QUO
VADIS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI
DALAM
MENYELENGGARAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
- Latar
Belakang Munculnya RUU Pendidikan Tinggi
Indonesia yang memiliki penduduk
sejumlah 237 juta lebih, ternyata berdasarkan survei BPS per Februari 2011 dari
117 juta lebih angkatan kerja hanya 3,3 juta jiwa (2,98%) lulusan diploma dan
5,5 juta jiwa (4,98%) lulusan sarjana. Padahal jumlah perguruan tinggi dan
sejenisnya di Indonesia lebih dari 3000an yang diantaranya terdapat dari 83 PTN
(dibawah kemendiknas dan kemenag) dan sisanya PTS. Sedangkan jumlah mahasiswa
yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi hanya 4,67 juta jiwa. Padahal
berdasarkan BPS Februari 2011 usia penduduk Indonesia yang seharusnya dapat
menempuh pendidikan tinggi berjumlah 54,42 juta jiwa (18-30 tahun). Dengan
kondisi tersebut tentunya menjadi persoalan tersendiri dalam dunia pendidikan
di Indonesia khususnya dalam ranah pendidikan tinggi.
Pemerintah menyelenggarakan
pendidikan secara nasional sesungguhnya sudah memiliki peraturan tersendiri
yakni UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. UU ini pun secara
tegas bahwa pemerintah harus mampu menciptakan suatu generasi penerus bangsa
yang memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pemerintah
juga harus menjamin adanya pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan
kualitas dari penyelenggaraan pendidikan secara komprehensif. Namun dengan
berkaca dengan fakta sosial yang dapat kita ketahui di masyarakat. Pendidikan
tinggi pada khususnya belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.
Memang pada awal reformasi
pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Gusdur menetapkan beberapa PTN yang
menjadi Badan Hukum Milik Negara. PTN-PTN tersebut diberikan kemandirian,
otonomi dan peran yang lebih besar dalam penyelenggaraan dan pengelolaan
dimasing-masing PTN. Ketika kebijakan tersebut lahir, banyak kalangan yang
memprotes secara keras penetapan sejumlah PTN sebagai BHMN. Hal ini
dilatarbelakangi bahwa keberadaan PP no 61 tahun 1999 merupakan skenario global
yang mendesak negara-negara anggota WTO untuk meliberalisasi 12 sektor jasa
yang salah satunya pendidikan tinggi seperti yang tertuang dalam General
Agreement on Trade in Services atau lebih dikenal dengan GATS.
Tujuan dari liberalisasi sektor jasa
khususnya pendidikan untuk mempermudah melakukan perdagangan ilmu pengetahuan
yang dihasilkan oleh institusi pendidikan seperti yang tertuang dalam Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights atau lebih dikenal dengan
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Ada pula tujuan dari liberalisasi
pendidikan untuk mendapatkan tenaga kerja yang siap saji agar dapat
dipergunakan oleh perusahaan yang melakukan kerjasama dengan suatu institusi
pendidikan. Namun konsekuensi dari penerapan liberalisasi sektor jasa khususnya
pendidikan tinggi membawa dampak pada minimnya tanggung jawab negara dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Minimnya tanggung jawab negara dalam
konteks ini janganlah diartikan bahwa negara tidak melakukan tindakan atau
mengambil kebijakan yang mendukung penerapan liberalisasi pendidikan. Maksud
dari meminimalisasi tanggung jawab negara dapat kita ketahui dengan kebijakan
neoliberal yang digadang-gadang oleh imperialisme dibawah pimpinan AS.
Kebijakan neoliberal secara garis besar seperti yang tercantum dalam Washington
Concensus yakni 1) disiplin fiskal, 2) pemotongan segala subsidi sebagai upaya
mengurangi defisit anggaran pemerintah, 3) Pembaharuan Pajak, 4) liberalisasi
keuangan, 5) nilai tukar yang kompetitif, 6) melenyapkan hambatan penerapan
perdagangan bebas, 7) terbuka terhadap investasi asing langsung, 8)
privatisasi, 9) deregulasi dan 10) hak paten[1].
Dari 10 terdapat tiga prinsip yakni
pemotongan subsidi, deregulasi, dan liberalisasi yang digunakan untuk
menciptakan suatu pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang otonom serta
mandiri. Sistem ini melahirkan praktek komersialisasi pendidikan dengan memberikan
kewenangan dan kekuasaan terhadap suatu institusi pendidikan dalam menetapkan
tarif layanan serta diberikan keleluasaan atas pencarian dana secara mandiri.
Disinilah makna peran negara yang meminimalisir tanggung jawabnya dalam
menciptakan kesejahteraan dan terjaminnya warga negaranya mendapatkan
hak-haknya. Sedangkan peran negara akan maksimal dalam ranah menjadi
kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan segenap kebijakan baik yang
berbentuk perundang-undangan maupun kerjasama-kerjasama.
Bentuk-bentuk penerapan dari tiga
prinsip tersebut, dimulai dari pemotongan subsidi di dalam dunia pendidikan.
Sejak era orde baru hingga amandemen ke IV
UUD 1945 yang mengamanatkan pemerintah harus mengalokasikan 20% APBN-D untuk
pendidikan[2].
Namun sejak tahun 2002 amanat tersebut belumlah dapat direalisasikan oleh
rezim-rezim penguasa negeri ini. Walaupun pada tahun 2009-2011 rezim
SBY-Boediono mengatakan bahwa anggaran untuk pendidikan sudah 20%. Akan tetapi
jika kita selidiki lebih lanjut, ternyata anggaran pendidikan sudah dicampur
oleh gaji dan tunjangan bagi tenaga pendidik serta tenaga kependidikan seperti
yang diamanatkan oleh putusan MK tahun 2007 yang mengatakan bahwa gaji dan
tunjangan termasuk dalam pos anggaran pendidikan.
Kebijakan menggabungkan gaji dan
tunjangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan tentu merupakan upaya untuk
memangkas subsidi pendidikan. Hal ini dikarenakan gaji dan tunjangan merupakan
pos anggaran tersendiri dalam suatu kemendiknas ataupun kemenag dan terlepas
dalam unit biaya dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal unit biaya yang
paling penting dalam penyelenggaraan pendidikan terdiri dari 1) unit
operasional personal yang berbentuk subsidi untuk menekan laju biaya SPP yang
dikenakan terhadap peserta didik dan juga dapat berbentuk beasiswa, 2) unit
operasional non personal yang berbentuk subsidi untuk menyediakan alat-alat
pendukung penyelenggaraan pendidikan seperti LCD, AC, alat tulis, kertas dan
sejenisnya, 3) unit fasilitas yang berbentuk subsdisi untuk menyediakan sarana
dan prasarana yang mendukung aktivitas belajar dan mengajar seperti
perpustakaan, laboratorium, gedung, audivisiual, sarana minat-bakat dan
lain-lain.
Dampak dari digabungkannya atau
ditambahkannya satu unit biaya non operasional personal berupa gaji dan
tunjangan menyebabkan perbaikan kualitas pendidikan, peningkatan akses
pendidikan dan penyediaan fasilitas terabaikan. Hal ini dapat kita ketahui
dengan semakin meningkatnya dan munculnya ragam biaya sekolah dan kuliah,
meningkatnya angka putus sekolah dan kuliah, akses pendidikan ke jenjang
pendidikan tinggi yang masih tergolong sangat rendah serta adanya perbedaan
yang cukup timpang dalam hal tersedianya fasilitas disuatu kampus dengan kampus
yang lainnya.
Bentuk penerapan liberalisasi
pendidikan dengan menetapkan UI, ITB, IPB dan UGM sebagai pilot project melalui
Peraturan Pemerintah telah mendorong suatu institusi perguruan tinggi
mendapatkan kewenangan dan kekuasaan yang lebih besar dalam penyelenggaraan dan
pengelolaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini melahirkan praktek
komersialisasi pendidikan. Fenomena ini tergambar dengan membentuk UU no 20
tahun 2003 tentang sisdiknas yang salah satu pasalnya menyerukan agar institusi
pendidikan harus menjadi badan hukum secara keseluruhan dari pendidikan dasar
maupun tinggi dan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta[3].
Selain itu, PP no 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan pun
mengikutsertakan peran dan partisipasi masyarakat secara maksimal sebagai
tanggung jawab bersama dalam menyelenggarakan pendidikan di Indonesia khususnya
pendidikan tinggi.
Namun sejak UU BHP tidak lagi
memiliki kekuatan hukum yang mengikat tentunya menjadi kerugian tersendiri bagi
institusi pendidikan seperti UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR dan USU. Kerugian yang
dimaksud institusi-institusi tersebut tidak lagi memiliki kewenangan secara
penuh dalam melakukan pengelolaan khususnya dalam bidang keuangan dan
kerjasama-kerjasama. Hal ini dikarenakan sebelum UU BHP dibatalkan seluruh
pendapatan baik yang diterima dari SPP, biaya seleksi masuk, hasil kontrak
kerjasama, hasil penjualan produk (paten dan badan usaha), sumbangan, hibah,
dan penerimaan dari masyarakat lainnya dapat dikelola secara mandiri oleh masing-masing
institusi pendidikan. Selain itu, dari segi otoritas dan kewenangan institusi
pendidikan tinggi tidak lagi memiliki kemandirian dan otonomi karena
disesuaikan dengan keputusan dan ketetapan yang diambil oleh kementerian
terkait.
Contohnya, ketika pada tahun 2000
UGM, UI, ITB dan IPB ditetapkan sebagai BHMN. Mereka menerapkan penerimaan
mahasiswa secara mandiri atau lebih dikenal dengan jalur mandiri, ujian
mandiri, SPMB Lokal dll. Selain itu, universitas yang membuka badan usaha dan
mendapatkan laba dari badan usaha tersebut. Uang pendaftaran penerimaan
mahasiswa dan laba dari badan usaha menjadi pendapatan universitas tanpa harus
disetor ke kas negara melalui kementerian keuangan dalam bentuk PNBP. Namun
dengan dihapusnya UU BHP, dicabutnya PP tentang PT BHMN di beberapa universitas
atau PTN membuat sistem pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan pendidikan
menjadi badan layanan umum seperti yang tertuang dalam PP 66 tahun 2010.
Sedangkan bentuk penerapan
deregulasi, dapat kita ketahui dengan banyaknya perangkat perundang-undangan
yang memberikan kewenangan yang cukup besar bagi suatu institusi pendidikan
dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. keberadaan perundang-undangan ini
ditujukan untuk memuluskan praktek liberalisasi pendidikan yang melahirkan
komersialisasi pendidikan. Hal ini ditandai dengan adanya PP no 60 dan 61 tahun
1999, UU no 9 tahun 2009, PP no 48 tahun 2008, PP no 17 tahun 2009 jo PP no 66
tahun 2009, UU no 20 tahun 2003, RUU pendidikan Tinggi dan RUU Pendidikan
Kedokteran.
Suatu praktek liberalisasi,
deregulasi dan pembatasan subsidi di sektor pendidikan di Indonesia mulai
kembali menancapkan cakarnya dengan adanya RUU pendidikan Tinggi[4].
Berikut analisa RUU Pendidikan Tinggi versi Kementerian Pendidikan Nasional :
- Analisa
Yuridis RUU PT Versi Kemendiknas
RUU
pendidikan tinggi sebelumnya sudah ditawarkan oleh DPR RI. Namun pada perkembangan selanjutnya
kemendiknas pada bulan Juni 2011 juga menawarkan RUU pendidikan tinggi. Dengan
demikian sudah ada RUU pendidikan tinggi yang lahir dari pihak eksekutif dan
legislatif. Untuk menyelidiki dan
menganalisa secara yuridis RUU PT yang ditawarkan oleh kemendiknas haruslah menggunakan
azas lex superior derogat inferior sama seperti analisis hukum yang ditujukan
pada RUU pendidikan tinggi versi DPR-RI.
Dalam
RUU pendidikan tinggi versi kemendiknas jika dibandingkan dengan RUU pendidikan
versi DPR-RI memang mengalami bentuk penyempurnaan dalam bentuk yang cukup
aplikatif dan lebih spesifik. Namun secara substansi ke dua RUU baik veri
kemendiknas maupun DPR-RI tidak jauh memiliki perbedaan yang cukup berarti satu
sama lain. Bentuk-bentuk penyempurnaan dalam RUU pendidikan tinggi yang
ditawarkan oleh kemendiknas yakni :
ร Tujuan
penyelenggaraan pendidikan tinggi,
ร Tugas dan fungsi
serta tanggung jawab menteri
ร Prinsip
penyelenggaraan pendidikan tinggi
ร Bentuk dan
organisasi pendidikan tinggi
ร Kriteria dan Syarat
Dosen
ร Hak dan Kewajiban
Mahasiswa
ร Tujuan Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat
ร Tanggung Jawab
Pendanaan
ร Pendirian, perubahan
dan penutupan Perguruan Tinggi
ร Pengolaan Perguruan
Tinggi
ร Tentang PTN Mandiri,
PTN Badan Hukum, PTN dan PTN Khusus
ร Pendanaan
dimasing-masing PTN baik mandiri, badan hukum dan khusus serta PTS
ร Pengawasan yang
didasarkan pada masing-masing bentuk PTN.
Dari
perubahan yang ditawarkan oleh kemendiknas, masih terdapat beberapa hal yang prinsipil
dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia yang mendekati pada
praktek liberalisasi di dunia pendidikan tinggi. Gejala tersebut dapat kita
ketahui pada bab tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi, pasal 5 ayat 3
huruf c yang berbunyi “…. dengan otonomi perguruan tinggi dalam pengelolaan
pendidikan tinggi” dan huruf d yang berbunyi “menghimpun dan
mendayagunakan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan
pendidikan tinggi”. Pasal tersebut menegaskan bahwa pemerintah melakukan redefinisi
dan rekonstruksi secara aplikatif tentang tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan yang seharusnya tersentral secara penuh ditangan pemerintah. Namun
tanggung jawab tersebut dibagi kepada masyarakat atau warga negara dengan
bentuk mengikutsertakan warga negaranya dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi.
Padahal
tanggung jawab pembiayaan ataupun pendanaan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4
yakni negara memprioritaskan memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen
dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Perlu diingat
oleh kita semua, sejak tahun 2009 hingga 2011 anggaran pendidikan masih
menggabungkan gaji dan tunjangan tenaga pendidik serta tenaga kependidikan.
Selain itu, anggaran tersebut masih dalam batas minimal yakni 20% dari APBN dan
tentunya masih dapat ditingkatkan prosentasenya agar dapat mewujudkan
pendidikan yang mampu memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai
nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.
Pasal 6 huruf a dan b (tentang kewenangan menteri dalam
mencabut ijin pendirian pergurun tinggi
dan program studi). Jumlah tenaga pendidik, tenaga kependidikan, ruang kelas,
gedung dan fasilitas lainnya serta akreditasi. Tentu bagi setiap PTS dan atau
PTN baik secara institusi secara keseluruhan dan program studi yang tidak
memenuhi standar pendidikan nasional sesuai dengan PP no 19 tahun 2005 tentang
Standar Pendidikan Nasional akan ditutup. Dengan melihat kondisi obyektif
dilapangan dan kewenangan menteri tentunya akan sangat berbenturan dalam
mengupayakan terselenggaranya pendidikan tinggi di Indonesia.
Hal ini dikarenakan PTN dan atau PTS
dipaksa untuk memenuhi standar pendidikan nasional baik secara institusi secara
umum dan program studi yang tersedia. Padahal dengan melihat peran pemerintah
yang terbilang cukup minim, jauhnya standar pendidikan nasional di suatu PTN
dan PTS baik secara keseluruhan dan program studi yang tersedia adalah
konsekuensi logis. Selain itu, upaya pemenuhan standar pendidikan nasional di
setiap PTN dan PTS seharusnya tanggung jawab pemerintah bukan PTN dan PTS. Hal
ini dapat kita lihat pada pasal 6 huruf b bahwa setiap program studi yang tidak
memenuhi syarat sebagaimana yang sudah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan akan ditutup. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud
salah satunya yakni PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.
Dengan demikian, dalam pasal ini
pemerintah mulai menerapkan bahwa pemenuhan standar pendidikan nasional
disetiap PTN dan PTS merupakan tanggung jawab PTN dan PTS yang bersangkutan.
Padahal PTN dan PTS merupakan salah satu bagian penting dalam sistem
penyelenggaraan pendidikan nasional khususnya dalam bidang pendidikan tinggi.
Dengan begitu, dalam RUU PT pasal 6 huruf a dan b ini sudah bertentangan dengan
semangat UUD 1945 alinea keempat dan pasal 31 ayat 3 adan 5.
Adapun
beberapa bentuk redefinisi dan rekonstruksi tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan tinggi yang mengikutsertakan warga negaranya dapat kita lihat pada
pasal 16 ayat 3 huruf b yang berbunyi ikut
menanggung biaya penyelenggara
pendidikan tinggi, kecuali bagi
mahasiswa yang dibebaskan
dari kewajiban tersebut, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Lalu, dilanjutkan pasal 32 ayat 1 yang
berbunyi pendanaan pendidikan tinggi
adalah penyediaan anggaran Pemerintah dan
anggaran pemerintah daerah
provinsi, kabupaten/kota,
serta upaya memobilisasi
bantuan dana masyarakat untuk
mencapai tujuan pendidikan tinggi. Sedangkan wujud dari praktek pengalihan
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan yang mengikutsertakan dalam warga
negara dapat kita lihat pada
pasal 35 ayat 1yang berbunyi bantuan dana masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
terdiri atas: a. Biaya pendidikan yang
dibayarkan oleh mahasiswa mampu kepada perguruan tinggi; b. Bantuan dana
masyarakat lainnya yang dapat berupa hibah, wakaf, zakat,
sumbangan perusahaan, dan/atau penerimaan lain yang sah.
Pasal
47 dan pasal 59, PTN berbadan hukum dan yang mandiri diberikan otonomi
untuk mengelola perguruan tingginya
secara mandiri, baik
dalam bidang akademik maupun
bidang nonakademik. Walaupun dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa PTN yang
berbadan hukum dan mandiri memiliki wewenang dalam bidang akademik berasal dari
Menteri Pendidikan dan Menteri Agama. Sedangkan wewenang dalam bidang non
akademik berasal dari Menteri Keuangan. Akan tetapi kita tidak boleh terjebak
dengan penggunaan diksi otonomi ataupun pendelegasian wewenang bagi PTN
berbadan hukum dan mandiri dalam bidang nonakademik.
Hal
ini dikarenakan setiap PTN berbadan hukum dan mandiri memiliki wewenang dalam
menetapkan tarif layanan dan standar biaya satuan (SPP, Praktikum, Sumbangan
Masuk dan bentuk-bentuk sumbangan lainnya) selama diketahui oleh menteri
keuangan. Selain itu, PTN berbadan hukum dan mandiri diperbolehkan melakukan
upaya-upaya sebagai wujud untuk mendapatkan dana tambahan dalam bentuk
pendirian badan usaha dan melakukan investasi jangka panjang berupa portofolio
serta melakukan pinjaman jangka pendek hingga menengah selam menteri keuangan
mendapatkan pelaporan atas pemasukan dan pengeluaran dari upaya-upaya yang
dilakukan oleh PTN yang berbadan hukum dan mandiri.
Namun
yang menjadi pertanyaan berdasarkan apa suatu PTN mandiri dan berbadan hukum
menetapkan tarif layanan dan standar biaya satuan? Apakah berdasarkan pada
kemampuan masyarakat Indonesia pada umumnya atau disesuaikan dengan kebutuhan
biaya operasional PTN mandiri dan berbadan hukum atau penetapan hal ini
merupakan wewenang yang dapat dilakukan tanpa melihat dual tersebut. Mengapa
hal ini dipertanyakan, hal ini dikarenakan dalam RUU Pendidikan Tinggi versi
kemendiknas inipun tidak dijelaskan landasan suatu PTN baik berbadan hukum dan
mandiri dalam menetapkan tarif layanan dan standar biaya satuan yang kelak akan
dipenuhi oleh setiap peserta didik atau dalam hal mahasiswa atau orang tua
mahasiswa.
Selain
itu, pertanyaan kedua pun muncul yakni, darimanakah modal pendirian suatu badan
usaha dan atau portofolio yang akan diselenggarakan oleh suatu PTN mandiri dan
berbadan hukum? Apakah dari sisa kelebihan dari biaya operasional yang
didapatkan dari subsidi dari negara dan sumbangan dari masyarakat? Atau dari
pinjaman jangka pendek hingga jangka panjang? Atau kedua-duanya. Walaupun pada
pasal 97 ayat 3 dan 101 ayat 3 yang menjelaskan bahwa PTN berbadan hukum dan
mandiri dalam mendirikan badan usaha atau portofolio akan diatur dalam PP. Maka
akan memberikan peluang ataupun mengarahkan suatu PTN menjadi subyek hukum yang
diperbolehkan untuk berbisnis demi meraih keuntungan walaupun keuntungan
tersebut akan dipergunakan untuk pengembangan PTN berbadan hukum maupun
mandiri. Dengan demikian suatu PTN berbadan hukum dan mandiri akan memiliki dua
peran yakni sebagai penyedia jasa pendidikan tinggi dan juga sebagai
“pengusaha”.
Tentu
dengan melihat kedua pasal tersebut akan menyimpang dalam semangat UUD 1945
bahwa negara ini ada untuk mencerdaskan bangsanya. Mengapa demikian? Hal ini
dikarenakan dalam RUU PT khususnya pada pasal 47 dan 59 akan menciptakan suatu
persepsi bahwa ketika negara tidak mampu dalam membiayai penyelenggaraan
pendidikan tinggi. Maka setiap warga negara yang ingin menikmati jenjang
pendidikan harusnya ikut menanggung pembiayaan dalam melancarkan
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Selain itu, akan melegitimasi suatu PTN
mandiri dan berbadan hukum menjadi “pengusaha” dari badan usaha dan atau
portofolio yang didirikan oleh masing-masing PTN mandiri dan berbadan hukum.
Tentu hal ini sangatlah aneh dan sangat bertentangab dengan semangat UUD 1945
pasal 31 ayat 3 yang hakikatnya pemerintah akan berusaha untuk menyelenggarakan
suatu pendidikan tinggi pada khususnya dengan tidak menjadikan suatu institusi
pendidikan seperti PTN mandiri dan berbadan hukum sebagai subyek hukum yang
diperbolehkan menjadi “pengusaha”.
Setalah
kita membicarakan tentang apa itu PTN mandiri dan berbadan hukum berdasarkan
pasal 47 dan 59. Kita akan beralih pada pasal 97 dan 101 yang akan membahas
tentang sumber pendanaan PTN berbadan hukum dan mandiri.
Dalam
pasal 97 dan 101 dijelaskan bahwa tanggung jawab pendanaan PTN berbadan hukum
yakni pemerintah, masyarakat dan PTN berbadan hukum dan mandiri yang
bersangkutan. Dengan mengikutsertakan masyarakat dan PTN berbadan hukum dan
mandiri sudah tentu mengindikasikan adanya pelepasan tanggung jawab dalam
pembiayaan dana pendidikan tinggi pada khususnya. Hal ini dapat kita lihat
dengan mengikutsertakan masyarakat dan PTN berbadan hukum dan mandiri. Hal yang
menarik ketika suatu PTN berbadan hukum dan mandiri memiliki tanggung jawab
dalam mencari sumber pendanaan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan
tinggi di institusinya masing-masing.
Kewajiban
dan tanggung jawab PTN berbadan hukum dan mandiri dalam mencari sumber
pendanaan merupakan konsekuensi logis ketika pemerintah pusat atau negara
sebagai subyek hukum tidak lagi mampu lagi membiayai biaya operasional suatu
PTN berbadan hukum dan mandiri. Namun yang jadi pertanyaan kenapa PTN berbadan
hukum dan mandiri harus mencari dana
secara mandiri untuk menutupi kekurangan pembiayaan dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi.Hal inilah yang mengindikasikan bahwa pendanaan dalam
penyelenggaran pendidikan tinggi bukanlah semata-mata tanggung jawab pemerintah
atau negara. Akan tetapi, PTN berbadan hukum dan mandiri. Pertanyaan
selanjutnya, darimanakah PTN mendapatkan sumber pendanaan untuk menutupi
kekurangan untuk pembiayaan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi?
Sudah
jelas dari masyarakat!! Salah satu sumber pendanaan yang akan dimaksimalkan
oleh suatu PTN berbadan hukum dan mandiri yakni dengan memberdayakan sumber
dana dari masyarakat. Ini juga ditegaskan dalam pasal 133 ayat 2 huruf c. Hal
ini tercermin dengan beragamnya jenis sumber pendanaan yang dapat
diselenggarakan demi memberdayakan kemampuan masyarakat dalam pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan tinggi. terakhir seperti pada penjelasan sebelumnya
sumber dana bagi PTN berbadan hukum dan mandiri juga bisa didapatkan dari
keuntungan badan usaha dan atau portofolio.
Dengan
mengikutsertakan masyarakat melalui kewenangan yang dimiliki oleh PTN berbadan
hukum dan mandiri merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab pemerintah atau
negara dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi negeri di Indonesia.
Tentu hal ini merupakan bentuk liberalisasi dalam dunia pendidikan tinggi
negeri di Indonesia. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa upaya
memberikan tanggung jawab kepada rakyat Indonesia bertentangan dengan semangat
UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan pasl 31 ayat 4. Hal ini
dikarenakan rakyat Indonesia harus membayar biaya yang cukup mahal untuk dapat
menutupi kekurangan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi negeri.
Setelah
kita memberikan tentang sumber pendanaan PTN berbadan hukum dan mandiri. Kita
akan beralih pada pasal 99 dan 103 yang diantaranya juga akan membahas tentang
kewajiban PTN mandiri dan berbadan hukum. Selain itu pada pasal 99 dan 103 juga
diatur tentang kewajiban mahasiswa yang melanjutkan pendidikannya di PTN
mandiri dan berbadan hukum.
Dalam
pasal 99 dan 103 menekankan pada perguruan tinggi negeri minimal menerima
20% dari total mahasiswa baru dan memberikan bantuan biaya pendidikan bagi
mahasiswa sebanyak 20% dari seluruh mahasiswa dengan kriteria tidak mampu
secara ekonomi namun memiliki keungulan secara akademik/berprestasi. Dengan demikan bagi orang yang
tidak mampu secara ekonomi dapat diprioritaskan akses namun harus memiliki
keunggulan dalam prestasi akademik. Padahal jika kita membagi 4 kelompok
peserta didik yakni Kaya tapi berprestasi, Kaya tapi
tidak berprestasi,
Miskin tapi berprestasi dan
Miskin tapi tidak
prestasi. Tentu untuk kelompok miskin tapi tidak berprestasi tentu tidak memiliki
harapan untuk dapat mengakses pendidikan tinggi. Dengan demikian hal ini
bertentangan dengan amanat UUD 1945 pasal 31
ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” yang
artinya dalam penyelenggaraan pendidikan baik jenjang dasar hingga tinggi tidak
boleh melakukan tindakan diskriminasi secara ras, agama, suku bahkan kelas
sosial yang ada di masyarakat serta pembedaan golongan sosial lainnya. Selain itu, pasal 5 huruf e dan
pasal 88 ayat 1&2 telah menegasikan hakikat pendidikan yang dengan demikian
telah melanggar pasal 28I ayat 2
yang berbunyi “setiap orang berhak bebas dari dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang diskriminatif itu”. Hal ini dikarenakan tujuan pendidikan tidaklah mengkotak-kotakkan lalu melakukan tindakan pendiskriminasian
yang dilegalkan seperti yang tercantum dalam RUU PT. Padahal hakekat pendidikan
yang sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain itu pada pasal 99 ayat 3 bahwa “mahasiswa bertanggung jawab dalam menanggung maksimal 1/3 dari
total biaya operasional Perguruan Tinggi”. Dengan demikian untuk menerapkan
prinsip otonomi, efektivitas dan efisiensi dalam mendapatkan sumber pendanaan
untuk membiayai biaya operasional sebesar 1/3 dari total kebutuhan suatu
perguruan tinggi yang berasal dari mahasiswa akan melahirkan bentuk
sumbangan-sumbangan pendidikan memiliki nilai nominal yang sangat besar agar
mencukupi kebutuhan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Kita dapat
mengetahui bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi dalam RUU Perguruan Tinggi
akan melahirkan bentuk komersialisasi pendidikan yang tentunya akan menghambat
peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi. Hal ini terlihat dari beban dari
masyakat (mahasiswa dan orang tua mahasiswa) untuk membayarkan sejumlah uang
(SPP) juga akan didorong (terpaksa) dengan
mengeluarkan bantuan dana untuk penyelenggaraan pendidikan dengan dalih
bantuan dana yang dianggap sah secara hukum.
Padahal jika
merunut pada UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 4. Dengan demikian, negara telah
melepaskan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional atau dalam hal
ini adalah perguruan tinggi dalam aspek pendanaan biaya operasional. Hal ini
dikarenakan dalam RUU PT pada pasal 99 ayat 3 sudah digariskan bahwa
mahasiswa bertanggung jawab sebesar 1/3 untuk mendanai biaya operasional.
Dengan demikian RUU PT melegitimasi pengalihan “secara paksa” dalam hal
tanggung jawab pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Padahal dalam
konteks pendanaan di setiap jenjang pendidikan termasuk perguruan tinggi
merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah selaku bada penyelenggara Negara.
Namun pada pasal 99 ayat 3 negara menetapkan
kewajiban warga negaranya
atau dalam hal ini mahasiswa sebesar 1/3 dari total biaya operasional
pendidikan tinggi. Tentu hal ini bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Setelah
membahas tentang PTN berbadan hukum dan mandiri, analisa RUU Pendidikan akan
dilanjutkan pada PTS. Dalam pasal 78 ayat 1 dan 2, PTS dalam RUU secara
akademik akan diberikan otonomi oleh Menteri. Sedangkan pada pasal 78 ayat 3
tentang pengelolaan bidang akademik pada PTS akan disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau dalam hal ini Undang-Undang no 16 tahun
2001 jo UU no 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Hal ini dikarenakan PTS di seluruh
Indonesia didirikan oleh yayasan. Sedangkan bagi yayasan yang mendirikan suatu
PTS haruslah belum tentu nirlaba. Walaupun sebagaimana dalam UU no 16 tahun
2011 jo UU no 28 tahun 2004 tentang yayasan juga mengatur tentang prinsip
nirlaba dalam yayasan. Akan tetapi, ada pula dan banyak pula suatu PTS yang
didirikan yayasan merupakan sumber pemasukan bagi yayasan pendiri PTS terkait.
Dengan demikian PTS yang didirikan oleh yayasan dapat dijadikan ladang bisnis
bagi yayasan untuk mengeruk keuntungan sebagaimana pada pasal 78 ayat 3.
Dengan
jumlah lebih dari 3000 PTS di Indonesia karena berbentuk atau dibawah suatu
yayasan haruslah membayar pajak. Hal ini dikarenakan yayasan merupakan badan
hukum yang mendirikan PTS dan PTS ini merupakan salah satu unit usaha atau
badan usaha yang dimiliki yayasan. Dengan demikian PTS sebagai badan usaha yang
tidak mendeklarasikan sebagai PTS yang nirlaba maka PTS tersebut akan dikenakan
pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan dan keuntungan yang diraih dari
penyelenggaraan pendidikan tinggi pun dikenakan pajak. Dengan demikian, dalam
RUU PT versi kemendiknas ini juga tidak mampu menjadikan setiap PTS di
Indonesia haruslah nirlaba.
Pada
pasal 110 ayat 1, ditegaskan bahwa tanggung jawab pendanaan PTS adalah badan
hukum nirlaba yang mendirikan dan masyarakat. Namun, pada pasal 110 ayat 2 PTS
bisa mendapatkan bantuan biaya investasi dan biaya operasional yang berdasarkan
atas program yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan instansi atau lembaga yang tidak mengikat.
Dengan demikian pemerintah baik pusat dan daerah hanya memberikan bantuan
sekedarnya kepada PTS dan bantuan tersebut pun tidak merata bagi seluruh PTS di
Indonesia.
Tentu
dengan minimnya bantuan dari pemerintah pusat dan daerah untuk mencukupi biaya
penyelenggaraan pendidikan tinggi. PTS akan mengalihkan sumber pendanaan kepada
kepada masyarakat dengan menentukan tarif pelayanan pendidikan dan beragamnya
jenis tarif. Dengan demikian sekali lagi, pemerintah pusat dan daerah
melepaskan sebagian tanggung jawabnya dalam pembiayaan untuk penyelenggaraan
pendidikan tinggi swasta. Dengan begitu, upaya pemerintah ini tentu sudah
bertentangan dengan semangat UUD 1945 alinea keempat yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa dan pasal 31 ayat 3 dan 4.
Selain itu, dalam RUU Perguruan Tinggi tidak diatur secara spesifik tentang penyediaan
sarana, prasarana ataupun infrastruktur yang mendukung penyelenggaraan perguruan tinggi. Padahal berdasarkan
pasal 31 ayat 3 dan 4 pemerintah berkewajiban menyediakan infrastruktur yang
dibutuhkan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi dengan dana pendidikan yang
sudah dianggarakan dalam APBN-D seperti gedung, laboratorium, perpustakaan dan
sebagainya.
Jika pada poin ini tidak diatur maka akan mengakibatkan bentuk pelarian
tanggung jawab dari negara dalam hal penyediaan sarana dan prasarana serta
infrastruktur yang mendukung penyelenggaraan perguruan tinggi. Tentunya
tanggung jawab dan kewajiban dalam hal penyediaan sarana dan prasarana serta
infrastruktur akan dialihkan kepada masyarakat atau dalam hal ini mahasiswa dan
orang tua mahasiswa dalam bentuk sumbangan pendidikan dan bantuan dana
pendidikan yang nominalnya cukup besar. Kasus ini sudah banyak terjadi di
berbagai PTN dengan memperbanyak varian bantuan dana pendidikan dengan dalih
pengembangan institusi, pengembangan fasilitas pendidikan dan lain-lain.
Akibat dari ragamnya sumbangan dan bantuan dana untuk perguruan tinggi
serta nominalnya yang berkisar jutaan hingga ratusan juta rupiah. Tentunya akan
menjadi tembok penghalang bagi masyarakat yang masuk dalam golongan ekonomi
tidak mampu. Dengan demikian secara langsung negara juga telah melanggar UUD
1945 pasal 31 ayat 1. Praktek ini juga telah melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 3
dan 4 dalam hal tanggung jawab dan peran negara dalam penyelenggaran
pendidikan.
- Analisa
Sosiologis RUU PT Versi Kemendiknas
Dalam poin
sosiologis ini, kita membahas kondisi rakyat Indonesia dengan beberapa variabel
yakni tingka kemiskinan, pekerjaan, biaya pendidikan tinggi dengan
mengkorelasikan kondisi penyelenggaraan perguruan tinggi jika berlandaskan pada
RUU PT.

Selanjutnya kita
menggunakan variabel pekerjaan yang dikeluarkan oleh BPS periode Agustus 2011.
Menurut BPS secara dominan rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan
nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan
pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang berwiraswasta
sebanyak 22,1 juta jiwa. Dengan jumlah petani dan nelayan sebesar 42,8 juta
jiwa atau 33,88% dari total angkatan kerja di Indonesia tentu merekalah yang
secara umum merasakan efek jika RUU PT ini diberlakukan atau disahkan. Hal ini
dikarenakan pendapatan mereka selama sebulan tidak lebih dari Rp 550.000 – Rp
750.000 perkapita perbulannya.
Dengan melihat kondisi masyarakat
Indonesia yang masuk dalam kategori miskin lebih dari 58 juta jiwa. Tentunya
untuk dapat masuk UGM dengan menggunakan jalur nasional ataupun mandiri cukup
sulit bagi 58 juta jiwa tersebut. Hal ini dikarenakan UGM memiliki Sumbangan
Peningkatan Mutu Pendidikan (SPMA) di
Fakultas Ilmu Keperawatan Rp 35 juta, Sumbangan Pendidikan Rp 500.000, Biaya
Operasional Pendidikan Rp 1,275 juta, biaya lain-lain Rp 350.000. Di Fakulta
Teknik Mesi total biayanya kurang lebih Rp 20 juta. Hal ini dikarenakan SPMA
memiliki empat level yang berbeda yakni SPMA tingkat 1 (Rp 5 juta – Rp 10 juta
untuk penghasilan orang tua Rp 1 juta – Rp 2,5 juta perbulan), SPMA tingkal 2
(Rp 8 juta-Rp20 juta untuk penghasilan orang tua Rp 2,5 juta – Rp 5 juta), SPMA
tingkat 3 (Rp 10 juta-Rp 20 juta untuk penghasilan orang tua Rp 5 juta – Rp 7,5
juta) dan SPMA tingkat 4 (Rp 10 juta – Rp 100 juta untuk penghasilan orang tua
diatas Rp 7,5 juta)[7].
Dari biaya
pendidikan yang harus dibayar oleh peserta didik yang nominal terbilang cukup
besar tentunya akan mempengaruhi akses masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang
perguruan tinggi. Dengan keberadaan RUU PT akan semakin melegalkan bentuk,
ragam dan besaran nominal biaya pendidikan yang cukup bahkan sangat memberatkan
bagi calon peserta didik atau orang tua mahasiswa yang ingin mengkuliahkan
anak-anaknya. Dengan demikian, akan semakin memunculkan pola pikir pada
masyarakat bahwa perguruan tinggi hanya untuk golongan masyarakat yang mampu.
Serta, melanggengkan paradigma yang ada dimasyarakat bahwa pendidikan khususnya
perguruan tinggi harus mahal dan masyarakat harus bertanggung jawab untuk
mendanai biaya operasional perguruan tinggi. Hal ini tentunya dengan jumlah
peserta didik di jenjang pendidikan tinggi yang saat ini hanya sebanyak 5.226.450
jiwa[8].
Malah akan memperbesar jurang akses pendidikan tinggi bagi masayarakat yang
tidak mampu secara ekonomi.
- Analisa
Politik RUU PT Versi Kemendiknas dan DPR-RI
RUU pendidikan tinggi merupakan
salah satu bentuk inisiatif kebijakan yang dilahirkan oleh legislatif (DPR-RI )
dan eksekutif (Kemendiknas). Namun jika melihat dalam kerangka politik yang
lebih luas yakni pengaruh dan dominasi politik internasional yakni pelaksanaan
GATS dalam bidang pendidikan. Penerapan GATS dalam kasus RUU Pendidikan Tinggi
mengambil bentuk dengan memberikan sebagian kewajiban negara kepada masyarakat
dalam hal pendanaan untuk terselenggaranya pendidikan tinggi di Indonesia.
Adapun praktek-praktek yang akan terjadi jika RUU PT diberlakukan atau sahkan,
yakni :
a) Liberalisasi
di Sektor Pendidikan
Liberalisasi
dalam istilah ilmiah merupakan proses meminimalisir peran negara dalam melaksanakan
tanggung jawabnya pada ranah sosial ekonomi kepada mekanisme diluar negara atau
pasar. Semangat liberalisasi merupakan semangat yang ditularkan dan dicekokan
oleh negara-negara imperialisme atau adidaya seperti AS, Inggris dan Jepang
kepada negara-negara berkembang di Asia dan Afrika termasuk Indonesia. semangat
liberalisasi pada sektor publik ketika Ronald Reagan dan Margareth Thatcher
mengumandangkan prinsip kebijakan baru yang disebut neoliberalisme dan prinsip
ini harus dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia. Kebijakan neoliberal
disini merupakan kebutuhan dari negeri Imperialis dalam memenuhi bahan baku
untuk industri mereka, mendapatkan sumber tenaga kerja yang murah dan pangsa
pasar yang lebih besar.
Salah satu
penerapan untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dan siap dijadikan operator
dan admintrator bagi kebutuhan industri Imperialis yakni dengan menjauhkan
peran atau campur tangan negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Liberalisasi
pendidikan di Indonesia pada sektor publik sudah dimulai ketika pemerintah
Soeharto yang menerapkan Structural
Adjusment Program dari IMF dan World Bank. Hal ini ditandai dengan
seperangkat regulasi yang meminimalisir peran negara dalam aspek pemotongan
subsidi di bidang pendidikan dan ikut sertanya swasta dalam penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia.
Pada era
rezim SBY dari tahun 2004 hingga sekarang, untuk menyukseskan program
liberalisasi pendidikan di Indonesia khususnya di pendidikan tinggi dapat kita
lihat dari lalu diikuti dengan PP no 48 tahun 2005 tentang sumber pendanaan
pendidikan yang mengikutsertakan masyarakat dalam pendanaan, lalu Perpers no 77
tahun 2007 tentang bidang yang dapat dilaksanakan investasi, dilanjutkan pada
pengesahan UU no 9 tahun 2009 tentang BHP (walaupun dibatalkan dalam putusan
MK) serta sekarang dilanjutkan dengan keberadaan RUU Pendidikan Tinggi. Dalam
RUU Pendidikan Tinggi yang disusun oleh legislatif dan eksekutif di era rezim
SBY saat ini sangat jelas sekali bahwa keberadaan RUU Pendidikan Tinggi ini
akan menjauhkan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi
di Indonesia. Hal ini ditandai dengan praktek pemotongan subsidi bagi
pendidikan tinggi, privatisasi pendidikan tinggi, komersialisasi pendidikan
tinggi dan tentunya melahirkan regulasi-regulasi baik dalam bentuk PP ataupun
Permen yang mendukung liberalisasi pendidikan tinggi.
Salah satu
contoh dari minimalnya peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi
yakni terjadi dalam aspek pendanaan. PTN yang merupakan unit institusi pendidikan
tinggi yang diselenggarakan oleh negara. Tentunya negara harus bertanggung
jawab atas segala kebutuhan PTN tersebut. Dengan berubahnya status PTN menjadi
Badan Hukum dan Mandiri. Kedua jenis PTN tersebut harus berupaya mencari dana
secara mandiri dengan menarik dana dari masyarakat baik dalam bentuk SPP maupun
sumbangan. Selain itu, kedua jenis PTN tersebut juga diperbolehkan mendirikan
badan usaha dan membuka portofolio, yang keuntungannya digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi. Jika mekanisme pencarian dana
untuk membiayai pendidikan tinggi di kedua jenis PTN ini melalui jalur
penarikan dana dari masyarakat dan pembukaan badan usaha atau pendirian
portofolio sudah dapat dimaksimalkan dan menutupi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan tinggi. Tentunya negara tidak lagi memiliki tanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia khususnya pada PTN. Dari
penjelasan tersebut kita sudah dapat melihat tentang mekanisme dan sistem
liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia yang akan diterapkan oleh rezim
SBY. Dengan demikian semakin terang bahwa rezim SBY akan mengarakan dan
menjadikan Indonesia sebagai negara tidak bertanggung jawab lagi dalam
penyelengaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
b) Pemotongan
Subsidi untuk Pendidikan Tinggi
Wujud
liberalisasi pendidikan di Indonesia yakni dengan melakukan pemotongan subsidi
untuk pendidikan tinggi. Hal ini sudah kita lihat dengan ketidak konsistenan
rezim SBY dalam menetapkan sebuah anggaran pendidikan yang pro kepada rakyat Indonesia.
Upaya pemotongan tersebut dilakukan ketika rezim SBY didukung dengan putusan MK
yang menggabungkan gaji dan tunjangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
dalam anggaran pendidikan. Dari tahun 2009 hingga 2011 negara menganggarkan
dana untuk pendidikan tinggi 3 tahun berturut-turut sebesar Rp 22,19 Triliyun,
Rp 29,76 Triliyun dan Rp 35,21 Trilyun. Namun, dana tersebut lebih 50% dari
anggaran untuk pendidikan tinggi habis untuk gaji dan tunjangan bagi tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan. Sedangkan untuk biaya operasional dan biaya
pembangunan fasilitas masing-masing hanya sebesar 26% dan 14% dari total anggaran untuk
pendidikan tinggi.
Namun, pada
RUU Pendidikan Tinggi yang akan dikeluarkan oleh rezim SBY akan memperburuk
keadaan. Hal ini dikarenakan dalam RUU Pendidikan Tinggi tersebut, peran negara
dalam hal memberikan subsidi pendidikan di pendidikan tinggi akan tergantikan.
Hal ini ditandai dengan mahasiswa atau peseta didik akan bertanggung jawab 1/3
dari total kebutuhan biaya operasional dalam bentuk SPP yang dibayar setiap
semesternya. Serta, masyarakat atau disini orang tua mahasiswa juga akan
dijadikan sasaran untuk mendapatkan dana bagi suatu perguruan tinggi negeri
dengan alasan biaya pembangunan dan pengembangan institusi ketika pertama kali
mendaftar berupa sumbangan-sumbangan yang nominalnya distrukturkan atau
dikelas-kelaskan sesuai dengan “kemampuan” orang tua mahasiswa. Selain itu, RUU
Pendidikan Tinggi ini juga akan memperbolehkan suatu perguruan tinggi negeri
yang berbentuk badan hukum dan mandiri untuk mendirikan badan usaha serta
membuka portofolio.
Hasil
keuntungan dari pembukaan badan usaha dan portofolio inilah yang akan digunakan
suatu perguruan tinggi ngeri yang berbentuk badan hukum dan mandiri untuk
membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi dimasing-masing institusi. Jika
dengan dua model pendanaan yakni dari masyarakat dan badan usaha atau
portofolio sudah mampu mencukup biaya satuan pendidikan (biaya operasional,
biaya sarana, biaya pegawai dan biaya pengelolaan) maka peran negara dalam
memberikan subsidi pada pendidikan tinggi akan semakin minim. Hal ini
dikarenakan arahan dari pembentukan PTN menjadi berbadan hukum dan mandiri
yakni melepaskan dari ketergantungan dari anggaran yang diberikan oleh
pemerintah.
Pemotongan
subsidi pendidikan tinggi juga dapat kita lihat ketika pemerintah hanya
memberikan bantuan sosial berupa beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi
dan kurang mampu secara ekonomi tapi berprestasi. Tentu hal ini sangatlah
mencerminkan upaya pemotongan subsidi. Seharusnya negara dibawah kepemimpinan
rezim SBY dalam memberikan subsidi bantuan sosial berupa beasiswa tidaklah
harus dikategorikan bagi penerima bantuan sosial tersebut. Namun, SBY yang
merupakan rezim yang tidak pro terhadap pada rakyat tapi lebih mengutamakan
mekanisme kebijakan neoliberal yang dicanangkan oleh Imperialis. SBY memilih
melakukan pemotongan subsidi pendidikan tinggi dengan cara mengkategorikan
penerima subsidi (bantuan sosial) dalam bentuk beasiswa.
c)
Privatisasi Pendidikan Tinggi
Privatisasi
memiliki makna pemilikan dan pengelolaan yang dilakukan oleh swasta terhadap
suatu institusi. Pada RUU Pendidikan Tinggi upaya privatisasi pendidikan tinggi
sangatlah kentara dengan memberikan kebebasan bentuk pengelolaan suatu PTS yang
didirikan oleh suatu badan hukum yang bersifat nirlaba. Apakah akan menjadi
suatu badan usaha yang menghasilkan keuntungan bagi badan hukum nirlaba
(pendiri PTS) atau menjadikan PTS dengan bentuk nirlaba sebagaimana pendirinya
PTS yang bersangkutan.
Hal ini
cukup terlihat ketika 2000 lebih dari 3000an PTS di Indonesia menurut
Kementerian Pendidikan Nasional belum mengubah bentuk pengelolaannya yang
bersifat nirlaba. Tentunya hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan
tinggi di Indonesia akan menjadi ladang bisnis yang menguntungkan bagi pendiri
PTS yang bersangkutan. Selain itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi juga dijelaskan
bahwa memperbolehkan pendirian suatu perguruan tinggi yang dilakukan oleh pihak
asing. Perguruan tinggi yang didirikan oleh pihak asing ini tentu akan menjadi
praktek privatisasi pendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan bagi negara-negara
imperialisme tempat asal perguruan tinggi
asing. Indonesia merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan untuk meraih
keuntungan dengan jumlah penduduk yang sangat besar.
Terakhir
bentuk upaya privatisasi pendidikan tinggi dalam RUU pendidikan ini juga dapat
dilakukan oleh PTN yang berbadan hukum. Hal ini dikarenakan dalam RUU
Pendidikan Tinggi bahwa salah satu syarat untuk mendirikan suatu PTS yakni
harus berbadan hukum nirlaba. Tentu dengan adanya PTN yang berbadan hukum, maka
PTN tersebut dapat mendirikan PTS dan PTS yang didirikan oleh PTN berbadan
hukum dapat memposisikan PTS yang didirikannya sebagai badan usaha yang
mendatangkan keuntungan bagi PTN pendiri yang bersangkutan.
d) Deregulasi
di Sektor Pendidikan Tinggi
Deregulasi dalam pengertian umum yakni penghapusan
aturan-aturan perundang-undangan yang menghalangi proses liberalisasi di suatu
negara dengan membentuk aturan-aturan atau perundang-undangan yang mendukung
liberalisasi. Salah satu bentuk deregulasi di sektor pendidikan tinggi yang
akan dilakukan oleh rezim SBY yakni dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi.
Keberadaan RUU Pendidikan Tinggi merupakan bentuk deregulasi atas keberadaan UU
sisdiknas no 20 tahun 2003. Hal ini dikarenakan RUU Pendidikan Tinggi mengatur
lebih spesifik tentang liberalisasi pendidikan tinggi walaupun dalam UU
Sisdiknas juga mengandung upaya liberalisasi pendidikan namun masih bersifat
umum.
Kedudukan RUU Pendidikan Tinggi juga secara tidak
langsung telah melikuidasi tujuan dari UUD 1945. Hal ini dikarenakan dalam RUU
Pendidikan Tinggi diatur tentang upaya meminimalisir peran negara dalam
menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh PTN
dan PTS. RUU Pendidikan Tinggi juga wujud dari upaya rezim SBY untuk memuluskan
penerapan GATS. Hal ini dikarenakan jika RUU Pendidikan Tinggi ini disahkan
oleh SBY. Maka SBY mendapatkan legitimasi secara hukum untuk melakukan
liberalisasi pendidikan tinggi, privatisasi pendidikan tinggi serta pemotongan
subsidi pendidikan. RUU Pendidikan Tinggi ini juga dijadikan oleh SBY sebagai
sandaran hukum untuk lebih menjadikan pendidikan tinggi di Indonesia sebagai
penghasil tenaga kerja murah bagi kepentingan industri Imperialis.
Hal ini ditandai dengan komentar umum yang dilakukan
oleh kementerian pendidikan nasional terkait RUU Pendidikan Tinggi. Komentar
umum yang diberikan oleh Kemendiknas atas instruksi oleh SBY pada tanggal 30
Juni 2011 menjelaskan bahwa pemerintah akan mengutamakan aspek pendidikan
vokasi pada setiap jenjang pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja
yang terampil. Pendidikan vokasi adalah jenis pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan dengan ketrampilan dan
keahlian terapan tertentu dapat setara
dengan strata sarjana atau lebih. dengan mengarahkan pada pengembangan
pendidikan vokasi disetiap jenjang pendidikan. Maka terjadi link and match antara kepentingan
Imperialisme untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dan program pemerintah
yang akan mengembangkan serta mengutamakan pembangunan pendidikan vokasi di
Indonesia.
e) Komersialisasi
Pendidikan
Komersialisasi secara diksi mengandung makna adanya
pertukaran atas kesepakatan (dalam hal diperdagangkan) untuk menikmati barang
atau jasa dengan sejumlah uang atau barang sebagai pengganti dari pemakaian
barang dan jasa. Dengan menggunakan diksi komersialisasi pada dunia pendidikan
di Indonesia tentunya merupakan yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan sekarang
untuk menikmati jasa pelayanan publik seperti pendidikan haruslah memberikan
balasan berupa uang atas pemakaian jasa yang bernama pendidikan.
Dalam RUU Pendidikan Tinggi sangat jelas dan kentara
sekali akan praktek komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya pengikutsertaan masyarakat dalam mendanai
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dalam bentuk sumbangan[9].
Selain sumbangan, juga ada SPP, Pratikum dan biaya-biaya lainnya yang
dibayarkan setiap semester yang memiliki tendensi kenaikan jumlah atau besaran
tiap tahunnnya atau tiap ajaran baru.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya praktek
komersialisasi pendidikan tinggi dalam RUU Pendidikan Tinggi kali ini yakni,
adanya pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab pendanaan untuk
penyelenggaraan pendidikan tinggi kepada masyarakat. Lalu, minimnya anggaran
untuk pendidikan tinggi dalam menutupi seluruh komponen biaya karena anggaran
yang disediakan hanya untuk membayar gaji dan tunjangan bagi tenaga pendidik
dan tenaga kependidikan. Sertanya adanya regulasi yang mengikutsertakan peran
aktif masyarakat dan kewenangan suatu PTN atau PTS dalam menarik dana dari
masyarakat. Ketiga hal inilah yang dilakukan secara gamblang pada era rezim SBY
pada pendidikan tinggi secara khusus.
Selain itu, bentuk komersialisasi pendidikan juga dapat
kita ketahui ketika suatu PTN dan PTS menarik dana dari mahasiswa jika akan
memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pihak kampus misalnya memakai
ruangan atau aula untuk kegiatan diskusi publik, acara kebudayaan harus menyewa
dan sebagainya. Alasan yang dikemukan oleh pihak kampus pada umumnya untuk menutupi
kekurangan biaya pemeliharaan fasilitas kampus. Padahal fasilitas dan peralatan
yang disediakan oleh kampus bukan hanya untuk kegiatan akademik formal
berdasarkan kurikulum semata. Tapi juga dapat digunakan oleh mahasiswa untuk
mengembangkan potensi akademik, minat dan bakat yang dimiliki oleh mahasiswa.
Dari hal-hal tersebutlah praktek komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia
dilaksanakan oleh pimpinan setiap perguruan tinggi dan sejenisnya.
f)
Cengkraman Ideologi dan Kebudayaan
Negara-Negara Imperialis
Seperti yang
kita ketahui bahwa dalam RUU Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi asing dapat
membuka cabang di Indonesia dan melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi di
Indonesia. Dengan adanya pembukaan perguruan tinggi dan kerjasam dengan perguruan
tinggi di Indonesia secara ideologis akan menciptakan tenaga kerja yang
memiliki ideologi dan kebudayan yang dimiliki oleh negara-negara Imperialis.
Hal ini dapat kita ketahui dengan kurikulum yang akan diajarkan oleh perguruan
tinggi asing kepada rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan teori-teori yang
diajarkan dan didapatkan dalam penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh
pendidikan tinggi akan mengubah pandangan para peserta didik yang cenderung
individualis dan pragmatis. Selain itu, teori-teori yang didapatkan oleh
peserta didik akan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
sesungguhnya sebagian besar teori-teori yang diajarkan oleh negara-negara
imperialis bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Tentunya hal
inilah yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai bentuk penjajahan
secara budaya dan pola pikir terhadap rakyat Indonesia. Namun, pemerintahan SBY
tidak menghiraukan dampak yang akan diakibatkan dari praktek infiltrasi yang
dilakukan oleh negara-negara Imperialis dalam bentuk Ideologi dan Kebudayaan.
Hal ini dikarenakan SBY akan menciptakan manusia Indonesia yang akan selalu
berporos pada kebudayaan negara-negara Imperialis dengan meninggalkan
nilai-nilai masyarakat Indonesia.
Selain itu,
dengan adanya pembukaan perguruan tinggi negara-negara asing di Indonesia juga
akan menciptakan tenaga-tenaga ahli yang akan membawa skema milik negara-negara
Imperialis dalam bidanga ekonomi, politik, sosial dan budaya. Tentunya hal ini
akan mengulang kembali adanya mafia-mafia “Berkeley” yang menciptakan kondisi
masyarakat Indonesia agar sejalan dengan kepentingan negara-negara Imperialis.
[1]
Kanbur, Ravi. 2004. “The Development of Development Thinking.” Journal of
Social and Economic Development, Vol 6. No. 2, July-December 2004, pp 147-158.
http://www.arts.cornell.edu/poverty/kanbur/ISECLecture.pdf.
[2]
UUD 1945 amandemen keempat pasal 31 ayat 4 berbunyi Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
[3]
Pada perkembangannya pada tanggal 9 Desember 2009 UU BHP no 9 tahun 2009 telah
ditetapkan. Akan tetapi pada tanggal 31 Maret 2010, berdasarkan putusan MK
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 telah menyatakan bahwa UU no 9 tahun 2009 tentang
badan hukum pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian pola
pengelolaan keuangan yang diterapkan pada PT BHMN seperti UI, UGM, ITB, IPB,
USU, UPI dan UNAIR menggunakan prinsip keuangan badan layanan umum yang diatur
dalam PP no 23 tahun 2005 berdasarkan PP no 66 tahun 2010.
[4]
Sebelumnya sudah ada RUU Pendidikan Tinggi dan pada bulan Juni 2011 kemendiknas
menawarkan RUU Pendidikan Tinggi.
[5]
Penduduk hampir misikin merupakan penduduk yang bisa jatuh dalam penduduk
miskin akibat tidak mampu memenuhi garis kemiskinan yakni pada periode Maret
2011 sebesar Rp 233.740
[6]
Lihat Kompas tanggal 6 Juli 2011
[7]
Lihat Kompas tanggal 11 Juli 2011
[8]
Lihat Kompas tanggal 11 Juli 2011
[9]
Sumbangan masuk mulai dilakukan ketika UI, ITB, IPB dan UGM menjadi PT BHMN.
Lalu diikuti oleh PTN-PTN lainnya sejak tahun 2003 hingga sekarang. Sumbangan
biasanya dikenakan kepada orang tua peserta didik ketika akan mendaftarkan
setelah diterima melalui ujian mandiri. Sumbangan ini pula dilakukan dengan
mengkelas-kelaskan seperti tingkat 1 harus membayar Rp 1 juta – Rp 5 juta,
tingkat 2 harus membayar Rp 5 juta hingga 10 juta dan seterusnya. Namun pada
perkembangannya bagi calon peserta didik yang diterima melalui ujian secara
nasional pun dikenakan sumbangan yang serupa atas dasar prinsip persamaan dan
subsidi silang.
0 komentar:
Posting Komentar