“ Tragedi kehidupan adalah sesuatu yang mati di dalam diri seseorang pada saat dia hidup.- Albert Eisnten”
Jerman di zaman Nazi pada masa perang dunia
ke-2, menjadi blok fasis beserta Jepang dan Italia, secara ambisius mengobarkan
agresor atas Tentara Merah Uni soviet di
bawah kepemimpinan Stalin. Di tengah bergejolaknya perang pembebasan nasional
rakyat di Negara-negara dunia, Jerman terus berkepentingan pula menyebarkan
hegemoni dan dominasi di negara-negara dan masyarakat dunia untuk menjadi
penguasa dunia di bawah kepemimpinan fasisme. Kapitalisme yang telah mencapai puncaknya
imperialisme seperti Jerman, menujukkan korelasi bahwa zaman imperialisme
adalah zaman perang tidak adil yang ditujukan untuk menguasai negara-negara yang
di dalamnya terdapat kekayaan sumber daya alam dan manusia.
Di sisi lain di dalam negeri, Adolf hitler
menunjukkan kepemimpinan fasisme yang sangat kejam dengan mendiskriminasikan sebuah
ras yang berujung pada pembantaian 6,5 juta bangsa Yahudi[1]. Dalam buku Hitler Mein Kampf (Perjuanganku), menjadikan alasan bahwa bangsa Arya
menjadi ras yang paling unggul di dunia, sementara bangsa Yahudi yang tersebar
di Jerman dan seluruh dunia harus dihancurkan. Hitler pun berdalih bahwa bangsa
Yahudi adalah anak setan yang harus dimusnakan. Nazi menitahkan, “Kamu (Yahudi)
tidak boleh hidup”. Hitler lanjut berkata, “orang-orang Yahudi akan digantung
satu per satu, sampai tanah Jerman bersih dari Yahudi”. Seperti kita ketahui
bahwa doktrin yahudi anak setan, telah ada semenjak abad pertengahan yang
kemudian mempengaruhi Hitler untuk membantai mereka dengan anti semitisme Nazi.
Genosida pun menjadi kebijakan fasis Jerman untuk membantai ras Yahudi.
Cara-cara membantai Hitler pun terbilang sangat sadis semasa itu. Mulai dari
yang kita kenal dengan Kamp, kamar gas, ghetto dan deportase menuju kematian. [2] Perusahaan-perusahan
raksasa seperti BMW dan Bank deutsche merupakan salah-satu sekian banyak
perusahaan raksasa yang menyokong genosida Hitler.
Akan tetapi, pasca perang dunia ke-II dan
kebijakan genosida Jerman yang dianggap bersalah oleh dunia, tidak ada satu pun yang
mampu menyeret Hitler beserta kekuatan Nazi-nya pada pengadilan. Bahkan para
aktivis dan ilmuwan yang mencoba membongkar kejahatan kemanusian Hitler harus
kandas di tengah jalan peradilan yang sesat dibentuk imperialisme.
Abstraksi dari kekejaman fasisme Hitler,
sangat layak untuk menelisik kejahatan kemanusian dan demokrasi yang pernah
diterapkan Rejim Fasis Soeharto selama berkuasa 32 Tahun yang membantai,
menindas dan menghisap rakyat Indonesia. Rejim fasis Soeharto sebagai Kepala
Negara/Pemerintah menjadi katalisator (perpanjangtanganan) kapitalisme monopoli
internasional khususnya imperialisme AS untuk
menguasai penuh kekayaan alam dan manusia Indonesia. Tidak dalam waktu lama setelah melalui pembunuhan massal
sejak Oktober tahun 1965, di tahun
1967, Soeharto
mengambil alih kekuasaan negara secara paksa dari
pemerintahan presiden Sukarno secara penuh dan mengangkat dirinya sendiri
sebagai presiden RI kemudian
disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dipimpin oleh jenderal Abdul Haris Nasution.
Pada tahun 1967, Soeharto mulai menjalankan rencana-rencana kebijakan ekonomi yang mengabdi kepada kepentingan
imperialisme. Hakekatnya rejim fasis
Soeharto menjadi pemerintahan boneka AS yang terdiri dari unsur borjuasi besar
komprador, tuan tanah dan kapitalisme birokrat[3]. Pencabutan
atas seluruh regulasi negara yang menghambat jalannya ekspor kapital milik
imperialisme AS ke Indonesia,
dan kemudian menggantikannya dengan regulasi baru
yang sangat pro-imperialisme dan
anti-rakyat. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA No.1 tahun 1967),
Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN No. 6 th 1968),
Undang-Undang Pertambangan No.11 th 1967, Undang-Undang Kehutanan No.5 th 1967,
Undang-Undang Transmigrasi No.3 th 1972. Berbagai regulasi ini kemudian memberikan keleluasaan dan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada imperialisme khususnya AS untuk menguasai sumber daya
alam dan mengeksploitasi manusia di Indonesia. kepentingan imperialisme AS
telah teramat jelas di Indonesia yakni untuk mendapatkan bahan mentah murah,
tenaga kerja murah, tempat pemasaran dan eksport kapital (investasi dan utang
luar negeri).
Kemudian Rejim Soeharto
setuju dengan pembentukan IGGI di Indonesia yang merupakan lembaga konsorsium
investasi imperialisme AS yang berguna memasifkan dan pemberi “anjuran” Neo-liberal
untuk efisiensi dan efektivitas menanamkan modal dan ULN di Indonesia. Kondisi
demikian, tentu teramat menyengsarakan rakyat Indonesia. Kebijakan yang
dilahirkan, mendorong masuknya perusahaan transnasional milik imperialisme AS
seperti PT. Freeport Morgan, PT. Newmon, Blok Cepu, Chevron, Exxon beserta
perusahaan multinasional milik sekutu AS.
Keadaan ini tentu tidak memberikan pembangunan yang nyata untuk
kesejahteraan rakyat, akan tetapi melahirkan situasi dimana rakyat mayoritas
Indonesia kaum tani kehilangan akan akses tanah dengan perampasan dan monopoli
tanah melalui cara-cara brutal TNI/paramiliter. Bahkan ketika kaum tani tidak
mau memberikan tanah kepada Negara atau tuan-tuan tanah besar dalam tipe baru,
Rejim Soeharto membantainya atau mengkriminalisasikan. Demikian dalam kondisi
perburuan di Indonesia. Politik upah murah semakin dikuatkan untuk melayani
kepentingan perusahaan imperialisme AS-sekutunya beserta borjuasi besar
komprador dalam negeri. Jaminan-jaminan atas kehidupan layak, kesehatan, hari
tua, menjadi lipstik di masa Orba.
Sementara Utang luar
negeri semasa Soeharto berkisar Rp. 1.800 Triliun. ULN ini menjadi warisan
Soeharto hingga saat ini, dan sepertinya akan diperparah Jokowi-JK yang relatif
menjadikan Utang luar negeri sebagai poros utama pembangunan di Indonesia
selain investasi. Pembayaran cicilan
utang pokok dan bunga, menjadi salah-satu faktor yang kuat untuk menjerat
rakyat Indonesia agar senantiasa di bawah cengkraman imperialisme AS. Di masa rejim fasis Soeharto ini, tampak
upaya penimbunan kekayaan yang dilakukan dengan praktek korupsi yang merajalela
di seluruh sektor. Secara kongkrit, milyader-milyader Indonesia seperti Bob
hasan, keluarga Salim menjadi salah satu mitra bisnis Soharto untuk menguras
dan menjual kekayaan alam terhadap imperialisme AS. Secara eksklusif, Soeharto beserta
keluargannya mempunyai 7 yayasan besar yang dimiliki yang bergerak di semua
sektor usaha pertambangan, perkebunan, jasa, dll.[4]
Di tengah praktek
kebijakan neo-liberal yang mengabdi sepenuhnya kepada imperialisme AS, sudah
menjadi hukumnya Indonesia disebut sebagai Negara Setengah jajahan dan setengah
feodal (Negara Berkembang). Untuk memuluskan kebijakan yang anti rakyat dan
pro-imperialisme AS ini, Soeharto menggunakan berbagai cara-cara fasis untuk
membungkam dan menindas rakyat yang melakukan perjuangan atau perlawanan atas
kondisi yang melahirkan penderitaan mendalam di tengah rakyat Indonesia. Setiap
hari rakyat di bawah ancaman tindasan nyata, teror, intimiasi, penangkapan,
penghilangan hingga pembunuhan untuk “menstabilkan” rekayasa ekonomi, politik,
budaya dan militer yang mengabdi kepada imperialisme AS beserta borjuasi
komprador dan tuan tanah besar.
Peristiwa-peristiwa tindakan Fasis anti Demokrasi Soeharto
1.
Pembantaian massal masyarakat Indonesia 1965-1968
Selama perang dingin, imperialisme AS tidak
berhenti-hentinya untuk melancarkan skema-skema penguasaan atas dominasi dan
hegemoninya di seluruh dunia. Hal ini tidak pernah luput dari regional Asia
seperti Vietnam, China, Philipina khususnya Indonesia. Pemerintahan Nasionalis
Soekarno, tentu membuat Imperialisme tidak terlalu leluasa untuk menguasai
seluruh sumber-sumber ekonomi yang melimpah ruah di Indonesia. Maka,
imperialisme AS sudah berulang kali menggunakan cara-cara licik untuk
menggulingkan Soekarno sebagaimana layaknya yang dipertontonkan dewasa ini di
Negara-negara Timur tengah, Ukraina dan Venezuela. Imperialisme AS berusaha menemukan
klik reaksioner di dalam negeri untuk menjadi kaki tangannya mulai dari
kelompok sipil hingga memberikan dukungan penuh nanti ke kubu militer AD yakni
Soeharto dan A.H Nasution.
Sebelum dan selama proses pembunuhan massal
tahun 1965, AS membantu menyediakan kendaraan jeep, helikopter, pesawat ringan
dan radio komunikasi canggih pada Jenderal Suharto yang dipasang di Markas
Komando Strategis Angkatan Darat Jakarta (KOSTRAD) yang terhubung langsung
dengan Washington. Imperialisme AS tentu
membantu Militer AD untuk menentukan sasaran utama pembunuhan dalam rangka pengambilalihan kekuasaan untuk membangun
rejim boneka AS yang kemudian hari setia melayani segala kepentingan ekonomi,
politik, budaya dan militernya.
Untuk menghantarkan
Soeharto berkuasa menjadi Rejim boneka AS di Indonesia, Sarwo Edhi Wibowo
(Komandan RPKAD) mencatat korban yang tewas tak kurang dari 3 juta orang[5]. Tentu,
hal ini sangat-sangat biadap dengan dalih untuk membersihkan salah-satu
ideologi politik yang berseberangan dengan ideologi tuannya imperialisme
AS. Akan tetapi, sejarah kelam ini masih
saja dipelintir yang sulit diungkap kebenarannya. Sejarah pembantaian massal
ini masih bagaikan benang kusut yang tidak pernah dituntaskan secara
terang-benderang atas kejahatan manusia yang dilakukan oleh Rejim fasis
Soeharto.
2.
Peristiwa Malari
Peristiwa Malari (Malapetaka
Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan
sosial yang terjadi pada 15
Januari 1974[6].
Peristiwa itu terjadi saat Perdana
Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17
Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan
berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil
menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17
Januari 1974 pukul, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil,
tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina
Graha ke pangkalan udara. Kedatangan Ketua Inter-Governmental
Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi
antimodal imperialisme. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai
demonstrasi dan kerusuhan.
Walaupun peristiwa ini disebut-sebut digembosi kubu
militer Jenderal Ali Moertopo, namun ini adalah bentuk ekspresi dari rakyat
khususnya mahasiswa yang senantiasa melakukan protes secara keras atas
kebijakan Soeharto yang menjadi imperialisme AS dan sekutunya menjadi tuan di
Indonesia. Sudah pasti dalam peristiwa malari ini menimbulkan efek yang teramat
buruk atas perkembangan demokrasi di Indonesia. pasca malari, Soeharto kemudian
menerapkan kebijakan NKK/BKK untuk membungkam gerakan mahasiswa yang menutup
ruang demokrasi yang datangnya dari kampus-kampus untuk mengkritisi rejim fasis
Soharto. Kampus kemudian diarahkan menjadi menara gading yang hanya sibuk
dengan perkuliahan dan aktivitas sivitasnya semata-mata.
3. Peristiwa Tanjung
Priok
Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan
yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok,
Jakarta, Indonesia yang
mengakibatkan 7 orang terbakar dan 24 tewas akibat tindakan aparat. Peristiwa
ini dilatarbelakangi penolakan atas asas tunggal pancasila terhadap
organisasi-organisasi massa. Upaya monopolistik politik semasa Orba merupakan
bentuk pengekangan kebebasan berorganisasi dan berserikat yang independen dan
mandiri oleh rakyat Indonesia.
4. Kedung kombo
Peristiwa Kedung Ombo adalah peristiwa penolakan penggusuran dan pemindahan lokasi
pemukiman oleh warga karena tanahnya akan dijadikan waduk. Penolakan warga ini diakibatkan berdampak pada perampasa atas tanah rakyat
atau kecilnya jumlah ganti rugi yang diberikan pemerintah. Pada tahun 1985 pemerintah merencanakan
membangun waduk baru di Jawa
Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan
22,5 megawatt dan dapat menampung air yang tentu untuk kebutuhan perusahan dan perkebunan. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo. Pembangunan Waduk Kedung
Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank
Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.
Waduk mulai diairi pada 14
Januari 1989. Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan
waduk ini (Baca; akan sama
dengan Waduk Jatigede-Bandung).
5. Peristiwa Talangsari
Terjadinya penyerangan
militer yang dipimpin AM Hendropriyono (saat ini Watimpres Jokowi-JK)
terhadap masyarakat talangsari Lampung 07 Februari 1989 yang mempertahankan
tanah dan keyakinannya beragama. Dalam penyerangan brutal AM Hendropriyono ini,
menyebabkan jatuhnya korban 27 orang dan warga ditangkap sebanyak 173 orang.
6. Peristiwa Trisakti
Peristiwa Trisakti adalah penembakan 12 Mei 1998 terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun
dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti
di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka.
7. Peristiwa Semangi
Tragedi Semangi terjadi dalam dua babak peristiwa yang
memilukan akibat tindakan fasis Soeharto. Tragedi
Semangi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal
dengan Tragedi Semanggi II
terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya
di seluruh Jakarta dan menyebabkan 217 korban luka-luka.
8. Pemberangusan
berserikat, beroganisasi
Pasca pembantaian massal 1965-1968 untuk mengambil alih
kekuasaan, Rejim Fasis Soeharto kembali menata “stabilitas” perekonomian dan
politik, melanjutkan tindakan-tindakan atas penghilangan hak-hak demokratis
rakyat Indonesia. salah-satu yang paling menyakitkan di masa Soeharto adalah
dilarangnya kekuatan politik semacam ormass buruh, tani, mahasiswa, perempuan
yang bertentangan dengan kepentingannya untuk melayani kepentingan imperialisme
AS serta memasifkan perampasan-perampasa tanah di Indonesia. Sehingga
organisasi yang ada hanya bentukan-bentukan rejim Soeharto yang hakekatnya
menjadi organisasi yang tunduk dan melayani kepentingan Soeharto. Sebut saja
seperti, Golkar, SPSI, FKPPI, PWI, dan lain-lain
Demikian pula dalam hal pemberangusan media-media massa.
Seluruh berita media massa harus melalui lembaga sensor di bawah Kementerian Penerangan,
yang diisi Harmoko. Jadi sangat wajar jika PEMILIK (Bukan pekerja) media saat
ini masih tertanam kuat bersekutu dengan rejim berkuasa selain kepentingannya
menjadikan media berorientasi profit yang besar.
9. Pemberlakuan DOM Aceh,
Timor timur dan Papua
Upaya yang dilakukan oleh Rejim fasis Soeharto untuk
membendung perlawanan rakyat yang menderita akibat penindasan dan penghisapan
yang berat olehnya, Soeharto tanpa merasa bersalah menggunakan kekuatan militer
sepenuhnya melalui Daerah Operasi Militer (DOM). Kekerasan, penangkapan dan
pembunuhan terhadap masyarakat Aceh, Papua dan Timor timur adalah dramaturgi
yang ditunjukkan oleh Soeharto selama berkuasa. Pelanggaran HAM yang berat
melalui status DOM baru dicabut ketika Orba meletakkan Jabatannya. Akan tetapi,
pemberhentian daerah DOM ini bukan berarti Habibie bahkan sampai pemerintahan
saat ini, Jokowi-JK telah mampu menegakkan keadilan untuk korban DOM dan
memberikan sanksi yang tegas pada militer. Hal ini kemudian menunjukkan
preseden buruk atas penegakkan HAM di Indonesia, yang secara bersamaan
pemerintahan dari masa ke masa selalu mempromosikan demokrasi dan penegakkan
HAM di Indonesia yang luar biasa. Ternyata ini sekali lagi hanya omong kosong
yang dimuntahkan dan dilanjut oleh Rejim Jokowi-JK saat ini.
10. Petrus
Penembakan misterius yang kerap disebut penembakan
misterius yang terjadi tahun 1980-an
adalah suatu operasi rahasia Soeharto yang membasmi atau membunuh
orang-orang yang dianggap menggangu “keamanan dan ketentraman” masyarakat
khususnya di Jakarta dan Jawa tengah. Pelaku petrus ini tidak pernah ditangkap
atau diketahui. Tapi sudah pasti ini adalah ulah fasis Soeharto dengan
menggunakan alat paramiliter dan militernya.
Dan masih banyak lagi tindakan fasis Soeharto
yang terekam sejarah kejahatan kemanusian lainnya, sebut saja pengusiran petani
dari lahannya, pembunuhan aktivis HAM Munir, aktivis buruh Wiji
tukul-Marsinah, penyiksaan tahanan pulau
buru beserta kejahatan lain di daerah-daerah Indonesia.
Namun kejahatan kemanusian Soeharto yang telah membantai, menghisap dan menindas seluruh rakyat Indonesia, hingga saat ini tidak pernah diberikan sanksi yang tegas. Bahkan berulang kali semasa hidup Soeharto diberikan keistimewaan hukum oleh pemimpin-pemimpin baik di masa Habibie, Megawati maupun SBY. Ironinya harta dan kekayaan yang melimpah hasil korupsi masih tetap bertengger dalam lingkaran keluarga dan kolega Soeharto
Namun kejahatan kemanusian Soeharto yang telah membantai, menghisap dan menindas seluruh rakyat Indonesia, hingga saat ini tidak pernah diberikan sanksi yang tegas. Bahkan berulang kali semasa hidup Soeharto diberikan keistimewaan hukum oleh pemimpin-pemimpin baik di masa Habibie, Megawati maupun SBY. Ironinya harta dan kekayaan yang melimpah hasil korupsi masih tetap bertengger dalam lingkaran keluarga dan kolega Soeharto
Bahaya Rejim Anti Demokrasi Jokowi-JK !
Dominasi imperialisme AS di Indonesia yang
semakin nyata menguasai ekonomi, politik dan budaya, tentu memberi ancaman yang
sama akan terjadi sebuah pembungkaman demokrasi secara masif sebagaimana seperti di Zaman Orba melihat
kondisi di tengah krisis yang masih berkepanjangan di tubuh AS dan Eropa.
Imperialisme tidak akan pernah dapat menghindari krisis sampai kapan pun dengan
anarki produksinya yang eksploitasi, ekspansi dan akumulasi modal. Over
produksi yang dihasilkan yang berbanding terbalik dengan jumlah permintaan
semakin rendah akibat penghasilan yang terus ditekan, tentu mendorong imperialisme
khususnya AS akan lebih agresif lagi untuk menghisap dan menindas klas buruh
dan rakyat seluruh dunia khususnya ASIA demi menyelamatkan perusahan
transnasional dan multinasionalnya. Maka, sangat logis ketika rejim yang
berkuasa saat ini masih mengabdi kepada kepentingan imperialisme khususnya AS,
dirinya akan memaksakan seluruh kebijakannya yang bertentangan dengan rakyat
untuk memuaskan imperialisme AS dan sekutunya.
Kebijakan Neo-liberal baik melalui
liberalisasi, privatisasi, deregulasi, pencabutan subsidi,reformasi keuangan,
akan semakin membuat rakyat hidup dalam penderitaan yang mendalam. Seluruh
skema Neo-liberalisme yang dijalankan Jokowi-JK nantinya akan berdampak
langsung akan meningkatknya perampasan-perampasan atas tanah di Indonesia baik atas
ekspansi perekebunan, perusahaan maupun pembangunan-pembangunan infrastruktur.
Demikian dengan politik upah murah, penghilangan jaminan yang berganti menjadi
beban asuransi, pengekangan berserikat, akan menjadi ancaman yang membuat klas
buruh hanya akan semakin menderita dan terhisap saja. Akibat komersialisasi,
liberalisasi dan privatisasi tentu akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan
di tengah pendapatan masyarakat yang semakin menurun.
Sedangkan di sektor Buruh migran Indonesia
yang merupakan korban atas perampasan tanah serta ketiadaan lapangan kerja di
dalam negeri, akan semakin tinggi penghisapan melalui penempatan yang sangat
mahal dengan perlindungan yang sangat-sangat buruk. Belum kita melihat
proyek-proyek pembangunan yang seluruhnya berpotensi penggusuran khususnya di
pedesaan atau daerah lokasi Hutan seperti di kalimantan, sudah pasti akan
mengancam pengusiran masyarakat adat atau suku minoritas yang telah
turun-temurun menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan mereka.
Dari seluruh ancaman kebijakan yang tidak
mengabdi kepada rakyat namun pro terhadap imperialisme dan tuan tanah besar,
tentu akan semakin tegakkannya hukum perkembangan masyarakat yakni, dimana ada penindasan disitu ada perlawanan.
Tentu keadaan yang demikian, juga sudah menjadi
pertimbangan rejim untuk mengerahkan seluruh tenaga untuk meredam atau
mematahkan perjuangan rakyat atas keadaannya yang menderita. Rejim akan
senantiasa menggunakan cara-cara kekerasaan, intimiasi, teror untuk terus
membungkam, menakut-nakuti hingga membuat masyarakat “pasrah” akan keadaan yang
diciptakan. Aparat baik polisi maupun militer akan terus menjadi alat Negara
untuk memukul rakyat dengan senjatanya. Demikian paramiliter-paramiliter yang
dibentuknya untuk melahirkan kekerasaan “horizontal” yang tujuannya untuk membuat masyarakat
seolah-olah saling berkonflik satu sama lain. Padahal paramiliter ini digunakan
sebagai perpanjangtangan penguasa selain Polisi dan TNI untuk menindas rakyat
baik dalam hal merampas tanah, upah, kerja di Indonesia.
Masih 1 semester lebih jokowi-JK memimpin
Indonesia, namun mulai sangat meresahkan keberlangsungan kebebasan demokrasi di
tengah rakyat Indonesia. Jokowi-JK mulai menunjukkan ciri-ciri tindakan anti
demokrasi yang didasari kebijakan anti rakyatnya. Penembakan terhadap 1 orang
massa aksi penolakan BBM di Makassar, Penembakan 1 orang masyarakat adat Kalteng, 5 orang di
Paniai Papua , pengusiran ratusan masyarakat Papua Paniai oleh TNI, pelarangan aksi saat KAA,
mengangkat pelanggar HAM semasa Orba (AM Hendripriyono), kriminalisasi terhadap
aktivis anti korupsi, pemblokiran situs dan 1 semester telah menangkap
aktivis ± 200 orang.
Selain itu terlibatnya
BABINSA dalam penyuluhan program “ketahanan pangan” oleh Jokowi-JK adalah usaha
yang hakekatnya bertujuan untuk mengontrol kebebasan demokrasi masyarakat di
desa. Sedangkan di kampus-kampus adanya penyegaran MENWA yang langsung di bawah
kordinasi TNI, merupakan ancaman demokrasi bagi mahasiswa. Sementara kebijakan-kebijakan
lama seperti UU Ormass, UU Intelijen masih saja dipertahankan Jokowi-JK saat
ini.
Apakah ini menjadi watak rejim Jokowi-JK yang
sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan rejim-rejim sebelumnya yang anti
demokrasi ? apakah kita sudah lupa bahwa demokrasi tidak akan hidup di Negeri
yang pemerintahanya
anti terhadap aspirasi dan perjuangan rakyat ? apakah Jokowi-JK anti rakyat
dan anti demokrasi ?????
Penulis: Rachmad P Panjaitan (Ketua PP FMN)
[1] Adolf Hitler. Mein Kampf. Pustaka Narasi, Yogyakarta
2009.
[2] H. Purcell. Fasisme. Insist
Perss, Yogyakarta 2000.
[3] Materi Pendidikan
Lanjutan Organisasi FMN; Tentang Masyarakat
Indonesia. 2014
[4] Indra Ismawan. Harta dan Kekayaan Soeharto. Media
Pressindo, Yogyakarta 2007.
[5]John Roosa. Dalih Pembunuhan Massal. Hasta mitra, Jakarta 2008
[6] A. Yogaswara. Dalang
Malari. Media Pressindo, Yogyakarta 2009
0 komentar:
Posting Komentar