Raden Adjeng Kartini
(lahir di Jepara,
Jawa Tengah,
21 April
1879 – meninggal
di Rembang,
Jawa Tengah,
17 September
1904 pada umur 25 tahun)
atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu
Kartini [1]adalah
seorang tokoh suku Jawa
dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini
dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Hari lahirnya Kartini kemudian ditetapkan untuk diperingati setiap tahun
sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Beberapa karya-karya kartini
sebut saja Surat-surat kartini yang bertemakan tentang bangsa, Negara,
nasionalisme, feminisme tentu menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia khususnya
bagi perempuan Indonesia untuk mengambil perasan pengalaman praktek kartini yang
maju. Walau ia berlatar belakang priyayi, namun ia tetap mempunyai sikap untuk
melawan segala bentuk penindasan yang dilancarkan oleh Belanda terhadap
Indonesia. Perempuan Indonesia yang
mengalami penindasan budaya feudal patriarchal dan liberal machoisme [2]akibat
masyarakat setengah jajahan setengah feudal. Kartini sudah menunjukkan
bentuk-bentuk perlawanannya. Mulai dari mengencarkan kampanye pendidikan
terhadap kaum inlander rakyat Indonesia khususnya perempuan sebagai salah-satu
bentuk perlawanan terhadap budaya diskriminasi yang dialami oleh perempuan
Indonesia.
Kutipan Buku sastrawan besar Pramoedya
Ananta Toer tentang “Panggil aku Kartini
saja” [3]menjelaskan
Kartini meminta agar dia dipanggil tanpa gelar kebangsawanannya, panggil aku Kartini saja, begitu tulis
Kartini dalam sebuah suratnya, suatu kemajuan berpikir dan bertindak yang
dilakukan bangsawan Jawa pada masa itu. Dalam surat yang lain Kartini menulis Sebagai
pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta
bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami”. Memang Kartini dapat
dijadikan sebagai inspirasi rakyat Indonesia khususnya kaum perempuan untuk
berjuang atas diskriminasi yang dialami baik secara ekonomi, politik, social-budaya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa
feodal patriarchal dan liberal machoisme masih menyarang di Indonesia. Bentuk-bentuk
diskriminasi dan kekerasaan tentu dapat ditemukan di kampus pula. Seperti
rendahnya partisipasi pendidikan perempuan mengecap pendidikan khususnya dari
perempuan pedesaan, menunjukkan masih eksisnya diskriminasi terhadap perempuan
di Indonesia untuk memberi ruang dalam mengakses pendidikan. Selain itu, di
sekolah dan perguruan tinggi dalam kehidupan berorganisasi yang semestinya menjadi
hak setiap pelajar dan mahasiswa, perempuan masih enggan untuk terlibat aktif
belajar dan berjuang di dalamnya. Tentu hal itu akibat budaya yang menganggap
bahwa perempuan harus dipimpin oleh kaum laki-laki. Sehingga kaum perempuan terjebak
dalam budaya lama yang menindas
perempuan Indonesia.
Demikian pula di sector rakyat. Perempuan
yang bekerja di pabrik masih mengalami diskriminasi dan perampasan hak atas
posisinya sebagai pekerja. Mulai dari perbedaan upah antara laki-laki dan
perempuan, tidak mendapatkan cuti haid dan hamil serta hak untuk mendapatkan
waktu untuk memberikan kasih saying pada anak atau keluarganya. Di desa-desa,
perempuan pun mengalami diskriminasi dan penghisapan yang mendalam. Rendahnya pendidikan,
kesehatan, upah yang diterima serta tingginya angka KDRT dan perceraian yang
dialami kaum permpuan. Seperti itu juga Buruh migrant Indonesia yang bekerja di
luar negeri yang mayoritas perempuan. Berita selalu menanyangkan bagaimana
buruh migrant mengalami kekerasan fisik-seksual oleh majikan, ancaman hukuman
mati, perampasan upah. Namun kita menyadari bahwa semua persoalan yang dialami
oleh perempuan Indonesia akibat rendahnya upaya yang dilakukan pemerintah dalam
memberantas diskriminasi yang dialami oleh perempuan baik secara politik,
ekonomi dan sosial-budaya. Pun kita memahami tidak sedikit kaum perempuan
menjadi tulang punggung keluarga. Namun Pemerintah condong mempertahankan
budaya lama yang mengungkung kaum perempuan dalam keterbelakangan yang melestarikan
perempuan sebagai mahluk no. 2 di dalam masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu di moment “Hari
kartini” ini, kami dari Pimpinan Pusat FRONT MAHASISWA NASIONAL mengucapkan
rasa salut dan hormat kepada seluruh kaum perempuan Indonesia yang gigih
melawan budaya diskriminasi serta yang melecehkan kaum perempuan. Dan kami menegaskan bahwa perempuan harus bangkit
melawan penindasan dengan jalan berorganisasi.
Rachmad P Panjaitan
Ketua PP Front Mahasiswa Nasional
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini,
Diunduh pada tanggal 21 April 2014, Pukul 18.34 WIB
[2] Feodal patriarchal lahir akibat basis social
Indonesia yang masih setengah feudal berdampak sebagai budaya yang menindas
kaum perempuan Indonesia yang memposisikan perempuan selalu dinomorduakan dan
mengungkung perempuan dalam keterbelakangan yang mendalam. Sedangkan liberal machoisme lahir sebagai
konskwensi setengah jajahan dimana Imperialisme yang masih mendominasi Indonesia.liberal
machoisme ini dapat dilihat dengan berbagai bentuk mulai dari perempuan yang
dianggap lemah, perempuan menjadi komoditas pasar atau bahkan seksual.
[3] Pramoedya
Ananta Toer. Panggil Aku Kartini Saja.
Lentera Dipantara, Jakarta 2003
0 komentar:
Posting Komentar