Tindakan Kemenrinstek Dikti
menonaktifkan 243 Perguruan Tinggi (PT) bukanlah sebuah prestasi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Berbagai alasan pemerintah
dijadikan sebagai proses untuk menjatuhkan hukuman menonaktifkan kampus. Mulai fasilitas yang minim, dosen yang tidak
cukup, konflik yayasan dan tidak adanya ijin proses belajar, disebut-sebut sebagai alasan pemerintah untuk
menutup pendidikan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, terhitung semenjak Jokowi-JK
menjabat, dari 243 perguruan tinggi yang
dinonaktifkan telah menutup sekitar 30-an perguruan tinggi di Indonesia.
Kebijakan pemerintahan Kemenristek
Dikti ini sangat kontraproduktif dengan visi misi dan program Jokowi-JK yang
ingin meningkatkan akses pendidikan bagi rakyat. Menonaktifkan atau menutup
perguruan tinggi sesungguhnya bukan
kebijakan yang berpihak pada dunia pendidikan. Akan tetapi, ini menjadi
bentuk-bentuk perampasan/penghilangan paksa Negara atas hak mendapatkan
pendidikan bagi mahasiswa. Mahasiswa yang kampusnya dinonaktifkan maupun
ditutup, terancam ketidakjelasan status untuk dapat melanjutkan pendidikannya.
Bahkan biaya yang mereka keluarkan selama ini, harus sia-sia akibat adanya
penutupan kampusnya.
Bagi FMN bahwa penutupan atau
menonaktifkan sejumlah perguruan tinggi, menjadi wujud nyata pemerintah telah
melanggar konstitusi UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memberikan akses yang seluas-luasnya bagi rakyat atas dunia pendidikan . Selain
itu, kebijakan ini merupakan kejahatan pemerintah yang membuat mahasiswa harus
berhenti kuliah atau tidak mempunyai kepastian status sebagai mahasiswa. Penutupan kampus bukan menjadi solusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan
tinggi di Indonesia. Akan tetapi, pemerintah harus menyadari bahwa buruknya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia merupakan dampak akibat semakin hilangnya tanggung jawab pemerintah atas dunia pendidikan tinggi itu sendiri, khususnya dikarenakan penerapan UU DIKTI. Kampus-kampus kecil menjadi sasaran yang akan ditutup Negara akibat logika persaingan dari otonom pendidikan secara keuangan. Dimana kampus kecil akan kalah bersaing dengan kampus-kampus besar yang lebih "kompetitif" dalam mengembangkan proses belajar-mengajar yang kemudian akan berorientasi Profit.
Maka kebijakan komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi di dunia pendidikan kita sebut menjadi akar persoalan yang melahirkan berbagai masalah yang muncul. Mulai dari rendahnya fasilitas, minimnya pengajar/dosen, konflik yayasan, ijasah palsu dan berbagai masalah yang semakin menggurita di dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Maka kebijakan komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi di dunia pendidikan kita sebut menjadi akar persoalan yang melahirkan berbagai masalah yang muncul. Mulai dari rendahnya fasilitas, minimnya pengajar/dosen, konflik yayasan, ijasah palsu dan berbagai masalah yang semakin menggurita di dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Oleh karena itu, kami dari
Pimpinan Pusat FRONT MAHASISWA NASIONAL
menyatakan sikap bahwa
kebijakan menonaktifkan atau penutupan Perguruan Tinggi oleh pemerintah adalah
kebijakan anti mahasiswa dan merampas hak warga negara untuk meningkatkan akses
pendidikan di Indonesia. Kami juga meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia tanpa adanya diskriminasi antara PTN dan PTS.
07 Oktober 2015,
Hormat kami,
PIMPINAN PUSAT
FRONT MAHASISW
NASIONAL
Rachmad P
Panjaitan
Ketua
1 komentar:
Setuju! Lawan!
Posting Komentar