Abstraksi
Pendidikan merupakan sarana kebudayaan
bagi seluruh rakyat untuk membangun sebuah peradaban yang maju dan mandiri.
Pendidikan yang mencakup ilmu
pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk menopang segala aspek kehidupan
rakyat. Pendidikan mempunyai orientasi
sebagai proses dialektika manusia dalam memecahkan seluruh persoalan
masyarakat, baik persoalan ekonomi, politik dan budaya. Kedudukan ini
memposisikan pendidikan dengan peran yang teramat mendasarnya dalam
perkembangan masyarakat suatu Negara.
Dengan perkembangan Pendidikan yang
mengabdi kepada rakyat, tentu kekayaan
alam yang melimpah ruah di Indonesia akan dapat dikelola untuk kedaulatan dan
kesejahteran rakyat. Semua itu akan terwujud bilamana pemerintahan yang
berkuasa adalah pemerintah yang mengembangkan sistem pendidikan nasional yang
betul-betul bertujuan memajukan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, stuktur politik atau pemerintahan akan
dipengaruhi oleh sistem sosial yang berlaku di suatu negara. Sebagaimana
hukumnya sistem sosial (ekonomi) akan mempengaruhi suprastuktur sosial. Sehingga
sistem sosial suatu negara tentu akan mempegaruhi seluruh aspek-aspek kehidupan
termasuk pendidikan.[2]
Hal itu akan menjadi salah-satu dasar bagi kita dalam menelaah pendidikan di
Indonesia.
Apa itu pendidikan ? Pendidikan adalah sebuah proses dialektika manusia untuk
mengembangkan kemampuan akal dan pikirannya, menerapkan ilmu pengetahuan untuk
menjawab problem – problem sosial, serta mencari hipotesa – hipotesa baru yang
kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman. Pendidikan merupakan sebuah
media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan bangsa, sekaligus sebagai suatu
instrumen yang akan melahirkan tenaga-tenaga (intelektual dan praktisi) yang
akan menjadi penopang bagi perkembangan hidup massa rakyat. Pendidikan harus menjadi
faktor pendorong bagi kemajuan peradaban atas kemajuan
tenaga produktif, sekaligus mengukuhkan identitas kebangsaan yakni identitas
masyarakat yang mandiri dan berdaulat yang bersatu secara teritori, ekonomi,
bahasa, dan karakter nasional.
Tentu arah pendidikan yang
hendak dicapai adalah bagaimana menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat dengan memadukan antara teori dan praktek yang maju. Kemudian timbul
pertanyaan, apakah sistem pendidikan di Indonesia mempunyai orientasi untuk
membebaskan atau sebaliknya memblenggu dengan mempertahankan keterbelakangan
dan corak produksi yang mengisap dan menindas rakyat. Keberlangsungan
pendidikan di Indonesia dari masa kolonial belanda sampai masa sekarang, arah
pendidikan masih saja menjadi alat legitimasi untuk memperkuat keberadaan Asing
(Imperialisme), Borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalisme
birokrat[3]. Pendidikan dijalankan sebagai institusi untuk
mentrasformasi serta mempertahankan pendidikan yang mengabdi pada feodalisme
dan imperialisme. Sehingga pendidikan Indonesia masih mengarah pada pendidikan
inlander yang menciptakan pendidikan yang mennghamba bagi penguasa yang anti
rakyat.
Berbagai kebijakan dalam bidang
pendidikan dari masa ke masa, tidak kunjung memberi sebuah perubahan yang
siknifikan dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. kebijakan liberalisasi,
komersialisasi dan privatisasi dari dunia pendidikan semakin nyata. Pendidikan
dijadikan sebagai komoditas jasa yang bertujuan mengeruk keuntungan. Dengan mahalnya
biaya pendidikan, akan semakin menghilangkan akses rakyat atas pendidikan
Indonesia. Sementara sebagaimana
kita ketahui, Indonesia adalah negara yang menjamin hak-hak dasar setiap warga negaranya.
Salah satu upaya tersebut dapat dilihat dengan adanya diatur dalam konstitusi
UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan dan batang tubuh. Dalam pembukaan UUD 1945
alinea ke empat, menjelaskan salah-satu
tujuan Negara Indonesia, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya
dapat dilihat dalam pasal 31 UUD 1945
ayat 1-5. Semuanya menjelaskan
bahwa Negara bertanggung jawab menyelenggarakan Pendidikan di Indonesia.
Namun seluruh
amanat dalam Pembukaan dan isi UUD 1945 untuk menyelenggarakan pendidikan
nasional, sepertinya tidak berlaku sebagaimana sudah diatur. Berbagai kebijakan
yang diambil untuk meningkatkan akses rakyat atas pendidikan menjadi khiasan
belaka yang tak bermakna. Mahalnya biaya pendidikan menjadi factor utama
tingginya angka putus sekolah dari tingkatan dasar sampai pendidikan tinggi.
Pada tahun 2013 saja, angka putus sekolah mencapai 182.773 anak. Sementara tingkatan SMP mencapai 209.976
anak. Sedangkan tingkatan SMA yang putus sekolah sebanyak 223.676 anak.[4] Kemudian Dari 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 61
persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya. Kemudian
dari jumlah tersebut, yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48 persen. Tentu
Ini jumlah yang sangat memprihatinkan dan membongkar kebohongan sekolah gratis
sebagai program 9 tahun wajib belajar seperti yang digalak-galakkan oleh
pemerintah. Sementara itu, dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA
tinggal 21 persen dan berhasil lulus hanya sekitar 10 persen. Sedangkan yang
melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,4 persen.[5] Kemudian Program sistem kurikulum yang selalu
berubah-ubah diibarat sebagai “kelinci percobaan”. Pemerintah seolah-olah
menunjukkan keseriusannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas
akses mendapatkan pendidikan. Sementara kita paham bahwa sistem pendidikan
nasional yang diterapkan oleh pemerintah, tentu secara prinsip mempunyai
orientasi untuk melanggengkan kepentingan imperialisme dan feodalisme di
Indonesia untuk meraup keuntungan atas pendidikan, menciptakan tenaga kerja
murah, serta mempertahankan kebudayaan yang terbelakang dan lama. Liat saja
program kurikulum pendidikan 2014
Sebagaimana
kita ketahui, Rezim SBY melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), telah mengucurkan bantuan dana pendidikan melalui Program
Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program BSM disebut-sebut menjadi satu dari enam
program prioritas Kemendikbud pada 2014 nanti. Adapun lima program prioritas
lainnya ialah Pendidikan Menengah Universal (PMU), Kurikulum 2013, peningkatan
kualitas guru, rehabilitasi sarana prasarana, dan afirmasi daerah tertinggal [6].
Seluruhnya hanyalah sistem kurikulum
yang tambal sulam yang hanya menambah anggaran dan tentu tidak akan
berhasil meningkatkan pendidikan sebagaimana dijelaskan angka putus sekolah di
atas.
Ancaman
Atas Pendidikan Tinggi
Sejarah pendidikan Indonesia mengalami
polemik yang berkepanjangan. Regulasi atau seluruh kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah baik dalam bentuk UU, PP, Surat edaran mempunyai semangat yang
berbanding terbalik dari cita-cita untuk meyeleggarakan pendidikan bagi seluruh
rakyat. Masuknya Indonesia menjadi anggota Word Trade Organization (WTO),
menjadi legalisasi diterapkannya liberalisasi di sektor pendidikan Indonesia.
Dengan bahasa lain, Negara memberikan keleluasan terhadap pasar untuk mengelola
pendidikan tinggi. Dengan demikian Negara mempunyai keabsahan melepaskan
tanggung jawab atas pendidikan khususnya pendidikan tinggi dengan dalih
meningkatkan kualitas melalui otonom kampus. Lahirnya PT. Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) Thn. 1999 merupakan manifestasi kesepakatan GATS-WTO, Lalu Thn. 1995
disusul lahirnya UU Sisdiknas No. 20 Th 2003 dan kemudian lahirnya UU Badan Hukum
Pendidikan Th 2009. [7]Intervensi
dari Imperiaisme untuk menguasai pendidikan Indonesia sudah tampak dari Program
jangka panjang (PJP) yang mengintegrasikan regulasi kerjasama global yang
bernama HELTS (1975-2010) [8].
Paska pencabutan UU BHP oleh MK yang dianggap bertentangan dengan semangat
pendidikan tinggi akibat sarat komersialisasi, Pemerintah lantas kembali
mengesahkan Undang-undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 sebagai pengganti
UU BHP. Sedangkan secara prinsipnya bahwa kebijakan UU DIKTI merupakan cermin
baru UU BHP. Sehingga Pendidikan tinggi tetap jatuh pada jurang praktek Liberalisasi,
Privatisasi dan Komersialisasi. [9]
Dampak buruk dari UU
DIKTI secara umum ;
1. UUDIKTI membuat semakin melambungnya biaya
pendidikan tinggi
2. UU DIKTI hanya mempunyai orientasi untuk memenuhi
kebutuhan pasar
3. UU DIKTI membuat semakin
sempitnya akses rakyat atas pendidikan
4. UU DIKTI mendorong semakin hilangnya demokratisasi
dalam kehidupan kampus
5. UU DIKTI akan melahirkan kesenjangan antara PT
Indonesia dengan keberadaan PT Asing
6. UU DIKTI akan mempertahankan pendidikan yang
berkualitas rendah
Secara politik UU DIKTI adalah sistem
pendidikan tinggi yang tetap melanggengkan sistem pendidikan yang mengabdi pada
kepentingan AS dan feodalisme. UU DIKTI telah menimbulkan persoalan
paling mengemuka di kampus-kampus. Kenaikan biaya pendidikan tinggi dinilai menjadi
amanat UU DIKTI dalam sistem pembayaran yang bernama Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Berbagai kampus melakukan protes menolak pemberlakuan sistem UKT sebagai amanat
UU PT (pasal 88). Selain sistem UKT menaikkan biaya pendidikan tinggi, UKT pun
melahirkan diskriminasi terhadap dunia pendidikan. Inilah salah-satu bentuk
nyata negara yang melepaskan tanggung jawabnya atas penyelenggaraan pendidikan
di Indonesia.
Bagaimana
korelasi Pendidikan dengan Hasil Pemilu 2014 ?
Tahun 2014 disebut-sebut sebagai tahun politik karena
berlangsungnya perhelatan pemilu 2014. Kita telah memilih legislatif dan pada 9
Juli Mendatang akan diikuti pemilihan Presiden. Menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana
Arah Pendidikan Pasca Pemilu 2014 ? Apakah
pendidikan di Indonesia akan mengarah pada kemajuan atau pendidikan akan tetap
bobrok, mahal dan jauh untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Sementara keadaan
pemerintah yang semakin merosot ke dalam jurang Korupsi, kebijakan yang tidak
populis, penegakan hukum yang diskriminatif, pelayanan birokrasi yang buruk,
partisipasi masyarakat yang rendah, menjadi cerminan pemerintahan saat ini.
Bila melihat calon-calon Presiden yang akan menjadi Kepala
negara/Kepala pemerintah, tak ada satu pun yang mempunyai proram-program yang
membicarakan pendidikan secara serius. Sehingga kita memandang bahwa kebijakan
atas pendidikan pasca pemilu 2014 dengan pemerintah baru, tidak akan mengubah
wajah pendidikan Indonesia yang mahal, tidak ilmiah, tidak demokratis dan tidak
mengabdi kepada rakyat. Pendidikan akan tetap menjadi alat legitimasi
kebudayaan untuk melegitimasi kebijakan rejim anti rakyat yang mengarahkan pendidikan
sebagai mesin kebudayaan imperialism, feodalisme, kabir untuk tetap
mempertahankan keterbelakangan rakyat Indonesia. Jokowi mempumyai program dalam
dunia pendidikan dengan mengembangkan konsep revolusi mental[10].
Revolusi mental disebut mengembangkan pendidikan berakarakter kebangsaan yang
meliputi sepuluh program yang menjelaskan membangun nilai-nilai nasionalisme,
patriotisme dalam dunia pendidikan. Akan tetapi dari 10 program prioritas dalam
pendidikan, semuanya adalah barang lama dari sistem pendidikan nasional yang
telah ada dan usang. Jokowi tidak menjelaskan bagaimana kurikulum yang baik
bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. selain itu, Jokowi tidak mempunyai
program untuk mengembalikan tanggung jawab negara yang penuh atas pendidikan. Sehingga
dapat dipastikan Jokowi pun akan tetap mempertahankan liberalisasi,
komersialisasi dan privatisasi di dunia pendidikan.
Senada juga
dengan program Prabowo dalam pendidikan yang dinamai meningkatkan kualitas sumber
daya manusia melalui reformasi
pendidikan.[11]
Ia menjalankan pendidikan dengan penguatan karakter bangsa. Selain itu,
melakukan perubahan kurikulum pendidikan dengan mengembangkan kebudayaan
Indonesia yang berprinsip pancasila dan UUD 1945. Tentu semua program prabowo tidak
ada yang baru. Ia hanya menyegarkan program-program pendidikan yang lama, yang
terbukti pendidikan hanya berorientasi pendidikan yang mengabdi kepada imperialism,
borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalisme birokrat.
Jadi semakin
jelas, bahwa diantara dua Calon Presiden tidak mempunyai program pendidikan
yang kongkrit dalam menyelesaikan persoalan pendidikan di Indonesia. di sisi
lain pendidikan Indonesia semakin hari semakin jatuh dalam jurang liberalisasi,
komersialisasi dan privatisasi.
Penutup
Dengan demikian
arah pendidikan Indonesia pasca pemilu
2014 pun, tidak akan banyak memberikan perubahan apa-apa. Negara akan tetap
melepaskan tanggung jawab atas pendidikan dan mengarahkan pendidikan sebagai
komoditas untuk meraup keuntungan. Secara politik, pendidikan akan tetap jauh
dari realitas menyelesaikan persoalan rakyat dan hanya menopang kepentingan
asing dan tuan tanah di Indonesia. dan secara kebudayaan pendidikan pasca
pemilu 2014 akan tetap mempertahankan kebudayaan terbelakang seperti bermental
jajahan, kolot, individual, pragmatis, dekaden dan anti ilmiah.
Pendidikan
akan maju di Indonesia bila pendidikan dapat dijangkau seluruh rakyat, tidak
dibatasi biaya pendidikan yang mahal dan menjalankan Sistem pendidikan nasional yang
ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.
[1] Paper
ini disampaikan oleh Ketua Pimpinan Pusat FMN dalam Seminar « Arah Pendidikan Pasca Pemilu
2014 » di Pontianak Mei 2014
[2] Bertrand Russel Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
[3] IMPERIALISME adalah tahapan
tertinggi dari kapitalisme monopoli internasional dalam bentuk
perusahan-perusahan raksasa (TNC,MNC) yang menguasai negara-negara setengah
jajahan baik dalam bentuk ekonomi, politik. Budaya dan militer.
Imperialisme juga mempunyai instrument lembaga-lembaga Internasional seperti
WB, IMF, Word Bank untuk memaksakan kehendak imperialism. Imperialisme pun
menjalankan penguasaan atas negara-negara di dunia baik dengan cara perang atau neokolonialisme.
BORJUASI BESAR KOMPRADOR adalah
pengusaha besar yang berhubungan langsung dengan imperialism. TUAN TANAH BESAR
adalah tuan tanah baik dalam bentuk negara, swasta yang menguasai dan melakukan
monopoli tanah dalam skala luas di Indonesia. KAPITALISME BIROKRAT adalah
pemerintah yang menyelewengkan kekuasaannya untuk menimbun kekayaan.
[4]
http://lipsus.kompas.com/kemdikbud/read/2013/10/16/1236445/Si.Miskin.Tidak.Dilarang.Sekolah,
Diunduh pada tanggal 15/05/2014, Pukul 20.20 WIB
[5]
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/079460436/Gerakan-Anti-Putus-Sekolah-Dimulai-Tahun-Ini,
Diunduh pada tanggal 15/05/2014, Pukul 20.35 WIB
[6] http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-4,
Diunduh pada tanggal 15/05/2014, Pukul 14.01 WIB
[7]
Soedjono Dirdjosisworo, Kaidah-Kaidah Hukum Perdagangan Internasional
(Perdagangan Multilateral) Versi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organisation)=WTO, Bandung: CV. Utomo, 2004
[8]
HELTS (Higher Education
Long Term Strategy). HELTS ini menjadi acuan utama dalam menyusun program
pendidikan tinggi dalam konteks persaingan kualitas skala global. Sehingga
HELTS ini mempunyai roh otonom pendidikan tinggi.
[9]
Arti Liberalisasi di sektor
pendidikan adalah hilangnya tanggung jawab negara atas penyelenggaraan
pendidikan dan menyerahkan pengelolahan pendidikan baik secara akademik dan
non-akademik (keuangan kepada pasar atau kapitalis. Sedangkan Privatisasi sering diasosiasikan dengan
perusahaan berorientasi jasa atau industry. Perivatisasi pendidikan adalah
proses pengalihan pendidikan dari kepentingan public menjadi kepentingan
perusahaan yg berorientasi profit. Dan arti komersialisasi
pendidikan adalah menjadikan pendidikan sebagai komoditas/ barang dagangan
untuk meraup keuntungan.
[10] http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf,
Diakses Pada tanggal 31 Maret 2014, Pukul 20.45 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar