"Pahlawan Tanpa Jasa Bukanlah Untaian kata Indah semata, disaat Kesejahteraan Guru semakin rendah"
25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional.
Hal itu ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Selain Hari Guru Nasional, 25 November 1945 juga
ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Semangat perjuangan guru saat itu bukan sebatas perjuangan perbaikan nasibnya
semata, namun guru-guru telah mempunyai semangat perjuangan kemerdekaan pula.
Demikian tokoh-tokoh seperti Douwes Dekker, Tirto Adhi Soerjo, Multatuli
dan Ki Hajar Dewantara dapat juga disebut guru yang mempunyai sumbangsih dalam
perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonial Belanda. Saat itu, pendidikan yang
diciptakan untuk melayani kepentingan kolonial imperialis Belanda dan
feodalisme terhadap masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dengan pendidikan yang
ada berbagai kaum intelektuil yang lahir termasuk guru-guru berlahan-lahan
berusaha menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk menentang
penjajahan kolonialis imperialis Belanda dan feodalisme di Indonesia.
Beriringan dengan perjuangan era kebangkitan nasional, guru-guru terlibat aktif
pula untuk melawan penjajahan imperialis Belanda dan feodalisme. Keterlibatan
mereka banyak organisasi lahir di era kebangkitan seperti Boedi Oetomo, ISDV, Serikat
Dagang Islam-Serikat Islam yang nantinya menjadi alat perjuangan-perjuangan
massa hingga revolusi 17 agustus 1945.
Sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam menumpas
imperialis telah membuktikan peran penting guru. Guru-guru mampu menjadi golongan
yang mampu mengajarkan nilai-nilai
perjuangan dan pengetahuan untuk mendukung pembebasan rakyat Indonesia.
Kondisi
Pendidikan dan Guru Indonesia
Saat ini
pendidikan terus diorientasikan untuk menjalankan praktek komersialisasi,
liberalisasi, dan privatisasi. Problem ini terlahir sejak rejim di Indonesia menjadikan
pendidikan sama halnya dengan barang dagangan yang diperjualbelikan kepada
masyarakat. Negara yang seharusnya bertanggung jawab atas pendidikan seluruh
rakyat, kini berlahan-lahan dibebankan kepada rakyat. Tujuan pendidikan telah melenceng jauh dari cita-cita
mulianya untuk membebaskan manusia Indonesia dari penjajahan Imperialisme dan
Feodalisme yang terbelakang[1]. Hingga
saat ini, pendidikan bahkan ditujukan untuk merawat dan melanggengkan sistem
tua setengah jajahan dan setengah feodal yang telah terbukti menindas dan
menyengsarakan rakyat Indonesia.
Espektasi akan terbangunnya bangsa yang cerdas
“seperti amanat UUD 1945” dengan tatanan masyarakat yang maju secara ekonomi,
politik dan kebudayaan dan tercermin dalam penghidupan yang adil, sejahtera dan
berdaulat, sampai saat ini belum bisa terwujud. Sebab kenyataannya, pendidikan
di Indonesia saat ini masih sangat jauh dari harapan untuk dapat diabdikan bagi
kepentingan Rakyat. Pendidikan saat ini, lebih diorientasikan pada kepentingan Imperiaisme, Feodalisme dan Kapitalisme birokrat, yang
terbukti tidak pernah mampu menjawab persoalan rakyat.
Faktanya bahwa, dari sekian kali pergantian
rezim, pendidikan justeru tidak pernah terlepas dari kepentingan Imperialisme[2] dan borjuasi komprador[3] didalam negeri, baik
kepentingan secara Ekonomi: institusi
yang berorientasi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Menjadikan institusi
pendidikan menjadi lembaga bak perusahan yang menerapkan liberalisasi,
komersialisasi dan privatisasi. Dengan demikian berdampak pada pendidikan yang
mahal dan menciptakan tenaga kerja yang murah.,
Secara Politik: Sebagai mesin yang melahirkan analisis-analisis yang menguatkan,
melegitimasi atau bahkan melahirkan suatu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh
Pemerintah yang mengfabdi kepada Imperialisme dan feodalisme, dan
secara Kebudayaan: Sebagai
corong propaganda, sebagai salah satu sandaran bagi Imperialisme dalam mentransformasikan
ide dan kepentingannya, yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan
rakyat.
Ketiga aspek di atas menjadikan pendidikan di
Indonesia sebagai sarana penyedia tenaga kerja murah dan memproduksi kebudayaan
yang terbelakang. Hal inilah yang hingga saat ini dilestarikan. Dampak
konkritnya adalah pendidikan terus mengalami keterbelakangan, minimnya
fasilitas bahkan banyak wilayah-wilayah di Indonesia yang belum memiliki
bangunan sekolah yang layak. Selain itu,
kurikulum yang digunakan juga sangat tidak ilmiah, artinya tidak mampu
mengkontekstualisasikan ilmu dan pengetahuannya untuk digunakan oleh peserta
didik menjadi alat untuk menyelesaikan atau menjawab masalah yang ada di
masyrakat.
Tidak
hanya itu, terbelakangnya kondisi pendidikan juga berdampak besar bagi kondisi
guru di Indonesia. Guru sebagai bagian yang teramat penting dalam sistem
pendidikan, haruslah mendapatkan perhatian yang
tidak kalah penting dengan aspek lain. Kualitas tenaga pendidika dalam
hal ini guru juga dapat menentukan dan menakar kualitas pendidikan serta
peserta didiknya. Guru dituntut untuk mampu mengaplikasikan seluruh peraturan,
yang dalam hal ini adalah kurikulum dengan baik. Guru juga menjadi orang yang
paling bertanggung jawab atas berjalanya proses belajar mengajar. Guru pula
yang dituntut untuk memenuhi
kualifikasinya untuk menjai seorang pekerja yang profesional. Peran, tugas, dan
tanggung jawab yang berat dan butuh usaha keras ini tidaklah sebanding dengan
apa yang didapatkan oleh para guru di Indonesia.
Kata “sejahtera” terasa amat jauh
dari diri guru Indonesia. Pemerintah dibawah pimpinan rejim boneka Jokowi-JK
hingga saat ini benar-benar menjadikan guru tanpa tanda jasa. Tidak ada
kepastian kesejahteraan yang didapat oleh guru dalam penunaian tugas sucinya.
Banyaknya jumlah guru bukan berarti ukuran dari kesejahteraan sehingga
menimbulkan minat yang besar dari rakyat untuk mengejar profesi ini. Banyaknya
jumlah guru tiada lain juga dikarenakan semakin sempitnya lapangan pekerjaan
yang disediakan oleh pemerintah. Namun, banyaknya jumlah guru Indonesia
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk ladang penghisapan tenaga kerja. Guru terus
menerus masuk ke dalam jurang kemiskinan yang akut. Terlebih lagi nasib para
guru yang non-PNS. Bahkan banyak diantara guru tersebut yang terpaksa mencari
pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Guru-guru yang berstatus
honorer, kontrak, maupun guru bantu adalah yang paling merasakan ketertindasan
yang dilakukan oleh rejim Jokowi-JK.
Guru-guru
honorer, swasta, kontrak dan guru bantu kerap mengalami bermacam manifestasi
penindasan yang dilakukan oleh pemertintah, seperti gaji yang diperoleh
tidaklah sesuai dengan Upah Minimum, guru kerap memperoleh gaji antara Rp
150.000 – Rp 700.000, bahkan dibeberapa daerah masih banyak yang hanya
mendapatkan gaji Rp 50.000 – Rp 100.000 per-bulanya. Begitu pentingnya peran
dan posisi guru, namun pintu menuju kesejahteraan ditutup rapat-rapat oleh
pemerintah. Guru Bantu wilayah DKI Jakarta lebih dari 6 ribu orang saja
mendapat gaji awal yaitu pada tahun 2003-2004 hanya sebesar 460.000, kemudian
berangsur naik hanya mencapai 760.000. lebih miris lagi adalah Guru PAUD yang ada di
wilayah Jakarta, hanya mendapatkan gaji 75.000 per bulan.
Kondisi
lebih iris lagi adalah guru yang bekerja diwilayah perbatasan ataupun
wilayah-wilayah terpencil. Guru yang bekerja di Kalimantan Barat hanya
mendapatkan gaji sebesar 460.000 dan yang di wilayah terpencil hanya
mendapatkan insentif sebesar 40.000 per bulan.
Di Kecamatan Pinoh Utara, Kabupaten Melawai Kalimantan Barat, guru-guru
disana justru diberikan rumah-rumah dinas oleh masyarakat yang ingin guru-guru
tersebut tetap bisa tinggal berdekatan dengan wilayah sekolahnya. Namun
rumahnya tetaplah sangat memprihatinkan, hanya dari papan tipis dan beratapkan
daun sagu. Sudah sering masyarakat mengajukan bantuan, namun pemerintah tidak
pernah meresponya. Lebih jauh di Papua, tepatnya di wilayah Kampung Konja,
guru-guru honorer justru mendapatkan gaji dari hasil swadaya masyarakat
sekitar, tidak ada kepastian gaji dari pemerintah untuk guru-guru honorer di
sana.
Fenomena
rendahnya gaji guru ini terus diperparah oleh serentetan kebijakan rejim
Jokowi-Jk yang makin mencekik perekonomian rakyat. rendahnya gaji guru
Indonesia terus diperparah dengan perampasan upah dengan bentuk asuransi BPJS,
pencabutan subsidi BBM, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, naiknya hrga
listrik, dan semakin mahalnya biaya pendidikan untuk anak-anak guru. Tentu
semua hal ini adalah bentuk pengkhianatan rejim Jokowi-JK kepada guru-guru
Indonesia yang telah bekerja keras untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.
Guru
yang merupakan golongan maju di tengah masyarakat, sangat diharapkan mampu
menunjukkan kembali peranannya yakni
untuk mendidik pelajar-pelajar untuk memahami kondisi alam dan masyarakat
Indonesia,akar persoalan masyarakat hingga jalan keluar sistem sosial yang
masih membuat masyarakat miskin dan menderita. Guru dapat mengajarkan berbagai
ilmu pengetahuan dan teknologi ke pelajar-pelajar agar dapat diabdikan pada
perkembangan masyarakat Indonesia yang bebas dari kekuatan imperialis AS,
feodalisme dan kapitalis birorat yang mempertahankan sistem yang menghisap dan
menindas setengah jajahan setengah feodal. Jayalah Perjuangan Guru Indonesia !
Symphaty Dimas (Ka. Pendidikan & Propaganda PP FMN)
[1]
Lihat: Program Perjuangan FMN
2014-2016, Paragraf I
[2] IMPERIALISME: Kapitalisme monopoli, yakni Fase akhir atau
puncak tertinggi dari sistem kapitalisme. Secara esensial, didalam fase inilah
watak dari sistem kapitalisme semakin nyata (Eksploitatif,
Akumulatif dan Ekspansif) yang tercermin dalam hubungan produksinya yang semakin
anarkis dan brutal dalam menghisap rakyat,-R.
Kamus Progressif, Buletin Gelora, tentang Imperialisme.
[3] BORJUASI BESAR KOMPRADOR, Yakni
pengusaha yang terhubung lansung dengan kapitalisme monopoli (Imperialisme)
0 komentar:
Posting Komentar