"Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat - Pasal 33 Ayat 3"
Indonesia adalah Negara yang
kaya akan sumber daya alam dan manusianya yang sebenarnya menjadi syarat Negara
Indonesia dapat menjadi Negara yang sejahtera, berdaualat dan mandiri. Akan
tetapi kenyataannya, Indonesia masih di bawah mata rantai produksi kapitalisme monopoli
internasional khususnya AS yang memposisikan Indonesia sebagai penyedia barang mentah murah, tenaga kerja murah, tempat pemasaran hingga eksport capital baik dalam bentuk
investasi dan Utangnya. Dominasi
imperialisme AS atas Indonesia baik dari segi ekonomi, politik, budaya bahkan
militer, membuat Negara Indonesia harus patuh dan tunduk
melayani seluruh kepentingan imperialism AS. Konsekuensinya adalah penyerahan
seluruh sumber daya alam dan manusia yang dimiliki Indonesia ke tangan-tangan
perusahan-perusahan korporasi TNC/MNC milik imperialism AS. Hal ini tentu akan
bertentangan dengan kepentingan rakyat atas kesejahteraan yang hanya dapat
diraih melalui reforma agraria sejati dan industry nasional. Nah, sementara
reforma agraria sejati hanya dapat dijalankan secara sungguh-sungguh apabila
pemerintahan berani menjalankan
landreform atau tanah untuk rakyat untuk mengubah keberpihakan Pemerintah
selama ini yang memberikan tanah pada tuan tanah besar dan borjuasi besar
komprador. Bahkan Negara terlibat aktif melakukan praktek-praktek monopoli atas
tanah di Indonesia. Secara bersamaan,
industry nasional hanya dapat terwujud apabila reforma agraria sejati telah
dapat dijalankan. Jika reforma agrarian sejati mengalami kemandekan, maka
secara ilmiah industry nasional akan terhambat pula. Jadi, Negara Indonesia
akan tetap mempunyai corak industry manufaktur dan rakitan sebagai kenyataan tidak
berdirinya industry nasional guna memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Sehingga
industry di Indonesia hanya dimanfaatkan borjuasi besar komprador dan
imperialism untuk menghasilkan barang-barangnya hingga memanfaatkan tenaga
kerja dengan upah murah.
Sebagaimana
yang sudah dijelaskan di atas, Indonesia
kaya akan berbagai sumber daya alam. Kekayaan sumber daya alam ini yang
kemudian membuat para korporasi besar internasional berlomba untuk mengeruk
habis kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Korporasi besar asing
ini sama saja dengan Kolonial belanda di masa penjajahan, bertujuan menghisap
dan menindas rakyat dan alam Indonesia. Berbagai
macam investasi yang menyasar berbagai sektor –tambang, minyak, air, perkebunan, dan lain-lain. Ini telah menjadikan Indonesia sebagai
budak di Negerinya sendiri. Salah-satu bentuk investasi dalam sektor tambang yang sangat merugikan
rakyat dan menjadi pembahasan yang selalu hangat dibicarakan, adalah eksploitasi tembaga dan emas yang dilakukan oleh PT Freeport di Papua.
Freeport
dan penghancuran masyarakat adat papua
Freeport merupakan sebuah perusahaan
pertambangan mineral berada di Indonesia, khususnya di Papua. Freeport pertama
kali berdiri di Texas pada tahun 1912 sebagai perusahaan pertambangan sulfur, dan
pada 1960 berhasil mengkonfirmasi temuan Belanda akan adanya cadangan tembaga
dan emas Ertsberg di Indonesia dan selanjutnya pada 1967 mendirikan Freeport
Indonesia, Incorporated (PT Freeport Indonesia) sebagai anak perusahaan untuk
melakukan eksplorasi mineral di Papua.
Pada perkembangannya PT. Freeport Indonesia kemudian
bergabung dengan McMoRan Exploration
pada 1981 serta memadukan McMoRan Oil & Gas dengan Freeport Minerals
Company yang masing-masing adalah cabang dari Freeport-McMoRan Inc yang
turut menyasar mineral, tidak hanya minyak dan gas, seperti sulfur, phosporic
acid, emas, tembaga, perak, dan uranium. Cadangan tembaga-emas ditemukan di
Grasberg Indonesia pada 1988 dan Freeport-McMoRan Copper Co. Didaftarkan pada Bursa Saham New York dengan
nama “FCX’. Pada 1995 ditetapkan sebagai perusahaan publik independen
“Freeport-McMoRan Cooper & Gold Inc.” Jadi, jelas bahwa imperialisme AS telah membidik
kekayaan tambang di Papua semenjak masa Belanda 1912 masih berkuasa di
Indonesia. As beserta Belanda telah melakukan berbagai riset di belahan
Indonesia yang kemudian menemukan tambang
emas terbersar di dunia, yaitu di Grasberg Papua. Secara legalitas
perusahan milik imperialism AS, PT. Freeport diberikan kontrak karya I oleh
orde baru, Soehato sejak tahun 1967 bersamaan dengan terbitnya UU. No.1 Tahun
1967 tentang PMA.
PT Freeport pada perkembangannya
menjadi salah-satu korporasi besar internasional AS yang memiliki keleluasaan untuk
mengeksplorasi sumber daya alam Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis dalam
website PT Freeport Indonesia dinyatakan bahwa pada tahun 1991 PT Freeport telah memiliki kontrak karya II seluas 2,6 Juta Ha.
Dalam hal ini, 2,6 Juta Ha terbagi dalam wilayah eksplorasi dan ekploitasi PT
Freeport diwilayah Papua. Pada perkembangannya dalam data yang sama PT Freeport
pada tahun 2012 telah menyisakan 212.950 Ha dengan rincian 10.000 wilayah
eksploitasi dan 202.950 wilayah eksplorasi. Artinya dalam rentang 1991-2012 PT
Freeport telah melakukan eksploitasi dan eksplorasi sebesar 92,2% dari total
keseluruhan kontrak karya yang dilakukan. Sementara itu, PT
Freeport pertahun dapat memproduksi tembaga: 670 juta pound, emas: 750 ribu ounces
dan perak: 1,3 juta ounces. Dan PTFI mendapatkan
keuntungan sebesar 100 Triliun. Sedangkan yang didapat Indonesia dari pajak dan
royalty per tahun ke Indonesia hanya sebesar Rp. 5,6 Triliun[1].
Kondisi tersebut menjadi cerminan
bahwa sebagai korporasi internasional milik imperialism AS, PT Freeport telah menghisap kekayaan alam
khususnya di Kabupaten Mimika, Papua. Dari eksplorasi dan eksploitasi yang
dilakukan, PT Freeport telah menduduki posisi tertinggi dalam investasi sektor
tambang dengan presentase 94% lebih besar dibanding perusahan tambang lain atau setara 5% dari total keseluruhan
investasi di Indonesia dengan jumlah Investasi 86 triliun (tahun 2012).
Tentunya Investasi yang besar ini menjadi sebuah wujud nyata dominasi imperialisme AS dalam
mengeruk sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam hal ini
termanifestasikan dengan royalti yang diberikan dalam bentuk royalti Tembaga menjadi empat persen, emas menjadi 3,75 persen dan
perak menjadi 3,25 persen (MoU
Juli 2014). Artinya dengan royalti yang sangat kecil ini
menjadi sebuah gambaran bagaimana pemerintahan Indonesia yang senantiasa sepenuhnya
melayani kepentingan imperialisme untuk memberikan keuntungan yang besar dibanding
mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan rakyat papua hanya menjadi buruh murah.
Sementara masyarakat Papua yang melawan keberadaan PTFI yang menghisap dan
menindas, malah disebut sebagai manusia barbar/liar yang anti pembangunan oleh
imperialism AS dan pemerintahan berkuasa di Indonesia. Sehingga selama adanya
PTFI, pelanggaran-pelanggaran HAM berat di Papua hingga saat ini masih terus
berlangsung, mulai dari status DOM, intimidasi, pengusiran, penembakan dan
pembunuhan.
Keberadaan PT Freeport Indonesia sendiri telah menghadirkan berbagai dampak bagi
kehidupan masyarakat Papua, Khususnya hilangnya tanah-tanah ulayat dari suku-suku
yang ada sebagaimana
konsesi hak tanah seluas 2,6 juta Ha. Sementara tercatat
Suku Amungme yang harus kehilangan wilayahnya karena keberadaan PT Freeport
Indonesia. Kondisi ini juga diperparah dengan intimidasi hingga pembunuhan
secara barbar yang dilakukan oleh pihak militer untuk melindungi kepentingan PT
Freeport[2].
Dengan kata lain, PT Freeport tidak akan segan-segan melakukan aksi-aksi sapu
bersih dengan menggunakan Militer untuk mengamankan ataupun menjaga wilayah
eksplorasi dan eksploitasi tambangnya. Bahkan DOM yang pernah diterapkan di Papua [3]masa
Orba adalah usaha untuk menghancurkan perjuangan Papua untuk mengusir PTFI dari
tanahnya. Selain itu, kehidupan masyarakat juga terancam dengan keberadaan PTFI asal Amerika
tersebut, karena masyarakat yang bukan pekerja PTFI bisa diusir, bahkan di
tembak jika mendekati area pertambangan tanpa izin. walaupun masyarakat Papua
hanya mencari hasil hutan di Sekitar PTFI.
Jumlah buruh PTFI berjumlah kurang
lebih 24.000 anggota. Sementara upah buruh di
Freeport Indonesia disebut-sebut paling murah dibandingkan anak usaha Freeport yang
ada di negara lain seperti di Amerika selatan dan eropa. Saat
ini upah buruh di PTFI hanya US$5-6 per jam, sementara buruh PT Freeport di
Negara lain rata-rata mendapatkan upah sekitar 40 juta/bulan. Padahal Freeport
Indonesia mengungguli perusahaan dalam kelompok Freeport yang beroperasi di
Amerika Selatan dan Eropa untuk memberikan
pemasukan bagi perusahan induknya, Freeport-McMoran. Selain upah yang
rendah, kondisi kerja keselamatan buruh PTFI juga sangat buruk terutama
buruh-buruh yang bekerja menambang di bawah tanah yang rawan longsor dan
berulang kali membunuh pekerjanya[4]. Ini sangat membayakan dan buruknya K3 pekerja tambang yang bertentangan dengan konvensi ILO
Nomor 176/1995 tentang keselamatan pekerja tambang. Ironisnya, pemerintah
justru memperparah nasib buruh tambang, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 15 Tahun 2005 tentang jam kerja pekerja
tambang. Dalam regulasi itu disebutkan, pekerja tambang bisa bekerja selama 12
jam per hari selama 10 minggu berturut-turut.
PT Freeport selain itu
juga melakukan berbagai macam tindak skema Union
Busting terhadap para buruh. PTFI melarang buruh berorganisasi atau mendirikan
organisasi yang militant dan independen di PTFI. Selain itu juga tergambar bahwa
PT Freeport Indonesia selama ini belum terbuka terkait data dan
persoalan-persoalan yang terjadi seputar tenaga kerja yang ada di PT Freeport
Indonesia[5].
PT Freeport Indonesia tidak hanya
memiliki dampak pada hilangnya tanah-tanah suku-suku di Papua namun uga berdampak
pada lingkungan. Berdasarkan
data yang dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), persoalan yang timbul setelah PT.Freeport Indonesia
beroperasi adalah pencemaran lingkungan hidup baik mulai dari gunung biji
yang dikenal oleh masyarakat adat Amungme
sebagai “Nemang Kawi” (Anak Panah Putih), Sungai Wanagong sampai ke dataran
rendah milik masyarakat suku Kamoro yaitu sungai Aikwa. Kini ribuan hektar
hutan kayu, sagu rusak dan sejumlah habitat sungai menjadi punah, bahkan manusia pun ikut kena dampak, akibat limbah
tambang yang di buang ke sungai Aikwa. Sedangkan dampak sosial-ekonomi dari pembuangan
limbah
tambang ke
sungai Aikwa terhadap kedua suku tersebut maupun suku-suku lain dari Papua, dan
Indonesia dapat terlihat dekat dengan mata dimana kota Timika yang dulunya banyak
dusun sagu yang memberi makan bagi masyarakat adat Kamoro, dan suku-suku lain dari
Papua maupun Indonesia yang tinggal di kota Timika telah rusak. Akibatnya
masyarakat tidak bisa mendapatkan sagu sebagai sumber makanan pokok mereka.[6]
Berbagai macam persoalan yang
menyelimuti PT Freeport Indonesia mulai dari minimnya pajak dan royalti, langgaran HAM berat, pencemaran lingkungan, pemberangusan
masyarakat adat, hingga pemberangusan serikat buruh menjadi cerminan bahwa PT
Freeport Indonesia harus diusir dari tanah Papua.
Keberadaan PT Freeport Indonesia hanya akan
mendatangkan penderitaan mendalam kepada rakyat Papua maupun Indonesia. Dengan
kata lain, keberadaan PT Freeport Indonesia semakin memperpanjang daftar dari
kerakusan perusahaan kapitalisme monopoli AS
atas penghisapan dan penindasan yang dilakukan terhadap masyarakat Indonesia dengan
menginjak-injak kesejahteraan rakyat hingga membantai rakyat Papua yang
berjuang mengusir PTFI.
PT
Freeport sejatinya tidaklah memberikan dampak menguntungkan bagi masyarakat
Indonesia khususnya rakyat Papua. Namun perkembangannya PTFI yang seharusnya
habis tahun 2021 kontraknya habis, telah diperpanjang hingga tahun 2041. Jokowi-JK malah memperpanjang nota kesepahaman (MOU)
renegosiasi amendemen kontrak karya selama enam bulan sejak 25 Januari–24 Juli
2015. Agar seolah-olah pemerintahan berjuang untuk menunjukkan “manfaat” PTFI
bagi Indonesia khususnya rakyat Papua. Ada enam poin renegosiasi, yakni luas
lahan, kewajiban pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter), peningkatan “local
content”, besaran divestasi, peningkatan penerimaan negara, dan kelanjutan
operasi. Jadi, esensinya Jokowi-JK telah menjual kembali Freeport dengan memperpanjang kontrak PTFI hingga
tahun 2041. Hal inilah membuktikan bahwa Jokowi-JK bukan pemimpin yang Pro
Papua, Pro Berdikari, atau menjadi pemimpin yang sedikit pun memliki
nasionalisme yang kerap didegung-degungkan.
Rakyat Melawan Kebijakan Jokowi-JK Setujui MOU Kontrak PT. Freeport Indonesia
PT Freeport Indonesia merupakan bentuk nyata dominasi Imperialisme AS yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, menjadi sangat penting untuk terus menggalang kekuatan dan mengkampanyekan mengenai penghisapan dan penindasan serta penghancuran atas kehidupan rakyat Papua oleh PT Freeport Indonesia. Selain Itu, Rezim Jokowi-JK yang digadang-gadang mampu untuk memperjuangkan nasib rakyat justru telah membuktikan dirinya sebagai rezim Boneka dari Imperialisme AS. Hal ini ditunjukkan dengan memperpanjang Kontrak Karya melalui MOU dari PT Freeport Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya Rakyat Indonesia beserta rakyat di Papua bersatu padu untuk Usir PT. Freeport Indonesia.
Oleh :
Widianto Satria N dan Anggarda Paramitha
[1] http://ptfi.co.id/id/media/news/dividen-serta-manfaat-langsung-pt-freeport-indonesia-di-tahun-2013, Diakses
pada 13 April 2015.
[2] Lihat lebih mendalam
pada Amiruddin dan Aderito Jesus De Soares, Perjuangan
AmungmeAntara Freeport dan Militer, (Jakarta: ELSAM, 2003)
[3] https://docs.google.com/document/d/1vTY2QiFY1ISQ7jA0MO9AIaL5TmfZgYNIERUdr-pqMPE/edit, Diakses
pada 13 April 2015.
[4] http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/29/298033/empat-pekerja-tewas-kspi-tuntut-pt-freeport-diberi-sanksi, Diakses
pada 14 April 2015.
[5] Lihat lebih mendalam
pada Laporan Kunjungan Kerja Komisi IX DPR RI Reses Masa Persidangan I tahun
2014/2015 ke Provinsi Papua Tanggal 7-10 Desember 2014.
[6] Lihat lebih mendalam
pada Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio
Tinto di Papua (Jakarta: Walhi, 2006)
0 komentar:
Posting Komentar