"Suara bagi bangsa yang terperentah di seluruh Hindia Olanda- Motto Medan Prijaji"
Pers di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisah
dari kehidupan bernegara dan berbangsa. Pers akan selalu melekat dalam perkembangan Indonesia baik dari fase Pra kemerdekaan hingga saat ini. Pers
akan selalu memberikan renda-renda pengetahuan dalam perkembangan masyarakat
Indonesia. Berita, informasi, data akan dikemas sedemikian rupa yang mencoba
membongkar fakta dan kebenaran. Inilah menjadi peranan besar pekerja-pekerja
Pers yang harus dimainkan. Mendedikasikan hidupnya untuk menyuguhkan berita, yang lugas, tegas dari bawah ke atas atau atas ke bawah, agar negara ini semakin dewasa dalam
memberikan demokrasi kepada rakyatnya.
Pada awal Abad ke 20 rakyat Indonesia masih terbelenggu oleh kolonialisme imperialisme
Belanda dan feodalisme. Pada masa ini, rakyat Indonesia telah mencapai
kesadaran politik untuk mempersatukan diri melawan kolonialisme imperialisme
Belanda dan Feodalisme guna memperjuangkan masyarakat Indonesia yang merdeka,
bebas dan berdaulat. Berangkat dari hal tersebut, bangkit pula kesadaran untuk
membentuk berbagai jenis media-media perjuangan rakyat, mulai dari organisasi
sosial politik hingga organisasi-organisasi Pers. Dalam hal kehidupan Pers di
Indonesia, masa ini menjadi momentum penting bagi perkembangan pers dimana pada tahun 1907 lahir sebuah surat kabar nasional pertama bernama Medan Prijaji di kota Bandung yang
dipelopori oleh Tirto Adhi Soerjo. Dialah kemudian yang disebut-sebut Pramoedya
Ananta Toer sebagai Minke dalam karya
Tertalogi Pulau buru. Medan Prijaji didirikan bertujuan untuk
menggugat ketidakadilan di Indonesia akibat proses kolonisasi Belanda serta
penindasan feodal.
Selain Medan priyayi yang digagas Tirto Adhi Soerjo,
telah berkembang beberapa media yang digunakan sebagai alat perjuangan melawan
kolonialisme imperialisme Belanda dan feodal. Seperti Dowes Dekker (De Expres,
1912), HOS Tjokroaminoto (Oetoesan Hindia, 1912), Tjipto Mangoenkoesoemo
(Penggugah, 1919), Mas Marco Kartodikromo (Dunia Bergerak, 1914), Haji Misbah
(Medan Moeslimin, 1915), dan lain-lain. Pada
tahun 1914 mereka bersama-sama mendirikan Inlandsche
Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini telah banyak mengambil kepeloporan
dalam ranah pemberitaan dan penyadaran kepada rakyat untuk melawan kolonialisme
imperialisme Belanda dan feodal. Akibat perang
pena yang dilakukan oleh pers-pers Indonesia di awal abad 20 ini, menyebabkan
sering terjadi pembrendelan, penangkapan bahkan pengasingan para pemimpin
organisasi Pers di Indonesia. Selain itu, terdapat pula organisasi wartawan
seperti Sarekat Journalist Asia yang berdiri pada tahun 1925, Perkumpulan Kaoem
Journalists (1931, serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Semuanya
memahami bahwa orientasi pers harus menyandarkan pada keberpihakan untuk
membangkitkan kesadaran massa rakyat melawan kolonialisme Imperialisme Belanda
dan feodal di Indonesia.
Nah, pada masa ini tumbuh suburnya Pers bukanlah
sebagai alat untuk melanggengkan penjajahan ataupun sebagai bisnis yang
berorientasi keuntungan. Namun masa ini Pers sudah menunjukkan masa keemasannya
yang mempunyai Peranan sebagai alat membangkitkan kesadaraan dan alat
perjuangan untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari Penjajah Belanda.
Pemberangusan Pers di bawah Soeharto Hingga Disorientasi Pers Dewasa ini
Kemudian
pada tahun 1985 baru
diakui adanya Hari Pers Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 5/1985. Tapi, kita ketahui perkembangan Pers di Indonesia sudah ada semenjak awal abad 20 yang digagas
oleh kaum-kaum intelektuil progesif yang menjadikan Pers sebagai ranah atau alat perjuangan
rakyat. Namun mengapa 9 Februari 1985
ini baru diresmikan sebagai Hari Pers Nasional ? Ini tidak terlepas dari pergeseran politik ke arah demokrasi ala orba yang otoriter yang sepenuhnya mengadi kepada imperialisme AS serta merepresentatifkan kepentingan pengusaha-pengusaha besar dan tuan tanah. Maka hakekat dari perjuangan Pers dimana akan hidup berdampingan dengan demokrasi, akan
bertentangan dengan rejim
Soeharto yang memberangus nilai-nilai dan merampas hak demokrasi rakyat itu sendiri. Ini juga yang kemudian menjadikan perkembangan Pers
di Indonesia mengalami kemandekan. Bagaimana tidak, berita-berita yang
disuguhkan oleh jurnalis ataupun wartawan terhadap masyarakat harus melalui lembaga sensor negara di bawah
kementerian Penerangan. Maka saat itu berkembang frasa, “Menurut Petunjuk Bapak (Harmoko)”. Sementara berita-beritanya
harus mendukung pemerintahan Soeharto dan tidak bisa melakukan protes ataupun
mengkritik.
Kemudian jatuhnya rejim Soeharto
yang ditandai dengan gerakan reformasi 1998, setidaknya ini memberi angin segar
atas perkembangan demokrasi yang diraih rakyat. Kebebasan Pers juga mengalami
perkembangan sedemikian rupa. Pers mulai memuat berita-berita yang berisikan
kehidupan masyarakat dan juga kritikan terhadap pemerintahan. Akan tetapi,
kebebasan dalam berekspresi yang dimiliki Pers juga sesungguhnya masih tetap terbatas. Tentu ini disebabkan bagaimana sepenuhnya Pers
masih dibelenggu kepentingan kekuasaan "Negara" itu sendiri. Pers bahkan
berkembang menjadi Bisnis yang mengiurkan yang memberi keuntungan besar. Maka tak ayal, melihat sejumlah Pers
di Indonesia saat ini dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar. Artinya
perkembangan Pers saai ini tetap mengalami persoalan untuk menjalankan tugasnya dalam menyajikan berita-berita guna memberikan pendidikan dan
kesadaraan maju bagi masyarakat. Pers masih dikontrol penuh oleh Negara dan
pemilik-pemilik modal yang berorientasi untuk menguasai politik dan ekonomi.
Mengembalikan Masa Keemasan Pers
di Indonesia
Pada masa Pra kemerdekaan awal abad 20, telah mengajarkan kepada kita bagaimana Pers didirikan bukan
untuk penguasa atau komersil. Namun Pers sepenuhnya mendukung perjuangan rakyat. Pers dengan gigih melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang mulia untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Peranan PERS tentu terletak pada bagaimana mereka mampu
memperkenalkan apa itu kebenaran di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai
kebenaran menjadi roh yang menyelimuti setiap berita atau informasi yang
disampaikannya. Dan yang terpenting PERS dapat menjadi instrumen
mengkampanyekan peradaban yang maju bagi masyarakat Indonesia.
Pekerja-pekerja pers tentu
mempunyai pandangan progesif pada umumnya. Namun kerap dihambat oleh pemilik
pers itu sendiri. Salah-satunya seperti kasus Luviana wartawan Metro yang
dipecat karena ingin mendirikan serikat pekerja dan menuntut kesejahteraan serta
indepedensi pekerja pers. Akan tetapi, pekerja-pekerja Pers
harus mampu mendidik massa, oleh sebab itu pers akan selalu dikaitkan menjadi instrumen
kebudayaan rakyat. Pekerja Pers harus mampu menjelaskan kepada masyarakat di
surat-surat khabar, di media elektronik, apa yang menjadi akar persoalan
masyarakat dan apa jalan keluarnya. Pers sekali-sekali harus mampu membantah mitos
Orba “Pers milik penguasa”, dan
mengembalikan roh Pers pada masa awal
abad 20 yakni “Pers milik rakyat”. Pers akan berguna, apabila mampu menginformasikan sebuah kebenaran
kepada masyarakat. Bersandar pada banyak orang, dan membantu banyak orang untuk
sadar dan mau bergerak untuk maju. Tugas sejatinya Pers yaitu, membangkitkan
dan menggerakkan masyarakat menuju kehidupan yang lebih maju. Pers haru mampu
mendompleng pemikiran masyarakat yang masih dibelenggu dari keterbelakangan dan
kemiskinan akibat sistem yang menindas.
Pekerja-pekerja Pers adalah berasal dari kaum intelektuil. Maka sebagaimana tanggung jawab kaum intelektuil yang bekerja di ruang-ruang Pers, sudah saatnya
mengembalikan masa keemasan perkembangan PERS di Indonesia. Sehingga Pers bukan
menjadi semata-mata menjadi mainan penguasa atau mainan pebisnis untuk meraup
keuntungan saja.
Selain itu, organisasi-organisasi rakyat terutama secara khusus kepada seluruh organisasi FMN yang tersebar di kampus-kampus, kota-kota dan Provinsi, harus mampu menjadikan Momentum Hari Pers Nasional ini untuk meningkatkan dan mengembangkan media-media kepunyaan organisasi mulai dari penerbitan buletin-buletin, website, dan lain-lain sebagai media untuk menyajikan berita, informasi, tulisan yang bertujuan untuk membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakkan.
09 Februari 2015,
Rachmad P Panjaitan
Ketua
0 komentar:
Posting Komentar