"Jadikan Film Sebagai Media kebudayaan Mengajarkan
Kenyataan dan Mencerdaskan Rakyat Indonesia"
Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Awal Perfilman
Indonesia
Film merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam kebudayaan manusia. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah mendorong perkembangan media elektronik yang
dapat dinikmati oleh masyarakat. Salah-satunya adalah kemajuan dunia perfilman
yang didorong oleh upaya untuk menyampaikan pesan ekspresi yang berisi nilai-nilai
kebudayaan kepada masyarakat yang menekankan audiovisual. Berangkat dari dua
faktor utama ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, film kemudian terus berkembang dan menjamur ke
seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia
lahir dan berkembangnya dunia perfilman juga tidak terlepas dari kondisi pada
zaman kolonialisme Belanda. Perkembangan produksi film yang semakin banyak di
belahan Benua Eropa mendorong negara-negara Eropa, termasuk Belanda untuk
mengekspor film-filmnya ke Indonesia. Pada 5 Desember 1900, untuk pertama kalinya
rakyat Indonesia menyaksikan pertunjukan film, yang pada waktu itu ditayangkan
di Jakarta berupa film dokumenter. Namun, pertunjukan film semasa itu di
Indonesia, tentu tidak untuk memajukan cara berpikir rakyat pribumi. Film-film
yang ditayangkan di Indonesia ditujukan untuk menjadi legitimasi penghisapan
dan penindasan belanda di Indonesia. Membentuk kesadaraan masyarakat sangat
terbelakang, karena muatan Film yang diputar imperialisme Belanda adalah yang
menunjukkan "kebaikan" serta kekuatan Belanda menduduki Indonesia. Di sisi lain, Film semata-mata menjadi
Hiburan Imperialisme Belanda di Indonesia. Sehingga masif dan maraknya produksi
film di Indonesia ditujukan untuk membangun industri perfilman dan menguasainya
secara penuh untuk menghibur bangsa-bangsa Eropa yang menjajah di Indonesia.
Bahkan dalam setiap pertunjukan film tertentu, rakyat Indonesia tidaklah
diperbolehkan untuk ikut serta menikmati pertunjukan, dan kolonialisme Belanda
dengan keji melabeli rakyat dengan sebutan “kelas
kambing”.
Berangkat dari
kondisi orientasi Film yang diproduksi oleh imperialisme Belanda terhadap
rakyat Indonesia, dimulailah produksi film yang diorientasikan untuk mayoritas
rakyat Indonesia. Film produksi dalam negeri dan menggunakan mayoritas
pemerannya rakyat Indonesia adalah film “Terang
Boelan” pada tahun 1934. Film ini diterima di kalangan rakyat Indonesia.
hal ini dikarenakan film ini lebih membumi dan menarik sehingga alur cerita dan
nilai-nilai yang disampaikan dapat lebih dimengerti rakyat Indonesia. Dengan
alunan musik keroncong yang mengiringi film tersebut, bertambah menariklah film
“Terang Boelan” untuk dinikmati rakyat.
Film
selanjutnya yang juga mampu mengguncang dunia perfilman Indonesia dan mampu
menunjukan kemampuan dan sebagai tandingan dari film-film Eropa dan Amerika
adalah film “Darah dan Doa” yang
diadaptasi dalam bahasa Inggris judulnya menjadi (Long March of Siliwangi).
Film ini pertama kali diproduksi pada 30 Maret 1950. Dalam ceritanya film ini
mencoba mengangkat dan menyuguhkan usaha dan upaya yang keras dari tentara dan
rakyat Indonesia untuk bersama-sama berjuang melawan imperialisme Belanda yang
kembali datang setelah kemerdekaan Indonesia. Hingga pada akhirnya usaha yang
berdarah-darah tersebut membuahkan hasil kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.
film ini menjadi pusat perhatian rakyat Indonesia saat itu, karena isi dan
cerita film ini sangat nyata terhadap kondisi rakyat Indonesia, yang saat itu
seluruh rakyat mendambakan sebuah negeri dan bangsa yang benar-benar merdeka.
Atas andil besar film ini, kemudian ditetapkanlah 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional.
Namun, saat ini seiring dengan perjelanan sejarah bangsa Indonesia, kondisi perfilman pun terus mengalami dinamikanya. Semangat untuk memproduksi film-film untuk menguak kebenaran dan mencerdaskan rakyat setahap demi setahap mulai hilang seiring hegemoni dan pengaruh kebudayaan terbelakang dari imperialis dan kebudayaan terbelakang feodal yang terus ditransformasikan oleh rejim melalui seluruh mesin kebudayaan negara.
Kondisi Perfilman Indonesia Kekinian
Indonesia
merupakan negeri setengah jajahan setengah feodal yang berada di bawah dominasi
imperialisme AS. Struktur ekonomi, politik dan kebudayaan negeri tentunya akan
terpengaruh dan terdominasi oleh sistem sosial yang ada. Hal ini mempengaruhi
bahkan menentukan kondisi Perfilman di Indonesia. Dominasi imperialisme AS dan
feodalisme di Indonesia menjadikan perfilman rakyat Indonesia terus mengalami
degradasi dan keterbelakangan. Tentunya untuk terus memastikan hegemoni
penindasan dan penghisapan yang dijalankan, rejim berkuasa Jokowi-JK akan terus
melanjutkan secara maksimal kondisi perfilman yang sangat memprihatinkan di
Indonesia.
Kondisi
perfilman di Indonesia saat ini masih menyuguhkan nilai-nilai yang anti
kenyataan yang tidak sama sekali mencerdaskan kehidupan rakyat. Sesungguhnya telah
terkuak bahwa sejak Belanda menjajah di Indonesia mereka telah menanamkan dunia
perfilman yang berorientasi alat legitimasi dalam kebudayaan dan komersil.
Bahkan hingga kemerdekaan, perkembangan film-film di Indonesia banyak yang
diproduksi untuk menjauhkan rakyat. Nilai feodal dan penyembahan terhadap
negara maju (imperialisme telah ditanamkan kuat). Bahkan film-film dari negara
Imperialisme khususnya AS dipasaok secara besar-besaran ke Indonesia. Sehingga
wajar rakyat Indonesia sangat mendambakan Sylvester Stallone dalam Film Rainbow
sebagai tentara AS yang melawan rakyat Vietnam. Padahal itu adalah skema
bagaimana AS menanamkan nilai-nilai inlander
ke seluruh dunia melalui produksi perfilman untuk menunjukkan bahwa mereka
adalah Negara Super power dan tentara
dunia yang harus menjadi kiblat dunia khususnya Indonesia.
Sementara itu,
sedikit film dan dokumenter di Indonesia yang menggambarkan wawasan yang
mengangkat kondisi objektif rakyat Indonesia. Contohya Film yang bertemakan
kondisi penghisapan di wilayah timur khususnya Papua seperti Film “Tanah Mama,
Mentari dari Ufuk Timur, Tanah surga katanya dan lain-lain”. Demikian pula cerita Film tentang “Batas,
Tanah Surga Katanya” yang menceritakan kondisi tentang kehidupan masyarakat
perbatasan dengan Malaysia yang serba kekurangan. Sementara yang menceritakan
kondisi buram pendidikan di Indonesia juga masih dapat dihitung dengan nyali.
Seperti; ”Temani aku bunda, Denias Senandung di Atas Awan, Laskar pelangi,
Tanah air Beta”.
Saat ini kondisi perfilman di Indonesia telah dirongrong dengan perkembangan Industri perfilman yang sangat mengiurkan bagi para pengusaha besar, dan bahkan bekerjasama dengan produksi film internasional seperti Hollywood yang mempunyai kepentingan komersil dan penanaman nilai kebudayaan liberal atau keagungan AS di seluruh dunia khususnya Indonesia. Sehingga Film-film di Indonesia bertemakan ilusi yang jauh dari kenyataan dan tidak mendidik. Berbagai Film hanya bertemakan cinta anak muda yang membuat alam berpikir rakyat menjadi terbelakang dan tidak berealita. Setiap hari stasiun Televisi menyuguhkan Film-film baik cinema maupun sinetron semacam FTV yang membuat rakyat khususnya anak muda terbuai akan mimpi-mimpi cinta maupun kemewahan hidup.
Maka,
persatuan rakyat Indonesia, khususnya pekerja seniman film Indonesia harus berusaha
keras untuk mengubah kondisi perfilman di Indonesia yang tidak mendidik dan
menjauhkan rakyat dari kenyataan. Film harus mampu dijadikan sebagai alat
kebudayaan yang memajukan kesadaraan rakyat. Sehingga Film-film Indonesia
bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kondisi objektif rakyat dari setiap alur
cerita yang disuguhkan. Oleh karena itu,
kita harus mampu mengkampanyekan penolakan atas film-film di Indonesia yang menjauhkan
rakyat dari kenyataan hidupnya dan tidak mendidik. Di sisi lain, kita sebagai
pemuda mahasiswa sudah saatnya mampu berlahan-lahan memproduksi berbagai Film
atau dokementer yang bertemakan kondisi objektif rakyat yang mendidik, sebagai
usaha mewujudkan film yang berkualitas dan mendidik.
Symphaty Dimas
Ka. Dept. Dikprop
0 komentar:
Posting Komentar