Rakyat Indonesia mendapat kado yang mengejutkan dari pemerintah Boneka SBY di akhir
masa jabatannya,di tengah-tengah rakyat Indonesia sedang merayakan idul fitri
1435 H. Kado tersebut adalah pembatasan BBM bersubsidi premium dan solar. Itu artinya
rakyat akan dibatasi dalam memperoleh subsidi BBM atau bahkan membeli BBM
nonsubsidi.
Pemerintah
SBY melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengeluarkan
kebijakan pembatasan penjualan solar dan premium bersubsidi melalui Surat
Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tertanggal 24 Juli 2014[1]. Sesuai surat edaran tersebut, penjualan solar bersubsidi tidak dilakukan di
Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014. Selanjutnya, mulai 4 Agustus 2014,
penjualan solar bersubsidi di SPBU di wilayah tertentu di Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Bali akan dibatasi pukul 08.00-18.00 waktu setempat. Tentu dengan
adanya pembatasan subsidi akan meningkatkan inflasi terhadap barang-barang di
pasar khususnya kebutuhan pokok, yang berbanding terbalik dengan semakin merosotnya
pendapatan masyarakat Indonesia. Selain itu, dengan adanya kebijakan pembatasan
BBM subsidi akan mempengaruhi kelangkahan stock BBM untuk diakses masyarakat
dalam menopang pekerjaannya seperti angkutan umum, nelayan, petani dan
lain-lain.
Masalah
pembatasan BBM sampai dengan kenaikan BBM yang selalu terjadi tiap tahunnya di
Indonesia merupakan persoalan yang pelik. Akar masalahnya adalah akibat
terjadinya monopoli atas sumber-sumber minyak dan gas di Indonesia oleh
kapitalisme monopoli internasional khususnya AS.
Di
Indonesia dengan 84 kontraktor Migas yang dikategorikan kedalam 3 kelompok, (1)
Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP
Amoco Arco, dan Texaco ternyata menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%
Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal,
Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah
menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Dan (3) Perusahaan pertamina menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.[2]
Kebijakan
liberalisasi terhadap minyak dan gas di Indonesia dilegetimasi dengan adanya
perundang-undangan UU. No. 22 Tahun 2001. UU tersebut bukan menjadi komoditas
strategis yang memprioritaskan kebutuhan domestik, akan tetapi didorong sebagai
komoditas pasar yang dikuasai oleh perusahan-perusahaan kapitalisme monopoli
internasional.
Sedangkan
tanggapan Pemenangan Pilpres 2014 yang akan menjadi Rejim boneka pengganti SBY[3], telah
menunjukkan watak anti rakyatnya dalam menyikapi pembatasan BBM bersubsidi.
Jokowi menyebutkan “Kalau mau dinaikkan, Naik ya naik, kalau saya, ya tegas.”.
Jokowi menunjukkan watak yang anti rakyat yang mencerminkan keberpihakan
kelasnya pada imperialisme AS, borjuasi besar komprador untuk dapat terus
melanggengkan penguasaan Minyak dan gas di Indonesia dalam hal ini.
Oleh
karena itu, kami dari Pimpinan Pusat FMN menyatakan sikap menolak pembatasan BBM bersubsidi secara tegas dengan alasan hentikan
penguasaan minyak dan gas oleh imperialisme khususnya AS dan berikan hak rakyat
untuk mendapatkan subsidi minyak.
Hormat
kami, 06
Agustus 2014
PIMPINAN
PUSAT
FRONT
MAHASISWA NASIONAL
Rachmad
P Panjaitan
Ketua
Umum
[1] http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140803_kendalibbm.shtml,
Diakses pada tanggal 06 Agustus 2014, pukul 12.01 WIB
[2] http://bisnis.liputan6.com/read/2030058/inilah-enam-kontraktor-migas-terbaik-skk-migas,
Diakses pada tanggal 06 Agustus 2014, pukul 12.37WIB.
[3] http://news.detik.com/read/2014/08/05/114820/2653539/10/kritik-pembatasan-subsidi-bbm-jokowi-kalau-saya-tegas-naik-ya-naik,
Diakses pada tanggal 06 Agustus 2014, pukul 12.40 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar