Abstraksi
Berbagai konsep pembangunan global untuk
mencapai tatanan negara dunia yang adil dan sejahtera, telah ditawarkan semenjak cikal bakal gagasan
sistem Negara Modern. Pemikiran Yunani Kuno dengan konsep negara kota (Polis),
telah menegaskan bahwa sistem demokrasi yang dipimpin oleh kaum aristokrat akan
mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. Akan tetapi, bentuk sistem negara kerajaan baik absolut dan monarki, menjadi
sistem sosial yang merepresentatifkan kepentingan bangsawan/raja untuk
melanggengkan sistem feodal yang menghisap dan menindas tani hamba. Demikian
perkembangannya sistem kerajaan ini, kemudian dilegitimasi politisasi agama
untuk menjadikan raja/bangsawan sebagai wakil dari Tuhan yang harus ditaati.
Perkembangan perubahan masyarakat yang ditandai Revolusi Prancis dan Inggris/industri,
menjadi usaha penjungkirbalikan dari sistem feodalisme menuju sistem kapitalisme
yang mencapai puncaknya imperialisme. Berakhirnya sistem penghisapan dan
penindasan atas tani hamba oleh tuan
tanah di masa feodal, ternyata hanya digantikan dengan sistem yang sifatnya
lebih tersamar yang oleh Karl Marx disebut terjadinya hubungan produksi
penghisapan oleh klas kapitalis terhadap klas buruh. Hasil kerja klas buruh
seluruhnya dirampas oleh klas kapitalis atau disebut juga pencurian Nilai lebih
yang dihasilkan klas buruh[1].
Namun, konsep pembangunan menuju kesejahteraan di zaman imperialisme ini,
melahirkan berbagai variasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai
teori tentang pembangunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lahir dari
pemikir-pemikir borjuis. Pemikir liberal semacam Adam Smith menyebutkan bahwa
kekuasaan pasar yang seluas-luasnya akan memberikan masyarakat kesejahteraan
(Invisibel Hand). Akan tetapi, teori ini kemudian mengalami kebangkrutan pada
prakteknya. Sistem kapitalisme yang berkembang menjadi tahap monopoli telah
melahirkan berbagai krisis over produksi hingga finansial di tengah-tengah
rakyat. Dampaknya, terjadi PHK, daya beli dan pendapatan masyarakat menurun
hingga berujung pada tragedi kemiskinan dan kepalaran yang akut umat manusia
(Crisis Great Depresion 1920 an). Kegagalan dari liberal dalam kapitalisme,
mendorong adanya upaya revisi. Namun hakekatnya tidak akan menghilangkan watak
dasar sistem imperialisme yang eksploitasi, ekspansif dan akumulasi modal.
Kebijakan Neo-klasik yang digagas Keynes kemudian mendorong adanya keterlibatan
negara dalam pasar. Sehingga objek-objek ekonomi yang dianggap mampu mendorong
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, dapat dikelola Negara selain pasar. Akan tetapi hingga tahun
1960 an, neo-klasik dari imperialisme terbukti tidak dapat memperbaiki keadaan rakyat
dunia. Kondisi rakyat dunia masih saja dilanda dari krisis ke krisis yang hebat
akibat menumpuknya kekayaan di segelintir tangan-tangan korporasi yang dikenal
TNC/MNC di bawah kuasa Imperialis AS sejak pasca Perang dunia II.
“Terhambatnya” kesejahteraan dalam
pembangunan sebuah negara, membuat negara-negara imperialisme kemudian merombak
sistem ekonomi neo-klasiknya menuju Neo-liberalisasi. Kepentingan sesungguhnya
bukanlah untuk menunjukan fungsi sosialnya mensejahterahkan rakyat dunia, akan
tetapi untuk “menghindari” overproduksi dan over kapital yang dapat mengancam
eksistensi perusahan-perusahaan TNC/MNC-nya beroperasi. Neo-liberalisasi yang dipromosikan Margaret
teacher dan Ronal Reagen mendorong adanya liberalisasi, privatisasi dan
deregulasi/denasionalisasi sebagai konsep utama pembangunan di negara-negara
dunia. Mereka mensyalir neo-liberalisasi akan mendorong adanya kemajuan dan
kesejahteraan bagi rakyat dunia. Globalisasi, perdagangan dan pasar bebas,
menjadi skema yang dijalankan imperialisme dalam pembangunan dunia. Akan
tetapi, terbukti tahun 2008 hingga saat ini krisis di tubuh imperialis AS telah
menjadi krisis global yang meruntuhkan kehidupan rakyat-rakyat dunia baik di
negara maju maupun negara berkembang. Kehancuran perekonomian di negara-negara
Eropa seperti Inggris hingga Yunani, membuat kehidupan rakyatnya dalam
bayang-bayang PHK dan kemiskinan. Defisit anggaran di masing-masing negara
menjadi Trend yang meningkatkan
ketergantungan pada investasi dan utang luar negeri yang berasal dari
kuncuran-kuncuran dana dari imperialisme khususnya AS baik melalui bank-bank
sentral AS maupun dari perusahan TNC/MNC-nya. Fenomena krisis di abad 21 ini,
mendorong kemiskinan PHK yang akut hingga meningkatnya migrasi rakyat-rakyat
Eropa dan Asia untuk mencari pekerjaan di berbagai penjuru negara-negara.
Berbagai kegagalan-kegagalan pembangunan
dalam sistem imperialisme mewujudkan kesejahteraan rakyat di negara maju maupun
berkembang semacam Asia, Afrika dan Amerika latin, masih senantiasa ditutupi dengan
skema-skema busuknya. Teori
keunggulan komperatif ala David Ricardo terus dipromosikan khususnya di
negara-negara berkembang yang hakekatnya
tidak memberikan keuntungan bagi rakyatnya. Namun, hanya menjadi ruang
sirkulasi kapital bagi imperialisme khususnya AS beserta perusahan-perusahan
besar di dalam negeri untuk memonopoli alat-alat produksi di negara tersebut. Demikian
teori WW Rostow 5 tahap pembangunan dari masyarakat tradisional hingga
komsumtif semakin jauh dari kebenaran dalam tatanan praksisnya. Saat ini, lembaga organisasi internasiol PBB atau
United
Nations Development Programme (UNDP)mempromosikan
SDGs sebagai kelanjutan MDGs untuk konsep pembangunan global yang disebut mampu
mensejahterakan masyarakat global. Akan tetapi, pertanyaannya apakah konsep
pembangunan global dari MDGs ke SDGs mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat ?
Evaluasi Praktek
MDGs di Dunia dan Indonesia
Pada
tahun 2000, para pimpinan dunia bertemu di New York dan menandatangani
“Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan
manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi
beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium Development Goals
(MDGs). Sementara itu, Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas
utama bangsa Indonesia. Negara-negara dunia meyakini bahwa pencapaian tujuan
dan target MDGs bukanlah semata-mata tugas pemerintah tetapi merupakan tugas
seluruh komponen bangsa.
Tujuan Pembangunan
Milenium (bahasa Inggris : Millennium
Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan
kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan (8) butir tujuan
untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat
dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama
dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta
ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan
September 2000 tersebut. [1] Pemerintah
Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan
menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi berisi komitmen negara
masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah tujuan
pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur
untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini
merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari
separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk
menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua
tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi
hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun
2015.
Tujuan dan Capaian Pembangunan MDGS Tahun 2000-2015
di Dunia dan Indonesia antara lain;
1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
Instrumen ini dilihat dari meningkatnya
Pendapatan populasi dunia sehari sebesar
$ 10.000 dan menurunnya angka kemiskinan. Kenyataannya, Hampir
seperempat rakyat dunia khususnya di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin
hanya berpendapatan US $ 1-2 per hari, sangat jauh dari targetan yang ingin
dicapai MDGs. Sedangkan angka kelaparan di dunia masih sangat tinggi yaitu
berkisar 795 juta orang[2].
Sementara di Indonesia data kemiskinan
menunjukkan peningkatan tahun 2015 mencapai 28,51 juta [3]dari
250 juta total penduduknya. Sedangkan
Indonesia sebagai negara agraris masih terdapat angka kelaparan mencapai 19,4
juta jiwa[4].
Tentu ini dipengaruhi kemiskinan yang akut hingga krisis pangan akibat
penguasaan lahan oleh korporasi serta bisnis pangan dunia.
2. Mencapai Pendidikan dasar untuk semua
Menitikberatkan
bahwa seluruh dunia mendapatkan pendidikan dasar seluruh dunia. Namun hasil
dari pembagunan MDGs hingga 2015 belum mampu mewujudkan misinya dalam
memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak dunia. Hal ini menyisihkan sekitar
58 juta anak-anak usia sekolah dasar dan 63 juta remaja usia sekolah menengah
pertama menjadi putus sekolah. Bahkan UNICEF mengakui hal tersebut dan
berpendapat bahwa membutuhkan waktu 200 tahun lagi untuk bisa meraih Tujuan
Pengembangan Milenium (Milennium Development Goal – MDG) Target 2A[5].
Demikian di Indonesia angka partisipasi pendidikan dasar (SD) belum bisa
mencapai 100%. Saat ini anak-anak yang mengecap pendidikan dasar di Indonesia
masih mencapai 95% dan cenderung akan semakin rendah yang mampu mengakes
pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Maka selama ini program wajib belajar 9
tahun dan bahkan di era Jokowi-JK yang mencanangkan wajib belajar 12 tahun saat
ini, masih menjadi produk politis di masa kampanyenya saja.
3. Mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan
Hal ini menekankan aspek penghapusan
diskriminasi gender atau kesenjangan perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan
akses pendidikan dasar hingga berlahan-lahan di seluruh tingkatan. Tapi, kaum
perempuan akibat sistem imperialisme yang merawat budaya patriakal, masih saja
mendiskriminasikan hingga meningkatnya kekerasan yang dialami perempuan dunia.
Demikian dalam mengakses pendidikan, kesenjangan yang dialami kaum perempuan
semakin tinggi khususnya di tengah-tengah hantaman neo-liberalisasi di bidang pendidikan
dunia. Sedangkan di Indonesia sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal,
angka kesenjangan perempuan dengan laki-laki di semua jenjang pendidikan
berkisar 3-8%. [6]Dan angka
paling tinggi itu tersebar di daerah pedesaan.
4. Menurunkan angka kematian anak
Target 2015 menurunkan angka kematian
anak-anak usia 5 tahun hingga dua per tiga. Tapi kenyataannya berbading
terbaliknya. Angka kematian usia 5 tahun ke bawah masih meningkat di dunia.
Sekitar 35 juta balita meninggal tahun 2015 akibat kekuarangan gizi dan masalah
kesehatan. Sementara di Indonesia tidak mencapai juga target dari MDGs, karena,
angka kematian balita di Indonesia sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup
sedangkan angka kematian bayi baru lahir sebesar 24,8 per 1000 kelahiran hidup.
5. Meningkatkan kesehatan ibu
Dalam konteks ini menargetkan hingga tahun
2015 mampu menekan dua per tiga rasio kematian ibu melahirkan. Namun faktanya
target MDGs ini tidak terwujud. Angka kematian ibu terutama saat melahirkan
meningkat drastis di negara-negara dunis khususnya negara berkembang. Faktor
utamanya adalah rendahnya akses dan fasilitas kesehatan yang didapatkan oleh
kaum ibu. Sementara di Indonesia tidak mencapai target. Tahun 2015 pemerintah
menargetkan menekan angka kematian 102 per 100.00 kelahiran hidup. Tapi
nyatanya, terjadi kematian pada ibu sekitar 359 dari 100.000 kelahiran hidup[7].
6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit
menular lainnya
Sama halnya mereka berkomitmen untuk
menghentikan penyakit ini. tapi, lagi-lagi ini hanya menjadi isapan jempol
belaka. Angka penyakit HIV/AIDS di seluruh dunia masih sangat tinggi yang
berujung pada kematian. Faktor ini adalah monopoli hak paten ARV oleh
perusahaan-perusahaan besar milik negara maju yang dilegitimasi oleh peraturan
WTO. Demikian virus Zika yang berusia 69 tahun yang berkembang saat ini
khususnya di Amerika Latin. Ternyata virus zika dan obatnya diperjualbelikan
oleh Rockefller untuk meraup keuntungan di seluruh dunia[8].
Demikian di Indonesia pengidap penyakit HIV Juli-September 2015 meningkat menjadi
s 6.779 kasus. Sementara, kasus AIDS sampai September 2015 sejumlah 68.917
kasus[9].
Di Indonesia terjadi juga bisnis obat ARV yang mahal oleh perusahaan PT. Kimia
Farma yang membuat para penderita penyakit HIV dan AIDS banyak yang meninggal
tiap tahunnya.
7. Memastikan kelestarian lingkungan
Tujuan MDGs ini menekankan aspek kelestarian
hutan hingga penurunan emisi karbon. Tapi, kerusakan hutan masih sangat luas di
dunia khususnya di negara-negara berkembang yang disebut-sebut sebagai topangan
utama menjaga iklim dunia. Faktor utamanya adalah hilangnya fungsi hutan akibat
pembabatan oleh perusahaan-perusahaan korporasi dunia khususnya milik AS.
Sementara penurunan emisi karbon masih menjadi isapan jempol belaka bagi
negara-negara maju/industri. Sehingga suhu iklim dunia masih sangat buruk.
Demikian di Indonesia, sepertiga daratan Indonesia adalah hutan. Atau sekitar
125 juta Ha adalah kawasan hutan. Namun
hampir setengah hutan Indonesia (setiap tahun 4 juta ha) telah dirusak oleh
korporasi asing maupun perusahaan dalam negeri yang diubah menjadi hutan
tanaman industri baik sawit, kayu, karet dan sebagainya. Di samping itu,
industri manufaktur di Indonesia masih mengabaikan tingginya emisi karbon yang
dapat merusak lingkungan. Sehingga kerusakan lingkungan ini berdampak pada
bencana mulai dari banjir, tanah longsor, polusi udara-asap hingga perubahan
cuaca ekstrem menjadi ancaman nyata di Indonesia.
8. Mengembangkan kemitraan global untuk
pembangunan
Dalam aspek ini mendorong adanya integrasi
keterbukaan sistem keuangan terhadap negara-negara dunia, menjalankan pasar
bebas, kuncuran utang ke negara-negara berkembang, mengembangkan usaha produktif
bagi kaum muda, dan peran kerjasama swasta dalam perusahaan teknologi dan
informasi. Sebagaimana krisis yang terjadi saat ini, imperialisme khususnya AS
mendorong negara-negara dunia untuk
berutang menutupi defisit anggaran negaranya akibat berbanding lurus dengan
defisit eksport-importnya. Nyatanya bank-bank sentral AS dan Negara G7 lainnya
meraup superprofit dari negara-negara dunia khususnya negara berkembang dari
skema eksport kapitalnya. Dampaknya hutang semakin tinggi. Hal ini yang
kemudian dialami semacam negara Yunani yang gagal bayar hutang dan kemudian
mendapat protes “referendum” dari rakyatnya melawan Troika. Sedangkan di Indonesia, utang luar negeri di tahun 2015
meningkat hingga menyentuh 4.000 Triliun di era Jokowi-JK yang berdampak pada
semakin buruknya pencapaian pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Menakar Pembangunan
SDGs hingga Tahun 2030
TUJUAN
Pembangunan Milenium (MDGs) telah berakhir pada tahun 2015. Namun kenyataannya
tujuan pembangunan MDGs dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat masih jauh
dari targetannya. Angka kemiskinan dan kelaparan, kematian balita-ibu hingga
kemitraan global mengalami hambatan besar.
Sementara itu, MDGs kemudian diganti dengan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) hingga 2030. Pembahasan seputar SDGs sebagai sebuah kerangka kerja
pengganti MDGs dimulai Juni 2012 saat Konferensi Rio+20.
Pada tanggal 25-27 September 2015 dilakukan
pertemuan akbar di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat. Sustainable
Development Summit, yang di dalamnya merupakan kegiatan seremoni pengesahan
dokumen SDGs (Sustainable Development Goals) yang dihadiri perwakilan dari 193 negara.
Pertemuan ini merupakan lanjutan dari
kesepakatan dokumen tersebut yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 2015 yang juga
berlokasi di New York. Saat itu sebanyak 193 negara anggota PBB mengadopsi
secara aklamasi dokumen berjudul ”Transforming
Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development” atau
”Mengalihrupakan Dunia Kita: Agenda Tahun 2030 untuk Pembangunan
Berkelanjutan”. SDGs memiliki 5 fondasi yaitu manusia, planet, kesejahteraan,
perdamaian dan kemitraan global.
Adapun
tujuan dari SDGs adalah;
1.
Mengakhiri kemiskinan di negara-negara dunia
2.SDGs bertujuan mengakhiri segala bentuk
kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi dan mendorong
pertanian secara berkelanjutan.
3. Menjamin kehidupan sehat bagi seluruh
masyarakat dunia dan kesejahteraan bisa tercapai.
Guna
mewujudkan tujuan tersebut, SDGs merumuskan 17
tujuan global diantaranya;
1. Tanpa Kemiskinan
Tidak ada kemiskinan dalam bentuk apapun di
seluruh penjuru dunia.
2. Tanpa Kelaparan
Tidak ada lagi kelaparan, mencapai ketahanan
pangan, perbaikan nutrisi, serta mendorong budidaya pertanian yang
berkelanjutan.
3. Kesehatan yang Baik dan
Kesejahteraan
Menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong
kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur.
4. Pendidikan Berkualitas
Menjamin pemerataan pendidikan yang
berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang, menjamin
pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua orang.
5. Kesetaraan Gender
Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan
kaum ibu dan perempuan.
6. Air Bersih dan Sanitasi
Menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi
yang berkelanjutan untuk semua orang.
7. Energi Bersih dan Terjangkau
Menjamin akses terhadap sumber energi yang terjangkau,
terpercaya, berkelanjutan dan modern untuk semua orang.
8. Pertumbuhan Ekonomi dan
Pekerjaan yang Layak
Mendukung perkembangan ekonomi yang
berkelanjutan dan inklusif, lapangan kerja yang penuh dan produktif, serta
pekerjaan yang layak untuk semua orang.
9. Industri, Inovasi dan
Infrastruktur
Membangun infrastruktur yang berkualitas,
mendorong peningkatan industri yang inklusif dan berkelanjutan serta mendorong
inovasi.
10. Mengurangi Kesenjangan
Mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam
sebuah negara maupun di antara negara-negara di dunia.
11. Keberlanjutan Kota dan
Komunitas
Membangun kota-kota serta pemukiman yang
inklusif, berkualitas, aman, berketahanan dan bekelanjutan.
12. Konsumsi dan Produksi
Bertanggung Jawab
Menjamin keberlangsungan konsumsi dan pola
produksi.
13. Aksi Terhadap Iklim
Bertindak cepat untuk memerangi perubahan
iklim dan dampaknya.
14. Kehidupan Bawah Laut
Melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut
dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan pembangunan yang berkelanjutan.
15. Kehidupan di Darat
Melindungi, mengembalikan, dan meningkatkan
keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola hutan secara
berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling tanah, memerangi
penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta menghentikan
kerugian keanekaragaman hayati.
16. Institusi Peradilan yang Kuat
dan Kedamaian
Meningkatkan perdamaian termasuk masyarakat
untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses untuk keadilan bagi semua
orang termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan, serta
membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di seluruh tingkatan.
17. Kemitraan untuk Mencapai
Tujuan
Memperkuat implementasi dan menghidupkan
kembali kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Menyikapi 17 Tujuan Global tersebut, Presiden
Majelis Umum PBB menegaskan bahwa ambisi dari negara-negara anggota PBB
tersebut hanya akan tercapai jika dunia telah damai, aman, serta menghormati
hak asasi manusia bukan di dunia di mana investasi dalam persenjataan dan
perang lebih besar sehingga menghancurkan sebagian besar sumber daya yang telah
menjadi komitmen untuk berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Pemerintah setempat juga hanya akan berhasil
dalam melaksanakan agenda besar ini jika adanya partisipasi luas yang
berkelanjutan dari seluruh pemangku kepentingan seperti anggota parlemen,
pemimpin daerah, masyarakat lokal, masyarakat sipil, pemuda, komunitas agama,
serikat buruh, pelaku bisnis dan akademisi di seluruh dunia.
SDGs tidak memberi rasa optimis dalam Pembangunan masyarakat
Global untuk Kesejahteraan
SDGs
yang mempunyai 3 tujuan mulia dan 17 tujuan global dalam memanifestasikan, belum menunjukan
adanya perubahan kredo pembangunan yang siknifikan. MDGs kemudian dilanjutkan
dalam SDGs tentu hanya akan menjadi skema pembangunan global yang tidak
memberikan perubahan fundamental bagi kesejahteraan rakyat dunia di tengah
krisis yang menghantam global. SDGs masih menjadi kedok atau topeng untuk
memberikan pembangunan yang berkeadilan untuk kesejahteraan rakyat dunia.
Karena kenyataannya, SDGs masih menjadi produk neo-liberalisasi yang dijalankan
imperialisme khususnya AS. Tendensi SDGs masih dioerientasikan untuk menopang
kepentingan-kepentingan negara-negara maju khususnya AS untuk menyelamatkan
korporasi-korporasi raksasanya guna menyelamatkan dari kebangkrutan akibat
krisis global.
Contoh
konkritnya, utang masih menjadi sandaran utama bagi pembangunan negara-negera
berkembang yang mempengaruhi pencabutan subsidi publik. Demikian program
ketahanan pangan masih belum berbanding lurus atas rendahnya akses petani dalam
mengelola lahan dan pemberian subsidi oleh negara. Malah ketahanan pangan
menjadi praktek bisnis para korporasi seperti musanto, cargil, nestle yang
menjalankan praktek monopoli tanaman pangan, saprodi hingga harga pangan di
berbagai negara. Seperti di Indonesia MIFFE terbukti gagal menjalankan
kedaulatan pangan dan hanya berdampak pada perampasan dan monopoli tanah adat
masyarakat Papua.
Isu kemiskinan,
pangan hingga kemitraan global dalam SDGs hanya dijadikan sebagai medium untuk
mentransformasi konsep pembangunan yang intinya adalah kebijakan
Neo-liberalisasi dalam tatanan global.
Sirkulasi kapital, produksi dan jasa merupakan kepentingan negara-negara
maju khususnya AS di negara-negara dunia, terutama di negara berkembang seperti
Indonesia. Sehingga perwujudan kesejahteraan dalam konsep pembangunan SDGs
hingga 2030 tidak akan mampu menyelesaikan persoalan rakyat dunia mulai dari
kemiskinan, krisis pangan, krisis finansial, PHK hingga penurunan daya beli dan
masyarakat global. SDGs hanya akan
meberikan keuntungan terhadap negara-negara maju dan di pihak lain memberikan
kerugian kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Rachmad P Panjaitan (Ketua PP FMN)
[1] Karl
Marx dan F. Engles. Das Kapital 1-3.
Hasta Mitra, Jawa Barat 2006.
[2] http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150528164750-134-56342/satu-dari-sembilan-orang-di-dunia-masih-kelaparan/,
Diakses pada tanggal 14 Februari 2016
[3] http://ekbis.sindonews.com/topic/267/kemiskinan,
Diakses pada tanggal 14 Februari 2016
[4] http://www.voaindonesia.com/content/pemelitian-fao-sembilan-belas-koma-empat-juta-penduduk-indonesia-masih-mengalami-kelaparan/2817021.html,
Diakses pada tanggal 14 Februari 2016.
[5] ILPS
Commission 8 Congress Resolution, Nov 2015.
[6] PBB di
Indonesia dipublikasikan secara
elektronik oleh UN Information Center di Jakarta, 2015.
[7] http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=6&date=2015-12-22,
Diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
[8] http://www.collective-evolution.com/2016/02/04/1947-rockefeller-patent-shows-origins-of-zika-virus-and-what-about-those-genetically-modified-mosquitoes/,
Diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
[9] http://news.metrotvnews.com/read/2015/11/30/196222/jumlah-kasus-hiv-aids-di-indonesia-meningkat,
Diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
0 komentar:
Posting Komentar