Tolak
Rancangan Undan-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT)
Lawan Privatisasi
dan Liberalisasi Pendidikan Sebagai Perwujudan Skema Dominasi Imperialisme di
Sektor Kebudayaan
“Gantungkan
Cita-citamu Setinggi langit!!. Pribahasa
ini sering kali kita dengar diucapkan oleh guru-guru kita disekolah untuk
memotivasi agar kita lebih giat belajar hingga mampu menggapai cita-cita yang
kita inginkan. Namun melihat tanggung jawab Negara memenuhi hak atas pendidikan
dan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat yang tak jua terealisasi. Kita
tidak lagi bisa menggantungkannya terlalu tinggi. Karena akan menjadi mimpi
yang tak terbeli!!.
Latar Belakang
Pendidikan adalah merupakan suatu proses dialektika manusia untuk mengembangkan
akal pikir dalam menyelesaikan setiap persoalan-persoalan social, serta menjadi
tolak ukur kemajuan suatu zaman peradaban Bangsa dan Negara, dalam mencerdaskan
kehidupan rakyat. Sehingga menjadi tonggak instrument kemajuan tenaga produktif
yang akan menopang kesejahtraan rakyat secara utuh. Pendidikan harus menjadi
pondasi utama dalam mewujudkan kemajuan rakyat yang sejahtera, berkeadilan,
berdaulat adil dan makmur, serta menjunjung tinggi nilai-nilai social yang maju
dan mengabdi pada kepentingan rakyat.
Kenyataannya, pendidikan Indonesia tidak berujung sesuai dengan hakekat
pendidikan itu sendiri. Berdasarkan historis, pendidikan Indonesia masih
menyisakan kepedihan mendalam bagi
rakyat, sistem pendidikan Indonesia belum bisa berbuat apa-apa bagi kemajuan
tenaga produktif, dari masa ke masa hanya dijadikan alat legitimasi untuk
mempertahankan sistem ekonomi, politik yang anti rakyat. Rezim berganti rezim tak jua membawa harapan
kemajuan, pemerintahan Indonesia dari masa ke masa hanyalah menjadi rezim penghamba yang tidak berani
berdiri diatas kepentingan rakyat Indonesia. Dibawah kepemimpinan pelayan setia
“SBY” imperialisme yang dipimpinan Amerika Serikat terus menancapkan
dominasinya atas kepentingan politik, ekonomi, militer dan kebudayaan.
Historis Hari Pendidikan
Nasional
Tanggal 2 Mei tiap tahunnya rakyat Indonesia mempringatinya sebagai Hari
Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Sejarah 2 Mei sendiri tentu tidak lahir dengan
sendirinya melainkan atas dasar perjuangan rakyat Indonesia, dalam perkembangan
masyarakat Indonesia telah dijelaskan secara komprehensif mengenai literature,
sejarah telah banyak menguraikan bentuk penindasan pemerintah kolonialisme
Belanda yang menghisap sumber-sumber rempah dan kekayaan alam Indonesia selama
tiga setengah abad lamanya. Pendidikan yang semestinya bisa diakses oleh rakyat
secara luas hanya menjadi sebuah impian belaka, karena pada dasarnya pemerintah
colonial Belanda membatasi rakyat pribumi mengakses pendidikan. Pendidikan hanya bisa dikenyam oleh anak priyayi dan
anak tuan tanah local yang mengabdi atas kepentingan pemerintah Belanda, karena
kaum priyayi dan tuan tanah bersekongkol jahat untuk menghisap rakyat kecil.
Oleh karenanya pemerintah colonial Belanda memberikan akses sepenuhnya bagi
anak priyayi dan tuan tanah untuk mengenyam pendidikan.
Berangkat dari kepentingan tersebut, pemerintah colonial belanda membuka
sekolah-sekolah untuk menciptakan tenaga-tenaga administratif pemerintahan
colonial belanda di Indonesia, dari sinilah dilahirkan pula intelektuil
progresif yang ikut serta ambil bagian dalam perjuangan rakyat pribumi. Dalam
perjalanannya, sekolah-sekolah semakin banyak dibuka terutama dalam program
“Politik Etis” atau yang biasa dikenal sebagai “Politik Balas Budi” yang salah
satu isinya adalah program Edukasi yang tidak memilki perspektif dalam
memajukan taraf kebudayaan rakyat pribumi. Kenyataan tersebut dapat dibuktikan
lewat penyelenggaraan pendidikan yang tidak mampu diakses luas oleh rakyat
pribumi.
Semakin berlipat gandanya penghisapan dan penindasan terhadap rakyat
pribumi semakin menguatnya semangat perlawanan rakyat dalam memperjuangkan
kemerdekaan, tak terkecuali kalangan intelektual yang lahir dari sekolah
pemerintah colonial Belanda. Kalangan intelektual dan kelompok terpelajar membangun
sekolah-sekolah rakyat secara luas dan terbuka untuk menopang taraf berpikir
rakyat. Tentu usaha tersebut tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah
colonial Belanda, kenyataannya, sekolah-sekolah yang dibuka oleh rakyat pribumi
tersebut banyak yang ditutup oleh pemerintahan colonial Belanda, akan tetapi
berangkat dari kenyataan tersebut, semangat perlawanan rakyat pribumi semakin
menuaikan keberhasilan yang meluas, tercatat diera tersebut kaum intelektual
dan kelompok terpelajar bersama rakyat membuka kembali sekolah-sekolah yang
ditutup oleh belanda. Usaha tersebut dipelopori oleh Mas Soewardi atau yang
biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.
Dalam perjalanannya, Ki Hajar Dewantara memperjuangkan pendidikan di
Indonesia telah mengalami berbagai rintangan, terutama tindakan semena-mena
pemerintahan colonial Belanda. Upaya
yang dilakukan Ki Hajar Dewantara pada saat itu adalah cerminan bentuk
kepeduliannya terhadap rakyat Indonesia. Pedoman inilah yang melahirkan
pembebasan rakyat dari cengkraman penjajahan colonial belanda. Salah satu
sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewatara adalah sekolah rakyat yang
didirikan di Jogja pada tanggal 3 Juli tahun 1922. Selain mendirikan sekolah,
Ki Hajar Dewantara juga menulis sebuah artikel tentang kekejaman pemerintah
colonial belanda yang kerap membunuh dan menindas rakyat pribumi secara
semena-mena. Berangkat dari semangat Ki Hajar Dewantara yang memperjuangakan
pendidikan Indonesia tanpa dibatasi sekat-sekat antara orang kaya dan miskin
patut dijadikan semangat baru bagi anak Bangsa.
Arti penting Hari
Pendidikan Nasional bagi Rakayat Indonesia
Momentum Hari Pendidikan Nasional kali ini akan menjadi peringatan yang
begitu berarti bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat atas kepentingan
mendapatkan pendidikan yang layak bagi kebutuhan jaman akan terus dikobarkan
setiap tahunnya. Bahwasanya perkembangan suatu jaman semakin tidak berimbang
antara Negara imperialisme dengan Negara jajahan dan setengah jajahan seperti
Indonesia. Perkembangan situasi politik dunia semakin menunjukkan titik kronis
yang berkepanjangan akibat monopoli secara besar-besaran yang dilakukan
imperialisme pimpinan AS, sehingga dari waktu ke waktu terus berdampak ke
Negara-negara berkembang.
Selain memperingati Hari
Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Rakyat Indonesia
juga akan memperingati Hari Buruh Intenasional (May-Day) yang jatuh pada
tanggal 1 Mei. Peringatan May-Day dan Hardiknas kali ini adalah salah satu
upaya bagi setiap gerakan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu
jeratan dominasi imperialisme di Indonesia yang menjadi akar persoalan rakyat
Indonesia dalam memperjuangan kesejahtraan. Selain itu rakyat Indonesia juga
akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS) yang diperingati pada
tanggal 20 Mei untuk mengenang peristiwa perjuangan rakyat pada tahun 1920 yang
menandai bangkitnya perjuangan pembebasan melawan penjajahan Belanda yang untuk
pertama kalinya dilancarkan secara Nasional. Namun setelah 92 tahun sejak
kebangkitan nasional tersebut, rakyat Indonesia belum bisa membebaskan diri
dari sistem setengah jajahan dan setengah feodal terutama dalam memperjuangkan
pendidikan.
Krisis Umum Imperialisme
dan Berlipatgandanya Penghisapan Terhadap Rakyat diberbgai Dunia
Semenjak abad ke-20 hingga saat ini, sistem kapitalisme monopoli Global
terus menyisakan sendi-sendi penderitaan rakyat diberbagai dunia. Semenjak
memuncaknya krisis yang dialami oleh imperilisme pada pertengahan tahun 2008
akibat macetnya pembayaran kredit perumahan (sub-preme mortage), telah
menyebabkan merosotnya pertumbuhan ekonomi dunia. Krisis tersebut tidak
terlepas dari krisis over produksi teknologi canggih seperti otomotif,
persenjataan dan elektronik yang semakin menumpuk akibat produksi masal yang
dilakukan oleh sistem kapitalisme monopoli. Situasi pasar yang semakin
menyempit dan menurunya daya beli Rakyat, berdampak pada semakin bangkrutnya
perusahaan-perusahaan besar dunia. Bank-bank besar dipaksa
memberikan dana talangan guna menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar milik
imperialisme.
Karena situasi tersebut, Negara-Negra imperialisme semakin melipatgandakan
penghisapan dan penindasannya di Negara jajahan dan setengah jajahan untuk
menyelamatkan krisis yang dideritanya. Imperialis pimpinan AS semakin mengintensifkan
liberalisasi perdagangan melalui berbgai macam skema seperti WTO, bahkan
perjanjian perdagangan bebas (FTA). Tentu kenyataan inilah yang semakin
memperkuat dominasi imperialisme AS diberbagai Negara secara politik, ekonomi,
militer dan kebudayaan.
Selain ekspor barang komoditas, imperialisme juga berkepentingan atas
ekspor capital supaya terhindar dari pembusukan capital. Kawasan Asia adalah
merupakan sasaran yang paling potensial bagi imperialisme dalam hal investasi
dan perdagangan. Asia merupakan tempat populasi penduduk terbesar di dunia
sebagai pasar luas dan besar. Selain itu juga banyak menyimpan tenaga kerja dan
cadangan kekayaan alamnya yang berlimpah, sehingga kedudukan Asia sangat
penting bagi imperialisme dalam menyelamatkan krisis yang terus membusuk.
Krisis demi krisis yang berlangsung lama telah membawa imperialisme
menggali liang kuburnya semakin dalam. Seiring massifnya penghisapan yang
dilakukan imperialisme diberbagai Negara jajahan dan setengah jajahan, telah
melahirkan gerakan-gerakan rakyat anti imperialisme yang terus berkembang
diberbagai Negari.
Situasi Umum Pendidikan Di
Bawah dominasi Impeialisme
Sejarah pendidikan nasional Indonesia memang tidak terlepas dari dikte yang
dilakukan pemerintahan asing. Pada jaman pemerintahan Belanda, sejak
dijalankannya program politik etis seiring pemberlakuan kebijakan
perundang-undangan Pemerintah kolonial Belanda yang mengatur soal Agraria yang
dikenal dengan Agrarische Weet. Pada masa itu, pendidikan hanya diperuntukan bagi golongan “Priyayi” atau bangsawan yang selain
untuk mengakomodir kepentingan Bangsawan lokal yang senantiasa memberikan
pelayanannya terhadap pemerintah Belanda. Hal tersebut juga ditujukan untuk
menegaskan kekuasaan colonial Belanda di Indonesia, serta untuk memenuhi
kebutuhan tenaga administrative diperusahaan-perusahaan perkebunan milik
colonial Belanda dan Negeri-Negeri asing lainnya.
Kebijakan pendidikan Indonesia saat ini yang tidak terlepas dari
kepentingan Negara-Negara imperialisme seperti Amerika Serikat, Jepang,
Australia dan Cina. Mereka menjadikan pendidikan sebagai salah satu sector jasa
yang mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda. Selain itu, pendidikan
dijadikan sebagai “corong propaganda” yang mempromosikan kepentingan Negara-Negra
Imperialisme. Kurikulum pendidikan yang ditujukan untuk mempertahankan dominasi
mereka atas monopoli sumber daya alam, tenaga kerja murah, serta pasar dan
menjadi sasaran investasi bagi keserakahan mereka.
Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hutang sebesar US
$ 400 juta dari IMF (dana moneter internasional), yang kemudian melahirkan
penandatanganan kesepakatan Letter of Inten/LoI. Dalam kesepakatan tersebut
pemerintah Indonesia diharuskan melakukan pencabutan subsidi public termasuk
kesehatan dan pendidikan. Kesepakatan inilah yang kemudian melatar belakangi
lahirnya PP. 61 Tahun 1999 tentang BHMN perguruan tinggi (Menjadikan Perguruan
Tinggai Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diuji cobakan di 7 kampus negri
besar di Indonesia yaitu; UI, ITB, IPB, UPI, USU, UGM dan UNAIR.
Tahun 2001 pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan
internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General
Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Orgnization/WTO), dimana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12
komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para
investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama untuk
pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian yang melahirkan UU
SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia mendapatkan
kucuran hutang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian
Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati
pada juni 2005 dan berakhir pada tahun 2011. Program ini bertujuan untuk
mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi
dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir UU Badan Hukum Pendidikan
(BHP). Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot
APBN sehingga harus dipanggkas subsidinya. Pemangkasan tersebut juga meliputi pemangkasan anggaran Guru
dan Dosen.
Dalam perjalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) banyak menuai
protes dari berbagai elemen rakyat Indonesia, tidak sedikit dari masyarakat
Indonesia khususnya Pemuda Mahasiswa melakukan berbagai aksi massa supaya UU
BHP harus dicabut. Tanggal 30 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan
pencabutan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena bertentangan
dengan konstitusi (UUD 1945), ini tidak terlepas dari protes rakyat yang cukup
lama. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menghentikan praktik komersialisasi
pendidikan di Indonesia. Semenjak dikeluarkannya rancangannya sampai
disahkannya pada tanggal 17 Desember 2008, UU BHP selalu mendapatkan kecaman
yang keras dari berbagai gerakan rakyat.. Hal ini membuktikan bahwa sekali lagi
perjuangan massa mampu melahirkan perubahan.
Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi (RUU PT) Penuh Muatan Privatisasi dan Liberalisasi
Sudah menjadi tradisi dan membudaya dalam sebuah sistem setengah jajahan
dan setengah feodal yang memiliki karakter rezim penghamba bagi kepentingan
investasi, segala sesuatu yang dirumuskan hanyalah sebuah genta penyakit bagi
rakyat secara umum diberbgai sector. Dibawah kepemimpinan rezim fasis Susilo
Bambang Yudoyono tercatat telah melakukan beberapa regulasi skema penghisapan
dan penindasan terhadap rakyat. Kenyataan itu merupakan upaya keras SBY untuk
mendapatkan nilai bagus dari sang “Raja Gurita Imperialisme AS”. Apapun yang
diinginkan sang raja, maka sang pelayan setia SBY siap menggelontorkan kekayaan
yang dimiliki rakyat, termasuk harus mencabut subsidi-subsidi public rakyat
seperti subsidi pendidikan.
Salah satu kebijakan anti rakyat yang sedang dirancang adalah Rancangan
Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Keberadaan RUU PT sendiri ialah
sebagai pengganti dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), dimana
keberadaan Undang-Undang tersebut hakekatnya penuh dengan muatan privatisasi
dan liberalisasi. Kaitannya dengan hal tersebut, meskipun telah menuai protes
dan perlawanan dari berbagai kalangan, Pemerintah tetap kekeh untuk Mengesahkan
UU tersebut, terbukti dengan berbagai rasionalisasi dan pembelaan yang
dilakukan oleh Pemerintah untuk tetap mendorong RUU tersebut, bahkan sampai saat ini RUU tersebut sudah mengalami
Revisi hingga kesekian kalinya.
Namun yang harus menjadi catatan bahwa berkaitan dengan RUU PT persoalannya
bukanlah semata-mata pada pasal per-pasal, malainkan pada persoalan Perspketif
dan Orientasi dari Undang-undang tersebut yang sudah sangat terang secara
Hitoris bahwa RUU tersebut sebagai Pengganti UU BHP yang telah menjauhkan
Rakyat dari Akses pendidikan Tinggi. Secara Ekonomi, pastinya dengan RUU
tersebut jika tetap disahkan akan semakin memberikan ruang bagi Lembaga kampus
untuk mengkomersilkan Pendidikan baik melalui kurikulum, dan distribusi Output
sebagai tenaga kerja murah, kerjasama pembangunan dan pengembangan Usaha.
Secara Politik, tentunya RUU tersebut akan bertententangan dengan UU SISDIKNAS
dan UU 1945.
Disamping itu juga bahwa RUU tersebut kemudian akan menjadi Legitimasi dari
pemerintah untuk melepaskan tanggungjawabnya atas pendidikan, khususnya
Pendidikan tinggi. Selanjutnya, diaspek kebudayaan, melalui kurikulum yang akan
diterapkan, selain hanya akan mewakili kepentingan dari Imperialisme atas
tenaga Kerja, maka kurikulum yang akan diterapkan juga tidak akan jauh dari
kepentingan tersebut, bahkan yang paling buruk adalah dimana kurikulum yang
akan dijalankan akan semakin luas memberikan ruang transpormasi ide dan
kebudayaan dari Imperialis yang sangat jauh dari relaitas hidup Rakyat Indonesia.
Hal tersebut juga sudah sejak lama diterangkan dari program kerjasama
pemerintah dikancah Internasional khususnya dilapangan Kebudayaan, seperti
US-Indo Komprehensif ataupun kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di regional
tingkat ASEAN maupun Asia Timur, dimana akan diberlakukan keseragaman dalam
Sistem Pendidikan, baik dari keseragaman kurikulum, sistem penyelenggaraan
hingga pembiayaan.
Kampus Sebagai Pusat Konsolidasi Teori Untuk Mempertahankan Kepentingan Imperialisme dan Rezim
Boneka.
Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, tentu kampus memiliki
peran penting dalam ranah kemajuan bangsa, karena kampus adalah merupakan
instrument untuk melakukan pengkajian atas persoalan yang dihadapi rakyat
indonesia. Sehingga berangkat dari hal tersebut kampus menjadi ibu yang akan
melahirkan tenaga ahli yang mengabdi atas kemajuan bangsa dan rakyat indonesia.
Akan tetapi kenyataannya lembaga Pendidikan Tinggi/Kampus selalu terlibat dalam
setiap skema kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah boneka imperialisme di
indonesia yaitu Susilo Bambang Yudoyono.
Dalam praktiknya, lembaga pendidikan tinggi selalu terlibat dalam setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim boneka untuk menyelamatkan beban krisis
yang kian hari semakin meyulitkan imperialisme dalam upaya penyelesaiannya,
Oleh karenanya, imperialisme akan menggunakan berbagai macam cara untuk
melepaskan dirinya dari jeratan krisis tersebut. salah satunya adalah program
Counter Insurgency (CO-IN) dilapangan kebudayaan, dimana imperialisme mempromosikan
budaya individualisme, anti nasionalisme, tidak ilmiah dan anti rakyat
tentunya. Demi melancarkan dominasinya dilapangan kebudayaan, imperialisme
telah melakukan kerjasama komprehensif antara pemerintahan Amerika Serikat
dengan Pemerintahan Indonesia (US-INDO), dimana AS telah menginfestasikan dana
sebesar USD 165 juta selama 5 tahun.
Berangkat dari program-program kerjasama inilah yang kemudian menguatkan
posisi kampus untuk terus berlomba-lomba melakukan praktik komersialisasi
pendidikan, tidak sedikit kampus-kampus besar di indonesia melakukan kerjasama
secara langsung dengan negara-negara imperialisme lainnya, secara setahap demi
setahap kampus-kampus di indonesia kehilangan orientasinya dalam memajukan
ekonomi, politik dan kebudayaan bangsa. Kampus-kampus akan berubah menjadi
warung siap saji yang menyediakan paket menu yang telah ditentukan besaran
harganya, menu yang disediakanpun adalah menu pesanan dari negeri-neri
imperialisme, tidak heran jika kampus telah jauh dari nilai-nilai budaya ilmiah
rakyat, jauh dari setiap kenyataan yang dihadapi bangsa indonesia.
Para tokoh akademisi, Guru besar berpangku tangan ketika melihat persoalan
bangsa indonesia yang tiada henti-hentinya diterpa persoalan. Untuk memahami
persoalan bangsa saja, para tokoh Akademisi dan Guru Besar yang dilahirkan oleh
kampus-kampus siap saji tidak tau menahu apa yang menjadi persoalan bangsa
indonesia. Sehingga wajar kemudian merka dangkal pemikiran dan pandangannya
atas keadaan bangsa dan persoalan rakyat indonesia, yang mereka pahami adalah
budaya negara-negra Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan lain
sebagainya. Mereka hanya bisa berbual membanding-bandingkan negara indonesia
dengan negara maju.
Hal inilah yang melatar belakangi mahasiswa saat ini kehilangan semangat
belajar, kehilangan semangat pengabdiannya terhadap bangsa dan rakyat
indonesia, karena sedari dini telah di didik dan dicengkoki dengan teori-teori
yang tidak bisa di ilmiahkan kebenarannya dalam praktik sosial kebangsaan.
Selain itu juga, kampus tidak memberikan jaminan kepada mahasiswa dalam
melakukan percobaan ilmiah, kebebesan mengeluarkan pendapat.
Kebijakan-kebijakan kampus telah membatasi gerak demokrasi mahasiswa, tidak
sedikita mahasiswa yang terkena skorsing, dipersulit nilai akademik, bahkan
ancaman droup out (DO) karena memperjuangakan hak-hak sosial ekonomi dikampus.
Dari beberapa ulasan inilah kita bisa simpulkan tentang karekteristik perguruan
tinggi indonesia yang masih menjujung tinggi budaya-budaya feodal, tidak heran
jika kampus-kampus besar di indonesia adalah cerminan eksisnya budaya feodal
(anti kemajuan tenaga produktif) seperti Universitas Gajah Mada (UGM),
Universitas Pajajaran Bandung (UNPAD), Universitas Sriwijaya Palembang (UNSRI),
dimana kampus-kampus tersebut adalah wujud nyata dari nama-nama kerajaan feodal
di indonesia.
Mutu Pendidikan Indonesia
tidak berkualitas Sepanjang Masa
Sudah menjadi ketetapan dalam sebuah negara setengah jajahan-setengah
feodal seperti indonesia yang anti kemajuan tenaga produktif, dibawah
kepemimpinan rezim boneka imperialisme, pendidikan justru diorientasikan untuk
menjaga kepentingan imperialisme dalam memonopoli sendidi-sendi kehidupan
rakyat dinegara setengah jajahan dan setengah feodal. Pendidikan layaknya
barang dagangan pada umumnya, untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas,
maka rakyat harus bersedia untuk membayar dengan biaya yang mahal.
Berdasarkan data yang dimuat harian kompas pada tanggal 23 Maret 2011.
Harian kompas melaporkan bahwa sampai saat ini 88,8% sekolah di indonesia,
mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan
minimal. Dari 201.557 sekolah di indonesia 40,31% berada dibawah standar
pelayanan minimal, dan 48,89% berada pada posisi standar pelayanan minimal,
hanya 10,15 yang memenuhi standar pelayanan nasional pendidikan. Dengan keadaan
demikian pemerintah justru gencar mengalokasikan dana bagi RSBI (kompas,
31/3/2011).
Peringkat kualitas pendidikan indonesia di Asia Tenggara berada pada urutan
ke-12 dari 12 negara yang ada di Asia tenggara, hal ini di sampaikan oleh badan
survey Political and Economic Risk (PERC). Bahkan kualitas pendidikan indonesia
masih dibawah veatnam, sementara hasil survey Word Competitiveness Year Book
tahun 2007, daya saing pendidikan indonesia berada pada urutan 53 dari negara
yang disurvey, dan data ini diperkuat dengan data yang diterbitkan oleh Time
Higher Education Supplement (THES). Peringkat Perguruan Tinggi (PT) terkemuka
di indonesia seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada
(UGM) berada pada peringkat ke-77 dari 77 Perguruan Tinggi dikawasan
Asia-Pasifik, meskipun kampus-kampus tersebut sudah membuka program
internasional dan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan
asing.
Dalam meningkatkan kualitas pendidikan indonesia, pemerintah justeru
menggunakan cara-cara yang pragmatis dengan menetapkan standar kelulusan
nasional melalui Ujian Nasional (UN). Dari data hasil ujian nasional, tiap
tahunnya menunjukkan hasil yang memprihatinkan, berdasarkan data yang ada
terdapat 267 sekolah dengan tingkat kelulusan nol persen, secara keseluruhan
terdapat 154.051 siswa yang dinyatakan tidak lulus mengikuti ujian nasional
tahun 2010.
Dalam menyikapi persoalan tersebut, pemerintah justeru
menyalahkan pihak sekolah dan para siswa yang dianggap tidak serius menghadapi
ujian nasional, benar adanya, ketika memajukan kualitas pendidikan harus diukur
secara kongkrit, akan tetapi yang menjadi persoalannya adalah faktor-faktor
pendukung untuk menopang kualitas pendidikan tersebut, seperti soal anggaran,
fasilitas, dan kaulifikasi tenaga pendidik dimasing-masing daerah, pada
kenyataannya berbeda-beda. Daerah yang anggaran pendidikannya rendah, fasilitas
yang minim dan sedikitnya tenaga pendidik yang belum memenuhi syarat-syarat kualifiaksi,
hal ini tentu tidak bisa disamakan dengan daerah yang alokasi anggarannya
relatif lebih tinggi, fasilitas yang jauh lebih bagus, dan jumlah tenaga
pendidik yang lebih banyak serta memenuhi syarat kualifikasi.
Meskipun ada beberapa sekolah yang memilki prestasi bagus
ditengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki, akan tetapi hal tersebut tidak
menjadi situasi yang umum terjadi, dengan demikian sudah seharusnya standar
kelulusan ditentukan oleh masing-masing sekolah atau masing-masing daerah. Selain
itu, kualitas pendidikan seharusnya tidak diukur secara formal melalui
nilai-nilai tersebut, melainkan kualitas pendidikan seharusnya diukur dari
seberapa besar peran pendidikan dalam menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh rakyat. Dengan demikian hakikat pendidikan dapat memajukan tenaga
produktif dan kebudayaan bangsa indonesia sehingga mampu membebaskan diri dari
berbagai persoalan yang dilahirkan oleh sistem setengah jajahan dan setengah
feodal.
Tingginya
Angka Penganguran adalah Cerminan Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal
Pendidikan yang mahal ternyata juga tidak sebanding dengan
ketersediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS, hingga
Februari 2010 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 107,41 juta orang dari 116
juta angkatan kerja di Indonesia. Maka jumlah pengangguran mencapai 8,59 juta
orang atau sekitar 7,41%. Dan berdasarkan identifikasi yang dilakukan BPS, yang
bekerja di sektor formal hanya sebanyak 33,74 juta orang atau 31,42%, sedangkan
bekerja pada sektor informal mencapai 73,67 juta orang atau 68,58%. Maka jumlah
pengangguran di Indonesia bisa saja lebih dari 8,59 juta orang karena yang
bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa kapan-kapan saja
kehilangan pekerjaannya.
Begitupun
dengan jumlah pengangguran terdidik yang masih sangat besar. Dari jumlah
penduduk yang bekerja, sebesar 55,31 juta orang atau 51,50% adalah yang
berpendidikan SD ke bawah, SMP 20,30 juta atau 18,9%, SMA 15,63 juta atau
14,5%, SMK 8,34 juta atau 7,8%, sedangkan Diploma I, I, III 2,89 juta atau
hanya 2,7%, dan Sarjana 4,94 juta atau hanya 4,6%. Berdasarkan data Bapenas 2012, diantra 237,6 juta
penduduk indonesia, 26,8% atau 64 juta jiwanya adalah remaja dengan usia 15-24
tahun.
Belum
lagi keadaan pekerja Indonesia semakin memprihatikan karena politik upah murah
yang diterapkan oleh berbagai perusahaan dan pemerintah, serta tidak adanya
jaminan kepastian kerja dengan diberlakukannya sistem outsourcing.Demikian
halnya dengan jaminan kesehatan, keamanan, dan keselamatan kerja (K3), serta
jaminan sosial lainnya.
Rendahnya Kulitas Pendidikan Tidak Terlepas dari Peran
Guru
Berbicara
tentang kualitas peandidikan tentu tidak terlepas dari peranan guru yang
merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan
pendidikan. Selogan tentang “pahlawan tanpa tanda jasa” dimana pemerintah
menagrtikannya secara harafiah, pengabdian guru sama sekali tidak dihargai,
kenyataan ini bisa kita lihat dari rendahnya pendapatan guru, khususnya guru
honorer, guru kontrak dan guru bantu.
Jika
mengacu pada Depdiknas tahun 2010, jumlah guru yang berstatus PNS (termasuk PNS
pada Depertement Agama dan PNS yang diperbantukan disekolah swasta) berjumlah
1.579.381 orang, Guru tetap yayasan: 225.667 orang, Guru honorer daerah: 68.157
orang, serta guru tidak tetap dan guru bantu: 734.106 orang. Nasib yang
memprihatinkan terjadi pada guru tidak tetap yang diperjakan tanpa ada jaminan
hukum atas pemenuhan hak-haknya, hanya sebatas surat keputusan (SK) kepala
sekolah. Itu artinya bahwa, mereka bisa diberhentikan berdasarkan keputusan
kepala sekolah kapan saja berdasarkan keinginan kepala sekolah. Sementara gaji
mereka juga sangat rendah, hanya sebesar Rp. 200.000/bulan, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak mencukupi. Selain itu mereka juga sering
mendapatkan tindakan diskrinatif seperti tidak pernah dilibatkan dalam
pengambilan keputusan di sekolah.
Persoalan
lainnya juga terkait dengan persoalan guru adalah perbandingan yang tidak
merata antara guru sekolah negeri dengan guru sekolah swasta. Berdasarkan data
Direktorat jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikant (Dirjen
PMPTK), hingga tahun 2009 jumlah guru indonesia mencapai 2.607.311 orang dengan
rincian; guru sekolah negeri mencapai 1.972.735 orang atau sebesar 75,66%,
sedangkan guru sekolah swasta hanya mencapai 634.576 orang atau 24,34%.
Begitupun dengan perbandingan perseberan guru dikota dengan guru didesa, dimana
guru yang bekerja diwilayah pedesaan masih sangat sedikit, bahkan dibeberapa
sekolah terpencil masih ada satu guru untuk masing-masing sekolah.
Jumlah Guru Berdasarkan
Status Kepegawaian
No.
|
Guru Berdasarkan Status
Kepegawaian
|
Jumlah
|
I.
|
Sekolah Negeri
|
|
|
Pegawai
Negeri Sipil (PNS )
|
1.433.474
|
|
Pegawai
Negeri Sipil Depag (PNSDPG)
|
8.602
|
|
Guru
Tidak Tetap (GTT)
|
464.083
|
|
Guru
Bantu (GB)
|
9.429
|
|
Guru
Honorer Daerah (GHD)
|
57.147
|
|
Total
Guru disekolah Negeri
|
1.972.735
|
|
|
|
II.
|
Sekolah Swasta
|
|
|
Guru
PNS yang diperbantukan
|
134.
757.
|
|
Pegawai
Negeri Sipil Depag (PNSDPG)
|
2.548
|
|
Guru
Tetap Yayasan (GTY)
|
225.667
|
|
Guru
Tidak Tetap (GTT)
|
252.485
|
|
Guru
Bantu (GB)
|
8.109
|
|
Guru
Honorer Daerah (GHD)
|
11.010
|
|
Total
Guru disekolah Swasta
|
634.576
|
Sumber: Litbang Majalah Komunitas/Ditjen PMPTK tahun 2009
Sitem SJ-SF Menjadi Akar
Persoalan Kehancuran Pendidikan Indonesia
Jika mengacu pada penjelasan diatas, telah menjelaskan kepada kita semua
akan peranan pemerintah yang tidak pernah memenuhi tanggung jawabnya atas
pendidikan bagi seluruh rakyat indonesia, justru dengan berbgai macam skema
pemerintah terus berupaya keras melanggengkan praktik liberalisasi pendidikan
yang tidak akan pernah mampu menjawab persoalan rakyat indonesia. Rakyat tidak
akan pernah berdaulat atas kemerdekaannya selama masih dipimpin ileh rezim
boneka.
Dibawah cengkraman dominasi imperialisme pendidikan indonesia akan terus
didorong jauh dari keadaan kongrit rakyat, pendidikan akan terus dikendalikan
lewat berbagai budaya yang menjunjung
tinggi nilai-nilai individualis.
Catatan:
Untuk analisis komprehensif
terkait Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi. menggunakan
analisis terbaru PP-FMN
Per April 2012.
Dapatkan di Blog PP-FMN http://pp.frontmahasiswanasional.blogspot.com.
Atau dapat berkunjung lansung ke Sekretariat Nasional di:
Jl. Tanjung Lengkong, Rt 02 Rw 09. No 19.
Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jati Negara. Jakarta Timur. Telp.
021-8518109.
Untuk Saran dan
Kritik, Silahkan kirim ke Email: pimpinanpusat_fmn@yahoo.com. CP: L. Muh. Hasan
Harry Sandy Ame 081999431816, Harry Kusuma 08561920968.
“Selamat
Membaca, Berdiskusi dan Selamat Kerja Massa!!”
o0o
Diterbitkan
Oleh:
PP-FMN
Front Mahasiswa Nasional
0 komentar:
Posting Komentar