Nelayan
Indonesia: Kemiskinan, Penderitaan, dan Perampasan Hak Atas Laut dengan
Kebijakan anti Nelayan. Berikan Hak
Nelayan atas Akses laut di Indonesia !
“Lautan adalah kebebasan. Namun dihadapan
wajah laut, nampak dirimu yang pendusta- Ws Rendra”
Indonesia merupakan
negeri kepulauan yang bersar. Gugusan kepulauan Indonesia terbentang sebanyak
17.508 pulau. Sementara posisi Indonesia tepat berada pada letak yang strategis
yaitu diapit oleh dua benua, yaitu Asia dan Australia dan dua samudera, Hindia
dan Pasifik. Kondisi yang demikian menjadikan wilayah Indonesia didominasi oleh
wilayah perairan dan merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke dua di
dunia setelah Kanada, dengan panjang pantai 95.191 km. Oleh karena itu, selain
mayoritas rakyat Indonesia bekerja sebagai petani, rakyat Indonesia juga
bekerja pada sektor nelayan, khususnya masyarakat yang hidup di wilayah
pesisir.
Sebagai salah satu sektor
produktif dan merupakan salah satu sumber kemakmuran bangsa, nelayan sudah
sepatutnya diberikan jaminan kesejahteraan dan dilepaskan dari kemiskinan akut
yang selama ini membelenggu. Semangat untuk mengangkat derajat nelayan dahulu
sempat mengemuka, beriring dengan semangat kemandirian dan kedaulatan negara,
sehingga kemudian munculah penetapan bahwa 6 April adalah harinya nelayan
Se-Indonesia. Namun, hingar bingar kedaulatan nelayan atas laut seperti hilang
tertelan zaman. Kondisi nelayan Indonesia saat ini masih terus dirundung
permasalahan, khususnya permasalahan kesejahteraan. Sama halnya ketika di masa
Nusantara, rakyat Indonesia terkenal dengan kekuatan lautnya. Bahkan
kapal-kapal Pinisi Makassar dapat mengelilingi Asia Tenggara untuk
mengembangkan kesejahteraan bagi nelayan Indonesia. Namun semenjak bangsa asing
datang ke Indonesia baik Portugis dan terakhir Belanda, mengubah kedaulatan
maritim Indonesia menjadi kekuatan menghasilkan rempah-rempah yang merupakan
tanaman komoditas Internasional masa itu di Eropa. Sementara laut dijadikan
sebagai jalur untuk mengelilingi Nusantara untuk mencari rempah-rempah yang
menandai babak penjajahan kolonial asing di Indonesia. Sehingga dalam karya Arus Balik Pramoedya Ananta Toer
menceritakan malapetaka yang dialami bangsa Pribumi ketika bangsa Kolonial
Portugis dan Belanda masuk untuk mengeksploitasi maritim yang dikuasai oleh
kapal-kapal besar mereka.
Sementara itu, Nelayan
seharusnya menjadi bagian penting dalam pembangunan bangsa dan negara yang
berdaulat untuk terus menopang kehidupan seluruh rakyat dengan produksi hasil
tangkapannya. Para nelayan tradisional menangkap ikandengan mengunakan cara
yang ramah lingkungan dan menjadikan laut sebagi rumah mereka. Nelayan telah
menganggap laut sebagai peradaban yang memberikan sumber kehidupan sejak nenek
moyang mereka hidup di daerah pesisir. Sehingga Nelayan akan selalu menjaga
ekosistem yang berkelanjutan di laut, karena selain laut menjadi mata pencarian
Nelayan, laut juga telah membentuk kebudayaan masyarakat Nelayan di daerah
pesisir Indonesia.
Namun saat ini
kenyataannya, Nelayan justru semakin terjerumus pada jurang kemiskinan. Kemiskinan
yang terus melanda sektor nelayan ini dapat tercermin dari data yang disuguhkan
pemerintah. Dari jumlah rakyat miskin di
Indonesia berjumlah 31,02 juta jiwa, sebanyak 7,87 juta jiwa adalah Nelayan. Dan
ironinya setiap tahun nelayan semakin berkurang karena disebabkan hilangnya hak
atas akses laut dan terbitnya undang-undang yang menghambat nelayan untuk
melaut.Selain itu, pendapatan rata-rata nelayan yang hanya berkisar
Rp.30.000,-/hari membuat nelayan tak berdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis bahwa setiap tahunnya
Indonesia kehilangan 31.000 nelayan atau sekitar 116 nelayan setiap harinya.
Kini kedaulatan dan
keperkasaan Nelayan yang menjaga kelestarian setiap laut di Indonesia, menjadi
cerita belaka saja bahkan menjadi mitologi lagu “Nenek moyangku seorang Pelaut”. Kenyataannya Nelayan di Indonesia
kini menjadi sektor golongan masyarakat yang miskin dan sangat jauh dari ukuran
kesejahteraan untuk menguasai laut. Nah, bagaimana di masa Jokowi-JK yang
menjadikan sektor kedaulatan kemaritiman sebagai prioritas pembangunannya di
Indonesia saat ini ? apakah itu untuk Nelayan dan rakyat atau untuk pemilik
modal ?
Nasib Nelayan dalam Pemerintahan Jokowi-JK
Pemerintahan Jokowi-JK
yang terus menggembar-gemborkan janji untuk membangun basis kemaritiman yang
mandiri dan berdaulat untuk kesejahteraan nelayan saat ini setahap demi setahap
mulai terlihat kebohongan dan kepalsuannya. Dengan berbagai model program mulai
dari visi-misi program Nawacita nya, yang membangkitkan semangat Trisakti,
justru hanyalah tameng untuk menutupi segala kebijakan yang dirasakan sangat
jauh untuk mensejahterakan rakyatnya, demikian di sektor kemaritiman. Dalam
mengelola pembangunan dan proyek perekonomiannya, pemerintahan Jokowi-JK sepertinya
sama denganpemerintahan sebelumnya yang menyandarkan Indonesia kepada kekuatan asing/imperialisme
khususnya investasi dan hutang luar negeri dari AS.
Adanya pembentukan
kementerian Kemaritiman dengan menterinya Indroyono Soesilo, tidak akan
memberikan sebuah kesejahteraan dan kedaulatan bagi laut dan nelayan Indonesia.
Karena pada esensinya kekuatan sektor maritim ingin dijadikan sebagai jalur
sirkulasi modal dan barang yang diperuntukkan bagi investasi-investasi asing
untuk menghubungkan pulau-pulau besar di Indonesia untuk menguasai sumber daya
laut maupun alamnya. Sehingga pembangunan tol laut yang dicanangkan Jokowi-JK
yang bersumber dari dana pengalihan subsidi BBM dan investor asing, tidak akan sama sekali berguna bagi nelayan.
Tapi pembangunan tol laut ini hanya
melayani korporasi-korporasi internasional untuk mengeksploitasi laut dan
sumber daya alam Indonesia.
Kementerian ini menjadi tameng bagi pemerintahan
Jokowi dengan seolah peduli dan benar-benar ingin membangkitkan ataupun
memajukan kehidupan kaum nelayan yang selama ini terpinggirkan. Dalam program
kemaritimannya pada visi-misi resminya Jokowi-JK, menyebutkan banyak sekali
program untuk pengembangan ekonomi maritim seperti, memberikan kapasitas dan
akses terhadap sumber modal, sarana produksi, infrastruktur, teknologi, dan
pasar, pemberantasan penangkap ikan ilegal, peningkatan luas kawasan konversi
perairan yang berkelanjutan, dan meningkatkan produksi perikanan dua kali
lipat, menjadi sekitar 40-50 juta ton per tahun. namun, lagi-lagi hal ini hanya
sebatas program untuk menarik simpati masyarakat nelayan demi mendulang suara
dalam Pemilu.
Faktanya berbagai
kebijakan yang diambil Jokowi-JK melalui Kementerian Kelautan dan perikanan
banyak ditolak oleh Nelayan Indonesia. Nelayan menganggap kebijakan-kebijakan yang diambil tidak berpihak
pada Nelayan. Namun kebijakan tersebut lebih memberikan ruang yang luas bagi
kapal-kapal besar bagi swasta maupun asing untuk menguasai penangkapan ikan dan
kekayaan laut di Indonesia. Melalui Menteri Kelautan dan Perikanan, susi
mengeluarkan kebijakan yang sangat anti terhadap Nelayan Indonesia. Susi
mengeluarkan kebijakan No. 1 Tahun 2015 tentang larangan penangkapan lobster,
kepiting rajungan bertelur. Kebijakan ini akan mematikan nelayan untuk melaut
dengan kapal kecilnya untuk menangkap ikan loster, kepiting dan rajungan
bertelur dalam skal kecil. Dengan alasan kelestarian laut, Susi menghambat dan
sekaligus mematikan sirkulasi mata pencarian nelayan. Dan anehnya kebijakan ini
tidak diperuntukkan bagi kapal-kapal besar swasta dan asing untuk menangkap
ikan lobster, kepiting dan rajungan bertelur. Akan tetapi, kebijakan ini malah
memberi keleluasan bagi kapal-kapal besar milik swasta dan asing untuk
menangkap ikan lobster, kepiting dan rajungan bertelur dalam skala besar untuk
mendorong eksport besar-besaran ke luar negeri. Jadi semakin jelas kebijakan
yang diambil oleh susi tentu merepresentatifkan kepentingan swasta dan asing
dan juga mewakili kepentingannya sebagai ekspotir lobster besar di Indonesia.
Selain kebijakan itu,
Nelayan juga menolak permen KKP no. 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan
alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik. Padahal alat ini sudah
digunakan semenjak nenek moyang mereka melaut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Seolah-olah dengan alat ini, Pemerintah mengklaim nelayan merusak kelestarian
laut di Indonesia. ini adalah sebuah kebongan besar. Karena jika ditanya secara
jujur, Nelayan tidak akan pernah merusak laut di Indonesia. Bahkan nelayan
telah menjadikan laut sebagai rumah
mereka yang tetap akan dijaga kelestariannya. Sebaliknya jika ditanya kepada
kita siapa yang merusak laut, maka jawabnya adalah kapal-kapal besar milik
swasta dan asinglah yang telah merusak
laut Indonesia dengan mengunakan alat modernnya menangkap ikan dan
merusak keindahan terumbu karang kita. Artinya lagi-lagi kebijakan Pemerintahan
Jokowi-JK tidak berpihak kepada nelayan, namun lebih menunjukkan
keberpihakannya pada kapal-kapal besar milik swasta dan asing yang bertujuan
untuk mengekspolitasi dan meraup keuntungan yang besar dari laut dan kekayaan
alam di Indonesia. Namun karena kebijakan ini banyak nelayan mengalami
kriminalisasi oleh negara seperti di Tarakan, sebanyak 9 (sembilan) nelayan
ditangkap oleh aparat dengan alasan masih menggunakan alat tangkap yang
merusak.
Sehingga kebijakan
tersebut bukan semakin mensejahterahkan kaum nelayan Indonesia sebagaimana
dalam program Jokowi-JK berdaulat dalam kemaritimannya. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan tersebut telah semakin menyengsarakan kaum nelayan di
Indonesia. Di jawa timur di daerah pesisir, Nelayan tidak dapat melaut karena
kebijakan ini. Sehingga nelayan-nelayan di Jawa timur pun melakukan aksi protes
atas penerbitan dari kebijakan tersebut yang dianggap tidak berpihak pada petani.
Demikian di Bintan, puluhan ribu Nelayan tidak melaut dikarena kebijakan ini. Demikian di Pantura, jawa barat atau Jawa tengah yang ratusan ribu nelayan terancam bisa melaut.
Selain kebijakan itu,
terbukti juga pemerintahan Jokowi-JK tidak konkrit dapat memberhentikan
pencurian ikan ilegal di Indonesia oleh asing. Buktinya hingga saat ini
Indonesia terus kehilangan 1 juta ton ikan rata-rata per tahunnya yang dapat
bernilai 30 Triliun Rupiah. Adapun menenggelamkan kapal oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan, adalah “kapal kecil”. Dan ini tidak lebih hanya menjadi manuver politik pencitraan Jokowi-JK
agar seolah-olah telah memulai programnya untuk menghambat pencurian ikan di
laut Indonesia. Karena jika dihubungan dengan kedaulatan atas pulau-pulau di
Indonesia, hingga saat ini 92 pulau di Indonesia terancam diklaim oleh asing
(sumber:Kompas). Dan tidak ada juga usaha pemerintahan Jokowi-JK untuk segera
menegaskan pulau-pulau terluar ini milik Indonesia. Maka ancamannya ini akan
sama dengan pengambilalihan pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI.Jadi bukan kedaulatan laut, tapi keruntuhan.
Sama halnya dengan kenaikan
harga BBM per 28 maret 2015 yang semakin menyulitkan Nelayan untuk melaut
karena mahalnya biaya bahan bakar. Karena Bahan bakar yang naik tidak sebanding
dengan hasil tangkapan ikan nelayan yang relatif terus menurun akibat berbagai
faktor kebijakan dan cuaca. Sehingga wajar kita melihat banyak kapal-kapal
kecil nelayan bersandar di bibir pantai akibat mahalnya bahan bakar untuk
mereka pergi melaut. Tentu kenaikan harga BBM sangat berpengaruh siknifikan
pula terhadap kebijakan kaum nelayan di Indonesia.
Nelayan harus berdaulat atas Laut
Itulah berbagai kebijakan
yang anti nelayan yang telah diterbitkan oleh Jokowi-JK di semester 1 memimpin
Indonesia. Tentu ke depan akan semakin banyak lagi kebijakan yang anti terhadap
nelayan terutama apabila telah berjalann pembangunan Tol laut di beberapa
pulau. Ini akan semakin mengancam eksistensi kaum nelayan atas akses laut untuk
menagkap ikan. Karena sudah pasti akan terjadi perampasan laut untuk zona
ekonomi yang lebih diperuntukkan bagi swasta dan investasi asing. Demikian pula
kebijakan mega proyek MP3EI yang masih dijalankan Jokowi-JK yang pasti juga berdampak
begitu buruk bagi nelayan. Apa yang dicanangkan oleh rejim Jokowi-JK dengan
melakukan perbaikan tata ruang pesisir sesungguhnya bermakna untuk melakukan
penggusuran bagi para nelayan yang tinggal di wilayah-wilayah tersebut. Misalkan saja mega proyek Giant Sea Wall yang merupakan proyek
MP3EI bersama antara Nasional dan Pemprov DKI Jakarta yang akan membangun bendungan
besar yang mencakup wilayah Bekasi-Jakarta-Tangerang. Data dari Kiara mengatakan bahwa akan ada
sedikitnya 16.855 keluarga nelayan yang akan tergusur jika mega proyek ini
terus berjalan.
Oleh karena itu, dalam
momentum Hari Nelayan Nasional 04 April 2015, Mari kita berikan kedaulatan
sejati bagi Nelayan, Tolak kebijakan yang telah diterbitkan Menteri Kelautan
dan Perikanan yang anti kesejahteran Nelayan, serta
Berikan hak Nelayan atas akses laut.
Symphati Dimas
Ka. Dept Dikprop
0 komentar:
Posting Komentar