Pemuda Dan Mahasiswa
“Berjuang untuk hak atas pendidikan dan
lapangan pekerjaan”
World Trade Organization (WTO) adalah skema Liberalisasi bagi Imperialisem
dan menindas bagi Rakyat-Hapuskan Sekarang Juga!
Manifestasi dari watak dasar Imperialisme yang Ekspolitatif, Akumulatif dan Ekspansif, telah semakin nyata ditunjukkan dari berbagai skema yang dijalankannya
dalam memperluas dan mempekuat domonasinya diberbagai Negeri. Hal tersebut
terutama dalam upaya penyelematan diri dari gelombang krisis yang dihadapinya.
Seiring
perkembangan dunia dengan berbagai fluktuasi ekonomi, politik dan kebudayaan
ditengah masyarakat, dengan berbagai kemerosotan hingga krisis yang mematikan
seperti sekarang ini, imperialisme terus menjalankan berbagai skemanya untuk
memenuhi espektasi penghisapannya dengan terus memperluas dan memperkuat
dominasinya terhadap negara-negara jajahan, setengah jajahan dan setengah
feudal. Bahkan dengan picik, Imperialisme terus melakukan provokasi hingga aksi
brutal dengan agresi militer secara lansung terhadap Negara-negara yang tidak
sudi untuk didominasi atau direbut kedaulatannya. Seluruh kebijakan yang
diberlakukan diberbagai negeri tersebut, telah secara kejam menghisap rakyat
diseluruh sector, tidak terkecuali terhadap pemuda dan mahasiswa diseluruh
dunia, khususnya dalam mengakses pekerjaan dan pendidikan.
Secara khusus dalam aspek perdagangan, hal tersebut dapat dilihat dari
skema pembangunan organisasi perdagangan skala dunia oleh Imperialisme. Skema
tersebut mengatur system perdagangan dunia dan mengikat bagi setiap Negara
anggotanya, yakni Organisasi perdagangan dunia (World Trade
Organization-WTO) yang didirikan pada tahun 1994 sebagai pengganti dari
Organisasi perdagangan Internasional (International Trade Organization-ITO)
dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yakni Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan, sejak tahun 1948-1994.
![]() |
Design By: FMN Pontianak |
Dalam prakteknya, melalui GATT-WTO Imperialisme telah menjalankan skema
liberalisasi-nya tidak hanya dalam aspek perdagangan, namun juga menarik
sejumlah sector public kedalam sector jasa sehingga dapat diperdagangkan dan
memberikan keuntungan yang melimpah. Dibawah kesepakatan General
Agreement on Tariffs and Service (GATS-WTO), Imperialisme juga telah
meletakkan pendidikan sebagai salah satu sector jasa, berdampingan dengan
kesehatan dan teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya sangat
menjanjikan keuntungan yang melimpah.
Kontribusi
sector pendidikan dalam memasok keuntungan bagi Iperialisme dapat dilihat dari
praktek liberalisasi pendidikan sejak tahun 1980an, dimana liberalisasi
pendidikan telah memberikan kontribusi yang tinggi bagi pendapatan domestic
bruto (PDB) negara-negara imperialis. Tiga negara yang paling mendapatkan
keuntungan besar dari liberalisasi pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggeris
dan Australia. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14
milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris pendapatan dari ekspor jasa pendidikan
mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sector jasa negaranya. Sementara, ekspor
jasa pendidikan dan pelatihan Australia telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar
pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara imperialis
tersebut berjuang keras meliberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.
Selain memberikan keuntungan
secara ekonomi, perdagangan jasa pendidikan juga memberikan keuntungan secara
politik dan kebudayaan bagi imperialis. Dengan adanya liberalisasi pendidikan,
imperialisme bisa menyebarkan ide-ide dan kepentingannya, termasuk tentang
demokrasi “palsu”. Hal tersebut juga untuk mendapatkan legitimasi atas seluruh
skema penghisapannya didalam setiap negeri yang telah didominasi, kemudian
diikat melalui kerjasama multilateral maupun bilateral. Dengan
mentransformasikan idenya, imperialis juga berharap akan mampu mengubah cara
berpikir dan kebudayaan rakyat diseluruh negeri untuk disesuaikan dengan
kepentingannya melalui kurikulum pendidikan yang di set-up sedemikian rupa.
Imperialis
dan Masa Depan Pemuda di Dunia
Dalam
situasi dimana imperialisme kian tidak berdaya membendung gelombang krisis dan
resesi ekonomi yang terus memburuk sekarang ini, untuk menyelamatkan dirinya,
imperialisme telah memperhebat drajat penghisapan dan kekejamannya dalam
menindas rakyat diseluruh dunia. Rakyat terus dijerat dengan beban pajak yang
terus meningkat, dilain sisi pencabutan subsidi public kian intensif. Sementara
itu ditengah sempitnya akses rakyat atas lapangan pekerjaan dan penghisapan
buruh dan kaum pekerja dibawah politik upah murah, pendapatan rakyat terus
menurun.
Dalam
mengelabui rakyat, melalui perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dibawah program
Millennium Development’s Goals (MDG’s) sejak tahun 2000, setiap tahun
Imperialisme menurunkan standar pendapatan rakyat per-kapita sebagai standar
kemiskinan, sehingga dengan permainan angkanya bersama seluruh boneka
bentukannya akan menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
“seolah-olah” terus meningkat.
Secara
khusus disektor pendidikan, melalui GATS-WTO imperialisme telah menjalankan
kebijakan pencabutan subsidi pendidikan sebagai programnya secara
internasional, sehingga imperialis dapat meraup keuntungan yang semakin
berlipat dari bisnis pendidikan serta pengalihan alokasi anggaran subsidi
public dan pajak sebagai jaminan penyehatan perbankkan dan industri-industri
milik borjuasi yang selalu terancam kolaps dibawah hantaman krisis yang semakin
ganas. Akibatnya biaya pendidikan dari tahun ketahun semakin naik dan tidak
terjangkau oleh rakyat.
Implementasi
dari kesepakatan tersebut dapat dilihat dari kebijakan yang telah diberlakukan
oleh pemerintah diberbagai negeri. Di Amerika Serikat (AS), Presiden University
of California Berkeley AS mengeluarkan kebijakan menaikan biaya pendidikan
sebesar 8%. Akibatnya, biaya pendidikan bagi mahasiswa di California melambung
sebesar $ 822, dan biaya untuk sarjana sebesar $ 11,124 pada tahun akademik
2011-2012. Kenaikan ini sebagai bagian dari rencana peningkatan biaya $ 180
juta per tahun untuk sistem kampus-10 UC.
Di
London-Inggris, pemerintah telah menaikkan biaya pendidikan hingga tiga kali
lipat, akibatnya biaya kuliah naik menjadi 9.000 pound (14.300 USD), dan
memotong tunjangan pemeliharaan pendidikan dan anggaran pengajaran universitas
sampai 80%. Karenanya, setiap mahasiswa di London terbebani utang sebesar 60.000
pound untuk tingkat sarjana muda. Sementara di Prancis, pemerintah menaikkan
biaya kuliah hingga USD1.625 atau setara dengan Rp14,9 juta (Rp9,183 per USD)
selama lima tahun mendatang.
Sedangkan di
Indonesia, sejak ditetapkannya GATS-WTO pemerintah telah menjalankan
liberalisasi pendidikan, dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Secara
khusus di pendidikan tinggi, kebijakan privatisasi melalui Peraturan Pemerintah
tentang pendidikan tinggi berbadan hokum (PT-BHMN) telah menyebabkan
melambungnya biaya pendidikan tinggi secara drastic dan terus meningkat hingga
50% pertahun. Kebijakan tersebut kemudian telah diperkuat dengan UU Badan Hukum
Pendidikan (UUU BHP) tahun 2009 yang kemudian dicabut oleh Mahkamah konstitusi
pada tahun 2010.
Dicabutnya
UU BHP, tidak serta merta menghentikan laju privatisasi, komersialisasi dan
liberalisasi pendidikan di Indonesia, pemerintah bahkan terus mencari
formulasi-formulasi baru untuk tetap menjaga pendidikan selalu dalam koridor
privatisasi, komersialisasi dan liberalisasi sesuai dengan amanat dan espektasi
dari GATS-WTO. Faktanya tanggal 13 Juli 2012, pemerintah telah menge-Sahkan
Undang-undang pendidikan tinggi (UU PT) meskipun sejak awal telah mendapatkan
tentangan yang keras dari mahasiswa dan berbagai kalangan. Akibatnya, biaya
pendidikan tetap melambung tinggi, bahkan berbanding jauh dengan pendapatan
rakyat yang terus merosot.
Selain
persoalan biaya, sebagai satu paket kebijakan yang tidak terpisahkan sesuai
dengan harapan dan target-target yang ingin diraih imperialisme dibawah setiap
kesepakatan dalam WTO maupun perjanjian dan kerjasama lainnya, kurikulum adalah
bagian penting yang tidak terlepas dari Intervensinya, sehingga pendidikan
diberbagai negeri dapat disesuaikan dengan orientasi dan kepentingan Imperialisme.
Kurikulum yang tidak didasarkan pada keadaan objektif rakyat dan hanya
diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar, telah menciptakan pengangguran
yang terus meningkat seiring peningkatan angka kemiskinan, baik pengangguran
bagi lulusan sekolah atau kuliah maupun pengangguran umum.
Menurut International
Labor Organization (ILO), sejak krisis imperialisme yang memuncak pada
tahun 2009, penambahan pengangguran dunia mencapai 29 juta orang, dengan jumlah
total pengangguran dunia hingga tahun 2012 mencapai 225 juta orang (6,9%). Di
AS sendiri, sejak tahun 2008 pengangguran baru mencapai 8,3 juta orang. Italia
mencatat kenaikan tingkat pengangguran menjadi 9,2%. Begitu pula dengan
Spanyol, yang juga mencetak tingkat pengangguran tertinggi di zona euro, yaitu
23,3%.
Di Eropa
maupun Amerika Serikat kebijakan pemangkasan subsidi pun telah menimbulkan
perlawanan dari ratusan ribu pelajar dan mahasiswa. Begitu pula di
negara-negara lainya, baik di eropa maupun Asia, seperti Filipina, Malaysia,
India dan tidak terkecuali Indonesia. Sepanjang tahun 2012, aksi protes
mahaiswa menolak penaikan biaya pendidikan dan berbagai kebijakan liberalisasi
lainnya diberbagai universitas di Indonesia terus meningkat dan semakin massif.
Yang terbaru adalah pemogokan ribuan mahasiswa Universitas Jendral Soedirman
(UNSOED-Purwokerto, Jawa tengah) yang memprotes biaya yang mencapai Rp 200
juta.
Dengan
penghisapan dan berbagai kerusakan yang telah diciptakan Imperialisme dibalik
WTO dan berbagai skema lainnya selama ini, tentu sangat mendesak bagi rakyat
diseluruh dunia untuk mengkaji kembali keberadaan WTO, guna membongkar seluruh
skema penghisapannya terhadap rakyat. Jika WTO telah digunakan sebagai salah
satu ruang konsolidasi bagi Imperialisme untuk melakukan penguasaan pasar
secara brutal (tidak adil) dan untuk memperkuat Intervensinya diberbagai
negeri, maka ruang ini pula telah menjadi media yang objektif bagi rakyat untuk
menyatukan diri dan terus melakukan konsolidasi-konsolidasi, melawan setiap kebijakan liberal Imperialisme yang telah
menindas rakyat.
Hal serupa,
juga harus dipahami oleh pemuda dan mahasiswa sebagai persoalan bersama yang
mengancam “tak hanya” bagi pemuda dan pendidikan saja, atau persoalan sektoral semata
sehingga terjebak dalam jargon Heroik “The Student is Egent of Changes and Agent
of Control” yang sejatinya hanya akan menghantarkan pemuda dan
mahasiswa pada kesesatan cara
berfikir, bersikap dan bertindak.
0 komentar:
Posting Komentar