ketentuan kontrak karya, bahkan kewajiban untuk memenuhi
pasar domestik bagi perusahaan minyak imperialis hanya 25% dari total produksi
minyak di perusahaan tersebut. Sehingga perusahaan seperti Chevron, BP,
Chonocco Phillips, ExxonMobile menguasai sumber energi seperti minyak di
Indonesia hingga sebesar 75%. Bahkan, sekalipun terjadi konversi bahan bakar
minyak ke gas sekalipun, tidak akan mungkin kedaulatan rakyat atas sumber energi
akan terjadi.
Selama ini, tambang gas di Indonesia memiliki nasib yang sama dengan minyak
bumi yang berada di bawah cengkeraman kapitalis monopoli asing. Sementara itu,
SBY dengan seluruh mesin politik yang dikuasainya, terus memberikan peluang
bahkan dengan sengaja membuka secara luas jalur monpoli dan penguasaan atas
seluruh kekayaan negeri ini. SBY terus menunjukkan kesetiaan dan
loyalitasnya kepada sang tuan dalam memberikan pelayanan yang super ekstra. Sehingga
tidak heran jika dalam menghadapi aksi protes dari rakyat, SBY menyikapi dengan
sangat berlebihan, brutal dan kejam. Sejak awal rencana kenaikan harga BBM, SBY
telah menunjukan bahwa aksi dari rakyat akan ditindak dengan kejam. Mulai dari
intimidasi tentang adanya gerakan penggulingan pemerintah yang syah, pelibatan
TNI dalam pengamanan demonstrasi, pelarangan kendaraan umum untuk mengangkut
demonstran, hingga pemberitaan luas soal demontrasi yang anarkhis. SBY selalu
berdalih bahwa keamanan dan kestabilan politik harus ditegakkan untuk
memberikan kepercayaaan terhadap ekonomi, pasar dan investasi. Slogan tersebut
menunjukan bahwa karakter SBY tidaklah berbeda jauh dengan jenderal fasis Soeharto.
Pujian SBY terhadap
aparat TNI dan Polri telah diperlihatkan saat pidato merespon keputusan DPR
pada tanggal 31 maret 2012 yang dianggap sukses menegakan keamanan dan
kestabilan politik di Indonesia. Promosi gembar–gembor keamanan dan kestabilan
politik dilakukan di atas darah dan luka rakyat yang menolak kenaikan harga
BBM. Ratusan demonstran harus mengalami tindakan kejam dan brutal dari aparat
kemanan baik Polri maupun TNI. Di Jakarta, Medan, Surabaya hingga Makassar
telah membuktikan bagaimana selama ini represifitas dan intimidasi yang selalu
dilakukan oleh aparat keamanan untuk menghentikan aksi protes rakyat.
Karakter fasis
seperti yang diperlihatkan oleh pemerintahan SBY merupakan karakter klas yang
melekat erat pada dirinya sebagai rejim kaki-tangan imperialis. Sebuah karakter
klas yang mencerminkan tuan imperialis-nya yang getol akan kekerasan, perang,
penjarahan dan perampokan terhadap berbagai negara demi untuk menguasai sumber
daya yang ada di negara tersebut. Sehingga wajar jika SBY akan melakukan
segalanya demi terjaminnya keselamatan dan kepentingan imperialis di Indonesia,
seperti yang dilakukannya untuk meliberalisasi harga minyak di Indonesia dengan
cara menembak, menyiksa dan pembubaran paksa demonstrasi di Indonesia.
VI. Simpulan dan Arahan
Perampasan upah yang dialami
oleh kaum buruh saat ini dengan berbagai skema politik upah murah yang
dijalankan oleh pemerintah yang tanpa malu menunjukkan wataknya sebagai rezim
penghamba pada Imperialisme tidak terlepas dari situasi umum dunia yang tengah
dilanda krisis panjang yang menyentuh seluruh sektor dan meluas diberbagai
negeri.
Kekalutan Imperialisme dalam
menyelesaikan krisis tersebut, selain dengan watak dasarnya yang “Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif”
, situasi tersebut telah mendorong imperialisme untuk terus melemparkan beban
yang dideritanya diatas pundak rakyat diberbagai negeri dengan melakukan
berbagai bentuk penghisapan atas seluruh aspek penghidupan rakyat. Karenanya,
melalui rezim boneka yang dibentuknya diberbagai Negeri, terutama di
negera-negara jajahan, setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia,
Imperialisme terus berupaya memperkuat dominasinya baik secara ekonomi, Politik
dan kebudayaan.
Dengan seluruh kekayaan yang
dimiliki Indonesia, baik ketersediaan bahan mentah yang melimpah, kawasan yang
luas dan populasi yang besar selalu menjadi primadona Indonesia dalam kacamata
dunia, yang menunjukkan ketersediaan bahan mentah untuk bahan baku produksinya,
tenaga kerja murah dan pasar yang luas. Kenyataannya, melalui berbagai
fasilitas yang desediakan oleh rezim boneka didalam negeri, terutama dengan
berbagai bentuk produk perundang-undangan dan berbagai bentuk regulasi lainnya
yang melegitimasi segala bentuk penghisapan terhadap rakyat didalam negeri.
Imperialisme semakin bar-bar dalam melakukan penguasaan dan perampasan atas
tanah rakyat dalam skala yang luas dan telah mengakibatkan kemiskinan dan
pengangguran yang semakin tinggi seiring hilangnya sandaran hidup kaum tani
atas tanahnya.
Tingginya angka pengangguran
tersebutlah yang kemudian dijadikan sebagai landasan utama bagi Pemerintah
dalam menjalankan politik upah murah untuk merampas upah buruh. Kondisi
tersebut kemudian semakin diperparah dengan berbagai skema yang dibangun
melalui berbagai bentuk perjanjian dan kerjasama baik secara bilateral maupun
multilateral, salah satunya adalah kerjasama pasar tenaga kerja “Labor Market
Flexibility” yaitu konsolidasi tenaga kerja yang diperjual belikan dengan harga
yang murah baik didalam maupun diluar negeri melalui berbagai jalur perdagangan
tenaga kerja seperti lembaga-lembaga outsourching ataupun PJTKI.
Intinya bahwa persoalan
mendasar kaum buruh dan rakyat Indonesia secara umum saat ini adalah Hilangnya
kedaulatan atas hidup dan penguasaan atas seluruh sumberdaya yang tersedia di
negeri ini. Hal tersebut dikarenakan atas kuatnya dominasi Imperialisme,
rakusnya feodalisme dan Loyalnya rezim boneka didalam negeri yang terus
mempertahankan sistem usang “Setengah jajahan dan stengah feodal”. Dengan
segala keterbelakangan yang dilahirkan atas sistem tersebut telah secara
sistematic menghantarkan rakyat dalam keterbelakangan secara politik, ekonomi
dan kebudayaan. Sementeara itu, ketika rakyat berupaya memperjuangkan haknya,
Pemerintah justeru tak ragu menghadapi Rakyat dengan berbagai bentuk tindak
kekerasan dan tindakan anti demokrasi, bahkan dalam perkembangan saat ini,
pemerintah Indonesia dibawah kekuasaan SBY telah secara terang-terangan
menunjukkan wataknya yang fasis.
Derajat fasis SBY saat ini,
sudah sangat terang ditunjukkan dari berbagai kasus perampasan tanah atau
konflik-konflik agraria lainnya yang melibatkan aparat keamanan (TNI,POLRI,
maupun SIPIL), Sementara itu, Rakyat selalu menjadi korban atas keganasan dan
kebrutalan aparat selaku alat pemaksanya. Hal demikian juga tampak dari konflik
– konflik perburuhan, di mana aparat kepolisian dan militer, dengan mudahnya
melakukan intimidasi, teror, penangkapan serta kriminalisasi para
pimpinan/aktivis buruh, ataupun pembubaran-pembubaran paksa yang dilakukan dalam
meghadapi aksi-aksi protes ataupun pemogokan buruh dengan cara-cara keji dan
brutal. Bahkan kenyataan-kenyataan demikian tersebut juga dialami oleh rakyat
diberbagai sektor ddiseluruh daerah.
Diaspek politik, kenyataan
fasis dari rezim penghamba saat ini tampak dari upaya-upaya yang dilakukannya
dalam memaksakan kehendaknya dengan melahirkan berbagai produk
perundang-undangan dan kebijakan-kebbijakan anti rakyat lainnya. Sperti halnya
dalam kebijakan baru-baru ini, pemerintah memaksakan kehendaknya untuk
menaikkan harga BBM serta tipu daya penundaan penaikan harga BBM yang hanya
akal-akalan semata untuk meredam perlawanan rakyat.
Maka dalam situasi demikian,
tiada lain jawaban bagi klas buruh rakyat tertindas lainnya, kecuali memperluas
dan memperkuat persatuan, memperhebat perlawanan, berjuang secara teguh, dan
mendidik diri lebih keras, memperkuat persatuan, dan memperbanyak
aktivis-aktivis massa yang sungguh-sungguh mengabdikan diri guna membebaskan diri
dari segala bentuk penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh imperialisme,
feodalisme dan Kapitalis Birokrat.
Buruh
Indonesia telah menunjukkan keteladannya sebagai klas paling maju dalam
masyarakat. Penuh pengorbanan karena bekerja untuk kepentingan masyarakat, tapi
dihargai murah dan diperlakukan layaknya sapi perahan oleh si kapitalis. Klas
buruh bekerja secara kolektif, disiplin dan memiliki persamaan nasib yang
tinggi akibat tindasan dari sang kapitalis. Di tengah penderitaan yang
dihadapinya, klas buruh tetap menjadi kekuatan paling depan dalam
memperjuangkan nasibnya dan rakyat tertindas lainnya.
Berdasarkan pada analisis di atas, Front Perjuangan
Rakyat (FPR) yang menghimpun berbagai Organisasi dari berbagai sector, mulai
dari buruh, Tani, pemuda dan Mahasiswa, Buruh Migran, NGO maupun Individu mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk bersatu dan berjuang bersama, untuk mengkampanyekan persoalan-persoalan
buruh dan berbagai persoalan rakyat disektor lainnya melalui momentum hari Buruh sedunia (May Day)
dengan Tema:
“Gerakan Rakyat Melawan Rezim SBY
Budiono Boneka Imperialis AS. Tolak
Kenaikan Harga BBM Turunkan dan Kontrol Harga-harga Kebutuhan Pokok- Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Bangun
Industrialsiasi Nasional untuk Rakyat”.
Bersama ini, FPR juga menyerukan kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk terus menolak dan melawan sekuat tenaga kebijakan Pemerintah
SBY menaikkan harga BBM dan
menuntut untuk Kontrol dan Turunkan Harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Solusi
jangka panjang bagi kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional hanya bisa
dilakukan dengan melawan terus-menerus dan sungguh-sungguh seluruh skema
imperialis pimpinan AS di Indonesia. Solusi jangka panjang bagi kemandirian
energi dan ekonomi nasional, tidak ada jalan lain kecuali mewujudkan Reforma
Agraria sejati dan membangun Industri Nasional di seluruh Indonesia bagi
kepentingan rakyat Indonesia
serta mengambil seluruh asset-aset Negara yang dikuasai oleh asing. Berbagai
bentuk perlawanan saat ini harus dikobarkan oleh rakyat dan menuntut:
1.
Naikkan upah buruh dan Hentikakan seluruh skema politik
upah murah
2.
Hentikan
system kerja kontrak dan Outsourching
3. Hentikan
perampasan dan penggusuran tanah rakyat
4. Sediakan
Lapangan pekerjaan bagi Pemuda dan seluruh rakyat Indonesia
5.
Tolak
Kenaikan Harga BBM dan Turunkan serta Kontrol harga-harga kebutuhan rakyat
6. Cabut UU
Migas no. 22/2001, UU no. 11/1967 dan UU Penanaman Modal no. 25/2007 yang mengabdi pada
imperialis!
7. Hentikan
Pemberngusan serikat dan berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap Rakyat
8. Berikan
Perlindungan Sejati bagi Buruh Migrant dan keluarganya
9.
Hentikan
Komersialisasi pendidikan dan Tolak RUU PT
10. Turunkan
Harga-harga Kebutuhan Pokok Rakyat
11.
Laksanakan
Reforma Agraria Sejati
12.
Jadikan
1 Mei sebagai hari buruh dan Libur Nasional
Selain tuntutan yang sudah di tulis diatas
kawan-kawan di daerah/wilayah/kota dapat memasukan dan menambakan tuntutan
serta isu-isu yang sesuai dengan sektor masing-masing serta keadaan obyektif
daerah/wilayah/kota.
Demikian bahan propaganda ini kami buat
dan sampaikan kepada kawan-kawan semua.
Salam juang dan selamat bekerja.
Jayalah Perjuangan Rakyat
!!
Hidup
Kaum Buruh Indonesia!!
Hidup
Rakyat Indonesia!!
Lawan Seluruh Kebijakan
Pemerintah SBY yang Anti-Rakyat!
Hormat kami
FRONT PERJUANGAN RAKYAT
(FPR)
0 komentar:
Posting Komentar