“Kaya tanpa harta, menantang tanpa orang lain, berani tanpa gagang,
dan menang tanpa membunuh” -Soeharto
Semenjak Negara
itu eksis di era sistem feodalisme dalam bentuk monarki absolut maupun
konstitusi, telah melahirkan berbagai konsepsi tentang sebuah ide negara yang
memberikan kekuasaan sepenuh-penuhnya agar memberikan kesejahteraan maupun rasa
perdamaian di tengah-tengah masyarakat[1].
Bahkan jauh sebelum itu, pemikiran Plato telah menegaskan bahwa masyarakat
modern akan dapat tertib apabila
dipimpin oleh aristokrat dimana adanya perpaduan antara tuan budak dan kaum
cendikiawan yang memimpin sebuah sistem semacam negara[2].
Kemudian semasa feodalisme ini, raja-raja menjadi pemegang kekuasaan mutlak
yang bahkan diperkuat dengan legitimasi sebagai perwakilan tuhan dalam mengurus
negara. Akibat konsepsi tersebut, kekuasaan raja menjadi absolut untuk
memerintah rakyat-rakyat bekerja di tanah-tanah kerajaan maupun tuan tanah
bangsawan hingga hasil kerja para tani-tani hamba harus diserahkan sebagaian
besar kepada kerajaan. Selanjutnya penimbunan kekayaan hasil kerja tani-tani
hamba ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan kerajaan maupun bangsawan
serta biaya perang penaklukan untuk mengekspansi kerajaan lainnya.
Kenyataan
sistem negara kerajaan dengan corak produksi feodalisme, telah melahirkan
berbagai penderitaan dan kemiskinan bagi tani miskin di seluruh dunia. Hak atas
tanah sepenuhnya dimiliki oleh raja dan
bangsawan sebagai pemilik alat produksi sekaligus penguasa zaman itu. Demikian di
Indonesia, dimana zaman feodalisme malah terjadi di saat kolonial imperialis Belanda
mampu menyatukan raja-raja lokal di Indonesia yang tidak mampu sebelumnya
dikonsolidasi sekelas kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit. Saat itu pula,
tani-tani di Indonesia dimobilisasi untuk melayani kepentingan kolonial
imperialis. Hasil tanaman bukan berorientasi semata lagi untuk memenuhi
kebutuhan Belanda, namun berkepentingan untuk dijual menjadi tanaman komoditas
di pasar Internasional. Penghidupan tani dan rakyat Indonesia, sangat menderita
akibat penindasan kolonial imperialis belanda dan feodalisme. Selain
dipekerjakan secara tidak manusiawi, rakyat Indonesia juga dibungkam untuk
berjuang atas hak-hak demokratisnya
untuk merdeka. Bala tentara Belanda menjadi alat reaksioner yang menumpas
perlawanan-perlawanan rakyat. Sementara raja-raja lokal memobilisasi seluruh
kekuatan gerakan paramiliternya untuk memukul gerakan rakyat Indonesia pula.
Sedangkan di
era kapitalisme yang telah mencapai puncak dan tahap akhirnya Imperialisme[3],
negara kemudian dimodifikasi dengan berbagai sentuhan-sentuhan pemikiran yang
disebut-sebut memasuki era pencerahan. Seiring dengan revolusi industri di
Eropa dan Amerika, telah melahirkan sistem politik yang memperkenalkan sistem
presidensil maupun parlementer. Teori Kontrak sosial menjadi yang paling
dominan sebagai bentuk usaha untuk mempersatukan rakyat dengan penguasa[4].
Sebagaimana yang paling berpengaruh dan kerap dipraktekkan oleh negara-negara
di zaman imperialisme baik di negara imperialisme itu sendiri maupun di negara
setengah jajahan seperti Indonesia, adalah konsep Thomas Hobbes yang juga
menyumbangkan fasisme terhadap dunia. Dimana masyarakat dianggap saling
memangsa satu sama lain yang dapat menimbulkan kekacauan. Sehingga diperlukan
sebuah kontrak sosial di dalam masyarakat untuk memberikan kedaulatan penuh
kepada penguasa negara, lalu kemudian kewajiban masyarakat mematuhi segala
sesuatu peraturan maupun kebijakan negara. Dengan demikian ditekankan pula
bahwa rakyat tidak boleh menuntut kebijakan apapun dari penguasa, sehingga
penguasa berhak sepenuhnya untuk memerintah rakyat untuk kestabilan. Sama
halnya ini dengan pemikiran Nicollo Machiavelli yang menyebutkan bahwa penguasa
akan menjadi seorang pangeran yang menakutkan bagi rakyatnya guna terciptanya
sebuah kestabilan bersama. Dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan
melestarikan kekuasaan adalah kemutlakan yang harus dijalankan penguasa.
Lanjutnya, negara bisa kuat ketika mampu menjadikan militer sebagai alat yang
memaksa kepentingan negara kepada rakyatnya.
Kemudian
kenyataannya negara-negara dunia dalam sistem imperialisme, telah semakin
menunjukkan kekerasan, peperangan, militerisme, diskriminasi, pengultusan yang
semuanya bertujuan untuk menguasai dunia sebagaimana era kapitalisme monopoli
internasional. Kepentingan-kepentingan borjuasi monopoli internasional yang
dijalankan negara-negara imperialisme untuk eskploitasi-ekspansi-akumulasi
kapital, memakai cara fasisme untuk menguasai dunia. Perang dunia I dan II
telah menjadi penanda perang antar imperialis yang menunjukkan watak fasisnya
untuk saling menguasai dunia.
Musolini
sebagai penguasa Italia diktator fasis yang mewakili kepentingan kapitalis
mengembangkan sistem imperialisme melalui kepemimpinan fasismenya. Selain
menggerakkan militer untuk memukul gerakan rakyat, dirinya mengorganisasikan
gangster-gangster (paramiliter) untuk terlibat menindas rakyat.Klas buruh dan
kaum tani dipukul mundur ketika berjuang atas hak-hak demokratisnya yang
dirampas negara. Musollini mengatasnamakan perdamaian dan ketertiban untuk
menumpas habis gerakan rakyat yang bangkit. Tahun 1922, dirinya mulai memimpin
pemerintahan fasis Italia. Gerakan
pertamanya adalah menyerang Ethopia dengan dalih bahwa bangsa Ethopia bangsa
kelas rendah karena termasuk kulit hitam. Dirinya menyebutkan bahwa Ethopia
jika dipimpin ras unggul semacam italia akan lebih maju lagi. Sehingga untuk
menaklukan bangsa Ethopia tersebut, Musollini pun mengobarkan perang. Demikian
ketika Musollini menduduki Abbesinia dengan cara penaklukan melalui Perang.
Tentu tujuan dari perang yang dikobarkan Musollini adalah wajah imperialisme
untuk menguasai kekayaan alam dan klas-klas pekerja dan rakyat dunia untuk
kepentingan borjuasi-borjuasi internasional.
Demikian
dalam kepemimpinan diktator fasis adolf Hitler[5].
Kejahatan fasis hitler untuk melanggengkan imperialisme dengan watak fasisnya
telah membunuh 50 juta rakyat dunia termasuk 6 juta kaum yahudi dan 5 juta non
etnis arya yang kerap disebut Holocoust.
Imperialisme jerman baik perang dunia I dan II telah berusaha menebar
fasis melalui peperangan untuk menguasai dunia khususnya di daratan Eropa.
Paling terkenal bagaimana jerman menjadi Negara fasis kuat melawan blok imperialisme
lainnya seperti Inggris, AS. Walau akhirnya fasisme jerman kemudian dipukul
mundur oleh Uni soviet yang saat itu menjadi kekuatan yang melawan dominasi
imperialisme serta mendukung pembebasan nasional negara-negara yang dikuasai
bagi blok fasis maupun blok kekuatan inggris, AS.
Berakhirnya
perang dunia ke-II dengan kekalahan blok imperialisme Fasis, petanda lahirnya
kekuatan baru imperialis AS sebagai pemenang perang dunia ke II yang nantinya
akan menjadi penguasa tunggal di antara imperialisme dunia hingga saat ini.
Selain itu, dampak peperangan ternyata telah melahirkan berbagai perjuangan rakyat dunia yang bangkit untuk
membebaskan dirinya dari belenggu imperialisme. Negara-negara Asia Afrika,
Amerika latin menjadi bukti bergejolaknya perjuangan menghapuskan penindasan
atas negara-negara imperialisme selama ini. Hak untuk menentukan nasibnya
sendiri menjadi tuntutan negara-negara terjajah. Akan tetapi, imperialis As
beserta sekutunya tidak akan rela begitu saja negara-negara tersebut bebas dari
cengkraman mereka. Karena hakekatnya sistem kapitalisme monopoli internasional
mempunyai nafsu penguasaan ekonomi, politik, budaya dan militer di seluruh
dunia yang menjadi ciri-ciri imperialisme itu sendiri. Walau adanya perlawanan
dari negara Uni soviet dan RRT, AS senantiasa melakukan sejumlah agenda-agenda
politik baik melalui jalan damai demokrasi dan HAM hingga fasisme terbukanya
dengan perangnya untuk mengkonsolidasikan seluruh kekuatan dunia di bawah
dominasinya. Terutama ketika negara Uni soviet dan RRT mengalami restorasi
kapitalisme, membuat kekuatan negara-negara baru yang merdeka kemudian jatuh
kembali dalam bentuk penjajahan baru (neo-Kolonialisme) ke tangan imperialis
AS. Perang semacam di ASIA seperti di negara Vietnam, Philipina maupun di
Indonesia, menjadi proyek imperialis AS untuk mendirikan negara-negara boneka
atau setengah jajahannya dengan topangan sekutu di dalam negerinya yaitu
kekuatan feodalisme (borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar).
Fasis menjadi Wajah asli Imperialisme
Pasca perang
dunia ke II, negara-negara dunia sepakat membangun perdamaian dunia. Namun ini
bukanlah akhir sistem kapitalisme monopoli internasional khususnya keinginan
jahat imperialis AS sebagai pemenang tunggal perang dunia ke II. Watak
eksploitasi, ekspansi dan akumulasi kapital akan senantiasa dijalankan
imperialis AS beserta sekutunya untuk melakukan praktek penghisapan dan
penindasan rakyat dunia. Imperialisme akan berusaha melahirkan nantinya
berbagai skema untuk senantiasa menguasai rakyat dunia untuk memuluskan praktek
monopoli pasar dan kapitalnya.
Imperialisme menyadari bahwa akibat perang dunia ke II telah melahirkan
gelombang perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa yang tidak dapat dibendung
imperialisme. Tapi, kemerdekaan bangsa-bangsa, sejatinya tidak akan diberikan
sepenuhnya oleh imperialisme. Karena hukumnya, bahwa imperialisme tidak akan
pernah memberikan sebuah kemerdekaan sepenuh-penuhnya pada rakyat dunia, karena
dalam sistem imperialisme akan “hidup” apabila menjalankan praktek monopoli yang
merampas kekayaan alam bangsa-bangsa serta menindas rakyat dunia.
Berbagai
usaha dilakukan imperialis AS untuk menguasai dunia pasca perang dunia ke II.
Mulai dari memenangkan perang dingin, membentuk lembaga brettons woods (IMF,
WORD BANK, GATTS-WTO)[6],
perjanjian internasional/regional/bilateral, dominasi Dollar AS hingga
membentuk negara-negara boneka seperti Indonesia. kemudia imperialis AS secara
aktif mempromosikan Demokrasi dan HAM ala borjuis ke seluruh dunia. Sistem ini
dianggap sebagai sistem yang paling muktahir untuk membangun perdamaian dunia.
Semacam ahli Ekonomi AS Francis fukuyama dalam Buku The End Of History menyebutkan bahwa, “berakhirnya perang dingin
menjadi penanda sebagai kemenangan demokrasi liberal yang akan diterapkan bagi
seluruh dunia”. Tentu ini sebuah legitimasi bagi AS agar demokrasi liberal
diterima di seluruh dunia. Demikian dengan penegakan HAM yang digemborkan-gemborkan
ala imperialis AS yang dapat menghormati, menghargai setiap hak asasi manusia
di seluruh dunia. Sehingga kekerasan, peperangan seluruh dunia dapat
dihentikan. Akan tetapi, kenyataannya demokrasi dan HAM adalah sebuah topeng
kepalsuan bagi AS yang bertujuan untuk dapat “diterima” di seluruh dunia
sebagai mitra pasar barang maupun kapital bagi negara-negara khususnya negara
berkembang semacam Indonesia. Demokrasi dan HAM ala AS dijadikan sebagai usaha
politik untuk mengintensifkan borjuasi-borjuasi internasional AS menguasai
pasar barang dan kapital di seluruh dunia semacam Indonesia. Karena hakekatnya,
demokrasi dan HAM yang dipromosikan tidak terlepas dari kepentingan AS untuk
melanggengkan sistem kapitalisme monopoli internasional yang membuat rakyat
dunia menderita dan miskin.
Jika
mengurai demokrasi ala AS, hanya menjadi proses politik untuk mengorientasikan Negara untuk mengabdi kepada kepentingan
borjuasi-borjuasi dan tuan-tuan tanah. Demokrasinya hanya ditandai dengan
berbagai polesan pemilu yang seolah-olah demokratis, pembentukan dan reformasi
kelembagaan yang kenyataannya menjadi lipstik untuk mengelabui rakyat.
Sementara demokrasi yang sesungguhnya dikubur oleh imperialisme dan menjadi isu
hangat di saat pemilu. Padahal kita paham bahwa demokrasi bagi rakyat adalah
kebebasan yang sepenuh-sepenuhnya untuk mendapatkan hak atas ekonomi, politik,
sosial, budaya yang seluruhnya adalah hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Akan tetapi,
di tengah krisis yang senantiasa menerpa imperialisme, akan membuka topeng
demokrasi dan HAM ala borjuisnya yang menindas. Imperialisme akan menunjukkan
wajah asli yakni fasis dengan berbagai tindakan kekerasan, peperangan atau
bentuk paling populer yaitu “Perang
melawan Teroris”. Demikian perang di
Timur Tengah, Afrika, ASIA bahkan di belahan Eropa, isu terorisme
menjadi kebijakan politik dan militer yang memberikan legitimasi bagi AS untuk
mengobarkan perang yang hakekatnya hanya untuk menguasai belahan negara
manapun.
Sementara di
Indonesia sebagai negara berkembang yang sepenuhnya sangat bergantung pada
imperialisme khususnya AS, tentu akan senantiasa menjalankan anjuran tuannya
untuk memoles demokrasi dan HAM ala borjuis sebagai sistem untuk diterima
secara umum rakyat Indonesia. setiap lima tahun sekali rakyat dipaksa untuk
“merayakan” pemilihan-pemilhan kepala daerah maupun Presiden. Rakyat disuruh
pula untuk menyaksikan perdebatan para elit-elit politik di lembaga-lembaga
negara yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sementara di lembaga-lembaga
pendidikan kita semacam di Kampus, ajaran-ajaran teori demokrasi dan HAM ala
borjuis semakin dikencangkan. Namun, tak ada satu pun kebijakan rejim yang
kemudian menghormati, menghargai dan menjamin hak-hak ekonomi, politik, sosial,
budaya sebagai cerminan HAM rakyat. Sebaliknya, rakyat yang telah
berpuluh-puluh tahun merdeka sejak Revolusi agustus 1945, namunb hak atas
ekonomi, politik, sosial dan budaya masih saja dirampas dengan cara-cara keji
mulai dari fasisme tertutup hingga fasisme terbuka.
Tindasan Fasis Rejim Boneka Imperialis AS di dalam negeri
Ketika Soekarno jatuh dan pengambilan-alih pemerintahan oleh
Soeharto melalui rekayasa kekuasaan yang ditopang langsung imperialis AS,
tindasan fasis semakin berat dirasakan rakyat, dan nantinya selama 32 tahun Soeharto menjadi
rejim boneka fasis yang setia dan patuh kepada imperialis AS. Bahkan saat
pengambil-alihan pemerintahan dari tangan Soekarno, Soeharto telah melakukan
praktek tindasan fasis dan pelanggaran HAM berat yakni pembantaian kurang lebih
1,5 juta rakyat. Tujuan pembantaian massal ini hanya ingin menghancurkan
kekuatan rakyat yang konsisten menjalankan perjuangan atas landreform sejati dan industri
nasional. Akan tetapi hingga saat ini, pembantaian massal yang merupakan
wujud tindasan fasis dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Negara di
bawah kuasa Soeharto tidak (akan) penah diakui oleh pemerintahan di Indonesia
hingga Rejim Jokowi-JK berkuasa saat ini.
Selain pembantaian massal, praktek tindasan fasis semakin
dimasifkan oleh Soeharto. Perampasan dan monopoli tanah petani dijalankan
secara meluas untuk diserahkan pada kepentingan feodalisme dan imperialis AS.
Seluruh potensi Pertambangan semacam minyak, gas, emas dan sebagainya, turut
diserahkan kepada borjuasi besar komprador dan khususnya kepada imperialis AS
(PT. Freeport, Chevron, dll). Sementara praktek penindasan dan penghisapan
terhadap buruh tani dan tani miskin yang membuat penderitaan akut, menjadi
pelanggaran HAM atas ekonomi oleh Soeharto. Demikian klas buruh Indonesia
dijadikan sebagai pasar tenaga kerja murah bagi imperialis AS dan feodalisme
untuk mengembangkan industri manufaktur/rakitan di Indonesia. Sedangkan HAK atas
budaya baik pendidikan dan kesehatan dirampas dan kemudian dijadikan sebagai
komoditas ibarat barang yang dikomersialisasikan untuk memberikan keuntungan
yang bsar bagi kekuasaannya dan feodalisme khususnya bagi imperialis AS.
Sedangkan secara politik, Soeharto kemudian memberangus atau
merampas Hak asasi manusia untuk memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul dan
berorganisasi. Alhasil, organisasi yang berdiri di seluruh sektor rakyat hanya
serikat-serikat plat kuning. Sementara organisasi-organisasi rakyat diberangus
dengan tindasan fasisnya. Sama halnya dengan kebebasan pers yang disebut-sebut
sebagai instrumen demokrasi turut dikekang oleh soeharto. Demikian selama 32
tahun pemerintahan fasis Soeharto yang melanggengkan kekuasaan fasisme terutama
militer untuk menindas atau merampas seluruh HAM rakyat baik secara ekonomi,
politik, sosial dan budaya. Selain kekuatan fasis militer, soeharto juga
memobilisasi gerakan-gerakan paramiliter untuk ikut serta memukul bahkan membunuh
gerakan rakyat nantinya.
Pasca kekuatan rakyat khususnya mahasiswa bangkit
menumbangkan kekuasaan 32 Tahun Seoharto yang dikenal dengan sebutan gerakan
reformasi 1998, setidaknya memberikan angin segar bagi kebebasan rakyat yang
meliputi pula orientasi penegakkan HAM maupun demokrasi bagi rakyat Indonesia.
Berbagai kebijakan diambil yang disebut-sebut untuk menegakkan HAM baik secara
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Reformasi pemilihan langsung, kebijakan
otonomi daerah, pembentukan lembaga independen
, melawan korupsi, dan sebagainya. Tapi nyatanya, rejim ke rejim yang
lahir semasa produk reformasi tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Soeharto.
Mulai dari pemerintahan Habibie hingga Jokowi-Jk saat ini, masih saja
melanggengkan praktek tindasan fasis yang yang telah melanggar HAM untuk
terus-menerus merampas hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Di bawah pemerintahan Jokowi-JK, tindasan fasis juga semakin
masif ditunjukkan. Berbagai kebijakan secara jelas memperkuat fasisme di dalam
kepemimpinannya. Kebijakan militer masuk desa, militer menjaga kawasan
industri, militer masuk kampus, hingga mulai tumbuh suburnya konflik SARA di
Indonesia, serta Program bela negara melalui pendidikan wajib militer menjadi
salah-satu andalan yang dijalankan Jokowi-JK pula. Ada lagi Surat edaran
kapolri tentang Hate Speech, yang tujuan jelas-jelas untuk mengekang kebebasan
masyarakat berpendapat baik secara lisan maupun tulisan. Kekejaman jokowi-Jk
terlihat pula dari usaha kekerasan, penangkapan hingga penembakan terhadap
gerakan rakyat di Indonesia.
Kita memahami bahwa seyogya di tengah krisis yang semakin
akut dan kronis di tubuh imperialis AS, akan terjadi transformasi krisis ke
negara-negara jajahan maupun setengah jajahan seperti Indonesia. Jelas, kepentingannya
adalah bagaimana melipatgandakan keuntungan (superprofit) dari Indonesia melaui
kebijakan-kebijakan Neo-liberalisme di Indonesia yang dijalankan oleh
pemerintahan boneka Jokowi-JK. Tentu kebijakan neo-liberalisme yang dijalankan
jokowi-JK semacam penguatan investasi asing dan Utang luar negeri, pencabutan
subsidi rakyat, perampasan upah tanah kerja, komersialisasi pendidikan dan
kesehatan, bisnis megaproyek infraskruktur, akan membuat rakyat semakin
menderita. Dan Rejim jokowi-JK menyadari bahwa seluruh kebijakannya yang
melayani tuan imperialisme, tentu akan mendapatkan perlawanan keras dari rakyat
Indonesia. itulah yang membuat Jokowi-Jk semakin menanggalkan wajah polesan
demokrasi dan HAM dan tidak menyembunyikan wajah asli rejim boneka yang Fasis
menindas rakyat.
Akar
kelahiran fasisme adalah krisis dalam sistem kapitalisme yang berupaya
menimpakan beban krisis di pundak beban buruh dan rakyat melalui kediktatoran
fasisnya. Negara berkedok kebangkrutan ekonomi untuk menjalankan totalitas dari
kedikatoran fasis yang hakekatnya menindas rakyat. Fasisme adalah kediktatoran teror terbuka dari kapital finans
yang paling reaksioner, paling sovinistik dan paling imperialis. Sementara bagi
negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia, mereka memaksakan tindasan teror fasis melalui
pemerintah boneka yang dipaksa tunduk-patuh melayani kepentingan imperialis dan
klik klas-klas reaksi domestik (borjuasi komprador, tuantanah, kabir) untuk
menindas rakyat. Sementara bentuk fasisme yang dapat kita simpulkan
yaitu; Fasisme Terselubung (Silence Fascism) adalah situasi yang pada hakekatnya fasis dimana
negara menghadapi situasi ‘relatif damai’ namun seluruh kekuatan negara reaksi
(kabir/aparat polisi/militer/paramiliter, mesin propaganda reaksi), terus bekerja
aktif menjaga ketakutan rakyat, mengintimidasi dan terus mempromosikan
demokrasi palsu disisi lain. SedangkanFasisme Terbuka adalah tindakan teror terbuka dengan
melakukan tindasan polisional/militer/paramiliter secara langsung dengan
tindakan kekerasan, pembubaran paksa, penangkapan, penyiksaan, pembunuhan
terhadap gerakan rakyat.
Jadi, tindasan fasis
yang menguat saat ini sangat erat hubungannya dengan sistem setengah
jajahan setengah feodal Indonesia yang pemimpinnya adalah rejim boneka Jokowi-JK
untuk menyelamatkan krisis imperialisme khususnya AS. Itu pula yang menunjukkan
bagaimana kebijakan ekonomi, politik, budaya, militer sangat mengabdi kepada
imperialis AS.
Sementara jika fasis menguat, maka akan semakin merampas
nilai-nilai demokrasi termasuk HAM rakyat Indonesia atas hak ekonomi, politik
dan budaya. Kebijakan ini akan senantiasa membuat rakyat menderita, tertindas
dan miskin. Perampasan upah, tanah, kerja, pendidikan-kesehatan serta kebebasan
berekspresi dan berorganisasi akan semakin terhambat akibat tindasan fasis
Jokowi-JK. Maka, tidak ada jalan selain membangkitkan kesadaraan,
mengorganisasikan diri dan bergerak untuk melawan tindasan fasis Jokowi-JK
untuk merebut demokrasi dan HAM sepenuh-penuhnya bagi rakyat.
Rachmad P Panjaitan (Ketua PP FMN)
[1] Rudiaji
Mulya. Feodalisme dan Imperialisme di Era
Global. PT. Kompas Gramedi, Jakarta 2012
[2] Plato. Republik. Pustaka Narasi, Yogyakarta 2015
[3] Vladimir
Lenin. Imperialism, the Highest Stage of Capitalism. Penguin Classics,
2010
[4] Schmandt,
Henry J, Filsafat Politik. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta: 2005
[5] Adolf
Hitler. Mein Kampf 1&2. Pustaka
Narasi, Yogyakarta 2009
[6] Gilpin,
R. G. The Challenge of Global Capitalism. New Jersey: Princeton
University Press 2000.
0 komentar:
Posting Komentar