Abstrak
Pasca perang dunia ke-II, imperialisme AS keluar
sebagai pemenang sekaligus menjadi kekuatan tunggal diantara Negara-negara
kapitalisme global. Berbagai manuver ekonomi, politik, budaya dan militer
menjadi penanda pengukuhan dominasi dan hegemoni AS ke seluruh dunia. Sementara, saat itu kekuatan Uni Soviet dan RRT
menjadi poros penentang system imperialisme dan sekaligus menjadi kekuatan yang mendukung perjuangan di
Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk membebaskan bangsanya dari
penindasan dan penghisapan colonial imperialism baik di bawah Negara blok
sekutu maupun blok fasis.
Negara-negara imperialisme yang mengalami kerugian
dan menimbulkan depresi ekonomi seperti; Negara Inggris, Belanda, Jepang,
Prancis, Italia dan Jerman, kemudian diberikan kuncuran bantuan yang disebut
Mashall Plan[1].
Jaminan kuncuran hutang tersebut adalah AS mendapatkan sebagian besar emas dari Negara-negara tersebut yang dulu
menjadi ukuran cadangan kekayaan. Praktis, Imperialisme AS mampu menjalankan
berbagai kebijakannya yang nanti akan memuluskan skema dalam menguasai dunia baik di Negara-negara
kapitalisme itu sendiri maupun di Negara-negara dunia ketiga. Sebagai ciri imperialism
yang dijelaskan oleh V.I.Lenin[2], bahwa era ini ditandai
dengan kapitalisme monopoli internasional melalui eksport capital serta ekspor
barang dan jasa ke seluruh dunia. Tujuan tentu untuk menumpuk seluruh
superprofit dari seluruh rakyat dunia melalui pencurian nilai lebih atau hasil
kerja klas pekerja dan rakyat dunia.
Sebagaimana pasca PD ke II, Negara-negara Asia,
Afrika dan Amerika Latin bermekaran membebaskan diri dari penjajahan fisik. Akan tetapi, perkembangannya Negara-negara
yang memerdekakan diri yang selanjutnya disebut Negara dunia ketiga tersebut mengalami
kontradiksi dari system imperialisme untuk mendapatkan kedaulatan dan
kemandirian sepenuhnya. Negara-negara dunia ketiga melalui berbagai operasi
imperialisme kemudian dijadikan sebagai Negara boneka. Inilah yang disebut
bentuk penjajahan baru atau Neo-kolonialisme oleh imperialisme terhadap
Negara-negara dunia ketiga; seperti
Vietnam, Philipina hingga Indonesia. Untuk memuluskan kapitalisme monopoli
internasional AS, mereka menciptakan
lembaga internasionalnya (IMF, WORD BANK, GATs-WTO) untuk melahirkan
perjanjian-perjanjian baik keuangan maupun perdagangan yang menguntungkannya
borjuasi internasional AS (TNc/MNc). Lembaga internasional tersebut lahir dari perjanjian Bretton Wods 1948. Bersamaan pula, Dollar AS menciptakan Special
Drawing Right (SDR) atau Dollar AS sebagai transaksi 60% perdagangan
internasional hingga saat ini.
Imperialism AS
kemudian menyebarkan ilusi Demokrasi liberal menjadi system social yang
dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana ahli politik
AS, Francis Fukuyama menjelaskan bahwa “demokrasi liberal menjadi puncak
peradaban dalam sejarah perkembangan masyarakat dunia (Buku: The End of History). Tentu ini memberikan ruang yang
seluas-luasnya kepada borjuasi-borjuasi internasional AS menguasai dunia
melalui system politik dunia yang berkiblat pada kepentingan kapitalisme
monopoli internasional tersebut. Demikian dalam dominasi militer AS menjadi
instrument yang menguatkan posisinya. Melalui hak veto di dalam Dewan Keamanan
PBB dan lembaga NATO, memberikan “kebebasan” untuk menginvansi Negara apapun sesuai motif kepentingan ekonomi politiknya.
Semenjak Uni Soviet dan RRT mengalami restorasi
kapitalisme atau revisonis modern hingga bersatunya Jerman barat dan Jerman
Timur 1989 atau disebut berakhirnya Perang Dingin[3], telah mempermulus langkah
AS untuk menguasai Negara-negara berkembang. Akan tetapi, sepanjang sejarah
perkembangan kapitalisme itu sendiri menunjukkan krisis yang menimpa tubuh imperialisme
itu sendiri. Dampaknya penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dunia semakin
dilipatgandakan untuk menyelamatkan borjuasi-borjuasi internasional khususnya
AS. Sebab, watak dasar kapitalisme
yang eksploitasi, ekspansif dan akumulasi capital hanya akan memberikan
keuntungan di pihak kapitalis, sementara pihak lain (Baca: Rakyat) akan
mengalami pemiskinan structural. Kepentingan imperialisme AS khususnya di
Negara-negara berkembang adalah mendapatkan bahan mentah murah, tenaga kerja
murah, tempat pemasaran, eksport capital (hutang dan investasi) dan
superprofit. Dengan demikian, kapitalisme monopoli internasional akan
senantiasa menundukkan seluruh negera-negara agar berada di bawah dominasi
ekonomi, politik, budaya dan militernya.
AS Mengobarkan Perang di
Timur-Tengah
“Tragedi” penyerangan gedung kembar pencakar
langit Word Trade Center (WTC) di New
York serta Gedung Pentagon di Washington DC pada 11 September 2001, menjadi
legitimasi Imperialisme AS untuk melakukan invansi ke negara-negara Timur
Tengah hingga saat ini. Pasca tragedi tersebut, AS gencar mempromosikan “Perang Melawan Teroris”. Doktrin
Pre-emptive strike diterapkan oleh AS. Maksud dari doktrin ini adalah Negara
manapun yang dianggap berpotensi menjadi sarang para teroris yang membahayakan kepentingan
nasional AS dan perdamaian dunia, akan terlebih dahulu diserang AS melalui
kekuatan militernya. Maka AS terus
mencari dukungan kepada seluruh Negara-negara dunia untuk memerangi teroris
yang didasari indicator mereka sendiri. Sementara tidak segan-segan,
imperialism AS akan menuduh Negara manapun mempunyai hubungan dengan teroris
jika tidak mendukung AS untuk Perang Melawan Teroris. Hal ini ditandai dengan
pidato George Walker Bush pada 11 September 2001 yang mengatakan tidak akan
membedakan teroris dengan yang melindunginya.
Penyerangan terhadap Afganistan sejak Oktober 2001
adalah permulaan invansi imperialism AS
di Timur Tengah. Invansi ini dilakukan
setelah pemerintahan Afganistan yang dikuasai Taliban menolak menyerahkan
pimpinan Al-Qaeda, Osama Bin Laden yang dianggap sebagai dalang pengeboman 11
September 2001.
Setelah itu, Irak menjadi sasaran utama invansi
AS. Tentu konflik AS dengan Irak sudah dilatarbelakangi konflik antara Irak
dengan Kuwait yang dikenal Perang Teluk I dan II. Sebagaimana kita ketahui
bahwa ketika rejim Sadam Husein menyerang Kuwait, ini menjadi ancaman
kepentingan AS di Kuwait khususnya penguasaan atas minyak. Maka momentum pasca
tragedy serangan 11 September 2001, AS mengembangkan perang melawan teroris
terhadap Irak. 20 Maret 2003, AS memulai invansi ke Irak yang nantinya akan
menyebar ke Negara Mesir, Suriah, Iran, dan lain-lain. Alasan AS melakukan
invansi ke Irak selain Teroris adalah menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal.
Walau setahun pasca invansi tersebut, Irak terbukti tidak mengembangkan senjata
pemusnah massal sebagaimana tuduhan dari imperialism AS.
Isu perang melawan teroris hingga membebaskan
rakyat dari rejim tirani di Timur tengah untuk memberikan ruang demokrasi bagi
rakyat, kemudian menjadi senjata ampuh AS untuk menguasai negara Timur Tengah.
Ini sejalan dengan politik AS untuk membangun rejim-rejim bonekanya di Timur
Tengah sebagaimana operasi-operasi di Asia tenggara semasa Perang Dingin.
Bedanya, dalam operasi di Asia Tenggara seperti di Indonesia[4] atau Vietnam, imperialisme
AS melalui operasi CIA menggunakan isu melawan bahaya komunisme untuk
mendirikan rejim bonekanya. Sementara di Timur tengah saat ini adalah Perang
Melawan teroris.
Sedangkan,
Aspek legalitas invansi AS ke Irak
masih saja dipersoalkan rakyat dunia. Kebijakan luar negeri AS ke Irak adalah
salah-satu bentuk penjajahan atas nilai-nilai kemerdekaan, kedaulatan dan
kamandirian suatu bangsa untuk mengurus negerinya sendiri. Artinya ketika
melalui prosedural yang diatur di dalam Dewan Keamanan PBB, maka harus melalui
perundingan yang berujung pada kesepakatan. Namun tanpa persetujuan, AS tetap
melakukan invansi atas Irak dan PBB tidak bisa berbuat apa-apa. Kemudian serangan yang dilakukan AS berdalih Perang Melawan Teroris, nyatanya
hanyalah dalih untuk melakukan invansi ke Irak dalam rangka mengukuhkan
dominasi ekonomi, politik, budaya dan militernya. Padahal pasca perang dunia ke-II, aturan dunia adalah Negara manapun tidak bisa melakukan
intervensi terutama menggunakan militer untuk menjatuhkan sebuah pemerintahan di
negeri manapun. Sedangkan AS jelas-jelas ingin menjatuhkan Saddam Husein yang
tentu motifnya bukanlah untuk membangun pemerintahan demokratis bagi rakyat
Irak.
Motif Invansi AS ke Timur
Tengah
Pertama, Motif Ekonomi. Tentu motif
kepentingan invansi AS ke Irak jelas adalah serangkaian upaya untuk menguasai
perekonomian di Timur Tengah. Sebab memperluas dominasi adalah watak imperialism untuk meraup
superprofit bagi borjuasi-borjuasi internasional AS (TNc/MNc). Selain untuk
menjadi pasar tenaga kerja murah, eksport capital, sejak dulu AS berusaha untuk
mengusai Minyak yang melimpah ruah di negeri-negeri Timur Tengah. Saat itu AS
hanya mempunyai cadangan minyak sangat kecil yakni 0,3% dari cadangan minyak
dunia. Sementara kebutuhan komsumsi atas
minyak mencapai 23%. Ini sebabnya seperti Arab Saudi saat ini ingin berusaha
dikuasai AS yang notabenenya penghasil minyak terbesar pula di dunia[5]. Karena, minyak menjadi
bahan yang menggerakkan industry-industri
baik di AS maupun industry di Negara-negara dunia di bawah dominasi
capital AS. Sehingga penguasaan atas minyak dewasa ini, menjadi instrument kuat dalam mengukuhkan
kekuatan tunggal AS di dunia. Kuatnya
kepentingan AS atas minyak pernah juga diolantarkan oleh Noam Comsky[6];
“ The real reason for US
opposition to Iraqi occupation of Kuwait is not to keep oil princes low, but to
keep Washington, Wall Street and their allies in charger of setting of oil
princes. We are fighting to maintain and even enlarge one of our few continuing
claims to international economic clouts: control of oil princes”
Kedua, Motif Politik. Untuk menguatkan
ekonomi neo-liberalisasi di Timur Tengah, sudah pasti imperialism AS akan
memperkuat suprastuktur politiknya di kawasan tersebut. Isu menjatuhkan rejim
tirani di Timur Tengah seperti Taliban, Saddam Husein dan sebagainya untuk
membangun pemerintahan demokratis, sesungguhnya menjadi kepentingan politik utama
AS. Tujuannya adalah rejim-rejim yang selama ini tidak tunduk dan tidak
menguntungkan bagi AS, tentu menjadi operasi penggulingan AS melalui isu
‘ciptaan” Peran Melawan Teroris. Karena sebagaimana sudah dijelaskan, bahwa AS
akan membangun rejim-rejim boneka di Negara-negara berkembang termasuk di
kawasan Timur Tengah. Karena melalui rejim-rejim bonekanya ini, menjadi jaminan
“kestabilan” AS untuk menghisap dan menindas sumber daya alam serta rakyat
Timur Tengah. Dan penguatan dominasi di Timur tengah oleh AS menjadi jaminan
untuk mengalienasi imperialism lainnya seperti Rusia untuk menguasai kawasan
tersebut.
Ketiga, Motif Militer. Invansi AS ke Irak atau
Negara Timur Tengah yang dilakukan hingga saat ini adalah instrument dalam
menguasai kawasan tersebut. Sudah pasti kekuatan militer menjadi penjamin yang
teramat penting untuk mampu mengukuhkan dominasi ekonomi dan politik AS di
kawasan tersebut. Mengirim pasukan untuk mengempur, mendirikan pangkalan
militer, bisnis penjualan alutsista [7]hingga mendidik militer di
kawasan, mengingatkan kita pada kekuatan fasis Jerman ataupun Jepang selama
berlangsungnya perang dunia. Meningkatkan pertahanan militer di Negara-negara
neo-kolonial menjadi petanda karakter fasisme imperialism AS dan rejim
bonekanya untuk menindas rakyat.
Sementara itu tercatat sekitar
200.000 tentara AS di irak semenjak invansi 20 maret 2003 dilancarkan. Sedangkan
tentara sekutunya seperti dari Inggris berkisar 46.000 tentara[8]. Dan sekitar 5000-an Bom dijatuhkan di Irak
dengan berbagai varian mulai dari ledakan skala kecil hingga skala besar[9]. Sedangkan jumlah total
pangkalan militer AS di Timur tengah hingga saat ini adalah 35. Dan perlu
diketahui bahwa persebaran pasukan militer AS mencapai sekitar 2 juta lebih
yang tersebar di 150 negara dunia.
Akibat kekejian invansi AS di
Irak, telah membunuh sekitar setengah juta warga sipi Irak hingga 2011.
Hentikan Invansi. AS Bukan
Tentara Dunia
Dari gambaran paparan di atas, jelas bahwa AS
hanya ingin menguasai ekonomi, politik, budaya dan militer di Timur Tengah. Imperialism
AS menjadi wabah penyakit yang menyebarkan virus kematian, kemiskinan dan
penindasan terhadap rakyat. Rakyat
menjadi korban perang, provokasi perang saudara, perampasan kekayaan alam serta
mencuri hasil kerja rakyat, merupakan kenyataan yang sedang dijalankan
imperialism AS di Timur Tengah. Ironinya, AS membangun sebuah diskursus bahwa
Negara-negara Timur-Tengah yang notabenenya penganut agama islam, sebagai
teroris internasional. Padahal semacam fenomena berkembangnya teroris ISIS saat
ini, dianggap merupakan ciptaan AS sendiri sebagai kelanjutan babak dari
Taliban dan Al-Qaeda.
Perang invansi yang dikobarkan AS tidak mempunyai
misi untuk membebaskan rakyat menuju kemandirian dan kedaulatan serta
kesejahteraannya. Maka, atas dasar solidaritas rakyat dunia harus bersatu
mengecam dan melawan seluruh invansi-invansi atau konspirasi AS baik di Timur
Tengah maupun di seluruh Negara dunia.
Rachmad P Panjaitan (Ketua PP FMN)
[1] Marshal Plan adalah bantuan keuangan yang diberikan AS pasca perang dunia ke-II khususnya ke negara-negara Eropa Barat untuk membangun industrinya kembali sekaligus menjadi bentuk pengukuhan AS sebagai penguasa tunggal diantara negara-negara maju. selain itu, bantuan ini menjadikan negara penerima di bawah sekutunya untuk melawan blok komunisme.
[3] May T Rudi. Study Strategis
Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Refika
Aditama, Bandung 2002.
[4] Wiliam K Tabb. Tabir Politik
Globalisasi. Lafald, Yogyakarta 2003.
[6] Noam Comsky. Power and Teror: Perbincangan Pasca Tragedi WTC 11
September 2001. Ikon Teralitera, Yogyakarta 2003.
[7] http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=en&id=636&type=1#.VuuQwH195H0, Diakses pada tanggal 16 Maret 2016.
[8] http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130216_irak_statistik, Diakses pada tanggal 16 Maret 2016.
[9] https://m.tempo.co/read/news/2014/01/27/115548618/fakta-soal-amerika-serikat-dan-perang-irak, Diakses pada tanggal 16 Maret 2016.
0 komentar:
Posting Komentar