Hampir sebulan ini, rakyat Indonesia
disuguhkan tontotan Papa Minta Saham hingga berujung pada sidang Majelis
Kehormatan Dewan. Saling tuding-menuding antara Sudirman said dengan Setya
Novanto menjadi kemasan yang membangun sebuah diskursus bahwa kasus ini teramat
penting untuk dituntaskan. Hasil rekaman Setya Novanto dengan Presiden Diretur PT. Freefort Indonesia Maroef Sjamsoeddin dianggap
menjadi awal populernya “Papa Minta Saham”. Dalam pertemuan tersebut, Setya
Novanto ditemanin Pengusaha Riza Chalid (Bos Global Resource Energy), disyalir meminta
saham PT. Freeport dan PLTA dengan mencatut/mengatasnamakan Presiden dan Wakil
Presiden Jokowi-JK. Riza Chlaid di dalam
rekamannya berulang kali menyebutkan kedekatannya dengan Jokowi-JK, Luhut
Panjaitan, Hendripiyono dan bahkan menyebutkan berkontribusi besar memenangkan
Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Maroef
Sjamsoedin kemudian melaporkan hasil pertemuan beserta rekamannya dengan Setya
Novanto dan Reza Chalid kepada Sudirman Said selaku Menteri ESDM.
Menanggapi laporan tersebut, Sudirman Said
kemudian melaporkan Setya Novanto selaku Ketua DPR RI yang mencatut nama
Presiden dan Wakil Presiden kepada MKD. Hingga bergulirnya Sidang MKD sampai
saat ini, para awak media masih menjadikan berita ini sebagai top news yang disuguhkan kepada
masyarakat. Apalagi terkait Sidang MKD ini awalnya terbuka yang kemudian
kemaren (07/12/2015) menjadi sidang tertutup
ketika agenda pembacaan pembelaan dari tertuduh Setya Novanto. Kekisruhan
pun semakin ramai ketika sidang etik Setya Novanto dipimpin Wakil Ketua MKD dari Partai Golkar
yang sebelumnya dipimpin Ketua MKD Surahman Hidayat dari PKS.
MKD perlu dikawal rakyat, agar MKD tetap
transparan, profesional untuk memutuskan dalam sidang etiknya. Namun bukan
berarti kita terilusi dengan lembaga MKD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang
demokratis dan bekerja bersandarkan kepentingan rakyat. Persidangan MKD kasus Setya Novanto adalah
pertarungan Geng Politik di antara
Partai pemerintah dan Oposisi yang berusaha menutupi kejahatan masing-masing menyangkut
oportunis mengambil keuntungan dan menjadi pelayan setia PT. Freeport AS. Apapun putusan hasil dari Sidang MKD nanti,
hanya akan memberikan keuntungan di kedua bela pihak. Celakanya, jika kita
terhanyut dengan drama yang dipentaskan oleh elit politik yang korup dalam MKD,
Kita pun akan melupakan persoalan yang paling pokok , yakni Penjarahan PT. Freeport Indonesia sejak 1967 dan upaya
Mengambilalih Tambang Emas Timika dari
tangan PT. Freeport Indonesia ke Negara. Persoalan yang sangat pokok ini, kemudian
menjadi kabur akibat kelihaian dari Rejim Jokowi-JK untuk menjauhkan rakyat
dari persoalan pengambilalihan Tambang Timika PT. Freeport Indonesia ke tangan
Negara.
PT. Freeport Indonesia & Penghancuran Masyarakat Papua
Freeport pertama kali berdiri di Texas
pada tahun 1912 sebagai perusahaan pertambangan sulfur, dan selanjutnya pada
1960 berhasil mengkonfirmasi temuan Belanda akan adanya cadangan tembaga dan
emas Ertsberg di Papua Indonesia dan selanjutnya pada 1967 mendirikan Freeport
Indonesia, Incorporated (PT Freeport Indonesia) sebagai anak perusahaan untuk
melakukan eksplorasi mineral di Papua. Pada perkembangannya PT. Freeport Indonesia
kemudian bergabung dengan McMoRan Exploration pada 1981 serta memadukan
McMoRan Oil & Gas dengan Freeport Minerals Company yang masing-masing
adalah cabang dari Freeport-McMoRan Inc yang turut menyasar
mineral, tidak hanya minyak dan gas, seperti sulfur, phosporic acid, emas,
tembaga, perak, dan uranium. Cadangan tembaga-emas ditemukan di Grasberg
Indonesia pada 1988 dan Freeport-McMoRan Copper Co. Didaftarkan pada Bursa Saham New York
dengan nama “FCX’. Pada 1995 ditetapkan sebagai perusahaan publik independen
“Freeport-McMoRan Cooper & Gold Inc.” Jadi, jelas
bahwa imperialis AS telah membidik kekayaan tambang di Papua semenjak masa Belanda berkuasa di
Indonesia. As beserta Belanda telah melakukan berbagai riset di belahan
Indonesia yang kemudian menemukan tambang
emas terbersar di dunia, yaitu di Grasberg Papua. Tidak tanggung-tanggung bahwa cadangan
emas Mimika Papua terdapat sebesar 16 Juta kg. Padahal cadangan emas Bank
Indonesia saja hanya berkisar 100 rb kg. Secara legalitas
perusahan milik imperialism AS, PT. Freeport diberikan kontrak karya I oleh
orde baru, Soehato sejak tahun 1967 bersamaan dengan terbitnya UU. No.1 Tahun
1967 tentang PMA.
PT Freeport pada perkembangannya
menjadi salah-satu
korporasi besar internasional AS yang memiliki keleluasaan untuk mengeksplorasi sumber daya alam
Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis dalam website PT Freeport Indonesia
dinyatakan bahwa pada tahun 1991 PT Freeport telah memiliki kontrak karya II seluas 2,6
Juta Ha. Dalam hal ini, 2,6 Juta Ha terbagi dalam wilayah eksplorasi dan
ekploitasi PT Freeport di wilayah Papua. PT Freeport pada tahun 2012 telah
menyisakan 212.950 Ha dengan rincian 10.000 wilayah eksploitasi dan 202.950
wilayah eksplorasi. Artinya dalam rentang 1991-2012 PT Freeport telah melakukan
eksploitasi dan eksplorasi sebesar 92,2% dari total keseluruhan kontrak karya
yang dilakukan. Sementara itu, PT Freeport pertahun dapat memproduksi tembaga: 670 juta pound, emas: 750 ribu ounces dan perak: 1,3 juta ounces. Dan PTFI mendapatkan keuntungan sebesar 100 Triliun. Sedangkan
yang didapat Indonesia dari pajak dan royalty per tahun ke Indonesia hanya
sebesar Rp. 5,6 Triliun[1].
Kondisi tersebut menjadi cerminan
bahwa sebagai korporasi internasional milik imperialism AS, PT Freeport telah menghisap kekayaan
alam khususnya di Kabupaten Mimika, Papua. Dari eksplorasi dan eksploitasi yang
dilakukan, PT Freeport telah menduduki posisi tertinggi dalam investasi sektor
tambang dengan presentase 94% lebih besar dibanding perusahan tambang
lain atau setara 5% dari total keseluruhan
investasi di Indonesia dengan jumlah Investasi 86 triliun (tahun 2012).
Tentunya Investasi yang besar ini menjadi sebuah wujud nyata dominasi imperialisme AS dalam mengeruk sumber daya yang
dimiliki oleh Indonesia. Dalam hal ini termanifestasikan dengan royalti yang
diberikan dalam bentuk royalti Tembaga menjadi empat persen,
emas menjadi 3,75 persen dan perak menjadi 3,25 persen (MoU Juli 2014). Artinya
dengan royalti yang sangat kecil ini menjadi sebuah gambaran bagaimana pemerintahan
Indonesia yang senantiasa sepenuhnya melayani kepentingan imperialisme untuk
memberikan keuntungan yang besar dibanding mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan
rakyat papua hanya menjadi buruh murah. Sementara masyarakat Papua yang melawan
keberadaan PTFI yang menghisap dan menindas, malah disebut sebagai manusia
barbar/liar yang anti pembangunan oleh imperialism AS dan pemerintahan berkuasa
di Indonesia. Sehingga selama adanya PTFI, pelanggaran-pelanggaran HAM berat di
Papua hingga saat ini masih terus berlangsung, mulai dari status DOM,
intimidasi, pengusiran, penembakan dan pembunuhan.
Keberadaan PT Freeport Indonesia sendiri telah menghadirkan berbagai dampak
bagi kehidupan masyarakat Papua, Khususnya hilangnya tanah-tanah ulayat dari suku-suku
yang ada sebagaimana konsesi hak tanah seluas 2,6 juta Ha. Sementara tercatat Suku Amungme yang harus
kehilangan wilayahnya karena keberadaan PT Freeport Indonesia. Kondisi ini juga
diperparah dengan intimidasi hingga pembunuhan secara barbar yang dilakukan
oleh pihak militer untuk melindungi kepentingan PT Freeport[2].
Dengan kata lain, PT Freeport tidak akan segan-segan melakukan aksi-aksi sapu
bersih dengan menggunakan Militer untuk mengamankan ataupun menjaga wilayah
eksplorasi dan eksploitasi tambangnya. Bahkan DOM yang pernah
diterapkan di Papua [3]masa
Orba adalah usaha untuk menghancurkan perjuangan Papua untuk mengusir PTFI dari
tanahnya. Selain itu, kehidupan masyarakat juga terancam dengan keberadaan PTFI asal
Amerika tersebut, karena masyarakat yang bukan pekerja PTFI bisa diusir, bahkan
di tembak jika mendekati area pertambangan tanpa izin. walaupun masyarakat
Papua hanya mencari hasil hutan di Sekitar PTFI.
Jumlah buruh PTFI berjumlah kurang lebih 24.000 anggota. Sementara upah buruh di
Freeport Indonesia disebut-sebut paling murah dibandingkan anak usaha Freeport yang
ada di negara lain seperti di Amerika
selatan dan eropa. Saat ini upah buruh di PTFI hanya
US$5-6 per jam, sementara buruh PT Freeport di Negara lain rata-rata
mendapatkan upah sekitar 40 juta/bulan. Padahal Freeport Indonesia mengungguli perusahaan dalam
kelompok Freeport yang beroperasi di Amerika Selatan dan Eropa untuk
memberikan pemasukan bagi perusahan induknya, Freeport-McMoran. Selain upah yang rendah, kondisi kerja
keselamatan buruh PTFI juga sangat buruk terutama buruh-buruh yang bekerja
menambang di bawah tanah yang rawan longsor dan berulang kali membunuh
pekerjanya[4]. Ini sangat membayakan dan buruknya K3 pekerja tambang
yang bertentangan dengan konvensi ILO Nomor 176/1995 tentang keselamatan
pekerja tambang. Ironisnya, pemerintah justru memperparah nasib
buruh tambang, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 15 Tahun 2005 tentang jam kerja pekerja tambang. Dalam
regulasi itu disebutkan, pekerja tambang bisa bekerja selama 12 jam per hari
selama 10 minggu berturut-turut.
PT Freeport selain itu
juga melakukan berbagai macam tindak skema Union
Busting terhadap para buruh. PTFI
melarang buruh berorganisasi atau mendirikan organisasi yang militant dan
independen di PTFI. Selain itu juga tergambar bahwa PT Freeport Indonesia selama ini
belum terbuka terkait data dan persoalan-persoalan yang terjadi seputar tenaga
kerja yang ada di PT Freeport Indonesia[5].
PT Freeport Indonesia tidak hanya
memiliki dampak pada hilangnya tanah-tanah suku-suku di Papua namun uga
berdampak pada lingkungan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), persoalan yang timbul setelah PT.Freeport Indonesia
beroperasi adalah pencemaran lingkungan hidup baik mulai dari gunung biji
yang dikenal oleh masyarakat adat
Amungme sebagai “Nemang Kawi” (Anak Panah Putih), Sungai Wanagong sampai ke
dataran rendah milik masyarakat suku Kamoro yaitu sungai Aikwa. Kini ribuan
hektar hutan kayu, sagu rusak dan sejumlah habitat sungai menjadi punah, bahkan
manusia pun ikut kena dampak,
akibat limbah tambang yang di buang ke sungai Aikwa. Sedangkan dampak
sosial-ekonomi dari pembuangan limbah tambang ke sungai Aikwa terhadap
kedua suku tersebut maupun suku-suku lain dari Papua, dan Indonesia dapat
terlihat dekat dengan mata dimana kota Timika yang dulunya banyak dusun sagu
yang memberi makan bagi masyarakat adat Kamoro, dan suku-suku lain dari Papua
maupun Indonesia yang tinggal di kota Timika telah rusak. Akibatnya masyarakat tidak
bisa mendapatkan sagu sebagai sumber makanan pokok mereka.[6]
Berbagai macam persoalan yang
menyelimuti PT Freeport Indonesia mulai dari minimnya pajak dan royalti, langgaran HAM
berat, pencemaran lingkungan, pemberangusan
masyarakat adat, hingga pemberangusan serikat buruh menjadi cerminan bahwa PT
Freeport Indonesia harus diusir dari tanah Papua. Keberadaan PT Freeport Indonesia hanya
akan mendatangkan penderitaan mendalam kepada rakyat Papua maupun Indonesia. Dengan kata lain, keberadaan PT Freeport Indonesia
semakin memperpanjang daftar dari kerakusan perusahaan kapitalisme monopoli AS atas penghisapan dan penindasan yang
dilakukan terhadap masyarakat Indonesia dengan
menginjak-injak kesejahteraan rakyat hingga membantai rakyat Papua yang
berjuang mengusir PTFI.
PT Freeport sejatinya tidaklah
memberikan dampak menguntungkan bagi masyarakat Indonesia khususnya rakyat
Papua. Agar seolah-olah pemerintahan berjuang untuk
menunjukkan “manfaat” PTFI bagi Indonesia khususnya rakyat Papua. Ada enam poin
renegosiasi, yakni luas lahan, kewajiban pabrik pengolahan dan pemurnian
(smelter), peningkatan “local content”, besaran divestasi, peningkatan
penerimaan negara, dan kelanjutan operasi. Namun hingga saat ini hasil
kesepakatan itu pun belum dilaksanakan PT. Freeport Indonesia. Tapi, Jokowi-JK dengan berbagai skemanya (Terbaru
menginginkan Royalti 6-7%) senantiasa berusaha
agar PT. Freeport Indonesia tetap beroperasi hingga 2041 di Tambang Emas Mimika
Papua.
Jokowi-JK hanya Berniat Memperpanjang
Kontrak PT. Freeport Indonesia hingga 2041
Pemerintahan
nasionalis Soekarno kurun waktu 1960-1965 melakukan berbagai nasionalisasi atau
mengambil alih perusahaan asing semacam Belanda, Belgia dan AS yang dianggap
merugikan rakyat. Nah, saat ini Jokowi-JK sebagai pemerintahan RI belum juga
menunjukkan adanya tanda untuk mengambil alih tambang emas Indonesia yang
selama ini hanya dinikmati Perusahaan milik AS dan sangat merugikan rakyat
Indonesia khususnya orang papua. Trisakti, Revolusi mental dan Nawacita hanya
menjadi isapan jempol belaka. Kenyataannya Jokowi-JK tidak ubahnya dengan
pemerintahan Soeharto yang sangat setia dan patuh melayani kepentingan tuannya
AS di Indonesia. Saat ini saja, PT Freeport Indonesia terus-menerus menekan
Jokowi-JK untuk segera melakukan pembahasan kontrak karya. Padahal dalam PP 77
Tahun 2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara,
tegas menjelaskan kontrak karya baru dapat dibahas 2 tahun sebelum habis
kontraknya.
Demikian amanat
UU Minerba No. 4 Tahun 2009 yang mengamanatkan mendiventasikan sahamnya ke
pihak nasional. Apalagi ditambah dengan
terbitnya PP No.24/2012 yang mewajibkan perusahaan tambang asing
mendiventasikan minimum 51 % sahamnya kepada pihak nasional. Akan tetapi,
hingga saat ini Jokowi-JK malah tetap memberikan isyarat kepada PT. Freeport
Indonesia mendapatkan kontrak karya nanti, sekalipun kewajiban PT. Freeport
hingga saat ini belum dijalankan. Jadi, Sidang MKD yang penuh dengan Drama,
Harus dimajukan untuk melawan sikap
Jokowi-JK yang tetap tunduk dan setia melayani Pertambangan Milik AS, PT. Freeport Indonesia. Ambil alih tambang emas Mimika Papua dari tangan PT. Freefort Milik
Imperialis AS.
Widi dan Anggarda Paramita (Ka. Dept Adm & Keuangan- Staff HI PP FMN)
[1] http://ptfi.co.id/id/media/news/dividen-serta-manfaat-langsung-pt-freeport-indonesia-di-tahun-2013, Diakses pada 13 April 2015.
[2] Lihat lebih mendalam pada Amiruddin dan Aderito Jesus De Soares, Perjuangan
AmungmeAntara Freeport dan Militer, (Jakarta: ELSAM, 2003)
[3] https://docs.google.com/document/d/1vTY2QiFY1ISQ7jA0MO9AIaL5TmfZgYNIERUdr-pqMPE/edit, Diakses pada 13 April 2015.
[4] http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/29/298033/empat-pekerja-tewas-kspi-tuntut-pt-freeport-diberi-sanksi, Diakses pada 14 April 2015.
[5] Lihat lebih mendalam pada
Laporan Kunjungan Kerja Komisi IX DPR RI Reses Masa Persidangan I tahun
2014/2015 ke Provinsi Papua Tanggal 7-10 Desember 2014.
[6] Lihat lebih mendalam pada Dampak
Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di
Papua (Jakarta: Walhi, 2006)
0 komentar:
Posting Komentar