"Disini Di antara buruh dan tani, kami generasi menemukan kebenaran dan kekuatan kembali. Inilah salah-satunya rumah kami- Emmanuel F. Lacaba"
Perampasan tanah di Indonesia Tidak
hanya dipraktekkan pihak perusahaan asing milik imperialisme maupun perusahaan dalam negeri milik borjusi besar komprador dan tuan tanah
besar swasta, namun kaum tani Indonesia juga harus
berhadapan tidak kalah kejamnya dari kekuatan Negara yang dimainkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI menjadi salah satu alat negara
selain BUMN yang menjadi
momok yang merampas tanah rakyat secara masif dan luas. Dalam konteks sejarah, TNI
mendapat posisi penting dalam percaturan ekonomi-politik Indonesia sejak periode akhir Orde
Lama dan kemudian diperkuat saat rejim Soeharto. Selain tujuan utama TNI untuk memperkuat posisi kekuasaan fasis Soeharto, mereka juga diberi
akses
untuk menjalankan bisnis baik berbentuk yayasan, koperasi, perkebunan, perusahaan, jasa
keamanan, sampai pengambilan sumber daya seperti hasil kayu dan pasir. Dalam hal konflik
agraria, selain memposisikan
diri sebagai "alat pemukul" perjuangan kaum tani, TNI juga mengambil lahan untuk kepentingan kemiliteran, seperti pembangunan landasan
udara, lapangan tembak, Kamp latihan,
dll. Hal ini hampir terjadi di
seluruh pelosok negeri, seperti yang
terjadi di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor.
Konflik agraria di Desa Sukamulya ini adalah konflik
lama antara TNI, khususnya Angkatan Udara (TNI AU/AU) dengan kaum tani dan
masyarakat desa yang hingga
saat ini masih saja berlangsung.Ini akan menjadi fokus berita yang di dalamnya berupa kajian dari sekian banyak konflik agraria di Indonesia yang melibatkan Negara khususnya Militer. Sehingga kita dapat melihat gambaran umum tentang kedudukan Negara khususnya Militer yang mulai berusaha untuk mendapatkan akses atas ekonomi kembali di Indonesia.
Sejarah Singkat:
Kaum Tani Versus TNI AU di Desa Sukamulya
Masyarakat yang mendiami Desa Sukamulya
merupakan masyarakat yang telah secara turun-temurun mendiami wilayah tersebut.
Dalam sejarahnya, pada zaman kolonial Belanda, Desa Sukamulya khususnya wilayah
tanah perkebunan NV. Cultuur
Maatschappij Tjikoleang atau dikenal
perkebunan Cikoleang (Cikoleang sendiri adalah nama sebuah kampung Di Desa
Sukamulya) seluas 248 Ha dikuasai oleh keluarga
Van Motman tuan tanah asal Belanda. Di
lokasi perkebunan tersebut, terdapat pula wilayah pemukiman
warga. Selama penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Desa Sukamulya mendapat tindasan yang begitu
keras meskipun tanah tidak menjadi
milik pemerintah kolonial, namun kolonial Belanda tetap menarik pungutan upeti
/pajak penghasilan, 5:1.
Pada masa pendudukan Jepang, tanah
perkebunan dirampas dan diberikan kepada tentara Dai Nippon untuk pembangunan
lapangan terbang dan sarana pendukungnya. Pembangunan tersebut menggunakan
sistem kerja paksa Romusha dengan
mempekerjakan warga desa dengan upah hanya semangkuk nasi per hari. Jepang melarang petani untuk mengelola tanah, hal ini semakin memperburuk kondisi
masyarakat desa Sukamulya.
Keadaan ini menyebabkan banyak
warga yang keluar dari desa dikarenakan kondisi yang semakin parah. Selain itu, sebagaian masyarakat juga masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada awal kemerdekaan,
masyarakat desa kembali datang dan menduduki Desa Sukamulya. Masyarakat kembali membangun tempat tinggal dan
melakukan kegiatan bertani
di sawah maupun berkebun.
Namun, pada perkembangan kaum tani masyarakat Desa Sukamulya yang turut berjuang untuk kemerdekaan dan memperjuangkan
reforma agrarian, harus mendapatkan tindasan kembali dari pemerintahan sendiri
(TNI AU) pada tahun 1950.
Konflik antara TNI AU dengan rakyat
di Desa Sukamulya bermula dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Staf
Angkatan Perang (KSAP) pada tahun 1950. SK ini berisi tentang “Lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk
alat-alat yang berada di lapangan dan sungguh-sungguh
diperlukan untuk memelihara lapangan-lapangan
tersebut menjadi milik Angkatan
Udara Republik Indonesia”. SK
ini dijadikan legitimasi oleh pihak TNI AU untuk melakukan perampasan atas seluruh luas tanah Desa Sukamulya. Pada periode ini juga, perusahaan perkebuan swasta milik Belanda kembali
datang ke
Indonesia sebagai konsekuensi hasil
perjanjian KMB 1949 yang bertolak belakang dari cita-cita kemerdekaan RI yaitu
land reform sejati dan nasionalisasi aset asing.
Pada tahun 1960 diterbitkan SK Menteri Agraria memberikan kembali
tanah-tanah tersebut kepada perkebunan
Tjikoelang dengan hak guna usaha (HGU) selama
35 tahun, kecuali tanah yang
merupakan jalan umum seluas 8,285 Ha
tanah-tanah yang diduduki rakyat seluas 94,930
ha, dan tanah-tanah yang diperlukan oleh
Angkatan Udara seluas 36.600 Ha. SK
ini memberikan hak pengelolahan yang sah kepada TNI AU (36,6 Ha). Demikian terus hingga konflik ini semakin parah seiring
dengan semakin diperkuatnya posisi TNI oleh rejim Orde Baru. Serangkaian kebijakan dan perpanjangan kontrak perkebunan
juga dikeluarkan oleh pemerintah. Pada tahun 1984, terbit
SK Mentri Dalam Negeri yang memberikan perpanjangan HGU selama 35 tahun kepada Perkebunan Tjikoleang kecuali
tanah seluas 108,5250 Ha yang diperuntukan untuk keperluan
LAPAN, Pemerintah Daerah Tingkat ll
Bogor dan Pemerintah Desa.
Kaum Tani dan warga Desa Sukamulya semakin tertindas seiring semakin meluasnya kekuasaan tanah yang
dilakukan oleh TNI AU. Warga desa semakin menjadi-jadi penderitaanya ketika TNI AU pada tahun 2003 melakukan klaim atas seluruh
tanah di Desa Sukamulya seluas 1000 Ha, hal ini dilandasi dengan SK KSAP tahun
1950. Usaha-usaha
picik digunakan TNI untuk mencekal perjuangan sukamulya yang salah satunya melakukan pelarangan/pemblokiran proses sertifikasi tanah rakyat di Kabupaten Bogor. Akibatnya, warga tidak bisa mengurus dan memiliki sertifikat
tanahnya yang sudah dikuasai mereka secara turun-temurun itu. Puncaknya
pada tahun 2007, TNI AU melalui
kementerian pertahanan mengajukan registrasi tanah di Sukamulya sebagai
kekayaan milik negara di kementrian keuangan RI. Kemenkeu kemudian meregistrasi
tanah seluas 1000 Ha di Desa Sukamulya dengan Nomor Register 5053007 seluas 450 Ha dan nomor Register 5053008 Ha seluas 550 Ha tanpa adanya musyawarah
dengan warga. Semua diperuntukan bagi TNI AU untuk membangun lapangan terbang, water training, dan bangunan penunjangnya.
Beragam
kebijakan yang anti rakyat tersebut tentunya mendapat kecaman keras dari
masyarakat Desa Sukamulya. Berbagai perjuangan lahir akibat sikap anti rakyat
dari pemerintah dan TNI AU. Perjuangan masyarakat Desa Sukamulya adalah mempertahankan hak atas tanah yang telah mereka tempati yang menjadi sumber penghidupan sejak dulu yang kini dirampas oleh TNI AU. Namun perjuangan-perjuangan
masyarakat Sukamulya malah dihadapkan dengan tindakan referesif dari pihak TNI
AU.
Pada
21 Januari 2007, TNI AU yang dilengkapi dengan senjata mendatangi Desa Sukamulya untuk melakukan penggusuran lahan petani.
Kedatangan TNI AU ini dihadang oleh sekitar 500 warga yang ingin mempertahankan
lahan pertaniannya agar tidak digusur. Saat itu, terjadi kesepakatan dalam negosiasi antara kedua pihak, Pertama, TNI AU menarik kembali pasukannya. Kedua, TNI
AU sepakat akan menghentikan upaya penggusuran tanah pertanian milik warga.
Namun, hasil kesepakatan ini tidak dijalankan secara konsisten dan hanya untuk
membendung perlawanan kaum tani saja.
Hari
berikutnya 22 Januari 2007, justru
terjadi bentrokan yang lebih besar dan
parah lagi. Niat busuk TNI AU untuk terus menjalankan skema penggusuran
terlihat semakin jelas. Watak fasis secara terbuka
ditunjukkan TNI AU. Sekitar 100 pasukan TNI AU dan 30 polisi kembali mendatangi Desa Sukamulya
untuk melancarkan penggusuran. Hal ini terus ditentang dan dilawan oleh warga desa dengan membentuk barisan untuk menghalangi TNI dan kepolisian. Namun, pihak TNI
AU justru melakukan penembakan terhadap masyarakat desa. Sehingga mengakibatkan 1 orang warga terkena tembakan di
bagian leher.
Menurut data yang dirilis oleh KontraS,
pada 22 Januari 2007, sekitar pukul 14.00 WIB pasukan TNI AU yang berjumlah kurang lebih 80 orang
datang ke lokasi, dan langsung melakukan pengrusakan terhadap posko petani dan 2 (dua) buah motor
milik warga dirusak serta merampas hand phone milik warga. Setelah itu, pasukan TNI AU
melakukan penyisiran dan penyerangan terhadap warga. Penyerangan ini
mengakibatkan 2 (dua) orang warga terluka akibat dipukul dengan popor senjata
TNI AU dan 1 (satu) orang remaja putri terkena tendangan sepatu laras dirusuk
sebelah kanan, dan ironinya TNI AU juga melakukan penjambretan
terhadap kalung milik ibu korban. Setelah itu, sampai jam 19.00 WIB, pihak TNI
AU terus melakukan penyisiran
dan penjagaan ke rumah-rumah warga hingga jam 02.30 dini
hari. Pada bentrokan kali ini banyak warga yang terluka dan juga harta
kekayaanya dirampas dan dirusak dari ulah barbar dan keji TNI AU.
Konflik Agraria Desa Sukamulya: Pemerintah Abai
Dalam Pemenuhan Hak Rakyat Atas Tanah
Konflik agraria
yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan yang terjadi di Desa Sukamulya hingga di saat ini menjadi gambaran dari ribuan konflik yang ada di Indonesia. Akar persoalan dari konflik
agraria di Desa Sukamulya adalah Negara
melalui TNI AU malah menjadi tuan tanah yang merampas tanah rakyat. Ini membuktikan tidak hanya tuan tanah dan borjuis besar komprador swasta
yang menjadi perampas
tanah rakyat di Indonesia, namun Negara yang diwakili oleh
institusinya seperti TNI AU,
menjadi bagian yang melanggengkan perampasan tanah di Indonesia yang sangat eksis.
Peran TNI
dalam percaturan relasi konflik agraria memang sudah lama dan menjadi cerita
kelam bangsa Indonesia. Sejak jaman Orde Lama TNI memang terus menerus ingin
menunjukan kekuatannya untuk
menguasai ekonomi dan politik di Indonesia. Hal ini terbukti
dengan gagasan yang berkembang dan terbentuknya, Dwi Fungsi TNI/ABRI
yang digagas Jenderal AH Nasution. Dwi fungsi TNI memberi peran penuh Militer
dalam politik dan ekonomi sebagai
alat Negara yang menindas. Dwifungsi TNI dijalankan semasa orde Soeharto untuk mempertahankan
kekuasaan fasis yang membungkam dan menindas hak-hak demokratis rakyat hingga
32 tahun di Indonesia.
Pada kasus
konflik di Desa Sukamulya, terlihat jelas pihak TNI AU dengan segala cara berusaha merampas tanah rakyat. TNI
AU melancarkan skema-skema mulai
dari intimidasi psikologis hingga kekerasan fisik untuk mengambil tanah rakyat. Kasus-kasus tanah yang
semakin meluas dan massif, tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah. Tapi,
pemerintah malah memposisikan dirinya sebagai tuan tanah yang merampas tanah
rakyat.
Kalau dinilai dari pola konflik dan aktor yang ada di dalamnya, sesungguhnya kasus agraria di Desa Sukamulya dapat diselesaikan dengan cepat. Mengapa demikian ? karena aktor yang berkonflik adalah antara institusi negara dengan rakyat langsung, tanpa adanya peran swasta. Artinya, kasus konflik agraria tersebut tanpa melibatkan pihak ketiga. Jadi negara seharusnya dapat secara cepat dan tepat menyelesaikannya, karena Negara mempunyai wewenang untuk memutuskan tanah Sukamulya milik rakyat.
Kalau dinilai dari pola konflik dan aktor yang ada di dalamnya, sesungguhnya kasus agraria di Desa Sukamulya dapat diselesaikan dengan cepat. Mengapa demikian ? karena aktor yang berkonflik adalah antara institusi negara dengan rakyat langsung, tanpa adanya peran swasta. Artinya, kasus konflik agraria tersebut tanpa melibatkan pihak ketiga. Jadi negara seharusnya dapat secara cepat dan tepat menyelesaikannya, karena Negara mempunyai wewenang untuk memutuskan tanah Sukamulya milik rakyat.
Secara sudut pandang
hukum dan sosio-historis tanah, seluruhnya menunjukan bahwa tanah adalah sepenuhnya milik rakyat Desa Sukamulya. Sementara
yang menjadi landasan argumentasi TNI AU hanyalah SK KSAP
Tahun 1950 untuk mengklaim 1000 Ha tanah desa Sukamulya. Sedangkan secara sosio-historis telah menunjukkan bahwa masyarakat desa telah
menduduki tanah Sukamulya jauh sebelum adanya TNI AU bahkan
sebelum berdirinya negara Indonesia.
Demikian pula legitimasi
yang didapatkan dari para ahli hukum agraria atas konflik Sukamulya. Para
ahli menyatakaan bahwa desa
Sukamulya adalah milik masyarakat dan mendorong agar TNI AU menghargainya. Tapi
pemerintah masih saja tidak memberikan kepastian dan keberpihakan pada
masyarakat Sukamulya atas pengelolahan tanah. Berbagai perjuangan
panjang telah dilalui masyarakat Sukamulya dengan gigih dan pantang menyerah. Kondisi tahun 2007 yang ditandai dengan
penembakan masyarakat oleh TNI AU, tidak sedikit pun memundurkan perjuangannya.
Protes-protes hingga saat ini masih tetap dijalankan. Tak terhitung jumlah demonstrasi untuk
memperjuangkan hak mereka ke pusat-pusat
pemerintahan, mulai dari kantor DPR RI, TNI hingga ke Istana Kepresidenan. Tujuannya
adalah menuntut keadilan, demi hak atas tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka selama ini. Akan tetapi, terlihat
jelas posisi pemerintah selama ini yang mengulur-ulur penyelesaian kasus tanah
Sukamulya dengan bermacam alasan. Ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah sebagai representatif yang mendukung
sekaligus menjadi tuan tanah di Indonesia.
Dengan demikian,
FRONT MAHASISWA NASIONAL sebagai Ormass mahasiswa yang terlibat aktif dalam
perjuangan-perjuangan kaum tani untuk usaha landreform sejati di Indonesia,
memberikan dukungan sepenuhnya kepada masyarakat kaum tani Sukamulya, Rumpin
Bogor dalam aksi massa yang akan dilakukan pada 22 Januari 2015 di Istana
Kepresidenan. Selain terlibat dalam aksi massa, FMN mengajak seluruh
mahasiswa-mahasiswa di Jobetabek untuk dapat terlibat dalam kegiatan 3 SAMA
(Sama tinggal, Sama Kerja, Sama Makan) di Desa Sukamulya pada 20-22 Januari
2015. Kawan-kawan mahasiswa dapat semakin mengobjektifkan untuk melihat dan
sekaligus ikut mendukung dalam upaya penyelesaian kasus agraria; Kaum Tani VS
TNI AU. Di samping itu, mahasiswa akan
dapat belajar dari penghidupan kaum tani yang sederhana, namun giat berjuang
untuk kehidupan yang adil dan berdaulat atas tanah dan kemajuan Negara Indonesia.
Sehingga, kritikan yang menyebut mahasiswa dan kampus adalah menara gading dapat kita bantah secara
bersama-sama. Pemuda Mahasiswa Berjuang
Bersama Rakyat.
Sophian Effendi (Ka.Dept Pelayanan Rakyat & Kampanye)
1 komentar:
Sedih mbacanya..
Posting Komentar