Pendidikan
tinggi yang mahal
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Banyak kalangan masyarakat juga meyakini Pendidikan
menjadi alat transformasi sebuah kebudayaan yang ditanamkan di tengah-tengah
masyarakat untuk memecahkan persoalan rakyat. Pendidikan selalu bertalian erat
dengan bentuk keilmiahan dalam berpikir. Pendidikan menuntun ke arah
pencerahaan zaman yang tidak terpaku oleh dogma-dogma dalam dunia
kegelapan.Akan tetapi, pendidikan melahirkan sebuah keilmuan yang dapat
dipertanggung-jawabkan sebagai kemurnian dalam berpikir dialektis yang
menyokong kehidupan masyarakat.
Puluhan juta orang tua terus
mendorong anak-anaknya dan seluruh pemuda untuk terus menuntut ilmu pengetahuan
dibangku sekolah bahkan sampai bangku kuliah. Pemuda kini menjadi harapan untuk
perbaikan nasib bangsa ini. Ada banyak media yang memberitakan tentang dorongan
pemerintah kepada seluruh masyarakat tentang arti pentingnya pendidikan bagi
anak-anaknya. Puluhan juta orang tua di negeri ini telah meyakini bahwa
kesejahteraan dan kebahagian mereka akan tercapai dengan tingginya pendidikan
yang diberikan kepada anak-anaknya. Para orang tua tersebut rela mengorbankan
banyak hal demi berjalannya pendidikan terhadap anak-anaknya, bahkan ada yang
harus rela menggadaikan tanahnya.
Mungkin kita bertanya mengapa harus ada orang tua yang harus rela menggadaikan
tanahnya sementara disisi lain pemerintah terus mendorong pemuda
Indonesia untuk berpendidikan ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
penting untuk menganalisa bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya
Pendidikan Tinggi. Bukan hanya orang tua kita atau kalangan masyarakat biasa
yang menganggap pendidikan itu penting. Pendidikan kini menjadi sektor yang
sangat ramai diperbincangkan di kalangan elit nasional, internasional termasuk mereka yang berfikiran education for profit (korporasi).
WTO yang kita kenal sebagai
organisasi perdagangan dunia ternyata juga menganggap pendidikan sebagai hal
yang sangat penting. Hal tersebut terlihat dari lahirnya GATS (General
Agreement of Trade in Service) . Indonesia resmi menjadi anggota WTO melalui
ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang ratifikasi pembentukan
WTO. Implikasi dari kesepakatan ini setiap negara anggota wajib membuka
sektor-sektor domestiknya untuk diliberalisasikan. Kesepakatan GATS tersebut
melahirkan 12 sektor jasa yang harus diperdagangkan, salah satunya adalah
sektor pendidikan.
Dalam
tipologi yang digunakan oleh para ekonom kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi
dalam 3 sektor. Sektor primer mencakup semua industri ekstraksi hasil
pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah
bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier mencakup
industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sejalan dengan
pandangan ilmu ekonomi, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri
sector tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang
tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan menjadi orang
berpengetahuan dan orang yang punya ketrampilan[1] .
Dengan menggunakan pandangan 3
sektor ekonomi yakni sektor ekonomi primer, sektor
ekonomi sekunder dan sektor ekonomi tersier. WTO telah melihat pendidikan sebagai
suatu komoditas ekonomi, karena dia
menjadi komoditas ekonomi maka hukum dan teori ekonomi tentu akan bermain didalamnya. Dengan dasar
tersebut maka jangan heran hukum pasar akan berlaku dalam dunia pendidikan,
jangan kaget jika ada istilah produk barang dan jasa dalam lembaga pendidikan.
Pasca ratifikasi pembentukan WTO dan
patuhnya pemerintah Indonesia pada seruan Bank Dunia maka Kebijakan pendidikan
tinggi di Indonesia kemudian mengalami perubahan. Penyelenggaraan Pendidkan tinggi yang dulunya semua
kebijakan tersentral di pemerintah pusat baik dalam hal akademik maupun non
akademik, kini diubah dengan memberikan keleluasan atau otonomi dalam hal
akademik dan non akademik bagi perguruan tinggi itu sendiri. Pemerintah
berdalih bahwa dengan tersentralnya kebijakan pendidikan tinggi di pemerintah
pusat akan menghambat perkembangan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan
pendidikan tinggi.
Dari perubahan pandangan tersebut
yang bersumber dari arahan WTO dan Bank Dunia kemudian melahirkan PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN. Selain
berbentuk PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) perguruan tinggi
juga dapat berbentuk BLU (Badan Layanan Umum). Perguruan Tinggi Badan
Hukum maupun BLU keduanya mengedepankan aspek otonomi dalam pengelolaan akademik
dan non akademik.
Kebijakan menyangkut pendidikan tinggi
yang sangat kontroversial adalah UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi. Dalam UU ini ada 3 model pengelolaan perguruan tinggi yakni PTN Satker,
BLU, dan PTN-BH. Hal yang paling menonjol dari model pengelolaan perguruan
tinggi ini adalah kemandirian untuk mencari sumber-sumber pendanaan sendiri
dalam menutupi operasional penyelenggaraan pendidikan. Undang-undang ini pula
yang menekankan kampus untuk melakukan kerjasama dengan dunia usaha dan
legalitas berdirinya perguruan tinggi asing di Indonesia
Dapat kita lihat secara seksama,
saat ini perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, tempat
berdiskusi, tempat mahasiswa meneliti
namun kini kampus sudah seperti perusahaan yang berorientasi profit.
Kini banyak perguruan tinggi yang menjual barang dan jasa. Seperti membangun
Hotel, Rumah sakit, penyewaan ruang seminar atau acara pengantin, serta menjual
barang-barang lainnya.
Dalam ilmu bisnis, promosi atau
iklan menjadi salah satu syarat yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan agar
produk perusahaan tesebut bisa dikenal luas dimasyarakat dan pada akhirnya
perusahaan tersebut memiliki pelanggan. Iklan kini tidak hanya dilakukan oleh
perusahaan/dunia usaha. Lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi kini juga
gencar-gencarnya dalam melakukan iklan. Iklan dimedia cetak, baliho di tempat-tempat
strategis, bahkan ada yang iklan di televisi nasional. Iklan-iklan tersebut pastinya
menyuguhkan berbagai keunggulan perguruan tinggi. Mulai dari akreditasi,
fasilitas, bahkan profil alumninya yang sukses di dunia kerja. Hal ini tenyata
penting bagi kampus karena semakin banyak pendaftarnya semakin banyak pula
pendapatan yang diperoleh perguruan tinggi tersebut dari hasil penjualan
formulir/pin pendaftaran.
Perguruan
tinggi juga sedang berlomba-lomba
memperkenalan dirinya sebagai perguruan tinggi berkelas dunia atau biasa
dikenal WCU (World Class University).
Beberapa tahun terakhir tepatnya akhir 2006, Perguruan Tinggi di seantero
nusantara bahkan d seluruh dunia berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita tersebut
ibarat piala yang harus direngkuh oleh setiap kampus, daya saing tinggi dan
tata kelola, dan standarisasi yang lain mutlak diperlukan dalam WCU[2].
Adanya UU Pendidikan Tinggi dengan
sistem pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal)
juga secara nyata menerapkan penghitungan ekonomi dalam pengelolaan
keuangannya termasuk dalam penentuan besaran UKT setiap mahasiswa. Sejak tahun
2012 saat UKT masih dalam bentuk Surat Edaran telah muncul berbagai penolakan
dari mahasiswa. UKT dianggap sebagai skema pembayaran yang melegalkan kenaikan
biaya kuliah. UKT juga dianggap sebagai upaya negara untuk melepas
tanggungjawabnya untuk membiayai pendidikan tinggi dengan menghadirkan
klas-klas sosial ditengah masyarakat yakni kaya berprestasi, kaya tidak
berprestasi, miskin berprestasi dan miskin tidak berprestasi. Subsidi yang pada
dasarnya adalah tanggungjawab negara malah diserahkan ke masyarakat mensubsidi
masyarakat. UKT juga tidak memberikan ruang bagi pemuda yang miskin dan tidak
beprestasi untuk berkuliah.
Neo-Liberalisasi
di kampus UNM
UNM (Universitas Negeri Makassar)
merupakan salah satu perguruan tinggi negeri yang terdapat di bagian timur Indonesia.
Sama dengan perguruan tinggi lainnya UNM juga sedang gencar-gencarnya
mempromosikan diri sebagai kampus yang berkualitas,
dan pilihan yang tepat bagi pemuda Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya.
Beberapa tahun terakhir UNM juga telah memperkenalkan diri sebagai kampus yang
menuju World Class University.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pejabat
UNM untuk mewujudkan cita-cita sebagai kampus WCU. Tentu bukan melalui peningkatan akses bagi masyarakat
atau kualitas pendidikannya, namun melalui berbagai program komersialisasi
seperti pendirian hotel , penyewaan auditorium
untuk umum, sampai pada pembangunan gedung Phinisi yang didalamya terdapat
ballroom dan ruang teater.
Wujud nyata dari komersialisasi pendidikan dikampus
UNM dapat kita lihat dari penggunaan fasilitas kampus. Fasilitas seperti aula
hotel, ballroom dan ruang teater yang seharusnya bisa diakses dengan mudah dan
gratis oleh mahasiwa guna menunjang
aktivitas pembelajarannya, kini malah dikomersilkan.
Untuk mengakses 1 ruangan d Ballroom mahasiswa harus membayar sebesar
Rp.500.000 perhari dan yang lebih parah bagi mahasiswa yang ingin mengunakan
ruang teater untuk berkegiatan harus membayar
7 sampai 10 juta. Penggunaan fasilitas kampus seperti
ruang teater di Gedung Pinisi yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh seluruh
sivitas akademika khususnya mahasiswa justru dinilai memberatkan. Pasalnya,
untuk penggunaan ruangan yang berkapasitas lebih dari 500 kursi tersebut pihak
universitas menetapkan tarif sewa Rp7-10 juta perharinya3[3]
. Fasilitas yang selama ini di iklankan oleh pejabat
kampus untuk menarik para pemuda agar kuliah di UNM ternyata harus mengeluarkan
biaya lagi untuk bisa mengaksesnya. Kalau kita menggunakan paradigma ekonomi, maka
kita bisa menilai birokrat kampus
sebagai produsen layanan pendidikan dan mahasiswa sebagai konsumennya.
Nah,
bagaimana dengan biaya kuliah di kampus UNM pasca perubahan pandangan di dunia
pendidikan dan lahirnya UU Pendidikan Tinggi ?. Berikut
saya sajikan biaya kuliah disalah satu program studi di UNM, secara umum tidak
banyak perbedaan dengan program studi lain.
Prodi
|
Biaya Pendidikan
|
|||
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
|
Pendidikan Ekonomi
|
DPP : RP.3.000.000
Semester 1
PMB: Rp. 425.000
Semster 1
SPP : Rp.
675.000
Setiap Semester
|
DPP : RP.2.000.000
Semester 1
PMB: Rp. 425.000
Semster 1
SPP : Rp.
675.000
Setiap Semester
BOP* : Rp.1.500.000
tiap Semester Untuk mahasiswa yang
lulus jalur lokal
|
UKT setiap semester
(Permendikbud 55 tahun 2013)
Rp.500.000-Rp.4.000.000
|
UKT setiap semester
(Permendikbud 73 tahun 2014)
Rp.500.000-Rp.4.000.000
|
*Hanya sebagian kecil jurusan yang memberlakukan BOP
untuk mahasiswa yang lulus jalur lokal
Dari
tabel tersebut dapat kita lihat kenaikan biaya kuliah dari tahun 2011 sampai
tahun 2014 di program studi Pendidikan Ekonomi
UNM. Kenaikan biaya paling tinggi terjadi di tahun 2013
dan 2014 dimana saat itu kampus UNM telah menerapkan system Uang Kuliah
Tunggal.
Data diatas adalah tarif di 5
golongan UKT yang ada di Program studi Pendidikan Ekonomi untuk angkatn 2013.
Dari total 61 mahasiswa sebanyak 34 mahasiswa atau 56% dikenakan pembayaran UKT
sebesar Rp.3.000.000. selama ini pemerintah terus menggemborkan tentang
kebaikan UKT yang lebih murah dari sistem pembayaran sebelumnya dengan UKT
Rp.0, namun fakta bicara lain karena tidak ada mahasiswa Pendidikan Ekonomi
angkatan 2013 yang ditetapkan di UKT Rp 0, bahkan Lebih dari setengah dari
mereka harus membayar mahal dikisaran Rp.3.000.000. Data ini juga bisa
menunjukkan bahwa Subsidi Silang dalam sistem UKT hanya isapan jempol belaka.
UKT UNM Cari
Untung
Sudah
jelas bahwa UKT telah berimplikasi pada kenaikan biaya kuliah di UNM. Serangan
Neo-liberalisasi di kampus UNM hanya membuat kampus berorientasi untuk meraup
profit semata. Sedangkan tujuan untuk meningkatkan akses pendidikan dn kualitas
di UNM, hanya menjadi formalitas belaka. Oleh karenanya, sudah menjadi
keharusan untuk membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakkan massa
mahasiswa UNM untuk melawan serangan neo-liberalisasi demi mewujudkan
pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.
Ahsan (Pimpinan
Cabang FMN Makassar).
[1] Makalah
yang disampaikan oleh prof. Sofyan Efendi sebagai Rektor UGM pada acara Diskusi
“GATS: imperialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM KM
UGM, Yogyakarta, 22 September 2005.
[2] Makalah yang disampaikan oleh Syamsu Alam seorang Staf Pengajar di EP
UNM pada acara Diskusi Publik dengan Tema “UNM menuju BLU: Siapkah atau tidak
?” diselenggarakan oleh BEM FIS UNM, 16 Maret 2016
[3] http://profesi-unm.com/2015/11/20/ruang-teater-pinisi-unm-pasang-tarif-rp7-10-juta-per-hari/
diakses pada tanggal 26 maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar