Kobarkan
Terus Semangat Perjuangan Mahasiswa untuk Menegakkan Demokrasi bagi Rakyat
32 tahun rejim Fasis Soeharto berkuasa di Indonesia
telah menyisahkan berbagai sejarah panjang rakyat atas perjuangan meraih kebebasan
demokrasi menuju masyarakat yang partisipasif, mandiri dan berdaulat.
Pengambilalihan kekuasaan melalui pembantaian hampir 3 juta rakyat di masa
1965-1968, menjadi catatan buruk perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan
Agustus 1945 di Indonesia. Cita-cita rakyat Indonesia untuk mengisi kemerdekaan
melalui penegakan demokrasi dan HAM , harus pupus dengan upaya pembungkaman,
penculikan, pembunuhan dan pengebirian,
hak-hak rakyat selama 32 tahun yang sangat bertentangan dengan
konstitusi UUD 1945. Tindakan fasisme
yang dijalankan Soeharto selama 32 tahun, menjadi konsekuensi atas kepemimpinan
Soeharto yang menjadi Kaki tangan atau rejim boneka bagi imperialisme khususnya
AS. terbukti setelah Soeharto mengambil alih pucuk pimpinan 1967, Soeharto mengeluarkan
berbagai kebijakan yang anti rakyat dan pro imperialisme seperti; UU PMA No. 1
Tahun 1967, UU Pertambangan No. 11 Tahun
1967, UU kehutanan No. 5 Tahun 1967, UU PMDN No.6 Tahun 1968, serta regulasi
lain yang merampas hak kebebasan sipil rakyat Indonesia seperti penyensoran
pers di Indonesia, NKK/BKK hingga pelarangan pembentukan organisasi yang
mandiri, independen kecuali organisasi yang dibentuk Orba seperti Golkar, SPSI,
FKPPI, PWI.
Di bawah tirani rejim fasis Soeharto usaha-usaha
penghisapan dan penindasan rakyat semakin masif dan meluas di seluruh wilayah
NKRI. Penggusuran tanah, politik upah
murah, peristiwa talangsari, kedung ombo,
petrus, korupsi merajalela, menjadi tontonan yang membuat rakyat semakin
menderita. Puncak keruntuhan kekuasaan Rejim
fasis Soeharto terjadi pada tahun 1997 yang ditandai dengan badai krisis yang
diikuti inflasi hingga 400%, melemahnya Rupiah terhadap Dollar AS dari Rp. 2.480,- menjadi Rp.16.800,-, PHK massal, pengangguran,
kenaikan harga kebutuhan pokok, dan terjadinya huru-hara dimana-mana. Kondisi
demikian adalah akibat dari kegagalan 32 tahun pembangunan nasional Soeharto
yang menyandarkan pada Utang luar Negeri dan investasi asing terutama dari
imperialisme AS, baik melalui perusahaan trans-nasionalnya maupun
lembaga-lembaga internasionalnya (IMF, Word Bank, ADB, IGGI).
Salah-satu puncak dari kemarahan rakyat Indonesia
dikenal dengan Gerakan reformasi mei 1998. Seluruh rakyat khususnya
mahasiswa-mahasiswa turun ke jalan membawa tuntutan yang sama yakni adili
Soeharto, Hapuskan Dwi fungsi ABRI, Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN,
tegakkan Supremasi hukum, laksanakan amandemen UUD 1945. Perjuangan mahasiswa
dan rakyat yang meluas dan masif dari
kota ke kota, telah membakar kebencian rakyat selama 32 tahun di bawah Rejim
fasis dan anti demokrasi Soeharto yang membuat sangat rakyat menderita. Akan
tetapi, peristiwa momentum besar menjatuhkan Rejim Soeharto telah mengorbankan
pejuang-pejuang reformasi yang diculik dan dibunuh oleh Soeharto.
Kerusuhan Mei 1998 adalah provokasi dan tindakan
refresif rejim Soharto menyikapi gelombang massa aksi khusus dari golongan
mahasiswa yng menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Tindakan penculikan dan pembunuhan Rejim Soeharto
pasca krisis 1997, dimulai dari peristiwa Trisakti pada 12 Mei 1998. Tindakan
refresif ini mengakibatkan 4 kawan mahasiswa Trisakti tewas, dan puluhan
lainnya luka-luka. Kawan-kawan yang tewas antara lain adalah Elang Mulia
Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan
Hendriawan Sie (1975-1998). Keempat kawan ini tewas akibat terkena tembakan di bagian
vital seperti Kepala, Tenggorokan, dan Dada.
Kemudian huru-hara semakin memuncak mulai dari 13-15
Mei 1998 khususnya di Ibu kota Jakarta dan di beberapa kota seperti Medan dan
Surakarta. Kejadian ini mengorbankan setidaknya menewaskan 1.217 orang dan 31
orang hilang hingga saat ini. Peristiwa ini juga meninggalkan cerita kelam
tentang kekerasan terhadap perempuan Tinghoa
Indonesia. Tercatat terjadi pemerkosaan terhadap 52 korban dan 29 korban
kekerasan serta pelecehan seksual.
Akan tetapi, semenjak Soeharto turun meletakkan jabatannya 21 Mei 1998
hingga saat ini, upaya untuk mengungkap kejahatan kemanusian, pelanggaran HAM,
pembungkaman demokrasi yang sama halnya dengan pembantain Holocoust di zaman
Nazi Adolf hitler yang dijalankan Soeharto beserta kroni-kroninya, tidak
menghasilkan apa-apa. Bahkan Soeharto dalam proses peradilan berulang kali
mendapatkan keistimewaan di masa Megawati dan SBY, dengan memberhentikan kasus
penyelewengan kekuasaan Soeharto. Adapun pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998, hanya melahirkan laporan terkait pelanggaran
HAM namun tidak mampu menyeret pelaku yakni Soeharto dan kroni-kroninya untuk
diberikan sanksi berat sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan hingga
saat ini pelaku-pelaku pelanggaran HAM Mei 1998 masih tetap berkeliaran bebas
untuk bermanuver yang sangat dekat dengan akses kekuasaan Negara dan Parpol.
Lucunya, Prabowo dan Wiranto hanya tuding-menuding atas kerusuhan Mei 1998 yang
dipertontonkan semasa Pemilu silam.
Peristiwa ini tentunya menjadi bagian sejarah kelam yang
mencoreng nilai demokrasi. Watak dan tindakan fasis rejim Soeharto adalah bukti nyata bahwa
pemerintahan dapat menjadi aktor utama yang berpotensi besar merampas demokrasi
baik atas hak politik, ekonomi sosial budaya dari tangan rakyat jika memang
tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah yang lebih melanggengkan dominasi
imperialisme, pengusaha besar dan tuan tanah besar di Indonesia.
Awas
Demokrasi Kita Semakin Terancam: Perjuangan Belum Selesai !!!
Demokrasi adalah nilai luhur yang sesuai dengan
keinginan rakyat Indonesia. Perjuangan dan kemenangan-demi kemenangan kecil
telah dapat diraih oleh gerakan massa
untuk menuntut demokrasi. Peristiwa Mei ’98 adalah lompatan besar bagi sejarah
bangsa Indonesia, dan di sisi lain membuktikan bahwa kemenangan hanya bisa
diraih dengan partisipasi aktif dari perjuangan massa, karena perubahan sejati
adalah karya berjuta massa rakyat Indonesia tidak terkecuali mahasiswa. Namun,
kini Indonesia setelah 17 tahun menjajaki Orde Reformasi, selama itu pula masih
terus berupaya merampas hak-hak demokrasi rakyat.
Kini, Indonesia
yang dipimpin oleh pemerintahan Jokowi-JK, berlahan-lahan mulai menanggalkan
nilai demokrasi dalam mengemban tugasnya sebagai Kepala Negara/Pemerintah di
Republik Indonesia. Jokowi-JK di masa kampanye menunjukkan dirinya sebagai pemimpin
yang demokratis, nasionalis dan pro-rakyat. Namun, saat ini berlahan-lahan
Jokowi-JK menunjukkan wajah aslinya yang tidak jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya. Jokowi-JK yang sejenak
memberikan harapan bagi rakyat Indonesia, ternyata mempunyai kemiripan akan
konsep pembangunan nasional baik semasa Soeharto hingga SBY. Jokowi-JK masih
memilih Investasi asing dan Utang Luar Negeri (ULN) sebagai sandaran utama
untuk membiayai pembangunan nasional di Indonesia. Hal ini sudah pasti, tidak
akan memberikan perubahan yang siknifikan atas kesejahteraan dan kedaulatan
rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, investasi asing dan ULN hanya akan
memberikan semata-mata keuntungan yang besar bagi negara-negara maju beserta
perusahaan-perusahaan TNC/MNC. Celakanya. Ketika pemerintahan masih menjauhkan
aspirasi rakyat akan kemandirian dan kedaulatan ekonomi dan politik melalui
reforma agraria sejati dan industri nasional, tentu pemerintahan Jokowi-JK hanya akan
mempertahankan Indonesia sebagai Negara satelit (setengah jajahan setengah
feodal) bagi Negara maju/imperialisme untuk terus mengeruk kekayaan alam dan
mengeksploitasi masyarakat Indonesia.
Atas keadaan tersebut, Jokowi-JK untuk menjaga dan
memuluskan kepentingan asing di Indonesia, sudah pasti akan menggunakan
cara-cara kekerasaan baik terselubung (regulasi) maupun kekerasaan terbuka (TNI
& Polri). Sebut saja Babinsa masuk desa, Penyegaran Menwa di kampus di
bawah TNI, mempertahankan UU Ormas, UU Intelijen. Selain itu secara nyata melakukan Penembakan
terhadap 1 orang massa aksi saat menolak BBM naik di Makassar, Penembakan 1 orang masyarakat adat Kalteng, penembakan 5 siswa di Paniai Papua, pengusiran
ratusan masyarakat Papua oleh TNI, pelarangan aksi saat KAA, mengangkat pejabat
negara dari pelanggar HAM semasa Orba (AM Hendripriyono), kriminalisasi
terhadap aktivis anti korupsi, pemblokiran situs dan 1 semester telah menangkap
aktivis ± 200 orang. Kampus juga tidak
luput menjadi sasaran kebijakan anti demokrasi dari Jokowi-JK. Berbagai
pelarangan seperti jam malam, larangan berkegiatan di luar kampus, larangan
berorganisasi, pembatasan ruang-ruang berpendapat, hingga pelibatan pihak TNI
dan Polri menjaga keamanan di kampus. Hal ini demi upanyanya mengkerdilkan mahasiswa
dari proses berdemokrasi dan menjauhkannya mahasiswa dari sikap kritis atas
realita keadaan pendidikan dan rakyat Indonesia.
Fenomena kehancuran ekonomi di Indonesia juga
semakin buruk saja. Saat ini, krisis terus melanda Indonesia sebagai dampak
transformasi krisis AS dan Eropa yang dibebankan ke Indonesia melalui program
Investasi dan ULN. Hal ini dibuktikan dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap Dollar AS, kemudian kebijakan pencabutan subsidi BBM & TDL,
kenaikan bahan pokok, serta kenaikan biaya pendidikan dan kesehatan. Inilah capaian
yang dilakukan pemerintah Jokowi-JK
selama sekitar 1 semester menjabat. Belum lagi, praktik politik upah murah, praktik
keji perampasan tanah di pedesaan-pinggiran kota demi perluasan bisnis serta
semakin sempitnya lapangan kerja. Carut marut ekonomi ini harusnya dapat
dihindari agar tidak berpotensi mendorong situasi politik yang kisruh pula.
Oleh karena itu, dalam memperingati 17 tahun
Peristiwa Mei ’98 Front Mahasiswa Nasional UI menyampaikan dengan rendah hati
dan penuh ketulusan rasa hormat dan bangga kepada para aktivis, massa rakyat
yang telah mengorbankan nyawanya dalam proses perjuangan atas tegaknya Demokrasi
rakyat di Indonesia. FMN UI juga mengajak
kepada seluruh mahasiswa untuk bersama-sama melanjutkan tongkat estafet
perjuangan mahasiswa atas demokrasi baik di kampus-kampus dan di tengah-tengah
rakyat Indonesia. Katakan Tidak untuk
Rejim Anti Demokrasi.
Ferdian (Kordinator BPR FMN UI)
0 komentar:
Posting Komentar