Permasalahan
tanah dan tempat tinggal merupakan masalah yang terus menghinggapi kehidupan
rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia terus dihadapkan dengan problem perampasan
tanah dan penggusuran yang semakin masif. Oleh karenanya, kepastian dalam pemenuhan
hak untuk hidup dan tempat
tinggal yang layak pun semakin jauh dari jangkauan rakyat Indonesia. Hal ini
terjadi disebabkan pola dan perspektif
pembangunan dan pengembangan negara atas
paradigma pembangunan ala imperialis. Paradigma ini
menempatkan rakyat Indonesia sebagai penghambat
proses pembangunan. Berjalannya skema perampasan tanah skala besar oleh
perusahaan milik imperialis maupun oleh negara terus menggila. Beriringan
dengan itu, penggusuran pemukiman rakyat juga terus terjadi. Dengan konsep “beauty city”, rumah-rumah dipinggir kali,
waduk, jembatan, harus digusur dengan diikuti intimidasi, kekerasan, tanpa
ganti rugi dan tanpa solusi dari pemerintah. Maka selain di pedesaan sebagai
pusat utama perampasan dan monopoli tanah di Indonesia oleh borjuasi besar
komprador, tuan tanah dan imperialisme khususnya AS, di perkotaan penggusuran
pemukiman rumah warga semakin masif dirasakan. Seiring perampasan tanah dan penggusuran rumah warga
semakin meningkat, Proyek-proyek properti/perumahan khususnya di Perkotaan dan
pinggiran kota semakin menjamur saja di Indonesia.
Bisnis
properti merupakan bisnis yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Di
Indonesia, bisnis properti khusunya marak berkembang pada sektor apartemen dan Real Estate. Hal ini terus ditopang dan
dilegitimasi oleh pemerintah Jokowi-JK. Legitimasi inilah yang kemudian melahirkan berbagai
praktik perampasan dan penggusuran tanah rakyat demi kepentingan pembangunan
properti. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan raksasa yang menjalankan
bisnis properti skala besar. Lippo Karawaci, pengembang kota mandiri
terintegrasi "Lippo Village" ini memiliki modal pembangunan senilai
Rp 29,539 triliun. Selain Lippo Village, mereka tengah menggarap megablok St
Moritz Penthouse & Residences di Puri Indah, Jakarta Barat dan Holland
Village di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Timur. Disusul Bumi Serpong Damai
yang giat mengembangkan BSD City dengan nilai Rp 28,170 triliun. Selain kota
baru BSD City, pengembang berkode emiten BSDE ini juga telah melansir Indonesia
International Expo. Megaproyek ini merupakan hasil kolaborasi BSDE dan Kelompok
Kompas Gramedia.
Berturut-turut
posisi selanjutnya adalah Alam Sutera Realty (Rp 20,042 triliun), Pakuwon Jati
(Rp 17,819 triliun), Summarecon Agung (Rp16,951 triliun), Ciputra Development
(Rp 16,530 triliun), Agung Podomoro Land (Rp 10,147 triliun), Duta Pertiwi (Rp
6,937 triliun), dan Modernland Realty (Rp6,329 triliun). Sementara Ciputra
Property dengan nilai Rp 5,781 triliun dengan mengembangkan Ciputra World
Jakarta seluas lebih dari 11 hektar. Superblok ini berisi 15 tower apartemen,
hotel, perkantoran, apartemen sewa, ruang konvensi dan pusat belanja. Tidak
hanya itu, banyak pula yang mengembangkan bisnisnya di luar wilayah Ibu Kota,
sebut saja Tunjungan City Superblock dan Puncak
Bukit Golf (Surabaya), Crystal Square dan Medan Focal Point (Medan), serta
Skyline City Education Center dan City Center (Bandung).
Menjadi pertanyaan mendasar kemudian adalah, untuk siapa semua bangunan mewah dan megah ini didirikan? Apakah
rakyat Indonesia yang mayoritas adalah kaum tani dan klas buruh mampu untuk
mengakses dan memiliki bangunan-bangunan tersebut? Maka jawabnya sudah pasti TIDAK. Akan tetapi, orientasi dari pembangunan semua proyek
properti ini ditujukan untuk dapat meraup keuntungan bagi para borjuis besar komprador.
Kemudian yang menjadi salah-satu kerisauhan rakyat Indonesia khususnya bagi masyarakat yang menginginkan rumah hunian yang layak di tengah penggusuran yang semakin marak, ialah dengan adanya rencana Jokowi untuk memberikan hak kepemilikan properti bagi warga Negara asing. Selama ini memang asing sudah terlibat aktif mengambil keuntungan besar dari bisnis properti. Dimana warga negara asing (perorangan) telah memiliki hak pakai dan hak sewa atas properti di Tanah Air dan hak guna usaha (HGU) bagi perseroan terbatas. Akan tetapi, saat ini pemerintah berencana pemberian hak milik properti bagi warga asing di Indonesia. Tujuannya pemberian rencana hak properti bagi warga asing sebagaimana disebut Realestate Indonesia (REI) adalah meningkatkan bisnis properti menengah ke atas bagi warga-warga asing. Kebijakan ini sudah pasti akan semakin meningkatkan pembangunan blok-blok apartemen mewah yang akan berbanding lurus dengan penggusuran pemukiman kumuh dan tanah rakyat Indonesia. Kebijakan ini tentunya merupakan cerminan dari rejim yang anti terhadap rakyatnya, pasalnya hingga saat ini masih terdapat sekitar 15 juta kepala keluarga atau lebih dari 60 juta jiwa rakyat Indonesia yang belum memiliki tempat tingga yang layak, dan angka ini akan semakin meningkat.
Kemudian yang menjadi salah-satu kerisauhan rakyat Indonesia khususnya bagi masyarakat yang menginginkan rumah hunian yang layak di tengah penggusuran yang semakin marak, ialah dengan adanya rencana Jokowi untuk memberikan hak kepemilikan properti bagi warga Negara asing. Selama ini memang asing sudah terlibat aktif mengambil keuntungan besar dari bisnis properti. Dimana warga negara asing (perorangan) telah memiliki hak pakai dan hak sewa atas properti di Tanah Air dan hak guna usaha (HGU) bagi perseroan terbatas. Akan tetapi, saat ini pemerintah berencana pemberian hak milik properti bagi warga asing di Indonesia. Tujuannya pemberian rencana hak properti bagi warga asing sebagaimana disebut Realestate Indonesia (REI) adalah meningkatkan bisnis properti menengah ke atas bagi warga-warga asing. Kebijakan ini sudah pasti akan semakin meningkatkan pembangunan blok-blok apartemen mewah yang akan berbanding lurus dengan penggusuran pemukiman kumuh dan tanah rakyat Indonesia. Kebijakan ini tentunya merupakan cerminan dari rejim yang anti terhadap rakyatnya, pasalnya hingga saat ini masih terdapat sekitar 15 juta kepala keluarga atau lebih dari 60 juta jiwa rakyat Indonesia yang belum memiliki tempat tingga yang layak, dan angka ini akan semakin meningkat.
Sebagai
contoh konkrit
pengembangan bisnis
properti yang
berorientasi meraup keuntungan dan berbanding lurus dengan penggusuran rumah
warga, dapat dilihat secara nyata di Jakarta. Tercatat
pada tahun 2014 kemarin Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan dana sebesar Lima
Trilyun Rupiah dalam APBD untuk melakukan penggusuran terhadap rumah warga hunian di Indonesia. Hal tersebut manifes
terhadap penggusuran yang dilakukan sepanjang 2014 dimana terjadi 28
penggusuran di seluruh Jakarta dengan jumlah mencapai 3.513 bangunan dengan
korban 3.751 kepala keluarga.
Kondisi yang semakin parah yang akan dialami oleh
warga Jakarta tentunya sudah menanti di tahun 2015. Berangkat dari beberapa
proyek ambisius pemerintah DKI, tentunya penggusuran dan perampasan hak atas
ruang Kota sekaligus pelanggaran HAM akan semakin massif dialami oleh warga
Jakarta. Misalkan saja mega proyek Giant
Sea Wall yang terintegrasi langsung dengan proyek besar MP3EI. GSW akan
melakukan reklamasi pantai utara Jakarta yang terbentang dari Bekasi hingga
Tangerang. Proyek GSW ini diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar Rp 600 Triliun.
Mega proyek ini tentunya memiliki dampak buruk yang banyak bagi warga,
khususnya nelayan. Diperkirakan mega proyek ini akan menggusur 16.855 rakyat.
Dalam hal pembiayaan tentunya proyek ini merupakan ladang investasi dan tempat
sirkulasi modal demi mengeruk keuntungan bagi perusahaan swasta. Dalam
pembangunan tahap I atau pembentangan tanggul raksasa sepanjang 32 km, pihak
Pemprov DKI hanya membiayai 8 km atau sekitar 3,5 triliun saja, sisanya yang 24
km dibiayai oleh pihak swasta sebagai pemegang konsesi reklamasi. Demikian ribuan hingga ratusan ribuan rumah warga yang
akan terancam digusur tahun 2015 ini ijakarta seperti daerah pinggiran kali
Ciliwung, kalipuran, Ancol, dll.
Namun ironi, ketika pemerintah memasifkan
penggusuran terhadap rumah warga baik di pusat kota maupun pinggiran kota, malah
memberikan isyarat kepada warga asing untuk mempunyai hak properti di
Indonesia. ini adalah sebuah kejahatan kemanusian yang dijalankan pemerintahan
Indonesia. Pemerintah Indonesia memberikan hak properti kepada warga negara
untuk memberikan keuntungan bagi bisnis properti menengah ke atas. Sementara warga
Indonesia, kapan saja akan terancam kehilangan hak atas hunian di tanah air
sendiri. Tentunya sudah dapat disimpulkan bahwa rencana
pemerintah untuk memberikan hak milik pada warga asing untuk memiliki properti
adalah rencana kebijakan yang anti rakyat, kebijakan yang justru akan terus
mempersulit hidup rakyat Indonesia, karena akan semakin masif para korporasi
properti untuk melakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan akan semakin meluas yang mengancam semakin
habisnya tanah
dan tempat tinggal rakyat bagi rakyat
Indonesia. tidak ada satupun kebaikan dari rencana tersebut
bagi rakyat Indonesia. Oleh karenanya, seluruh rakyat Indonesia baik di desa-desa maupun
perkotaan, mampu menyadari bahwa
rejim Jokowi-JK semakin mengusir rakyat/pribumi atas hak tanah airnya sendiri.
Dengan demikian rakyat harus bersatu dan berjuang melawan segala bentuk
penghilangan hak atas hidup rakyat Indonesia.
Badarudin
Sekretaris
Jenderal PP FMN
0 komentar:
Posting Komentar