Abstraksi
Sejarah akan selalu memberikan kita
pelajaran baru, sebab bukan saja mengenal tokoh maupun kronologis peristiwa
saja yang kita uraikan. Namun di dalam sejarah kita akan menemukan perjuangan
kelas sebagai fondasi utama yang memberikan perubahan sosial setiap
perkembangan masyarakat itu sendiri. Di dalam masyarakat terjadi pembagian
kelas, pihak yang satu berada di posisi mayoritas yang tertindas. Sementara
pihak minoritas berada pada pihak yang menindas. Keadaan sosial inilah kemudian
menjadi hukum gerakan perkembangan masyarakat dimana mayoritas bangkit dari
penindasannya untuk meraih perubahan sosialnya. Contohnya saja para Gladiator
di Roma telah keluar dari penjara Coleseumnya sebagai tanda kehancuran
tuan-tuan budak yang merampas kemerdekaannya. Demikian perjuangan rakyat saat
perang tani di Jerman. Kaum tani dengan
penuh kesadaraan bangkit untuk melawan kekuasaan feodal Jerman yang menghisap
dan menindas mereka. Sementara kelas
buruh saat ini sedang berjuang untuk melawan kapitalisme dan imperialisme yang
mencuri nilai lebihnya. Klas buruh berjuang
membebaskan diri dari keterasingan hingga kemiskinan yang dialaminya.
Terlebih keadaan masyarakat di negeri setengah jajahan setengah feodal. Kehidupan
klas buruh dan kaum tani sebagai mayoritas, mengalami penghisapan dan
penindasan akibat dominasi imperialisme dan feodalisme yang membuat rakyat
tidak mampu mengembangkan kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Sejak zaman perbudakan hingga kapitalisme
mencapai puncaknya imperialisme saat
ini, rakyat masih saja mengalami kondisi yang sama. Ironinya dalam sistem
sosial yang menindas tersebut, kaum perempuan sebagai golongan dalam masyarakat
mengalami penindasan yang berlipatganda. Akibat ketidakadilan yang disebabkan
kekuatan klas penindas, kaum perempuan juga harus menghadapi persoalan patriarki yang merendahkan kaum
perempuan itu sendiri[1]. Patriarki telah eksis
semenjak zaman perbudakaan yang kemudian dipertahankan hingga saat ini. Perempuan
dijadikan sebagai pekerja domestik semata untuk mengurus anak maupun
keluarganya. Buruknya, perempuan dijadikan sebagai objek seksual semata oleh
kaum laki-laki. Secara bersamaan kaum perempuan tersebut tidak mempunyai hak
dan kedudukan yang sama seperti kaum laki-laki. Harkat, martabatnya lebih
rendah dibanding kaum laki-laki. Perempuan dianggap hanya akan mengurusi kasur,
kamar mandi dan dapur. Sedangkan
kesetaraan atas hak ekonomi, politik, sosial dan budaya tidak didapatkan kaum
perempuan. Perempuan menjadi pekerja
yang lebih rendah dibanding kaum laki-laki karena dianggap lebih macho. Secara umum, peran perempuan
kemudian mengalami disorientasi. Perempuan tidak lagi menjadi golongan
masyarakat yang mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Demikian
dalam perspektif Hak, perempuan tidak mempunyai hak sama sekali atas
kehidupannya. Karena garis patriarki menjadi penguasa yang mengatur kaum
perempuan secara mutlak. Kemerdekaan kaum perempuan mengalami persoalan yang
sangat terhubung dengan system social yang sifatnya menindas.
Padahal di zaman komunal primitif,
perempuan mempunyai hak maupun kedudukan yang sama di tengah-tengah kehidupan
sosialnya. Sehingga dapat kita liat
selain mengurus anak dan keluarganya, perempuan juga ambil bagian aktif dalam
proses pekerjaan di zaman. Alhasil, kaum perempuan memberikan kontribusi besar
terhadap perkembangan zaman. Perempuan berhasil menemukan hal yang spektakuler
yakni sistem bercocok tanam yang
kemudian dikembangkan secara modern saat ini.
Di zaman kapitalisme yang telah
mencapai puncaknya imperialisme saat ini, penindasan patriarki terhadap kaum
perempuan tidak juga dihapuskan. Namun penindasan terhadap kaum perempuan masih
tetap bertahan. Patriarki malah tetap eksis yang dipertahankan system
imperialisme dalam masyarakat global. Ketidaksetaraan yang didapatkan kaum
perempun baik di bidang ekonomi, politik, social budaya menjadi permasalah
patriarki yang dipertahankan system imperialisme saat ini. Sementara balutan kecantikan menjadi model untuk
mengeksploitasi kaum perempuan sebagai pasar produk dan capital imperialisme
yang senantiasa merendahkan kaum perempuan di seluruh dunia. Namun patriarki
yang dipertahankan system imperialisme ini, tentu melahirkan kesadaraan bagi
kaum perempuan di dunia untuk berjuang mewujudkan kesetaraan dengan cara
melawan !
Gimana
Sejarah Hari Perempuan Internasional ?
HPI sudah dimulai
semenjak adanya perjuangan buruh perempuan pada tahun 1857, di New York City,
Amerika Serikat. Kaum perempuan bersama buruh lainnya menuntut kondisi kerja
dan upah yang lebih baik. Aksi-aksi tersebut terus berlanjut tidak hanya di
Amerika Serikat, namun di beberapa negara, seperti Jerman dan Rusia. Tahun 1910, di Copenhagen, Denmark, Clara
Zetkins mengajukan adanya peringatan Hari Perempuan Internasional. HPI juga lahir untuk memperingati kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York
pada 1911
yang mengakibatkan 140 orang perempuan kehilangan nyawanya. Akhir Februari 1917, pada perang dunia pertama, di Rusia,
para perempuan melakukan demonstrasi dengan 2 tuntutan yaitu “bread and
peace”. Bread disini merupakan simbol tuntutan terhadap penguasa tsar atau
dunia untuk memberikan hak-hak atas ekonomi terhadap rakyat yang menderita akibat
eksploitasi beban kerja yang berat
dengan upah murah. Sedangkan Peace adalah tuntutan untuk menolak
perang dunia pertama yang merupakan perang di antara imperialisme dalam
menguasai dunia. Empat hari kemudian 08
Maret Tsar Rusia jatuh. Kemudian Pemerintahan Sementara di Rusia memberikan hak pilih kepada perempuan Rusia.
Kemenangan rakyat ini memberikan ruang politik, ekonomi, social dan budaya
kepada perempuan saat itu yang secara teguh melawan sistem imperialisme dan
patriarki. Mulai saat itu, setiap 8 Maret perempuan seluruh dunia
memperingati Hari Perempuan Internasional sebagai tonggak perlawanan maju kaum
perempuan terhadap imperialisme dan patriarki.
Peringatan Hari perempuan
internasional selalu diwarnai dengan berbagai kegiatan luas di berbagai negara.
Dari kegiatan-kegiatan itu mereka menyuarakan tuntutan perubahan atas nasib
kaum perempuan yang saat ini masih mengalami ketertindasan dari system sosial.
Tidak terkecuali di Indonesia. Pasca reformasi, peringatan HPI semakin massif
dan meluas diselenggarakan dalam berbagai bentuk kegiatan mulai dari seminar
hingga aksi massa. Gerakan ini menunjukkan bagaimana Penindasan dan penghisapan
atas ekonomi, social dan budaya masih dialami kaum perempuan Indonesia.
Diskriminasi akibat system imperialisme dan feudal pariarki masih saja menjadi
persoalan yang mengemuka bagi kaum perempuan Indonesia.
Gerakan
Perempuan di Indonesia
Munculnya
gerakan perempuan di belahan dunia membawa pengaruh ke dalam nuansa pergerakan
perempuan Indonesia. Ini terlihat munculnya ide-ide emansipatif oleh berbagai
organisasi perempuan Indonesia untuk melawan feodal patriarki yang
dipertahankan imperialisme di Indonesia.
Secara garis
besar pergerakan perempuan dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu:
- Periode Sebelum Proklamasi Kemerdekaan.
- Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945-1965).
- Periode Pasca 1965 (Orde Baru).
- Periode Reformasi (1998 s.d sekarang).
1. Periode Sebelum
Proklamasi Kemerdekaan
Perlakuan
ketidakadilan yang dialami perempuan Indonesia yang tidak mempunyai kedudukan
dan hak baik atas ekonomi, politik, sosial dan budaya, ditulis pada surat-surat
kartini dari tahun 1878 sampai 1904 yang dibukukan pada permulaan abad ke-20[2].
Surat-surat kartini banyak berbicara tentang nilai-nilai tradisi (khususnya
Jawa) yang cenderung membelenggu perempuan, tergantung pada laki-laki
sehingga perempuan menjadi kaum yang tidak berdaya. Kartini menetapkan
permasalahan penindasan perempuan pada permasalahan system budaya masyarakat.
Dan mengecam system kolonialisme yang menindas. Tentu pemikiran-pemikiran
Kartini ini dipengaruhi dari sumbangan-sumbangan artikel yang diberikan
sahabatnya seorang sosialis dari Belanda bernama H.H Van Kol.
Kemudian
mulai muncul berbagai organisasi perempuan melawan kolonial saat itu. Tahun
1912 lahir organisasi Poetri Mardika yang didukung Budi Utomo. Selain berjuang melawan penjajah
juga melawan adat istiadat yang mendiskriminasi perempuan. Program utamanya
adalah memajukan perempuan dalam pendidikan dan menghilangkan perlakuan tidak
adil terhadap kaum perempuan.
Setelah itu
lahir organisasi seperti Jong Java Meisjeskring (Kelompok perempuan Jawa Muda)
tahun 1915, dan Aisyah (Perempuan Muhamadiyah) tahun 1917. Awal kegiatannya
mendorong perempuan untuk berani tampil di muka umum. Perhatian khusus
diberikan kepada lembaga perkawinan. Organisasi perempuan tumbuh bagaikan
jamur. Pada masa itu organisasi yang berkembang adalah organisasi perempuan
yang masih didasari agama.Seperti, Aisyah, NU, Wanita Tarbiyah (Islam). Untuk
wanita Protestan dikenal PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia) dan untuk
wanita Katolik dikenal WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia).
Seiring
dengan tekanan pada upaya-upaya represif yang dilakukan pemerinyah Hindia
Blanda kepada tokoh pergerakan nasional, sekitar tahun 20-an dan 30-an
kelompok-kelompok nasionalis melakukan konsoldasi diantara mereka untuk untuk
menghadapi kondisi sulit tersebut. Kaum pemuda dari seluruh Indonesia yang
semula tergabung dalam organisasi daerahnya masing-masing, mengadakan fusi
tanggal 1 Januari 1931 yang diberi nama Jong Indonesia kemudian tahun 1939
diubah menjadi Indonesia Moeda. Organisasi Islam membentuk Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI), organisasi-organisasi politik membentuk Federasi PPPKI.
Semangat
nasionalisme para pemuda diikuti oleh para perempuannya. Pada 1928 dikatakan
sebagai titik balik perjuangan perempuan, tepatnya saat diselenggarakannya
Kongres Perempuan Pertama di Dalem Djojodipuran , Yogyakarta. Kongres itu
diprakarsai oleh tiga tokoh perempuan, yaitu Ibu Soekonto (Wanita Utomo), Nyi
Hajar Dewantara (Wanita Taman Siswa), dan Ibu Soejatim (Puteri
Indonesia). . Dan akhirnya berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia
(KOWANI) pada 1946. Akan tetapi, perjuangan organisasi perempuan saat ini masih
mempunyai karakter kompromis khususnya terhadap kekuatan feodal atau tuan-tuan
tanah yang menjadi sekutu kolonial yang menindas rakyat dan perempuan melalui
budaya patriarki.
Sementara
gerakan perempuan progresif yang memberikan perlawanan yang hebat terhadap
penindasan kolonial dan feodal adalah gerakan perempuan yang diorganisir oleh
Serekat Rakyat.
Aksi-aksi buruh, khususnya buruh transportasi dan perkebunan, serta aksi kaum
tani terus bergolak. Sarekat Rakyat pun mengorganisir berbagai demonstrasi
politik buruh perempuan menuntut kenaikan upah, penghapusan buruh anak,
perpanjangan kontrak maksimum, uang pensiun dan perlindungan kerja. Salah satu
aksi buruh perempuan pada tahun 1926 yang diorganisir SR di Semarang adalah
aksi ‘caping kropak”, dimana para buruh perkebunan perempuan unjuk rasa
menuntut kesejahteraan dengan menggunakan topi bambu. Gerakan perempuan ini
banyak didominasi dari kalangan tani miskin, buruh tani, buruh industri dan
nelayan sebagai representatif masyarakat Indonesia.
- Periode setelah proklamasi kemerdekaan (1945-1965
Revolusi
borjuis 17 Agustus 1945, telah memberikan Indonesia kemerdekaan. Peristiwa ini
menjadi puncak pergolakan rakyat Indonesia menentang imperialisme dan
feodalisme sejak abad 17. Namun dengan sikap politik kompromi, kemerdekaan Indonesia
lantas mengalami kemerosotan di tengah perjuangan rakyat untuk memajukan
revolusi Indonesia sedang berkobar mewujudkan land reform dan industri nasonal.
Puncaknya Desember 1949, pemerintahan Indonesia menandatangi Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang menjadi permulaan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan
setengah feodal hingga saat ini.
Perjuangan
rakyat khususnya perempuan untuk mempertahankan kemerdekaan 1945 bermunculan
lascar bersenjata yang anggotanya para perempuan. Lascar Putri Indonesia di
Surakarta, Pusat Tenaga Perjuangan Wanita Indonesia, Laskar Wanita Indonesia,
Persatuan Wanita Indonesia, yang terbentuk setelah bubarnya Fujinkai Wanita
Negara Indonesia. Tahun 1950 lahir Gerakan
Wanita Indonesia Sedar (GERWIS) sebagai
cikal bakal terbentuknya organisasi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Gerwis diprakarsai
dari 6 organisasi di Pulau Jawa tahun 1950 dan beberapa tahun kemudian
organisasi-organisasi perempuan dari luar pulau jawa bergabung di dalamnya.
Tahun 1954 disepakati berubahnya nama organisasi Gerwis menjadi Gerwani secara resmi. Alasanya
menjadi Gerwani untuk menunjukkan identitas gerakan perempuan skala nasional di
Indonesia. Sementara program politik Gerwani adalah melawan imperialisme dan
feodalisme. Bagi mereka, yang melahirkan diskriminasi dan kekerasan terhadap
perempuan diakibatkan dipertahankannya feodal patriarki oleh sistem
imperialisme. Sementara program perjuangannya Gerwani melakukan kampanye
pembubaran parlemen 1952 yang dianggap sebagai cerminan demokrasi liberal di
Indonesia. Selain itu, Gerwani juga aktif melakukan kampanye untuk menolak UU
Perkawinan yang mendiskriminasikan atau mendiskreditkan kaum perempuan di
Indonesia. Gerwani juga melakukan perlawanan terhadap pemerintah, tuan tanah
dan asing yang merampas tanah-tanah kaum tani di pedesaan[3].
Sehingga, Gerwani tidak semata-mata berbicara tentang nilai feminis liberal
yang hanya fokus pada isu seksualitas. Namun mereka menekankan aspek untuk
melawan sistem sosial yang menindas termasuk di dalamnya patriarki. Akan
tetapi, semenjak masa orde baru Gerwani dihancurkan karena dianggap sebagai
organisasi terlarang.
3. Periode
Pasca 1965 (Orde Baru)
Pembantaian jutaan rakyat Indonesia tanda
berkuasanya Soeharto sebagai rejim boneka imperialis AS. Diselenggarakannya
Musyawarah Kerja Sekretariat Bersama (SEKBER) GOLKAR pada Desember 1965,
dianggap sebagai tonggak pengukuhan Orde Baru. Melalui musyawarah ini
maka berhasil disusun program konsolidasi organisasi dan program perjuangan
bagi tegaknya ORBA. Konsolidasi disusun dalam 10 koordinasi (KOSI). Ada KOSI
wanita dengan jumlah anggota sebanyak 23 organisasi wanita yang tergabung
dalam koordinasi Wanita SEKBER GOLKAR. Kemudian seiring perkembangan waktu
dipandang perlu membentuk wadah bagi wanita, dibentuklah Himpunan Wanita
Karya (HWK).
Dalam gerakan
perempuan ada kecenderungan organisasi yang sejenis menyatu dalam bentuk fusi,
federasi atau setidaknya bentuk kerjasama. Diantaranya perkumpulan istri
tentara yang awalnya berdiri atas prakarsa sendiri dan terpencar di berbagai
daerah akhirnya membentuk fusi dengan nama PERSIT Kartika Chandra Kirana.
Bentuk
federasi perempuan lain yakni Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita
Indonesia 1967, badan kerjasama Wanita Kristen Indonesia (1973). Selain
itu ada juga Dharma Wanita (1974) yang akan menjadi organisasi perempuan yang
sepenuhnya di bawah kekuasaan pemerintah. Presiden RI sebagai Pembina utama,
istri Presiden penasehat utama, sedangkan dewan Pembina terdiri dari beberapa
menteri. Dharma Wanita disebut organisasi fungsional yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan
kegiatan organisasi istri pegawai agar searah dengan pelaksanaan tugas pegawai
negeri Republik Indonesia sebagai aparatur negara. Setelah 5 tahun berdiri,
kemudian dilakukan penyempurnaan bentuk organisasi. Melalui MUNAS I tanggal
30-31 Mei 1977 di Jakarta telah diputuskan peleburan kesatuan Dharma Wanita.
Pada 1974,
di Jawa Tengah terbentuk gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan ini
kemudian ditetapkan bahwa gerakan PKK berlaku secara nasional sebagai dalih
untuk memberikan kesejahteraan bagi keluarga khususnya kalangan perempuan dan
anak. Gerakan ini hakekatnya adalah upaya untuk mengambil anggaran negara yang
besar atas dalaih program kesejahteraan. Fokus gerakan ini diarahkan pada upaya
pembinaan kesehatan dan gizi.
Gerakan perempuan
Indonesia juga mencakup Pusat Studi Wanita (PSW), sebagai kontrol gerakan
perempuan di kalangan perguruan tinggi . Salah satu pelopor berdirinya kelompok
studi wanita di berbagai perguruan tinggi di Indonesia adalah Kelompok Studi
Wanita FISIP UI. Pada umumnya, organisasi perempuan tersebut memiliki kegiatan
di bidang ekonomi, pendidikan, pembinaan mental dan budaya (keagamaan, ideologi
Negara, budi pekerti), bidang kesehatan (penyuluhan KB) dan kesejahteraan
sosial (panti asuhan). Sementara perjuangan atas persoalan rakyat maupun
patriarki yang menindas perempuan sangat jauh dari agenda perjuangannya.
Selain itu,
pada masa orba tak sedikit permasalahan perempuan yang mengemuka selain
pemberangusan organisasi-organisasi perempuan yang progresif yang anti
imperialisme dan feodal yang mempertahankan patriarki. Liat saja kekerasan
terhadap perempuan yang mengemuka seperti kekerasan terhadap perempuan di
pengasingan Platungan (Tapol Gerwani), kekerasan akibat pelaksanaan DOM di Aceh, kasus
Marsinah, perlindungan TKW, perkosaan korban 1998 dan banyak lagi. Masa ini,
praktis gerakan perempuan yang anti imperialisme dan feodal patriarki tidak
ada.
- Periode Reformasi (1998- Sekarang).
Jatuhnya
rejim Soeharto sedikitnya memberikan ruang demokrasi untuk kehidupan masyarakat
Indonesia termasuk kaum perempuan. Walaupun pada kenyataannya, praktek fasisme
untuk memberangus kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi bagi kaum
perempuan semakin meninggi di era saat ini. Berbagai kebijakan yang masih eksis
memberikan persoalan dalam perkembangan
organisasi perempuan yang anti imperialisme dan feodalisme sebagai syarat
menghapuskan patriarki di Indonesia. Kebijakan UU Perkawinan, tes keperawanan,
pembatasan jam malam, UU Pajak Penghasilan, UU Ketenagakerjaan, UU PPTKILN, dan
ada ratusan kebijakan lagi yang tetap mendiskriminasikan kaum perempuan di
Indonesia. Demikian di kampus diskriminasi dan kekerasan masih saja dialami
perempuan. Mulai dari kekerasan seksual dan verbal, kebijakan diskriminatif,
stigma negatif terhadap perempuan berorganisasi dan sebagainya
Perempuan BANGKIT !
Kita telah
mempelajari sejarah panjang perjuangan perempuan di dunia termasuk Indonesia.
Kemajuan perjuangan perempuan melawan imperialisme dan feodal patiarki di
Indonesia telah pernah ditorehkan. Namun kehancuran gerakan perempuan di masa
Orba, telah menyukseskan upaya mempertahankan penindasan yang berlipatganda
terhadap perempuan. Saat ini kaum perempuan Indonesia akan semakin sadar, bahwa
berorganisasi dan bergerak besama-sama adalah usaha perjuangan untuk mewujudkan
kesetaraan.
Penulis: Rachmad P Panjaitan (Ketua PP FMN)
0 komentar:
Posting Komentar