Selamat
Hari IBU, Bangkitlah kaum Perempuan
& Rakyat Indonesia merebut hak-hak Demokratis kita yang Dirampas
“Marilah kita mengangkat suara untuk memujikan
wanita, Ibunda, sumber seluruh penaklukan kehidupan tak habis-habisnya. Marilah bernyanyi untuk memujikan wanita, Ibunda, satu-satunya kekuatan
terdahulu di mana kematian menunduk merendahkan kapalanya – Novel Ibunda (Marxim Gorky)”
Pada 22
Desember 1928 ditandai dengan
adanya Kongres pertama perempuan Indonesia 1928. Peristiwa ini menyepakati harus
adanya keterlibatan perempuan dalam perjuangan rakyat untuk mengusir kolonial Belanda
dari Indonesia menuju kemerdekaan. Kemudian momentum itu, secara resmi
dijadikan pemeritahan di era Soekarno sebagai HARI IBU NASIONAL melalui Dekrit Presiden No. 316 thn. 1953, pada ulang
tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan
semangat perempuan
Indonesia dalam meningkatkan
kesadaran berbangsa dan bernegara.
Perempuan merupakan elemen penting dalam perjuangan
massa. Kebangkitan perempuan akan
membawa sebuah perjuangan yang lebih
dekat dengan takdir sejarah pembebasan rakyat Indonesia. Perempuan menjadi
sector dan golongan unsur paling terbelakang, tertindas dan terhisap pada
masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Namun di tengah ketertindasan
dan keterhisapan kaum perempuan, gerakan perempuan memiliki potensi yang luar
biasa besar untuk memajukan perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesabarannya, keuletannya, kegigihannya dan ketahanannya, telah teruji dalam menghadapi kehidupan.
Perempuan Indonesia mengalami penindasan ganda, mereka mengalami
penindasan feodal patriarki dan liberal machoisme dalam masyarakat
setengah jajahan dan setengah feodal di bawah dominasi imperialisme AS melalui
kaki tangan pemerintahan boneka di dalam negeri. Penindasan ini terjadi di lapangan ekonomi, politik dan
budaya. Akibat penindasan ini, perempuan
mengalami penindasan dan penderitaan yang berlipat-lipat. Perempuan menderita,
ditindas dan dihisap bersama-sama, perempuan mengalami diskriminasi yang
mengakibatkan perempuan lebih menderita, tertindas dan terhisap lebih dalam
lagi. Selain itu, perempuan pun mengalami penderitaan, penindasan dan
penghisapan atas dirinya sebagai perempuan, sebagai manusia klas dua yang tidak
memiliki hak dan dan kedaulatan atas dirinya sendiri. Perempuan selalu
diposisikan lebih rendah derajat, harkat dan martabatnya di dalam masyarakat
Indonesia. Perempuan selalu diidentikan dengan persoalan domestik semata;
dapur, kamar dan sumur. Padangan kolot ini tetap eksis dalam masyarakat
Indonesia. Tentu ini akibat system yang lapuk dan busuk dari setengah jajahan dan
setengah feodal di Indonesia.
Perempuan dianggap lemah dan dianggap tidak sekuat kaum
laki-laki. Cara berpikir ini menjadikan posisi perempuan selalu dipandang
sebelah mata dibanding kaum laki-laki dalam masyarakat Indonesia. Hal ini juga
menjadi jurang pemisah atau diskriminasi yang dialami perempuan dalam
masyarakat Indonesia. Di bidang kebudayaan,
perempuan masih mengalami diskriminasi dalam mengecap pendidikan di
Indonesia. Hal ini terutama akan tampak jelas di pedesaan dimana angka
partisipasi pendidikan perempuan masih sangat rendah. Bahkan keadaan ini,
dibiarkan Negara yang hakekatnya terus mempertahankan sistem
busuk yang membuat terbelakang kaum perempuan. Di bidang politik; perempuan selalu mengalami diskriminasi untuk mempunyai
hak yang sama dengan kaum laki-laki untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul
ataupun berserikat. Bahkan, system feodal patriarchal dan liberal machoisme ini
melanggengkan pembodohan bahwa perempuan yang berorganisasi atau berpolitik
adalah perempuan yang “tidak benar”. Tentu ini adalah penanaman nilai apolitis
dari system setengah jajahan dan seetengah feodal yang merendahkan perempuan
dan menjauhkan keterlibatan perempuan dalam berjuang. Sementara secara ekonomi; perempuan masih mengalami
diskriminasi atas pekerjaan dan pengupahan. Perempuan dianggap hanya dapat
bekerja dalam bidang-bidang tertentu saja. Dan dalam konteks pengupahan baik di
perkotaan dan terutama di pedesaan, perempuan masih mendapatkan upah yang lebih
rendah dibanding kaum laki-laki.
Inilah operasi penindasan feodal patriarchal dan
liberal machoisme terhadap perempuan Indonesia. Penghisapan dan penindasan yang
berlipat-ganda ini, menjauhkan perempuan terlibat aktif dalam perjuangan rakyat
untuk menyongsong perubahan dalam bernegara dan berbangsa di Indonesia. Padahal
kita ketahui, bahwa mustahil kemerdekaan sejati suatu Negara dapat diraih tanpa
adanya peran dari perempuan. Sama halnya dengan keadaan Indonesia.
Untuk melawan cengkraman kekuatan imperialisme, feodalisme
dan kapitalisme birokrat, yang mempertahankan keterbelakangan rakyat Indonesia, peranan perempuan dalam perjuangan pula yang dapat membebaskan rakyat Indonesia
dari tiga musuh rakyat. Hanya dengan keterlibatan perempuan Indonesia,
rakyat akan mampu menjalankan reforma agraria sejati dan industry nasional
sebagai jalan terang menuju Indonesia yang merdeka, berdaulat dan mandiri di
negerinya sendiri.
Dalam peringatan HARI IBU Nasional
ke- 61 Tahun, kita harus mampu memaknai bahwa seorang perempuan atau IBU bukanlah
seorang mahluk lemah. Kemudian bukan hanya mengidentikan perempuan atau IBU dari aspek kelembutan kasih sayangnya semata, tapi makna dari HARI IBU jauh dari itu
semua. Selain memberikan kasih sayang sepanjang masa, IBU menjadi bagian
perempuan hebat yang mempunyai peran dalam perjuangan rakyat Indonesia.
Keterlibatan IBU dalam perjuangan rakyat Indonesia, akan memberikan sebuah
sinar harapan yang terang benderang menuju masyarakat Indonesia yang bebas dari
cengkraman imperialisme AS dan feodalisme.
Maka dalam peringatan HARI IBU NASIONAL pada 22 Desember 2014 yang ke-61
tahun, Pimpinan Pusat FMN menyampaikan“
Selamat Hari IBU, Bangkitlah kaum Perempuan bersama rakyat Indonesia merebut
hak-hak demokratis kita yang dirampas ”. Terima kasih, Jayalah Perjuangan
Perempuan dan Rakyat Indonesia.
22 Desember 2014,
Rachmad P Panjaitan
Ketua
1 komentar:
Jayalah perjuangan perempuan dan rakyat indonesia
Posting Komentar