Fitur-fitur
dari epos transisi era kapitalisme ke sebuah sistem ekonomi yang lebih tinggi
telah mengambil bentuk dan menunjukkan diri mereka sebagai kerajaan tunggal di dunia di segala bidang. Secara ekonomi, hal
utama di dalam proses ini adalah pergeseran kapitalisme persaingan bebas menuju kapitalisme monopoli. Persaingan bebas
adalah fitur utama dari kapitalisme dan produksi komoditas. Fase awal perkembangan kapitalisme ditandai persaingan
bebas yang berkembang pesat sejak 1860-1870. Fase kedua adalah perkembangan persaingan bebas kapitalisme mulai
mengalami transisi (1873-1890) yakni sebagian besar kapitalis (perusahan) kecil
runtuh dan mulai diakuisisi atau dimerger dengan perusahaan kapitalis besar. Sedangkan fase ketiga adalah tahap tertinggi
dan terakhir dari kapitalisme atau disebut juga sebagai era kapitalisme
monopoli/imperialism (1900-1903).
Sementara
monopoli adalah kebalikan dari persaingan bebas, yang menciptakan industri skala-besar dan
menggeser industri kecil, menggantikan industri skala-besar dengan industri
yang berskala lebih besar atau
multi-korporasi, dan membawa konsentrasi produksi dan
kapital ke sebuah titik dimana telah tumbuh dan sedang berkembang pesat monopoli. Seperti kartel-kartel
(monopoli produsen), sindikat-sindikat, dan perserikatan-perserikatan perusahaan.serta dikuti merger dengan
bank-bank untuk menopang kapitalisme monopoli tersebut. Kapitalisme monopoli ini telah tumbuh dari persaingan
bebas, tidak menghapus persaingan bebas, tetapi eksis di atasnya dan
bersamanya. Oleh karenanya, menyebabkan sejumlah antagonisme-antagonisme,
friksi-friksi, dan konflik-konflik yang sangat akut dan intens yang diciptakan
kapitalisme monopoli di seluruh dunia. Monopoli adalah transisi dari
kapitalisme ke sebuah sistem yang lebih tinggi.
Perang
dunia I dan ke-II menjadi peperangan antara imperialisme untuk menguasai dunia. Pasca perang dunia ke-2
tersebut, AS akhirnya keluar sebagai pemenang atau pemimpin tunggal imperialisme
dunia hingga saat ini.
Kapitalisme
monopoli atau imperialism mempunyai kaitan erat dengan fitur yang memadukan
antara kapital produksi dan kapital financial. Akan tetapi, menariknya di zaman
imperialisme, bahwa secara ekonomi yang paling mencolok adalah eksport
kapitalnya yang dijalankan oleh imperialisme. Selain melakukan ekport barang, imperialisme
sangat memperkuat praktek eksport kapital ke seluruh Negara-negara dunia
khususnya Negara bonekanya. Watak dari kapitalisme yang ekspansif, eksploitasi
dan akumulasi modal , menjadi satu kesatuan bagi imperialism untuk menguasai
seluruh dunia termasuk mencakup penyebaran kapitalnya ke seluruh dunia. Dengan
ekspor capital yang meluas, ini menjadi jaminan bagi kapitalis-kapitalis
monopoli dapat bertahan dan berkembang menjaga bisnis mereka di seluruh dunia.
Eksport kapital berkembang dari
hasil akumulasi kapital yang dilakukan kapitalisme
monopoli. Agar tidak terjadi surplus kapital
yang berdampak pada pembusukan capital yang mempengaruhi krisis over produksi, maka mereka mengeksportnya kapitalnya
ke luar negeri. Sehingga mereka mendapatkan
keuntungan atau laba dengan dengan menguncurkan pinjaman maupun investasi ke
Negara-negara dunia. Jadi
bentuk eksport capital ini dapat berupa pinjaman maupun investasi modal atau
penjualan surat-surat berharga (obligasi). Sasaran
dari eksport kapital adalah seluruh Negara dunia
khususnya negara-negara setengah
jajahan. Eksport kapital dalam bentuk utang yang
menjadi pokok pembahasan tulisan ini, merupakan praktek baru dari neo-kolonialisme
atau menjadikan utang sebagai salah-satu instrument untuk mendirikan
Negara-negara setengah jajahan (boneka) khususnya di regional Asia, Afrika dan Amerika
Latin.
Setelah negara fasis dan sekutu mengalami
kerugian akibat berperang pada perang dunia ke-II, mempengaruhi terjadinya
depresi ekonomi di dalam negerinya. Inggris, Jerman, Jepang menjadi
negara-negara Imperialisme yang paling terimbas atas krisis financial tersebut.
Untuk semakin mengkonsolidasikan poros di
bawah kekuatan imperialis AS sebagai pemenang Perang dunia ke-II, AS memberikan
suntikan dana melalui Pinjaman kepada Negara-negara Sekutu dan Fasis. Lembaga
Bretton Wods dan Lehman brother milik AS memegang peran penting pemberi
pinjaman kepada negara-negara dunia saat itu. Selain itu, berbagai instrument
lembaga keuangan dunia dilahirkan imperialis AS untuk menjalankan misi
dominasinya melalui eksport kapitalnya ke seluruh dunia dengan status pinjaman.
Word bank, IMF berdiri pada tahun 1948 yang nanti menjadi lembaga keuangan yang
akan selalu memberikan pinjaman ke negara-negara dunia baik negara imperialisma
maupun negara-negara setengah jajahan seperti Indonesia hingga saat ini. Sementara
Asian Development Bank (ADB) yang didirkan pada
tahun 1966 menjadi bank yang bertugas pula untuk memberikan pinjaman kepada
negara-negara Asia pasifik dimana dana AS masih mendominasi dana di ADB ini.
Dengan demikian pinjaman atau utang menjadi sebuah ciri khas dari imperialisme
untuk dapat mendominasi dunia, sehingga mampu menjerat atau mendikte
perekonomian negara-negara dunia untuk semata-mata meraup keuntungan bagi
borjuasi-borjuasi internasional khususnya milik AS.
ULN selalu dipromosikan oleh
imperialism khusus AS dan beserta lembagannya sebagai solusi untuk
menyelesaikan krisis melanda dunia atau negeri penerima utang. Padahal telah terbukti di berbagai belahan
dunia bahwa pinjaman atau utang dari imperialism AS atau IMF maupun Word Bank
dan ADB, hanya akan semakin menghancurkan perekonomian si penerima pinjaman
atau utang tersebut. Sama halnya kondisi saat ini di Yunani yang sedang
mengalami krisis. IMF sangat ngencar mengajukan pinjaman kepada Negara Yunani.
Akan tetapi dengan perjuangan rakyat Yunani, mereka memenangkan referendum
penolakan utang dari IMF tersebut. Ini adalah langkah maju dari rakyat Yunani
yang dapat berjuang untuk berlahan-lahan melepaskan dominasi dari IMF.
Jokowi-JK Mempertahankan ULN sebagai sandaran Pembangunan
di Indonesia
Kebijakan utang luar negeri merupakan warisan sejarah kebijakan ekonomi Indonesia yang terbukti menjadi titik kelemahan paling
krusial selama ini. Kebijakan ini diambil seiring negara
Indonesia terutama semenjak masa Soeharto sangat tunduk dan patuh kepada
imperialis AS sebagai pemegang tunggal kapitalisme monopoli di dunia yang
menjadikan Indonesia sebagai negara bonekanya pula. Warisan utang luar negeri ini sangat menyedihkan karena
jumlahnya besar dan dampaknya yang kritis terhadap kehidupan ekonomi nasional,
anggaran dan masa depan ekonomi Indonesia sendiri. Ketergantungan pembangunan
yang bersandarkan pada ULN, akan menjadi kerapuan ekonomi nasional, yang pada
titik tertentu melahirkan krisis dan kemiskinan bagi rakyat Indoneisia. Beban
langsung dari utang luar negeri sudah merupakan suatu hal yang jelas. Selama
jangka waktu tertentu, beban utang langsung dapat diukur dengan suatu jumlah
pembayaran tertentu dalam bentuk uang, baik dalam hal pembayaran bunga maupun
cicilan utang terhadap negara kreditur (pemberi utang/Imperialisme). Sedangkan
beban riil langsung yang diderita negara peminjam berupa kerugian dalam bentuk
kesejahteraan ekonomi yang hilang karena adanya pembayaran dalam bentuk uang
tadi. Lebih jelasnya hilangnya kesejahteraan ekonomi ini dapat diukur dengan
besarnya guna (utility) yang hilang dari negara tersebut sebagai akibat
berbagaipembayaran. Beban utang luar
negeri akhirnya juga berimbas langsung pada APBN Indonesia. Saat ini APBN
Indonesia merupakan cerminan warisan masalah krisisekonomi yang panjang dan
berat karena sarat dengan beban utang. Pembayaran ULN ini selama ini berdampak
langsung atas pencabutan subsidi rakyat Indonesia.
Semenjak
di era Soeharto, Indonesia secara penuh menjalankan kebijakan yang digagas oleh Imperialis AS untuk
dijalankan di dalam negeri. Salah-satunya adalah Indonesia menggunakan dana
pinjaman khususnya dari AS untuk mendanai seluruh pembangunan di Indonesia. Sesungguhnya
ULN Indonesia sudah ada semenjak masa Soekarno terutama kerugian Indonesia saat
konferensi meja bundar 1949 [1]yang
harus menangung biaya perang ke belanda. ULN tersebut berkisar sekitar USD 6,3
Miliar. Namun pergantian pemerintahan ke rejim boneka AS Soeharto, ULN
Indonesia bertambah secara siknifikan kurun waktu 1966-1998 menjadi USD151 Miliar. Hal ini disebabkan selama hampir 32
tahun di Indonesia, ULN menjadi kebijakan untuk mendanai pembangunan selain
investasi imperialis AS yang menjadi topangannya.
Sementara di era BJ Habibie, ULN semakin membengkak menjadi
USD148.097 Miliar. Apalagi saat itu, BJ
Habibie tetap tunduk pada imperialis AS dengan menerima dana pinjaman IMF yang
dianggap mampu menyelesaikan krisis Indonesia 1997/1998. Sementara di era
Gusdur yang menjabat seumur jagung, ULN Indonesia turun menjadi USD139 Miliar.
Demikian di masa Megawati, ULN Indonesia sedikit turun ke angka USD141.273
Miliar (Oktober 2004). ULN Indonesia kembali naik di masa SBY menjabat 10 Tahun
menjadi Presiden. ULN naik menjadi USD291 miliar (September 2014).
Akan tetapi, ULN yang nyata membuat perekonomian Indonesia
semakin keropos dan senantiasa dapat didikte oleh imperialisme khususnya AS,
masih tetap berlanjut dalam pemerintahan Jokowi-JK yang masih menjabat belum
genap 1 tahun. BI mencatat ULN [2]Indonesia
naik menjadi USD298,9 miliar, terdiri dari ULN sektor publik sebesar USD132,8
miliar dan ULN sektor swasta sebesar USD165,3 miliar (April 2015). Maka
kenaikan ULN semasa Jokowi yang belum menjabat 1 tahun sebesar 7,6 % atau naik
sekitar 200 Triliun Rupiah. Proyeksi ULN Indonesia semasa Jokowi-JK 5 tahun ke
depan akan semakin naik. Hal ini dapat
dilihat dari postur pendanaan RPJMN 2014-2019 yang menargetkan 3.500 Triliun dari
investasi asing dan Utang Luar negeri. negara atau lembaga pemberi pinjaman tentu akan menitikberatkan negara AS beserta lembaga
instrumennya seperti Word bank, IMF dan ADB.
Ironinya pembangunan yang digembor-gemborkan Jokowi-JK dengan
menggunakan ULN dari Imperialis AS hanya akan semakin memperburuk keadaan
rakyat Indonesia. sebab ULN yang menjadi salah-satu fitur yang dijalankan
imperialism hanya aklan semakin meneguhkan posisi Indonesia menjadi negara
boneka AS. Ada beberapa kerugian yang didapatkan Indonesia dari kenikan ULN
untuk mendanai pembangunan Indonesia yakni; Pertama,
tersedotnya dana APBN untuk membayar cicilan pokok dan bunga jatuh tempo setiap
tahun yang akan dibayar Indonesia. hal ini yang membuat mempengaruhi dicabutnya
subsidi untuk rakyat yang diahlihkan untuk pembayaran ULN setiap tahunnya oleh
pemerintah. Kedua, pemberi pinjaman
dari negara-negara maju khususnya imperialis AS, akan menjadikan Utang di
Indonesia untuk memperkuat dominasinya untuk menguasai kekayaan alam di
Indonesia. Karena Utang dijadikan negara pemberi pinjaman sebagai alat untuk
dapat mendikte negara penerima pinjaman seperti Indonesia. Alhasil, saat ini
seperti PT. Freeport, Newmont, Caltex, Exxon, American Furniture Manufacture,
dan sebagainya[3]. Ketiga, apabila ULN tetap menjadi poros utama untuk menjadi sumber
pendanaan pembangunan di Indonesia, maka Indonesia akan senantiasa menjadi
negara yang bergantung atau negara di bawah control negara-negara pemberi utang khususnya
imperialis AS. Hal ini senanada dengan semakin jauhnya rakyat Indonesia menjadi
penggerak utama perekonomian di Indonesia khususnya kaum tani dan klas buruh.
Keempat, ULN yang yang diberikan negara atau lembaga peminjam bertujuan hanya
untuk mendapatkan surplus financial dari pembayaran cicilan pokok dan bunga
yang cenderung naik dari waktu ke waktu.
Naiknya ULN membuat rakyat semakin Menderita
Di bawah pemerintahan Jokowi-JK memimpin Indonesia, watak
boneka atau ketertundukan pada imperialism khususnya AS, masih saja ditunjukkan
dengan tren naiknya ULN Indonesia. Alasan Jokowi-Jk menaikkan ULN Indonesia
disebut-sebut untuk mendanai Pembangunan, selain sumber dana dari investasi
asing. Ini menunjukkan secara terang kepada rakyat Indonesia, bahwa rejim saat
ini tidaklah berpihak pada pembangunan yang berlandaskan pada sumber pendanaan
dari rakyat melalui peningkatakn penghasilan ataupun pemberian hak-hak rakyat
untuk dapat menjadi penggerak utama pembangunan di Indonesia. Oleh sebab itu,
pemerintahan Jokowi-JK tidak jauh berbeda dengan rejim sebelumnya baik SBY
maupun Soeharto yang menggunakan ULN sebagai poros utama pembangunan di
Indonesia.
Padahal kita ketahui bahwa selama ini pembangunan yang
didasari ULN maupun investasi asing sudah membawa kegagalan bagi rakyat untuk
memperoleh kesejahteraan social. Krisis 1997-1998 hingga saat ini, tentu
dipengaruhi dari membengkaknya ULN Indonesia terhadap negara atau lembaga
imperialism khususnya AS. Tingginya ULN hanya akan semakin membawa rakyat
Indonesia ke jurang krisis yang semakin akut akibat kemiskinan yang dihasilkan
ULN. Sebab, ULN hanya akan memberikan keuntungan bagi imperialisme dan
memberikan kerugian perekonomian rill bagi rakyat Indonesia. ULN hanya akan
menguatkan dominasi imperialism khususnya AS untuk terus merampok seluruh
kekayaan alam di Indonesia.
Apalagi pembangunan yang dijalankan Jokowi-JK saat ini tidak
mempunyai pengaruh apa-apa bagi rakyat. Sebab, pembangunan yang dilakukan oleh
Jokowi-JK hanya untuk menuruti kepentingan imperialis AS meningkatkan
infrastuktur untuk efisiensi dan efektivitas sirkulasi modalnya. Sebaliknya,
pembangunan-pembangunan yang salah-satunya didanai dari ULN ini, malah semakin
mengintensifkan perampasan atau monopoli lahan-lahan petani dan menurunkan upah
buruh di Indonesia. Di sisi lain, APBN untuk subsidi rakyat diarahkan pula
untuk pembangunan infrastuktur tersebut. Inilah yang kita lihat, bahwa
kebijakan yang diambil Jokowi-JK tentu dipengaruhi dari jeratan ULN sebagi
salah-satu alat untuk memaksakan kepentingan Neo-liberalisme imperialism AS di
Indonesia.
Oleh:
Rachmad Panjaitan (Ketua PP FMN)
[1] http://www.tempo.co/topik/masalah/256/utang-luar-negeri,
Diakses pada 01 Juli 2015
[2] http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/Utang-Luar-Negeri-tw12015.aspx,
Diakses pada 01 Juli 2015
[3] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/06/24/nqfr4u-indonesia-beri-penghargaan-kepada-lima-perusahaan-as,
Diakses pada tanggal 2 Juli 2015
0 komentar:
Posting Komentar