Jangan Rampas Hak
Rakyat, Jangan Mundurkan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan
politik di Indonesia pasca Pemilu Presiden 2014 kembali mengalami konstelasi
yang memanas di lembaga legislatif DPR RI. Kali ini menyangkut pembahasan RUU
Pilkada yang melahirkan polemik apakah kepala daerah dipilih melalui pemilihan
langsung atau tidak langsung yang berarti kembali kepada masa orde baru, yaitu
kepala daerah (Bupati dan Walikota) dipilih oleh DPRD.Persoalan ini lebih menyangkut masalah
perkembangan keberlangsungan demokrasi di Indonesia yang berbicara tentang
kepentingan rakyat yang tidak pernah
berhenti memperjuangkan kemajuan demokrasi sebagai aspirasi umum untuk
kebebasan dan mewujudkan prinsip: “Dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Apalagi sistem pemilihan secara langsung dianggap sebagai
kemenangan kecil aspirasi rakyat dalam gerakan reformasi 1998 dalam
memperjuangkan ruang-ruang demokrasi meningkatkan partisipasi rakyat termaksud
dalam memilih Kepala daerah dan Presiden. Perjuangan aspirasi rakyat untuk
memilih langsung pemimpin khususnya kepala daerah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah daerah.
Pemilihan
langsung adalah “one man-one vote”
atau setiap orang memiliki hak pilih secara langsung, merupakan capaian hasil
kemajuan demokrasi. Pemilihan secara langsung memberi hak demokrasi kepada
rakyat untuk menilai dan kemudian menentukan pilihan siapa kepala
pemerintahnya. Dengan sistem pemilihan secara langsung, rakyat diberi ruang
partisipasi yang besar untuk menentukan sekaligus pemimpinnya yang dipilih.
Demikian pula kepala pemerintah yang dipilih secara langsung juga harus
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya secara langsung kepada rakyat, karena kekuasaan
yang diraihnya adalah kekuasaan yang diberikan rakyat melalui pemilihan
langsung tanpa melalui sistem keterwakilan (tidak langsung). Bila kepala pemerintah melanggar mandat
rakyat yang telah memilihnya, maka rakyat
memiliki hak penuh untuk melakukan kritik, bahkan melengserkannya.
Sehingga tanggung jawab dari seorang pemimpin sebagai hasil dari pemilihan
langsung segoyanya akan lebih besar.
Kemudian
yang menjadi salah-satu parameter kemajuan demokrasi walau sifatnya
masih dalam konteks demokrasi prosedural, dapat
dilihat dari partisipasi langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum dan langsung. Di
Indonesia, Sedikitnya
kemajuan demokrasi ini telah dicapai dalam periode 10 tahun terakhir. Setidaknya dalam hal
pemilihan langsung presiden dan kepala daerah rakyat telah berpartisipasi langsung dengan memilih.
Walaupun kita ketahui, bahwa baik pemilihan langsung atau tidak
langsung, belum tentu melahirkan Presiden
dan Kepala daerah yang baik.
Karena selama ini dari pemilu ke pemilu, pemimpin yang
lahir masih saja buruk dan mengecewakan masyarakat. Hal itu menjadi sebuah
kritikan yang terus-menerus dikampanyekan rakyat agar pemerintahan mulai dari kepala negara sampai
dengan kepala daerah dapat membangun sebuah pemerintahan yang berdaulat dan
mandiri sepenuhnya yang bebas dari kepentingan imperialisme AS dan feodalisme.
Akan tetapi, terlepas dari preseden buruk dari pemilihan langsung, namun
setidaknya pemilihan langsung menjadi sebuah hak konstitusional yang telah
diatur UUD 1945 dimana rakyat berhak memilih pemimpinnya secara langsung. Pasal
18 ayat 4 berbunyi;
“Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”
Sementara dalih untuk tetap
mengesahkan RUU Pilkada disebut-sebut adalah untuk menekan biaya pilkada yang
murah, menegakkan pancasila dan menolak sistem yang liberal. Namun dalih yang dibuat hanya untuk merongrong nilai-nilai
demokratis yang berkembang di Indonesia. Biaya yang tinggi selama pemilihan
langsung memang harus menjadi evaluasi. Untuk dapat menekan biaya dalam pemilu,
sehingga solusinya dapat melakukan pemilihan bupati, walikota bahkan Gubernur
dan Presiden secara serentak. sehingga biaya tidak membengkak karena hanya akan
ada satu panitia dan TPS dalam satu hari bersamaan. Demikian juga, bagaimana
pemerintah mampu membatasi biaya kampanye sehingga berlahan mengurangi biaya dan
sekaligus mengurangi potensi penyelewengan saat berkuasa. Kemudian apabila disebut
bertentangan dengan Pancasila maka dalih itu dapat disebut mengada-ngada. Sebab dalam Pancasila
terutama pada sila ke 5 menjelaskan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Artinya, selain dari pemenuhan hak rakyat sebagai tujuan utama demokrasi, maka
demokrasi juga harus memberikan keadilan pada rakyat dalam partisipasi dalam memilih
dan menentukan pemimpinnya. Sedangkan jika disebut dalam sistem politik
mengarah ke liberal, maka kita menganalisa bahwa pemilihan langsung dan tidak
langsung bukanlah parameter suatu negara
menganut sistem liberal. Namun untuk mengetahui apakah sistem politik suatu
negara liberal, dapat dilihat dari sistem ekonomi Indonesia apakah berorientasi pada rakyat atau
sistem ekonomi yang memberikan ruang pada segelintir (Imperialisme AS, borjuasi
besar komprador, tuan tanah) untuk menguasai alat produksi di suatu negara.
Maka apabila dari prespektif ekonomi politik, maka baik pemilihan langsung atau
tidak langsung, Indonesia sebagai negara setengah jajahan setengah feodal adalah
sistem demokrasi yang mengacu pada
negara AS yang liberal.
Dengan diwarnai berbagai tuntutan
dan protes atas penolakan RUU pilkada yang dilayangkan rakyat melalui Aksi-aksi massa, SMS penolakan
ke Team Panja dan media sosial, namun
DPR RI dengan sikap anti rakyatnya RUU Pilkada tetap disahkan, tetapnya dalam
sidang 26 September 2014 dini hari.
Melalui sidang yang dilakukan oleh DPR RI di senayan melalui berbagai adegan
pembohongan publik dengan manuver-manuver yang licik, kemudian ditandai insiden Walk-out dari fraksi Partai Demokrat
(129 suara abstein), membuat hasil voting RUU Pilkada dimenangkan oleh kubu yang Pro Pilkada melalui DPRD. Dengan demikian, UU
Pilkada telah disahkan yang esensinya memberikan keabsahan atas pemilihan kepala daerah oleh
DPRD.
Partai demokrat seolah-olah mendukung Pilkada langsung. Mereka beralasan melakukan walk-out karena penolakan Team Panja atas usulan opsi 3 yang diajukan mereka. Namun alasan Walk-out adalah skema jahat yang dijalankan oleh SBY melalui Fraksi demokrat beserta Koalisi Merah Putih yang esensinya mempunyai kepentingan politik yang sama yakni meloloskan RUU PILKADA dalam sidang tersebut. Karena secara logika apabila SBY benar-benar ingin mempertahankan Pemilihan secara langsung, maka Fraksi Partai Demokrat tidak akan melakukan Walk-out dalam Voting. Yang artinya 129 suara yang hadir dari fraksi partai demokrat saat itu, akan menjadi penentu mutlak untuk menolak pengesahan RUU Pilkada.
Partai demokrat seolah-olah mendukung Pilkada langsung. Mereka beralasan melakukan walk-out karena penolakan Team Panja atas usulan opsi 3 yang diajukan mereka. Namun alasan Walk-out adalah skema jahat yang dijalankan oleh SBY melalui Fraksi demokrat beserta Koalisi Merah Putih yang esensinya mempunyai kepentingan politik yang sama yakni meloloskan RUU PILKADA dalam sidang tersebut. Karena secara logika apabila SBY benar-benar ingin mempertahankan Pemilihan secara langsung, maka Fraksi Partai Demokrat tidak akan melakukan Walk-out dalam Voting. Yang artinya 129 suara yang hadir dari fraksi partai demokrat saat itu, akan menjadi penentu mutlak untuk menolak pengesahan RUU Pilkada.
Pengesahaan RUU Pilkada yang
ditetapkan oleh DPR RI adalah dosa politik SBY diakhir masa jabatannya selama
10 tahun. Karena SBY sesungguhnya
mempunyai wewenang untuk menggagalkan RUU Pilkada dengan tidak menandatangani
sebelum di sidang paripurnakan. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 20
Ayat 3 berbunyi;
“Jika rancangan undang-undang itu
tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.
Kemudian RUU Pilkada ini sesungguhnya lahir dari ide SBY itu
sendiri melalui kabinetnya yakni melalui Menteri dalam negeri. Maka jelas bahwa
UU Pilkada ini adalah dosa politik SBY kepada rakyat Indonesia yang telah
memundurkan perkembangan demokrasi yang
sempit semakin dipersempit Beberapa jam
pasca dari UU Pilkada ini disahkan, tanpa malu SBY menyatakan rasa kekecewaannya dan akan terus memperjuangkan agar UU Pilkada
ini dicabut. Sikap Ini adalah manuver politik yang merupakan pembohongan publik
yang dijalankan oleh SBY. Karena rakyat toh sudah tahu bahwa SBY hanya menipu
dan berpura-pura prihatin atas pengesahan UU Pilkada. Karena secara esensi SBY
beserta Partai Demokrat dan koalisi merah putih mempunyai kepentingan politik
yang sama yakni mengamputasi hak-hak politik rakyat dengan meloloskan UU
Pilkada.
Maka ke depan dengan UU Pilkada ini,
Kepala Daerah Bupati, Walikota dan Gubernur akan dipilih oleh DPRD. Artinya
Pemerintahan Indonesia baik SBY maupun anggota DPR RI telah merampas hak-hak
konstitusional rakyat dalam pemilihan langsung kepala daerah, yang sekaligus
memundurkan perkembangan kemajuan demokrasi di Indonesia. UU Pilkada akan berpotensi
mempersempit ruang-ruang demokrasi di Indonesia dengan membatasi partisipasi rakyat
dalam penegakkan demokrasi bagi rakyat. Oleh karena itu, terlepas dari
kepentingan dua kubu yang pro-kontra UU Pilkada tersebut ,karena ini konteksnya
adalah hak rakyat, maka Pilkada langsung dianggap hasil dari gerakan rakyat
menuju era reformasi. Walau kedua-kedua dari produk ini pun tidak akan
menjamin melahirkan pemimpin yang memberikan hak-hak demokratis rakyat selagi
negara Indonesia masih dicengkram oleh imperialisme AS, feodalisme dan
kapitalisme birokrat.
Tapi FMN harus tetap mempunyai sikap
yang jelas atas polemik diantara klik-klik
yang berkuasa dengan tetap menyandarkan perjuangan massa untuk mempertahankan
hak politik di tengah demokrasi yang masih sempit. Oleh karena itu, FMN
sebagai Ormass mahasiswa harus melakukan aksi-aksi nyata dengan tegas menyatakan “ SBY harus bertanggung jawab atas
UU Pilkada, CABUT UU PILKADA”. Demikian pernyataan sikap FMN atas Pengesahaan
UU Pilkada. Terima kasih.
30 September 2014
Hormat kami,
PIMPINAN PUSAT
FRONT MAHASISWA
NASIONAL
Rachmad
P Panjaitan
ketua
0 komentar:
Posting Komentar