Brosure Penolakan BBM 2013
TOLAK KENAIKAN HARGA
BAHAN BAKAR MINYAK (BBM)!!
“Rebut Kedaulatan atas Minyak
dan sumberdaya Alam lainnya dari Penguasaan Perusahaan Monopoli Asing di
Indonesia untuk Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat”
Pendahuluan
Tak akan terlupakan didalam
hati dan benak rakyat, bahwa selama dua periode kepemimpinan rejim penghamba
Susilo Bambang Yudhono (SBY), Rakyat telah menuai penderitaan demi penderitaan
yang tiada putusnya akibat kebijakan dan tindakan fasis dari pemerintah dibawah
kekuasaan SBY. Menjelang akhir periode kepemimpinannya yang kedua kalinya,
Tahun 2013 ini sekaligus telah menjadi tahun puncak bagi SBY untuk menunjukkan
pelayanan dan loyalitasnya kepada tuan imperialis-nya (Kapitalisme monopoli) secara habis-habisan. Dengan demikian
SBY-pun terus melakukan penghisapan dan penindasan habis-habisan pula terhadap
rakyat. Tahun ini pula akan menjadi tahun yang paling menyakitkan bagi rakyat.
Sepanjang
dua periode pemerintahannya (SBY), telah diwarnai dengan berbagai persitiwa
yang telah meninggalkan luka demi luka yang menyakitkan bagi rakyat.
Terbongkarnya begitu banyak kasus korupsi yang tak sedikit melibatkan jajaran
pengurus dan anggota Patai Demokrat, terjadinya berbagai penggusuran tanah dan
rumah warga di perkotaan maupun didesa, terjadinya berbagai kekerasan dan
tindakan anti demokrasi yang menyebabkan terjadinya penahanan, pemukulan,
penembakan bahkan hingga hilangnya nyawa rakyat. Naiknya harga kebutuhan pokok,
meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan rakyat, serta dengan berbagai
kebijakannya yang anti rakyat, semua semakin kuat membuktikan bahwa pemerintah
SBY adalah musuh rakyat yang paling korup, paling kejam dan paling fasis.
Setelah terus-menerus
memaksakan politik upah murah terhadap kaum buruh Indonesia, meskipun diakhir
tahun 2012 lalu, kaum buruh dapat memenangkan tuntutannya atas upah hingga naik
mencapai 2,2 jt (Untuk Wilayah DKI) atau kenaikan upah rata-rata 12% secara
nasional, namun SBY pun tidak pernah berhenti menghujani rakyat dengan berbagai
kebijakan culasnya. Kenyataannya, sampai dengan pertengahan tahun ini,
pemerintahan SBY telah memukul rakyat dengan menaikkan tarif dasar listrik
(TDL) sebanyak dua kali, masing-masing 4,3 % pada bulan Januari dan April lalu.
Sejak awal tahun ini pula, SBY terus memukul rakyat dengan beban kenaikan harga
kebutuhan pokok yang kian mencekik secara beruntun setiap bulan, mulai dari
kenaikan harga daging, cabai, tomat, telur hingga harga bawang.
Tidak berhenti disitu,
ditengah beban hidup yang semakin berat dan menumpuk, kini pemerintah kembali
hendak menghantam rakyat dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada
bulan ini (Juni 2013). Rencana kenaikan harga BBM saat ini adalah realisasi
dari rencana kenaikan pada tahun lalu ditunda setelah mendapatkan tentangan
keras dari berbagai kalangan yang terus meningkat dan meluas dengan cepat.
Kenaikan harga BBM kali ini, sekaligus akan menjadi kenaikan yang keempat
kalinya selama pemerintahan rezim boneka anti rakyat “Susilo Bambang
Yudhoyono”, yakni pada: Maret 2005, Oktober 2005, dan Mei 2008.
Kenaikan
harga BBM di Indonesia, sejatinya tidak terlepas dari intervensi kapitalisme
monopoli (Imperialisme) yang terus memaksa rezim bonekanya untuk melakukan
penghapusan atas subsidi bagi rakyat. Kenaikan tersebut, telah menjadi akibat
lansung dari dominasi Imperialisme yang terus melakukan monopoli atas tanah,
bahan mentah dan sumberdaya alam di Indonesia, termasuk monopoli atas
sumberdaya energi dan mineral.
Demikian
pula halnya dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pangan merupakan akibat
lansung dari kenaikan harga BBM tersebut, sekaligus sebagai cermin atas
hancurnya sektor agraria sebagai fundasi ekonomi nasional; yakni masalah yang
tidak bisa dipisahkan dari perampasan dan monopoli tanah serta monopoli
produksi pangan di tangan industri imperialis dan borjuasi komprador. Seluruh
kebijakan anti rakyat dan anti nasional tersebut secara politik terletak di
tangan SBY dan kapitalis birokrat dibawahnya. Itulah mengapa kapitalisme
birokrat merupakan musuh rakyat yang harus dilawan karena menjadi gerbang
legitimasi politik dan hukum bagi imperialisme dan feodalisme secara syah
mencekik nasib rakyat Indonesia semiskin-miskinnya.
Dalih penaikan harga
BBM oleh Pemerintah hanya Alasan klasik yang usang
Tak heran, jika Imperialisme
AS beserta Imperialisme lainnya di kawasan Eropa, terus mempromosikan
Indonesia, sekaligus SBY sebagai contoh negara dan pemerintah yang berhasil
mempertahankan “pertumbuhan palsu” ekonomi ditengah badai krisis yang terus menghantam
jantung pertahanan Imperialisme dan dunia secara global, juga digadang-gadang
sebagai pemerintah yang berhasil menerapkan Demokrasi “palsu” ditengah populasi
dengan beragam suku-bangsa dan ras yang majemuk. Pujian usang dan promosi palsu
tersebut tiada lain karena memang terbukti bahwa selama berkuasa, budak
imperialis ini (SBY) telah menunjukkan konsistensinya sebagai pemerintah boneka
dalam melayani dan menyelamatkan perekonomian negeri imperialis dari badai
krisis yang mereka derita akibat kerakusannya sendiri. Namun sebaliknya,
dibalik jutaan puji tersebut, SBY bertindak sebagai musuh nomer 1 bagi rakyat
Indonesia melalui seluruh tindakan politiknya yang semakin menjauhkan rakyat
dan negeri dari kemandirian dan kedaulatannya.
Fakta tersebut, salah
satunya dapat dilihat dari rencana kebijakan penaikan harga BBM yang telah
dipastikan akan ditetapkan pada bulan ini (Juni 2013). Setelah mendapatkan
tentangan yang disertai dengan berbagai kecaman hingga akhirnya gagal menaikkan
harga BBM tahun lalu, kini pemerintah kembali memaksakan kehendaknya untuk
merealisasikan kebijakan tersebut dengan alasan yang sama. Namun, alasan-alasan
yang paling utama digunakan oleh pemerintah yakni: a). Untuk penyelematan anggaran (APBN) dari pembengkakan akibat kebutuhan
subsidi yang tinggi, b). Karena naiknya harga minyak dunia, c). Karena
subsidi yang tidak tepat sasaran dan
pengalihan subsidi untuk sektor lain yang lebih berguna.
a). Untuk penyelematan anggaran
(APBN) dari pembengkakan akibat kebutuhan subsidi yang tnggi: Dari pengalaman kenaikan
harga BBM sebelum-sebelumnya, seakan sudah menjadi kebiasaan dalam menjalankan
niat bulusnya, pemerintah selalu berusaha membodohi rakyat dengan permainan
angka-angka untuk menutupi fakta di balik rencana kenaikan harga BBM dan TDL.
Selama ini SBY dan aparatusnya beralasan soal tingginya subsidi yang harus
ditanggung oleh pemerintah untuk sektor energi, terutama BBM. Subsidi energi
untuk tahun 2013 sebesar Rp 274,7 triliun, dengan perincian subsidi BBM sebesar
Rp 193,8 triliun dengan volume 46 Juta kiloliter setara Rp 80,9 triliun.
Sedangkan kuota atau pemakaian BBM tahun 2013 diperkirakan akan mencapai 48-53
juta kiloliter.
Secara khusus, naiknya
jumlah subsidi yang dibutuhkan tahun ini, menurut pemerintah ialah karena meningkatnya
konsumsi BBM mencapai 10%, atau 50 jt kl dari realisasi tahun sebelumnya 45 juta kl. Sementara itu,
produksi minyak nasional hanya mencapai 850 ribu barrel perhari. Dari total
produksi tersebut, jatah untuk
pemerintah sebesar 540 ribu barrel[1].
Sedangkan total konsumsi minyak nasional mencapai 1,4 juta barrel perhari.
Artinya, defisit cadangan minyak nasional sebesar 860 ribu barrel perhari.
Dengan demikian, maka volume import-pun harus dinaikkan minimal 10% (990 ribu
barel) dari tahun sebelumnya (900 ribu
barel) perhari.
Naiknya konsumsi minyak menurut pemerintah disebabkann karena meningkatnya
pembelian kendaraan bermotor yang mencapai 1,2 juta unit, sehingga kebutuhan
bakar-pun meningkat hingga 3 juta kl. Penjualan
sepeda motor tahun ini akan mencapai 7,1 juta unit, bertambah 1 juta unit
dari tahun sebelumnya (Th. 2012, 7,06
juta unit). Sedangkan
penjualan mobil tahun lalu naik 24,83 persen. Produksi mobil tahun ini mencapai 1,29 juta unit, kemudian Akan diekspor 90.000 unit. Jadi di dalam negeri
akan ada 1,2 juta unit, bertambah dari perkiraan awal 1,1 juta unit. Karena itu, pemerintah (Melalui Menteri
ESDM, Jero Wacik) memastikan bahwa kuota BBM bersubsidi 46,01 juta kiloliter
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 tidak akan mencukupi.
Tabel I:
Penjualan Mobil dan Motor (2008-2011)
![]() |
Sumber: Kompas, 12 Maret 2012 |
b). Karena
naiknya harga minyak dunia. Karena rencana penaikan harga BBM tahun 2013 ini adalah sebagai realisasi
penaikan yang gagal pada tahun 2013, maka pemerintah juga masih menggunakan
alasan sebelumnya terkait dengan naiknya harga minyak dunia tahun 2012 yang
mencapai US$. 120-122/barrel. Namun harga minyak dunia tahun ini justeru
mengalami penurunan. Artinya bahwa, Jika hari ini, pemerintah masih menggunakan
alasan tersebut, tentunya sudah sangat tidak relevan dengan kenyataan sekarang,
dimana harga minyak dunia turun menjadi US$. 90-100 perbarel. Kendati demikian,
pemerintah tetap menghitung ICP (Indonesian Crued Price) sebesar US$. 100-115
per barrel.
c). Karena subsidi yang tidak tepat sasaran dan pengalihan subsidi untuk sektor
lain yang lebih berguna. Pemerintah terus mengungkapkan seolah menjadi “keresahan-nya” bahwa subsidi
BBM yang dialokasikan dalam pembelian setiap liter minyak tidak dapat dinikmati
secara lansung oleh Rakyat. Pemerintah SBY juga senantiasa menyebutkan
bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran, sebab masyarakat kurang mampu bukan
konsumen premium maupun solar yang terbesar, sementara itu, 77% konsumsi BBM bersubsidi digunakan oleh
kelas menengah ke atas atau yang memiliki mobil pribadi. Sehingga asumsi yang
dibangun pemerintah atas kenaikan BBM agar subsidi BBM lebih tepat sasaran. Pemerintah kemudian
menegaskan bahwa, masyarakat yang kurang mampu akan
menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Sedangkan subsidi BBM
harus diterima oleh masyarakat melalui kompensasi dengan pengalihan subsidi
kedalam bentuk lain yang “lebih berguna” dan dapat dinikmati secara
lansung.
Dengan dasar pikir demikian, Pemerintah secara terang telah membodohi
rakyat dengan menegasikan kesaling hubungan antara sektor yang satu dengan
lainnya. Secara khusus, kaitannya dengan sektor transportasi, Pemerintah
menutupi kenyataan bahwa dalam menjalankan produksinya, rakyat tidak akan
pernah terlepas dari transportasi, khususnya dalam proses distribusi bahan
mentah maupun barang jadi. Artinya bahwa dengan tingginya biaya transportasi
akibat kenaikan harga BBM tentu saja akan mengakibatkan naiknya biaya/ongkos
produksi.
Sama pula halnya dengan produksi pabrikasi yang menjadi salah satu konsumen
bahan bakar dan energi terbesar kedua setelah transportasi. Pemerintah
menegasikan bahwa hampir sebagaian besar barang komoditas kebutuhan rakyat
diproduksi melalui proses pabrikasi. Dengan demikian, beban produksi yang
meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar pastinya akan menyebabkan naiknya
harga-harga kebutuhan pokok dan komoditas lainnya yang akan semakin mencekik
rakyat. Kenyataannya bahkan dari kenaikan-kenaikan harga selama ini “Cenderung”
melebihi angka kenaikan BBM.
Pembengkakan Subsidi sebagai alasan penaikan BBM hanyalah
permainan Angka semata bagi Pemerintahan SBY
Kebijakan pemerintah untuk
menghapuskan subsidi BBM, tidak lebih hanya akal bulus SBY dalam mengutak-atik
politik anggarannya agar sesuai dengan kepentingan klik-nya yang sedang
berkuasa dan skema yang dikehendaki oleh imperialis. Seluruh dasar pikir dan
kebijakan yang diterapkan dalam mengawal kenaikan BBM ini, tak terbantahkan
pada akhirnya adalah meningkatnya penderitaan rakyat; semakin meluasnya
kemiskinan dan pengangguran. Alasan pembengkakan anggaran yang terus dijadikan
sebagai alasan utama untuk menaikkan harga BBM tersebut tidak ubahnya sebagai
permainan angka semata bagi pemerintahan SBY untuk terus mengelabui rakyat.
Alasan pemerintah atas membengkakny subsidi tersebut, secara lansung dapat
dibantah dengan kenyataan bahwa:
1). Pemerintah menyatakan
bahwa total minyak (untuk menutupi
kekurangan) yang harus di import sebesar 990 ribu barrel perhari. Artinya,
dalam perbandingan, kebutuhan konsumsi dan jumlah produksi tersebut (jika dihitung hanya berdasarkan jatah
Pemerintah: 540 ribu barrel/hari), didalamnya terdapat selisih 130 ribu barrel (20,7 kl) perhari,
setara dengan Rp. 124, 02 M. Atau sama dengan 46,8 jt barrel pertahun, setara
dengan Rp. 1,49 T. Pertahun. Jadi sebenarnya, kekurangan cadangan minyak
nasional yang harus dipenuhi melalui Import bukanlah sebesar 990 ribu barrel,
melainkan 860 ribu barrel. Artinya, terdepat selisih angka yang “digelapkan”
oleh pemerintah sebesar 130 ribu barrel/hari. Dengan demikian, keuntungan yang
diraup oleh pemerintah dari “penggelapan” 130 ribu barrel perhari mencapai
US$.13 Jt/hari , samadengan Rp. 124,8 Milliar/hari atau Rp. 1, 498
Trilliun/tahun.
2). Jika seluruh hasil produksi minyak nasional diorientasikan untuk
kebutuhan domestik/nasional, maka sebenarnya Indonesia hanya kekurangan 550
ribu barrel perhari dengan nilai US$. 55 jt. Namun karena pemerintah lebih
mengutamakan eksport, akibatnya jumlah Import yang harus ditanggung negara
melebihi jumlah produksi minyak didalam negeri. Belum lagi jika dihitung bahwa
minyak yang dieksport adalah minyak mentah, sementara kita harus melakukan
import sebagian besar adalah minyak jadi, termasuk 540 ribu barrel jatah
pemerintah dari setiap produksi tersebut, harus dieksport kembali untuk diolah
menjadi minyak jadi. Dengan demikian maka beban biaya yang ditanggung oleh
Negara menjadi berlipat-lipat.
Untuk
memenuhi kekurangan cadangan minyak tersebut, Christian Damayanto (Direktur Pengolahan PT. Pertamina)
mengatakan bahwa, total Import pertamina saat ini sebesar 200.000 barrel
perhari dengan harga yang dipatok oleh pemerintah berdasarkan Indonesian crued price (ICP) sebesar US$
100, dengan total anggaran yang disediakan sebesar 46,1 jt kl. dengan Nilai
Rp.69,150.000.000.000. Kenyataannya, jika dihitung berdsarkan ICP yang
ditetapkan Pemerintah, US$.100, maka Angka riil untuk membiayai Import sebesar
200.000 barrel perhari menjadi sebesar Rp. 69.120.000.000.000. Dari perhitungan
tersebut terdapat selisih angka (Kelebihan Anggaran) mencapai Rp. 30 T. Jadi,
jika pemerintah menyatakan bahwa APBN yang dialokasikan untuk 46,1 kl minyak
tersebut masih kurang, tentulah alasan tersebut adalah alasan yang mengada-ada
dan bohong belaka, kelebihan hingga Rp. 30 T. Tersebut bahkakn belum termasuk
APBN-P yang diusulkan mencapai 50-53 juta kl.
Alokasi Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2013 untuk subsidi
BBM sebesar 46, 01 Jt kl. tersebut ditetapkan berdasarkan data realisasi
konsumsi BBM selama tiga tahun terakhir, yakni: 2012 mencapa 75, 07 jt kl dan
konsumsi untuk BBM bersubsidi sebesar 3,02 juta kl, Tahun 2011 sebesar 3,5 juta kl dan, tahun 2010 sebesar 38,26 juta kl. Lebih dari itu, Pemerintah bahkan mengusulkan kuota bahan bakar minyak
bersubsidi dalam RAPBN 2014 berkisar antara 51,04 juta hingga 52,41 juta
kiloliter.
Monopoli minyak
dalam negeri oleh perusahaan asing milik imperialis adalah sebab utama kenaikan
harga BBM[2]
Masalah utama yakni dominasi
dan kontrol imperialis atas produksi dan pasar secara monopoli sehingga rakyat
tak dapat berdaulat atas miliknya. Indonesia hanya akan diberi jatah
sumur-sumur tua yang terus mengalami penurunan produksi, atau pun mesin-mesin
pertambangan yang secara teknologi sangat terbelakang. Inilah yang dijadikan
alasan oleh SBY, yakni produksi yang makin turun sehingga membutuhkan impor
minyak mentah dan jadi dalam skala besar bagi kebutuhan dalam negeri. Kontrol
terhadap Indonesia tidak hanya berbentuk produksi minyak namun juga skema
perdagangan minyak sesuai dengan kepentingan pasar imperialis. Oleh karena itu,
patokan harga minyak selalu mengikuti perkembangan dan ketentuan yang
dikeluarkan oleh instrumen pasar milik imperialisme seperti New York
Merchantile Exchange (Nymex)
Selama ini pemerintah
Indonesia melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk menutup
kekurangan konsumsi minyak harian Indonesia yang pada tahun 2012 mencapai 1,3
juta barel per hari dan 2013 mencapai 1,4 juta barrel per hari, Sedangkan
produksi minyak dalam negeri selama ini hanya sekitar 910.000 – 920.000 barel
per hari pada tahun 2012 dan, pada tahun 2013 turun menjadi 850 barrel per
hari. Hal tersebut menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp
1.500 untuk premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia dan
membengkaknya anggaran engara untuk subsidi BBM. Monopoli atas produksi hingga
distribusi minyak telah menyebabkan harga minyak naik, dan bukan sekedar akibat
turunnya volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional.
Monopoli telah menyebabkan
produksi dan penentuan harga sepenuhnya dikendalikan oleh kartel–kartel besar
milik imperialis, bahkan negara penghasil atau produsen minyak pun tidak akan
sanggup mengubah kebijakan harga di luar ketentuan dari kartel milik imperialis
tersebut. Minyak sebagai komoditas penting terutama untuk industri dan
transportasi telah sejak lama berada di bawah kendali kapitalisme monopoli.
Kebutuhan super besar untuk menggerakan industri dan transportasi milik
imperialis sesungguhnya dibarengi dengan pengendalian sepenuhnya atas industri
minyak di seluruh dunia.
Dimulai dari proses produksi
dan penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang oleh
perusahaan–perusahaan minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu ada
istilah 7 sisters (Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Anglo
Persian Oil Company (sekarang BP), Standard Oil of New York (Exxon Mobile),
Standard Oil of California (Chevron), Gulf Oil dan Texaco) yang menguasai lebih
dari sepertiga produksi dan cadangan minyak dunia yang seiring dengan krisis
yang berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka seven sisters terus
berkurang dan hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco
Phillips.
Meskipun banyak pihak yang
menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new seven sisters”
yang terdiri dari Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China),
NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia)
meruntuhkan dominasi imperialis AS atas monopoli minyak di dunia. Kenyataannya
tidaklah demikian, apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari proses produksi
semata, monopoli telah dilakukan imperialis dari hulu hingga hilir.
Exxon Mobil saja memiliki
cabang hampir di seluruh dunia, dengan pegawai mencapai lebih dari 120.000 dan
enam divisi besar yang masuk dalam tiga kategori Upstream, Downstream dan Chemical
yang bergerak dari hulu hingga hilir. Penghasilan Exxon di tahun 2005 saja
sebesar US$ 36,13 miliar, sedikit lebih kecil dari PDB Azerbaijan, sedangkan
pendapatannya lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010, Exxon
Mobil meraup keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat dari total
revenue sebesar US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan minyak
imperialis seperti Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah
menggurita.
Sesungguhnya instrumen
kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak hanya
sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS
menggunakan pasar sebagai Instrumen pengendali industri minyak dunia, melalui
pasar minyak terbesar NYMEX (New York
Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS)
serta DME di Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan”
harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di
AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai
firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih
dari 75% spekulasi dan harga minyak dunia.
Lembaga keuangan seperti
Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang
selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam
kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu
sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super
besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya
dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC.
Selama ini pertukaran minyak
internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan di ICE Future
terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan (Benchmark) atas harga
kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua pasar minyak tersebut
dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak khususnya untuk jenis
crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent), selain itu
DME juga memiliki peranan yang sama sebagai kepanjangan tangan dari NYMEX.
Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi pasar di Eropa dan Asia, sedangkan
WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis minyak ini terutama jenis Brent,
untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini dilakukan di pantai timur AS.
Sudah menjadi pemahaman umum
bahwa ICE selama ini merupakan partner sejati bagi penguasa–penguasa perdagangan
minyak seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang
berjangka minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga
Citigroup. Bahkan tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus
tercatat dan teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan
diserahkan pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga
minyak di pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan
kriminal atau mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over
the counter) atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan
pemalsuan transaksi seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis
untuk memonopoli minyak di pasar dunia.
Sehingga dari sinilah
terlihat bahwa masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh
berbagai sebab yang selama ini dipropagandakan oleh imperialis maupun
pemerintah bonekanya. Masalah tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya
spekulasi yang kemudian digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan
keuntungan yang berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan
ekonomi AS sebagai konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas
naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.
Sesungguhnya monopoli
imperialisme atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan rejim
komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak
dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme
pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk
Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).
Seperti pada umumnya
pemerintah boneka di berbagai negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan
untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber
bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah
borjuasi besar komprador yang dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang
seolah olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari
makelar atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.
Sejarah dominasi perusahaan
minyak milik kapitalis asing di Indonesia atas ladang-ladang min-yak
sesungguhnya telah berjalan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia[3]. Keberadaan Perusahaan minyak AS sendiri
yang memegang kendali dan kontrol atas produksi dan pasar minyak dunia sekarang
ini, telah ada sejak tahun 1914, yaitu Standard Oil New Jersey (SOIJ) yang
menemukan cadangan minyak di Talang Akar, Sumatera Selatan. Melalui anak
perusahaanya di Hindia Belanda yakni Nederlandsche Koloniale Petroleum
Maatschappij (NKPM) mulai memasang pipa transmisi di Talang Akar yang
berhubung dengan kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926, di seberang kilang
Plaju milik Shell. Saat itu, sumber di Talang Akar merupakan lapangan ekplorasi
terbesar di Hindia Belanda. Pada tahun 1947, kedua perusahaan tersebut (SOIJ
dan NKPM) kemudian meleburkan diri menjadisatu dan berganti nama menjadi
STANVAC. Perusahaan ini memiliki perusahaan pemasaran yang bernama Mobil Oil
yang kelak bergabung dengan Exxon Cooperation dan mendirikan ExxonMobil.
Sejak tekanan AS
terhadap Belanda atas undang-undang diskriminatif, yakni IMW, perusahaan minyak
AS masuk ke Indonesia semakin banyak dan terus mendominasi produksi minyak.
Perusahaan itu seperti Gulf Oil yang masuk ke Sumatera Utara dan Standard Oil
California yang melakukan eksplorasi minyak di Kalimantan dan Papua (1922) yang kemudian merger
dengan The Texas Company (TEXACO) menjadi California Texas Oil (Caltex). Akan
tetapi, Caltex ini baru membangun sumur pertama yakni Rokan Block di
Sebanga (Riau) kemudian di Duri. Caltex ini pada perkembangannya menjadi
Chevron pada tahun 2001.
Klas–klas yang diuntungkan
di balik kenaikan harga BBM, yaitu:
1. Kapitalis Birokrat,
seperti SBY dan anggota kabinetnya serta pejabat tinggi negara lainnya yang
telah memimpin berbagai kebijakan yang anti-rakyat, seperti pencabutan subsidi
publik dan memberikan keuntungan yang begitu besar bagi imperialis untuk
beroperasi di Indonesia. Memberikan perlindungan pada perusahaan imperialis
melalui serangkaian instrumen, mulai dari UU jaminan investasi (UUPM) untuk
menjamin kontrak karya dan operasinya di Indonesia, Privatisasi sumber daya
alam Indonesia, jaminan keamanan dan kemudahan investasi (berwujud keringanan
pajak, bea impor & ekspor murah dll). Kemudian tetap mempertahankan
kebijakan Import BBM yang jelas telah merugikan keuangan negara sebagai konsekwensi
dari penurunan produksi minyak dalam negeri akibat monopoli perusahaan asing.
2. Borjuasi Besar Komprador (Pedagang Besar Kompardor),
yang terdiri dari mereka yang diuntungkan melalui banyak cara, memanfaatkan
keuntungan di tengah isu kenaikan BBM. Baik yang bekerjasama langsung dalam
industri ekstraktif minyak bumi bersama perusahaan milik imperialisme, seperti
halnya Medco, PT SAS dan lain sebagainya.
Sudah menjadi pengetahuan
umum, bahwa masuknya perusahaan imperialis ke Indonesia selalu dengan menggandeng
pengusaha Indonesia, baik sebagai partnership, join venture hingga mendudukkan
para jenderal militer baik TNI dan Polri, pengusaha, hingga pejabat ke dalam
dewan komisaris maupun jajaran direksi. Model penyuapan untuk keamanan dan
kelancaran bisnis imperialis di Indonesia. Tidak heran, jika diberbagai sektor
industri selain perusahaan milik monopoli kapitalis (TNC/MNC) selalu terdapat
unsur dari Indonesia, baik itu sebagai mitra di lapangan, pemilik saham,
operator hingga jajaran pimpinanan. Hal itu tidak lebih untuk menipu, dengan
mengatakan kemandirian, industri nasional hingga alih teknologi yang semuanya
adalah palsu dan menyesatkan.
3. Tuan tanah, terutama terkait berbagai
proyek konsesi dan pembukaan ladang baru untuk minyak yang seolah untuk
menutupi target produksi. Termasuk industri gas, pembukaan ladang baru gas
sekarang telah menjadi primadona yang begitu menggiurkan atas dalih diservikasi
energi yang tentu akan menguntungkan imperialisme, komprador dan tuan tanah.
Selain mereka, masih ada
segelintir golongan yang mendapatkan keuntungan terutama para spekulan dipasar
berjangka atau pasar saham yang diuntungkan dengan berbagai isu untuk mengail
keuntungan berlipat ditengah kenaikan harga minyak. Akan tetapi semua hal
tersebut tetap saja berpangkal pada bagaimana operasi kapitalis monopoli dalam
bidang energi yang begitu dalam dan jahat dalam memonopoli sumber energi dunia.
Sekali lagi, diberbagai
negara termasuk Indonesia, skenario tersebut niscaya tidak akan dapat berjalan
dengan baik jika tidak memiliki pelaksana atau operator yang loyal, seperti
halnya rejim Susilo Bambang Yudhoyono.
Dampak Kenaikan Harga BBM
Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Rakyat
Penaikan harga BBM
samadengan “Menaikkan” Angka pengangguran, kemiskinan dan penderitaan rakyat!
Sangat
jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat
kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri bergantung
seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat,
peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban
krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di
negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang
melanda negeri-negeri imperialis. Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana
kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor
penting dalam ekonomi.
Pertama,
Ekonomi. Dampak
kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako),
ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli
masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kenaikan
harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti
beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain.
Meskipun rencana penetapan kenaikan tersebut akan dilakukan pada pertengahan
Bulan ini (17 Juni 2013), faktanya sejak awal tahun (bulan Januari) rakyat
terus diguyur dengan kenaikan harga kebutuhan pokok secara beruntun setiap
bulan. Mulai dari kenaikan tarif dasar listrik pada bulan januari dan April
yang masing-masing sebesar 4,3%, kemudian disusul dengan kenaikan harga daging,
cabe, bawang, telur dan Tomat serta kebutuhan pokok lainnya. Fenomena kenaikan
harga kebutuhan pokok (Inflasi) yang terjadi setiap bulan tersebut hanya
terjadi di Indonesia. Dari kenyataan tersebut, dapat digambarkan bagaimana
kenyataan yang harus dihadapi rakyat paska penaikan BBM bulan ini, terlebih
pada awal bulan selanjutnya sudah akan memasuki bulan puasa (Ramadhan),
kemudian Lebaran, selanjutnya Natal dan tahun baru.
Beberapa
komponen sembako masih bertahan di harga semula, tetapi perubahan dapat terjadi
setiap hari dan cenderung untuk naik meski pelaksanaan tarif BBM baru belum
berlaku. Dampak kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di
pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan
infrastruktur. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang
dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin
mencapai antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan
rakyat, apalagi ditambah kenaikan per 1 April nanti pasti akan melesat naik.
Di sektor transportasi,
pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya
transportasi sebesar 19,6 persen dari 77 persen total konsumsi minyak nasional.
Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran
hariannya yang sudah cekak sebelumnya.
Dalam
rencana kenaikan BBM tahun 2012, Pemerintah berencana akan memberikan subsidi
suku cadang dan pajak kendaraan bagi usaha transportasi, tetapi hal itu hanya
ditujukan bagi pengusaha transportasi. Padahal, instrumen utama penggerak
angkutan adalah sopir yang harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini
membebani para sopir angkutan karena akan menambah beban setoran yang baru dan
mengurangi pendapatan mereka. Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar
target minimal Rp 500 ribu per hari yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik
armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp
200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama
operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak
mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu
per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka.
Dilain sisi, Sopir (Sopir taksi sebagai Contoh awal) juga dihadapkan
dengan tekanan psychology yang tinggi, dimana ketika tidak mampu memberikan
setoran sesuai target, yakni Rp. 300.000/hari, maka Ia terancam Skors (Tidak dipekerjakan samapi target setoran
dapat dipenuhi).
Di sektor industri,
khususnya Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami
kebangkrutan akibat meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi
pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level
nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena
itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak
mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami
kebangkrutan.
Kenaikan
harga tentu akan merampas upah buruh
karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal
upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai
riil upah yang diterima. Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai
sepuluh persen di tahun 2013 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang
dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM. Selain itu,
kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi
tenaga kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi.
Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah
peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk itu
semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat
dan pemogokan buruh.
Struktur
industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki
tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan tidak adanya
industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi
lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah
akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang
yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK oleh perusahaan yang
melakukan efesiensi.
Sementara
itu, kaum tani menjadi klas mayoritas
rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan
feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat
akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan
terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang
harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian
yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.
Contoh,
di desa Sukamulya Rumpin (Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca kenaikan harga
BBM tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4.000 per karung (20 kg) dari harga
sebelumnya Rp 2.700 per karung. Kenaikan ini akibat biaya transportasi dan
harga karung. Di Cirebon, pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 juga telah
meningkatkan harga sewa tanah naik 100 persen menjadi Rp 10 juta/hektar per
tahun.
Kaum nelayan
juga sangat menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah penggunaan solar yang
merupakan komponen terbesar biaya produksi yang mencapai 60 persen lebih.
Mayoritas nelayan di Indonesia dari 2,6 juta adalah nelayan pengguna kapal
kecil yang bobotnya di bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil,
biasaya, membeli solar eceran yang harganya dapat mencapai dua kali lipat per
liter. Tentunya, para nelayan semakin membatasi aktivitasnya atau terjerat oleh
tengkulak dan lintah darat sebagai sumber pembiayaan aktivitasnya.
Jelas,
tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja
sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif
baru nanti. Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 7,2
persen (naik dari asumsi inflasi APBN
2013 yang berada di kisaran 4,9 persen) sehingga nilai uang serta upah
diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan
kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional, Pegawai
rendahan, dan Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring
terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang
mereka.
Kenaikan
harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat.
Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga
BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar
8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan
meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar
10,11 juta. Hal tersebut juga senada
dengan yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Chatib Basri) bahwa, kenaikan harga BBM bersubsidi 2013 akan menciptakan sekitar 4 juta orang miskin
baru.
Pemerintah
selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan
sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun 2011. Akan
tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan langsung tunai
(BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa
Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori
palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat
miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.
Kedua,
Politik. Demi
menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung
berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY akan
meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti
akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim merasa
terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya,
imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini, sejak tahun 2012 lalu telah memberi
ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan
isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan pemerintah, oleh Presiden SBY
secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas” setiap demonstrasi atau
gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan tersebut.
Disisi
yang lain pula, pengalihan subsidi menjadi kompensasi dalam berbagai bentuk
tidak terlepas dari kepentingan politik menuju pemilu 2014 yang sudah semakin
dekat. Pemberian Kompensasi melalui program percepatan dan perluasan
perlindungan social senilai Rp. 12,5 Trilliun dan Bantuan lansung sementara
(BLSM) senilai Rp. 30,1 Triliun tak ubahnya sebagai politik pencitraan semata. Demikian pula dengan kebutuhan anggaran untuk biaya
kampanye menuju Pemilu 2014, baik untuk legislative maupun Eksekutif. Sangat
wajar Jika kita kita juga memberikan “dugaan”
bahwa kelebihan anggaran yang tidak dipublikasikan dari perhitungan jumlah
pembelian (Import) minyak dan anggaran subsidi BBM (Lihat bagian sebelumnya tentang bantahan Alasan pemerintah yang
pertama: Pembengkakan Subsidi sebagai alasan penaikan BBM hanyalah
permainan Angka semata bagi Pemerintahan SBY) akan digunakan sebagai modal atau tambahan biaya
kampanye oleh partai penguasa saat ini beserta koalisi dan sekutunya.
Ketiga,
Kebudayaan. Sudah
pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu
bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan
subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan
semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.
Sebagai
contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi
pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang
dikenal dengan “Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan
SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya tidak pernah menyentuh angka 50-40%
dari total jumlah peserta didik dari keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran
atas kompensasi tesebut-pun
masih melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan
diskriminasi dan manipulasi.
Dampak
lain dari itu, justeru mengurangi tanggungan wajib pemerintah (20% Anggaran
pendidikan dari APBN), dimana anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi
bagian dari Anggaran 20% tersebut yang juga tidak pernah terealisasi secara
utuh, meskipun pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran
tersebut sudah terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya,
setelah dibagi dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut
didalamnya termasuk dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah
tampak menjadi lebih besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut
masih tidak lebih dari hanya 11%.
Dampak
lansung, dari kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah
angka putus sekolah dan pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun
2009, terhitung jumlah siswa putus sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) setiap
tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang
harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah
150.000 sampai 200.000 siswa. Sementara akses ke pendidikan tinggipun sangat
rendah, bahkan menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi. Dari jumlah pemuda
usia kuliah (18-25 tahun), yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya
mencapai 5,6 Juta jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa, dan dari angka tersebut
menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari 150.000 Mahasiswa setiap
tahun.
Selain
dampak lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda
Indonesia secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut
kemudian menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari
total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di
release BPS tahun 2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor
pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi.
Tercatat, Pengangguran dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008
berjumlah 4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada periode Februari 2009.
Sedangkan pengangguran dari pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus
2008, menjadi 1.113.020 pada Februari 2009.
Artinya
bahwa kenaikan harga BBM kali ini-pun
pasti akan menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih
pemerintah sendiri oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran
Pendidikan dan Kesehatan” menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas
pemotongan subsidi yang akan dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM
2012). Menurut forum rektor yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan
tinggi, juga telah menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan
kenaikan harga BBM.
Dilihat
dari sisi lainpun, tentu dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak
hanya pada meningkatnya biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik
dan keluarganya, namun peserta didik juga harus menyiapkan anggaran sendiri
yang lebih tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan untuk memenuhi kebutuhan belajar
mengajar lainnya, seperti untuk pembelian seragam sekolah, buku, bolpoin, bahan
praktikum, biaya potocopy, transportasi, akses internet, dll.
Begitu juga dengan keadaan kesehatan
masyarakat yang makin memburuk akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan
yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah naik hingga 10 persen, bahkan
obat yang mengandung parasetamol mencapai 43 persen. Kenaikan itu
semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung semua obat dalam program
jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat
akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang semakin
menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.
BLSM adalah Solusi
Bohong dan Membodohi Rakyat!
Sedangkan
untuk menjawab tuntutan rakyat atas imbas kenaikan harga BBM, Pemerintah SBY
menerapkan skema yang sama dangkal dan klise seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008, ada beberapa kebijakan yang diklaim
mengurangi dampak kenaikan harga BBM yaitu:1).
Pemberian kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), 2). Konversi minyak tanah ke
gas dan, 3). Pemberian Raskin.
Faktanya, harga berbagai kebutuhan pokok dan ongkos transportasi yang
membumbung tinggi tetap tidak mampu diatasi dan dikurangi dampaknya dengan
skema BLT maupun raskin.
Bahkan
kebijakan pemberian paket raskin tidak lebih dari proyek penghinaan terhadap
rakyat di tengah kemiskinan yang akut. Diskriminasi dengan beras berkualitas
buruk, bahkan tidak layak konsumsi dengan dalih tanggung jawab sosial negara
terhadap rakyat. Faktanya skema raskin, bahkan seperti menabur garam di lautan,
karena antara tahun 2005 hingga 2009, menunjukan angka kemiskinan rakyat
Indonesia di atas 33 juta jiwa, atau berdasarkan angka
kemiskinan pada tahun 2013 yang “menurut
pemerintah hanya” mencapai 30,5 juta jiwa sekalipun, masih jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sasaran BLT, Raskin ataupun BLSM yang hanya mencapai 18,5 juta jiwa.
SBY seperti tidak tau malu
dengan kenyataan bahwa masih ada
sebagian rakyat Indonesia masih makan nasi aking, tiwul serta akrab dengan
penyakit busung lapar maupun gizi buruk. Bank Dunia mengatakan bahwa rakyat
Indonesia, 50 persen lebih merupakan kelompok yang rentan terhadap kemiskinan
terutama akibat kenaikan bahan pokok atau sembako.
Skema
konversi minyak ke gas pun sesungguhnya lebih kental muatan politisnya
dibandingkan dengan kebijakan efisiensi energi. Sudah menjadi pengetahuan umum
kalau kebijakan tersebut tidak lebih merupakan upaya mengeruk keuntungan komprador
di Indonesia seperti Muh. Jusuf Kalla (JK), Abu Rizal Bakrie (Ichal) dan
berbagai perusahaan gas imperialis di Indonesia seperti Exxon, BP dan Chevron.
Bahkan jauh sebelum kebijakan menaikan harga BBM, telah direncanakan pembatasan
BBM bersubsidi dan, bagi angkutan umum bahan bakarnya akan di konversi ke gas.
Lagi–lagi sebuah proyek yang akan menguntungkan industri komprador maupun milik
imperialis.
Dalam menjawab tuntutan rakyat atas
dampak-dampak yang diakibatkan oleh penaikan harga BBM, pemerintah masih
menggunakan politik “pro-rakyat” palsu yang digunakan sejak kebijakan kenaikan
harga BBM diluncurkan pada tahun 2005 dan 2008. Pemerintah berusaha
menggelontorkan bantuan langsung sebagai kompensasi untuk menekan dampak
kenaikan terhadap masyarakat miskin yakni BLSM dan program percepatan dan
perluasan perlindungan social, sebesar
Rp12,5 triliun dalam RAPBN-Perubahan 2013.
Kompensi tersebut akan didistribusikan,
melalui: Pertama, Bantuan langsung sementara (BLSM) sebesar Rp
150 ribu per keluarga yang dibagikan kepada 15,5 juta jiwa keluarga miskin
dengan anggaran Rp 11,6 triliun. Serta penambahan nilai bantuan untuk program
keluarga harapan (PKH) menjadi Rp.1,8 juta untuk 2,4 juta Rumah Tangga Sangat
Miskin. Alokasi anggaranya mencapai Rp.700 miliar
Kedua, Subsidi beras miskin (Raskin) selama tiga bulan dengan
harga Rp. 1.500 dengan jatah maksimal 15kg/bulan. Proyek ini memiliki anggaran
sebesar Rp 5,3 triliun. yang akan diberikan sebanyak dua kali angsuran, yakni
pada bulan Juli untuk periode pertama dan, bulan September untuk periode kedua.
Ketiga, Subsidi Bantuan Siswa Miskin (BSM) untuk anak SD, SMP,
dan SMA menjadi 16,6 juta siswa senilai Rp.7,5 triliun.
Apa
artinya itu semua? Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana untuk subsidi atas
satu liter BBM dan mengubah bahasa subsidi menjadi dana kompensansi kenaikan
harga BBM. Alasan pemerintah adalah merombak subsidi yang justru banyak
dimanfaatkan orang kaya sebagai pengguna terbesar BBM. Kompensasi merupakan
imbalan pemerintah kepada rakyat miskin yang terkena dampak yang jumlahnya
ditentukan melalui rumus “khusus” ala pemerintah yang penuh kesesatan dan
kepalsuan. Demikian cara pemerintah yang pasti sia-sia dan tidak menjawab
masalah rakyat, bahkan semakin menderitakan rakyat.
Realisasi BLSM sebagai kompensasi BBM
Memberantas
kemiskinan sebagai akibat dari penaikan harga BBM melalui BLSM sejatinya adalah
kebijakan yang sangat keliru. Dengan pemberian bantuan sebesar Rp 150 ribu per
keluarga untuk 15,5 juta jiwa keluarga miskin, dengan total anggaran Rp 11,6
triliun “jika diberikan selama lima bulan”, (Program
dari pemerintah 3 bulan). Kenyataan realisasinya masih sangat jauh dari
harapan. Realisasi untuk keluarga “miskin”
berdasarkan kategori yang ditetapkan pemerintah, yakni rakyat yang berpenghasilan
Rp. 7.000/hari atau Rp. 210.000-230.000 perbulan, masih kekurangan Rp.
286.500/bulan untuk bisa memenuhi kebutuhan Makan dan Minumnya setiap hari.
Realisasi hanya dapat memenuhi untuk Makan selama sebulan dan minum selama
sebelas hari (makan tanpa lauk-pauk). Sedangkan Sembilan belas hari
selanjutnya, masyarakat miskin hanya dapat makan sebulan tanpa minum selama 19
hari.
Sedangkan realisasi untuk keluarga dengan
kategori “Hampir miskin”, dengan
penghasilan Rp. 7.700/hari atau Rp. 231.000-280.000/bulan, masih kekurangan Rp. 236.500/bulan untuk bisa memenuhi kebutuhan
makan dan minumnya setiap hari. Realisasi hanya dapat memenuhi untuk makan
selama sebulan (tanpa lauk-pauk) dan minum selama lima belas hari. Sedangkan
selama lima belas hari selanjutnya, masyarakat hamper miskin hanya dapat makan
sebulan tanpa minum selama 15 hari.
Perhitungan belum termasuk lauk-pauk, biaya
pendidikan, biaya kesehatan, baiaya perjalanan, ibadah serta komponen-komponen
lainnya sesuai KHL. Perhitungan juga belum mempertimbngkan nilai kebutuhan atau
harga barang yang sudah pasti akan naik paska kenaikan BBM, terutama Inflasi
pada bulan Juli-Agustus (Puasa-Lebaran) dan Desember (Natal dan tahun). Artinya
bahwa, dengan sekian program yang dipromosikan oleh Pemerintah, samasekali
tidak mampu menyelesaikan persoalan rakyat yang akan miskin akibat kenaikan
harga BBM.
Program tersebut hanya menjawab kepentingan
pemerintah atas pencitraan politik dan keuntungan ekonomi pribadi dan
sekutunya. Sedangkan selebihnya hanya sebagai pelayanan kepada tuan
Imperialisnya yang terus mendesakkan liberalisasi perdagangan dan liberalisasi
disektor-sekor lainnya. Perhitungan,
lihat di table.
Tabel
Perhitungan Realisasi Bantuan Lansung Sementara (BLSM)
Solusi jangka panjang dan
tuntutan Rakyat
Berdasarkan pada analisis di
atas, maka seluruh rakyat Indonesia harus ssegera bersatu dan berseru
menyatakan Sikap “Tolak Kenaikan Harga BBM”, kemudian terus bersama-sama
untuk menggalang kekuatan dan merangkul seluruh Elemen rakyat Indonesia untuk
menolak dan melawan sekuat tenaga kebijakan Pemerintah SBY menaikkan harga BBM,
dengan berbagai bentuk perlawanan dan menuntut:
1.
Tolak
Kenaikan Harga BBM
2.
Cabut
UU Migas no. 22/2001, UU no. 11/1967 dan UU Penanaman Modal no. 25/2007 yang
mengabdi pada imperialis!
3.
Turunkan
Harga-harga Kebutuhan Pokok Rakyat
4.
Naikkan
Upah Buruh, Pegawai Rendahan dan pekerja lainnya
5.
Hentikan
Perampasan tanah dan Laksanakan Reforma Agraria Sejati
6.
Berikan
jamina kesejahteraan dan penuhi hak penghidupan rakyat lainnya
7.
Berantas
korupsi dan sita hasil Korupsi untuk Rakyat
8.
Berikan
Jaminan kebebasan Berorganisasi dan mengeluarkan pendapat bagi Rakyat
9.
Hentikan
Komersialisasi pendidikan dan realisasi 20% anggaran pendidikan untuk rakyat
Hidup
Mahasiswa!
Jayalah Perjuangan Rakyat!
Pimpinan
Pusat
Front
Mahasiswa Nasional (FMN)
L. Muh.
Hasan Harry Sandy Ame
Sekretaris
Jenderal
Note:
Referensi:
1.
Website Kementerian ESDM
2.
Website kementerian keuangan
3.
Berita online
è Antara News
è Plasadana
è Kompas
Online
è Yahoo News
è Dll.
4.
Analisis Indonesian for National and
Democraci Studies (INDIES)
5.
Brosur Propaganda penolakan BBM FMN 2013
6.
Analisis sejarah monopoli Minyak Imperialis
di Indonesia-Front Perjuangan Rakyat (FPR), 2012
0 komentar:
Posting Komentar