Tercatat
hingga 2015 terdapat ratusan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang
mendiskriminasikan atau tidak berpihak pada kaum perempuan. Namun di
bawah ibi beberapa kebijakan yang paling merugikan kaum perempuan dalam melanggengkan
patriarki di Indonesia, antara lain:
a.
UU No. 13 tahun 2003 tentang perburuan
UU tersebut belum
memberikan ruang kebebasan kepada kaum perempuan untuk menjalankan Cuti Haid, hamil
maupun menyusui. Demikian pula bagaimana buruh-buruh perempuan untuk
mendapatkan kesehatan yang layak. Malah persoalan kesehatan terhadap buruh
perempuan atau buruh secara umum masih dikomersialisasikan
dalam bentuk BPJS yang merugikan.
b.
Tes keperawanan
Kebijakan
pemerintah tes keperawanan yang telah dijalankan di berbagai daerah, tentu
sangat mendiskreditkan kaum perempuan. Tes keperawanan ini khususnya diterapkan
kepada siswa, mahasiswa serta perempuan yang ingin bekerja di sebuah institusi
baik Negara maupun swasta. Tes keperawanan ini sangat tidak adil dan
menunjukkan betapa direndahkannya martabat kaum perempuan. Di sisi lain, secara
ilmiah tes keperawanan adalah hal yang melecehkan perempuan saat tes
berlangsung. Kemudian hingga saat ini dalam ilmu kedokteran tidak ada ukuran
universal standarisasi selaput dara bagi perempuan yang disebut masih
“perawan”.
c.
UU Pajak Penghasilan
Perempuan yang kawin harus
menggabungkan penghasilan dengan suami untuk dihitung PPh gabungan. Namun
kemudian dipisah secara proporsional lagi. Selain itu, Perempuan kawin yang
memiliki NPWP sendiri dan digabung dengan penghasilan suami juga berpotensi
membayar pajak lebih tinggi.
d.
UU Perkawinan
Adanya
diskriminasi yang merugikan kaum perempuan di dalam UU ini khususnya memberikan
kekuasaan yang besar terhadap kaum laki-laki. Mulai dari perbedaan
usia
pernikahan ataupun kebebasan poligami
terhadap kaum laki-laki.
e.
Kebijakan pembatasan jam malam terhadap kaum perempuan
Atas dalih
menghindari terjadinya praktek prostitusi maupun kekerasan, pemerintah
menerapkan pembatasan jam malam terhadap perempuan. Tentu kebijakan ini sangat
mendiskriminasikan sekaligus mendiskredikan kaum perempuan Indonesia. Kebijakan
ini sangat membatasi pula ruang gerak kaum perempuan untuk berekspresi atau
berkegiatan yang sama dengan kaum laki-laki. Kebijakan ini sama dengan stigma
negative terhadap perempuan yang berorganisasi untuk ambil bagian dalam
perjuangan masyarakat. Sesungguhnya kebijakan-kebijakan ini mengekang kebebasan
perempuan yang hanya ingin mempertahankan
ketidaksetaraan dan keterbelakangan perempuan itu sendiri. Kebijakan
pembatasan jam malam hingga pukul 23.00 WIB terhadap perempuan ini diterapkan di
Provinsi Aceh.
f. UU
No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN
UU
tentang PPTKILN sudah lama memberikan kesusahan bagi seluruh buruh migran
Indonesia. Dari masa SBY hingga Jokowi-JK, revisi UU PPTKILN selalu masuk dalam
prolegnas. Namun hingga saat ini, belum progress atas perubahan UU PPTKILN yang
bisa memberi harapan baru terhadap kesejahteraan dan perlindungan buruh migran
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa BMI yang bekerja di luar negeri,
hampir 80% adalah perempuan dari jumlah total sekitar 6,5 juta. Akan tetapi,
pemerintah melalui UU PPTKILN menyerahkan tanggung jawab kepada pihak
PJTKI/PPTKIS untuk “memberikan” perlindungan terhadap BMI. Selain itu, pemerintah dan PJTKI menarik
pembiayaan yang sangat besar bagi Calon BMI, kira-kira dibebankan sekitar 30-50
juta. Sehingga banyak calon BMI yang ingin bekerja ke luar negeri, harus
menjual sepetak tanahnya atau menggadaikan sertifikat rumahnya ke bank. Padahal
mereka pergi ke luar negeri akibat monopoli
alat produksi (tanah) di pedesaan dan rendahnya lapangan kerja di perkotaan
akibat daya serap pabrik kita yang rendah. Apalagi di Indonesia, sesungguhnya
konstitusi telah menjamin pekerjaan yang layak bagi seluruh warganya.
Namun
akibat tidak berpihaknya UU PPTKILN ini terhadap BMI khususnya terhadap
perempuan sebagai mayoritas, berimpilikasi pada persoalan kekerasan fisik,
pelecahan/pemerkosaan, kriminalisasi hingga pembunuhan. Di sisi lain, BMI pun
belum memperoleh kesejahteraan sejatinya.
Penulis: Riqki (Ka. Dept Pelayanan Rakyat & Kampanye)
0 komentar:
Posting Komentar