Di tengah berbagai polemik dan keadaan krisis
ekonomi yang dihadapi rakyat Indonesia akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan
yang masih merugikan, Pemerintahan Jokowi-JK melalui Kapolri malah mengeluarkan
surat edaran dengan Nomor SE/06/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian (Hate
Speech). Kebijakan pemerintah ini menjadi rentetan peraturan yang semakin
membungkam nilai-nilai kebebasan demokrasi di Indonesia. kebijakan ini sama
halnya dengan kebijakan pemerintah Gubernur Ahok yang mengeluarkan Pergub 228
Tahun 2015 yang semakin membatasi ruang gerak bagi pengunjuk rasa di Jakarta.
Sementara itu Kapolri Badrodin Haiti menyebutkan ada 3 alasan mengeluarkan SE Hate Speech ini, yaitu perkembangan teknologi informasi, geografis, dan pengetahuan aparat kepolisian di lapangan. Dirinya berujar bahwa perkembangan teknologi informasi dapat menyebarkan berita maupun informasi hasutan kebencian maupun menyebarkan ajaran-ajaran radikal yang nantinya merongrong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kapolri menyatakan secara tegas pula bahwa konflik-konflik SARA di berbagai wilayah di Indonesia dapat diminimalisir dengan adanya SE Hate Speech ini. Dan terakhir, SE Hate Speech ini dianggap menjadi pedoman bagi pihak kepolisian agar tidak ragu dalam menindaktegas adanya bentuk-bentuk Hate Speech yang terjadi di tengah masyarakat.
Perlu kita pahami bahwa Hate Speech menurut
Kapolri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau
kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau
kelompok maupun kepada penguasa dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna
kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual,kewarganegaraan, agama, dan
lain-lain. Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku,
tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya
tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan
tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Sementara itu Hate Speech dianggap
mencakup dari berbagai media seperti; dalam orasi kegiatan kampanye,
Spanduk/Banner, jeraring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, pamflet,
media massa dan ceramah. Dan apabila masyarakat yang dianggap kepolisian menyebar
kebencian dengan berbagai media tersebut, maka akan dikenakan sanksi pidana
mulai dari kurungan 9 bulan hingga 5 tahun penjara.
Sekilas kebijakan Hate Speech ini seolah-olah
ingin menjamin rasa aman kepada seluruh rakyat Indonesia. Demikian ngototnya
Menkopolhukam Luhut Panjaitan memberikan tanggapan bahwa SE Hate Speech ini ditujukan untuk
mendisiplinkan warga negara agar tidak menjadi warga negara liar. Sungguh luar biasa cara pemerintah untuk
melahirkan kebijakan yang hakekatnya SE Hate Speech ini adalah bentuk
pembungkaman sekaligus pengekangan terhadap hak kebebasan rakyat mengeluarkan
pendapat yang telah dijamin oleh UUD 1945 yang diatur secara eksplisit diantara
pada pasal;
Pasal 28 berisikan ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 28 E ayat 2 “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai hati nuraninya”.
Pasal 28 F “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”.
Selain jaminan
di dalam UUD 1945, berbagai undang-undang juga mengatur dan menjamin
bahwasannya kemerdekaan berpendapat adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikekang oleh negara atas nama apapun. Hal ini dapat dilihat dari pasal 2 UU
No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, yang
menyatakan, “Setiap warga negara, perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan
pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Demikian pula
dalam UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 23 Ayat 2 menyebutkan
bahwa; “Setiap orang bebas untuk mempunyai , mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuka hati
nuraninya, secara lisan maupun tulisan
melalui media cetak dan media elektronik
dengan memperhatikan nilai-nilai keagamaan, ketertiban , kepentingan
umum dan keutuhan negara”.
Maka semakin terang bahwa SE kapolri Tentang
Hate Speech telah melanggar konstitusi yang sesungguhnya Negara harus menjamin
kebebasan dan kemerdekaan berpendapat warga negara baik secara lisan maupun
tulisan. Negara seharusnya tidak boleh merampas hak asasi manusia warga
negaranya untuk berpendapat dalam bentuk apapun. Dan terpenting kebijakan Hate Speech ini lebih
bersifat politisasi yang dijalankan oleh Kapolri untuk semakin membungkam dan
merampas nilai-nilai kebebasan berpendapat maupun aspirasi dan tuntutan rakyat terhadap
kebijakan pemerintah yang dianggap semakin menyusahkan. Tingginya intensitas
protes-protes yang dilakukan rakyat melalui aksi massa, mogok, hingga protes-protes
di media sosial baik lisan, tulisan
(gambar-gambar/meme/pamflet) yang ditujukan kepada pemerintahan Jokowi-JK,
menjadi faktor utama dikeluarkannya SE Kapolri tentang Hate Speech. Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah melalui Kepolisian secara subjektif mengkriminalisasikan warga negaranya yang dianggap menyebar kebencian khususnya kepada rakyat yang menyampaikan protes kepada pemerintah baik secara lisan maupun tulisan.
Kebijakan hate speech ini menjadi upaya-upaya
pemerintah menegakkan pemberangusan kebebasan demokrasi di Indonesia dan sekaligus
menunjukkan watak aslinya sebagai pemerintahan fasis guna melanggengkan
kebijakan neo-liberalisme imperialis AS di Indonesia, khususnya memuluskan
investasi asing dan utang luar negeri untuk semakin menguasai kekayaan alam dan
masyarakat Indonesia. Pemerintahan Jokowi-JK
menyadari bahwa seluruh kebijakan neo-liberalisme yang dijalankan akan ditentang
oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebab kebijakan neo-liberal hanya ditujukan melayani
kepentingan pengusaha besar dan imperialisme khususnya AS di Indonesia, dan hanya
akan berdampak pada Politik upah murah, perampasan tanah, pengangguran
meningkat, pendidikan dan kesehatan mahal, bisnis megaproyek infrastuktur,
pencabutan subsidi, yang semuanya akan mendorong semakin meningkatnya
perjuangan-perjuangan rakyat menolak semua kebijakan yang diambil Jokowi-JK.
Maka, demokrasi dan Ham yang selalu
dikampanyekan di negeri ini, hanya menjadi frase-frase yang berlaku di saat
pilkada maupun pemilu presiden. Sebab, hakekatnya pemerintah akan menunjukkan wajah
aslinya yang penuh kekejian dan kekejaman dari pemerintah boneka fasis untuk
memukul seluruh perjuangan rakyat yang menuntut perbaikan hidupnya dan hak-hak
demokrasinya. Jadi, SE Kapolri tentang Hate Speech bukanlah untuk menjamin
kebebasan rakyat berpendapat, tapi melainkan pembungkaman bersuara.
Badarudin (Sekjend PP FMN)
0 komentar:
Posting Komentar