Pendidikan
adalah sebuah intitusi yang memberikan jaminan atas sebuah perkembangan taraf
kebudayaan masyarakat yang maju, berakhlak tinggi serta menanamkan nilai-nilai
kebenaran. Intitusi pendidikan patut dikembangkan dan didayagunakan untuk menopang
masyarakat yang mandiri dan Berdaulat dalam suatu Negara. Tentu kemajuan
pendidikan suatu Negara akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan
rakyat. Sebab ilmu dan teknologi dari dunia pendidikan, bertujuan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu memiliki dan mengelola sumber
daya alam untuk kepentingan rakyat.
Akan tetapi,
tujuan dari pendidikan berusaha memajukan taraf berpikir dalam membangun
kebudayaan masyarakat yang maju, berakhlak tinggi serta menjunjung nilai
kebenaran, tidak tercermin dari institusi pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan di Indonesia belakangan ini santer
dikejutkan kembali dengan berbagai polemik yang mencoreng wajah pendidikan di Indonesia,
seperti tindakan kekerasan dan pelecehan seksual. Dimas Dikita Handoko (20),
taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, mahasiswa asal Kota Medan
tewas tadi malam (26/04/2014) mengenaskan setelah dianiaya.[1] Ternyata
kasus kekerasan yang dialami Dimas di STIP bukan pertama kali. Namun di STIP
tersebut, sudah pernah terjadi kekerasan pada tahun 2008 yang menewaskan satu
orang taruna. Bahkan masih segar ingatan kita, di penghujung tahun lalu 2013 intitusi
pendidikan pun memakan korban kekerasan. Fikri Dolasmantya Surya, mahasiswa
Institut Teknologi Nasional (ITN) tewas pada 12 oktober 2013 akibat mengalami
kekerasan.[2] Tragedi
Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang dinilai sebagai bentuk hilangnya
eksistensi orientasi pendidikan untuk menciptakan pelajar dan mahasiswa yang
berkarakter menjaga nilai-nilai perilaku baik. Terhitung mulai dari bulan Januari sampai April
2014, korban tewas akibat kekerasan di dunia pendidikan berjumlah 4 orang[3].
Selain kekerasan
fisik dalam bentuk penganiayaan,
kekerasaan pelecehan seksual pun
dilanggengkan di dalam intitusi pendidikan. Salah-satu kasus yang paling
hingar-binggar muncul di permukan tahun 2014 adalah kasus pelecehan siswa JIS. Bahkan
korban pelecehan seksual di JIS bukan hanya dialami oleh satu orang siswa,
namun masih ada beberapa korban siswa yang mengalami pelecehan seksual. Sesungguhnya
institusi pendidikan mempunyai kewajiban memberikan rasa aman dan nyaman
terhadap peserta didiknya. Akan tetapi pelecehan seksual di JIS menjadi coretan
amoral bagi intitusi pendidikan di Indonesia.
KPAI mendapatkan laporan kekerasan yang dialami peserta didik pada bukan
januari-maret 2014 meningkat mencapai angka 379 orang[4]. Kekerasan
tersebut dilakukan baik dalam bentuk penganiayaan dan pelecehan seksual di dalam
intitusi pendidikan, Sungguh ironi
wajah pendidikan Indonesia yang tercoreng akan tindakan-tindakan kekerasan yang
dialami peserta didik. Pendidikan yang seharusnya menjadi wadah dalam meningkatkan nilai-nilai
baik terhadap peserta didiknya, telah berubah menjadi nilai buruk (amoral),
bahkan peserta didik menjadi korban atas seluruh peliknya kasus kekerasan.
Di dalam melihat kasus kekerasan di institusi
pendidikan, tentu kami menilai tidak sebatas tindakan pelaku atau oknum. Namun
menurut kami bahwa meningkatnya kekerasan di dunia pendidikan sebagi
konsekuensi dari pendidikan yang tidak ilmiah, demokratis dan mengabdi pada
rakyat. Tentu persoalan ini adalah persoalan stuktural di intitusi pendidikan
di indonesia. Rendahnya kualitas
pendidikan menjadi salah-satu faktor utama meningkatnya kekerasaan di
institusi pendidikan. Sebab, dewasa ini kualitas pendidikan hanya bersandarkan
pada nilai-nilai kompetisi, pragmatis serta individu, yang menggantikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harusnya
menjadi dasar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, polemik
kekerasan dalam dunia pendidikan tak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat Indonesia
yang msih dicengkram oleh kuatnya feodalisme dan imperialisme. Kekerasan di
institusi pendidikan adalah salah satu bentuk dari manifestasi masih eksisnya
feodalisme di indonesia. Sebab, budaya kekerasan secara turun-temurun menjadi
budaya sekolah kampus yang menunjukkan kekuasaan hirarki ala tuan tanah. Tentu ini
juga terhubung dengan cerminan karakter kepemimpinan di Indonesia yang anti
demokratis atau fasis dengan menggunakan kekerasaan untuk mencambuk rakyatnya. Sedangkan
budaya liberal yang diciptakan oleh Imperialisme melahirkan penyimpangan
seksual yang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, semakin teranglah
bagi kita bahwa kekerasan adalah wujud nyata dari pendidikan yang tidak ilmiah,
demokratis dan mengabdi kepada rakyat.
Jakarta, 27 April 2014
Rachmad P
Panjaitan
Ketua PP FMN
[1] http://koran-sindo.com/node/384967,
Diunduh Pada Tanggal 27 April 2014, Pukul 18.23 WIB
[2] http://ns1.kompas.web.id/read/read/2013/12/10/519/910157/kasus-kekerasan-di-itn-bentuk-ketidakberadaban-dunia-pendidikan,
Diunduh Pada Tanggal 27 April 2014, Pukul 18.30 WIB
[3] http://news.metrotvnews.com/read/2014/04/26/235284/kekerasan-masih-ada-di-sekitar-kita,
Diunduh Pada Tanggal 27 April 2014, Pukul 18.20 WIB
[4] http://www.kpai.go.id/berita/3-bulan-kpai-terima-379-laporan-kekerasan-atas-anak/,
Diunduh Pada Tanggal 27 April 2014 Pukul 18. 37 WIB
0 komentar:
Posting Komentar