Tetaplah menjadi Garda
Terdepan untuk memperjuangan hak public atas informasi dan kebebasan Pers di
Indonesia.
Pertama sekali kami dari Pimpinan Pusat FRONT MAHASISWA
NASIONAL dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat Menyampaikan “Selamat
Hari Lahirnya Aliansi Jurnalis Independen yang ke-21 Tahun”. Semoga di Hari
lahirnya yang telah beranjak usia 21 Tahun, AJI tetap menjadi garda terdepan
untuk memperjuangkan hak public atas informasi dan kebebasan Pers di Indonesia.
Kami memahami betul bahwa AJI lahir dari kemandekan demokrasi
di Indonesia yang terbungkam semasa Zaman pemerintahan fasis Soeharto 32 Tahun.
AJI berusaha menjadi sebuah persatuan bagi jurnalis-jurnalis media di Indonesia
yang melawan segala bentuk pembungkaman, pembrendelan terhadap media di
Indonesia. Sejatinya AJI telah menegaskan bahwa salah-satu instrument system Demokrasi
dalam kehidupan bernegara adalah sebuah kebebasan yang menjadi Hak public. Pers
sebagai pilar demokrasi, tentu harus diberikan ruang kebebasan yang
seluas-luasnya dan tentu bersandar pada profesionalitas serta kode etik media
itu sendiri. Akan tetapi semasa Orde baru tersebut, nyaris kehidupan pers di
Indonesia mengalami penindasan atau pengekangan. Berita-berita yang dimuat di
media Pers, harus melalui penyaringan atau perijinan dari Menteri Penerangan
Indonesia. Apabila berita itu memuat yang bertentangan dengan kepentingan
penguasa atau berisikan kritikan, maka sudah dipastikan itu tidak dapat
dipublikasikan dan pekerja atau pers tersebut akan diberi sanksi.
Pembrendelan terhadap media Tempo, Editor dan Detik tahun
1994 oleh Penguasa, menjadi puncak lahirnya kesadaraan para jurnalis-jurnalis
untuk mendeklarasikan sebuah persatuan atau organisasi yang memperjuangkan hak public
atas informasi dan kebebasan Pers di Indonesia. Setelah itu, gerakan perlawanan
semakin bergelora di kalangan jurnalis di Indonesia. tepat 07 Agustus 1994,
para jurnalis berkumpul di Sirnagalih,
Bogor. Dalam pertemuan tersebut, para jurnalis menguatkan tekad perlawanan dan
perjuangan dengan mendeklarasikan Aliansi Jurnalis Independen. Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya
hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal
untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI. Inilah kemudian
menjadi awalan lahirnya perjuangan di bidang pers yang sangat erat kaitannya
dengan perjuangan pro demokrasi di Indonesia.
Setelah
tumbangnya Orde baru, kebebasan pers pun semakin terbuka. Berbagai pers lahir
baik media elektronik, cetak maupun online. Pers di Indonesia sudah menunjukkan
hakikat independensinya untuk memberitakan atau menyampaikan informasi kepada public.
Pers juga tidak segan-segan lagi melakukan kritikan terhadap kebijakan
pemerintah yang bertolak belakang untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Tentu ini adalah sebuah kemenangan yang telah diraih AJI untuk menegakkan
kembali fungsi Pers dalam kehidupan demokrasi di Indonesia yang pernah mencapai
masa keemasan di era kebangkitan Indonesia sebelum kemerdekaan.
Namun,
pasca reformasi kami masih melihat adanya fenomena atas kehidupan pers di
Indonesia. Salah-satunya adalah kekerasan masih saja dialami jurnalis-jurnalis di Indonesia yang dilakukan
oleh Negara. Di Era reformasi ini, dari tahun ke tahun kekerasaan malah semakin
meningkat. Bahkan Negara melalui pemerintah Jokowi-JK saat ini, mulai menunjukkan
kebijakan yang tidak pro untuk menghargai hak public atas menyampaikan pendapat
di muka umum. Contohnya saja, dua dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas yang
dilaporkan Hakim Pengadilan Jakarta selatan, Sarpin ke kepolisian Sumatera
barat. Kedua dosen dilaporkan sarpin akibat dianggap melakukan “Penghinaan”
atas keputusannya membebaskan Budi Gunawan dari status tersangka dalam siding praperadilan
yang digelar.
Sementara itu, terkait Ajuan Jokowi atas menghidupkan kembali pasal penghinaan
Presiden dalam revisi KUHP saat ini, yang dulu telah dihapuskan MK tahun 2006. Tentu
ini menjadi penyerobotan kembali hak public
atas kebebasan berpendapat ataupun
kebebasan Pers nantinya. Ini menjadi ancaman yang nyata atas perkembangan
demokrasi di Indonesia saat ini. Selain kriminalisasi terhadap individu, tentu
akan menjadi alat legitimasi untuk mengkriminalkan kebebasan kolektif (organisasi
mahasiswa, masyarakat). Pasal penghinaan ini sangat anti amanat reformasi yang
memberikan kebebasan public. Sehingga menurut kami bahwa pasal penghinaan Presiden
dalam revisi KUHP adalah menjadi momok yang sama saja akan memotong lidah
rakyat dan pers untuk menyampaikan informasi atau kritikan. Ini sama saja
tanda-tanda hidupnya kembali zaman “Neo-Orba” di Indonesia.
Terakhir, dalam pesan solidaritas itu kami berharap bahwa AJI
selalu menjadi garda terdepan untuk memperjuang hak public atas informasi dan
kebebasan pers yang mengabdi kepada rakyat, karena PERS adalah salah-satu
tonggak demokrasi untuk memajukan rakyat Indonesia. Terima kasih.
07 Agustus 2015
Hormat kami,
PIMPINAN PUSAT
FRONT MAHASISWA NASIONAL
Rachmad P Panjaitan
Ketua
0 komentar:
Posting Komentar