Jokowi
tercatat sebagai Presiden Pertama RI yang diundang dalam pertemuan Konferensi
tingkat tinggi Group Seven (G7) di Jepang 26-27 Mei 2016. Tentu di tataran
pemerintahan sendiri ini dianggap sebagai prestasi, dimana Indonesia diundang
di dalam pertemuan G7 ke 42 tersebut. Di sisi lain, dengan bangganya Jokowi
berpidato di dalam sesi tambahan untuk membahas terkait keamanan dan
perekonomian Asia sebagai tumpuhan dunia saat ini.
Sementara
itu, Jepang ingin memastikan bahwa sebagai tuan rumah, gelaran Konferensi
Tingkat Tinggi Group of Seven
(KTT G7) berlangsung aman. Sebagai jaminan, Negeri Sakura itu pun mengerahkan
100 ribu personel kepolisian dan 4.500 khusus untuk penjagaan Presiden AS Obama.
Hakekatnya mereka memahami bahwa rakyat seluruh dunia tentu mengecam pertemuan
jahat ini termasuk rakyat Jepang.
Namun,
apa itu G7 ? latar belakang G7 ? tujuan G7 Dibentuk ? dan apa relevansinya
untuk kesejahteraan rakyat dunia ? tentu pertanyataan-pertanyaan ini, harus
dijawab dengan terang dan objektif agar seluruh rakyat dunia khususnya rakyat
Indonesia mampu memahami secara komprehensif tentang G7 ini.
Imperialisme itu akan membentuk
Forum sebagai Kekuatannya atas dunia
Untuk
mengurai G7, perlu bagi kita untuk mempelajari gambaran umum perkembangan
kapitalisme hingga menuju kapitalisme monopoli internasional (imperialisme).
Sehingga, kita mampu menganalisis hakekatnya G7 ini apa.
Menurut Marx, kapitalisme telah mengakhiri ketidakadilan dan irasional
feudal, namun kapitalisme telah menggantikannya dengan ketidakadilan dan
irasionalisme itu sendiri. Kapitalisme telah mengembangkan industri, dan
demikian menciptakan kemungkinan terkumpulnya kekayaan yang besar.
Feodalisme
di Eropa dan amerika runtuh dan melahirkan sistem baru dalam masyarakat yaitu
kapitalisme. Revolusi Amerika (sekitar 1761-1766), revolusi Perancis
(1787-1799), Revolusi Industri di Inggris Abad Pertengahan ke-18, serta
peristiwa-peristiwa yang membawa pesan revolusioner di seluruh dunia seperti
revolusi-revolusi eropa sekitar tahun 1848, komune paris (1870-1871), dan yang
terpenting revolusi Rusia (1917-1918) serta revolusi cina (1911-1948). Fenomena itu juga telah membentuk suatu simbolisme revolusioner; ia telah menjadi
paket simbolisme politik dan ideologis serta gagasan-gagasan dunia modern.
Namun yang
paling menonjol menandai perubahan masyarakat di eropa dari feodalisme menuju
kapitalisme adalah revolusi Prancis dan revolusi industri terssebut. Tokoh
besar dalam pemikiran kapitalisme di dalam ekonomi liberalisme adalah Adam Smith. Ia berpendapat bahwa sumber
kemakmuran dari masyarakat ialah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada
pasar, mulai kebebasan individu atas penguasaan alat produksi, mekanisme pasar
dan harga-harga di pasar dengan prinsip liberalisme. Tangan-tangan tak
kelihatan-Invisible hand (baca:Kapitalis/Perusahan) akan membawa kejayaan bagi
umat manusia. Doktrin tersebut, tentu menjadi usaha untuk memuluskan langkah
kapitalis menguasai seluruh hajat hidup orang banyak yang dimobilisasi menjadi
klas buruh maupu mempertahankan buruh-buruh tani, tani-tani miskin di negara
berkembang.
Fase awal
perkembangan kapitalisme ditandai persaingan bebas yang dimulai sejak
1860-1870. Fase kedua kapitalisme dengan menggambarkan watak dasarnya yang
eksploitatif, ekspansif dan akumulatif, perkembangan persaingan bebas
kapitalisme mulai mengalami transisi (1873-1890) yakni sebagian besar kapitalis
(perusahan) kecil runtuh dan mulai diakuisisi atau dimerger dengan perusahaan
kapitalis besar. Dan tahap ketiga sebagai tahap terakhir perkembangan
kapitalisme dimulai sejak 1900-1903
yakni ditandai dengan krisis dimana kapitalis kecil runtuh dan
berkembangnya kapitalisme monopoli yang melakukan pengakusisian kapitalis kecil
oleh kapitalis besar dalam suatu negara, serta pada dewasa ini bahkan lintas
negara. Secara ekonomi, hal utama di dalam proses ini adalah pergeseran
kapitalisme persaingan bebas oleh kapitalisme monopoli. Persaingan bebas adalah
fitur utama dari kapitalisme dan produksi komoditas secara umum; sedangkan monopoli
adalah kebalikan dari persaingan bebas. Disinilah kemudian disebut fase
imperialisme sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme. Lenin memberikan defenisi singkat Imperialisme yakni tahapan
monopoli dari kapitalisme.
Lenin
kemudian menjelaskan 5 fitur atau karakteristik dari imperialisme[1];
Pertama; konsentrasi produksi
dan kapital membentuk monopoli ekonomi. Kedua, Pembentukan oligarki
finansial. Perpaduan antara
kapital bank dengan kapital industri yang menciptakan basis yang dinamakan
kapital finansial (Contoh: Word Bank, ADB, IMF, AIIB). Ketiga, eksport kapital lebih
penting dari eksport komoditi (Contoh: Investasi dan Hutang luar negeri). Keempat;
Pembentukan asosiasi di antara mereka (Contoh: Negara Maju, Berkembang,
Miskin). Dan Kelima, Pembangian Teritorial di antar imperialisme telah
usai (Contoh: G7, G8, G20).
Perang dunia I dan II menjadi manifestasi perang
antar negara-negara imperialisme untuk merebut dominiasi dan kekuasaannya
termasuk membentuk negara jajahan dan setengah jajahan. Negara-negara imperialisme
yang mengalami kerugian dan menimbulkan depresi ekonomi seperti; Negara
Inggris, Belanda, Jepang, Prancis, Italia dan Jerman, kemudian diberikan
kuncuran bantuan Mashall Plan AS. Jaminan kuncuran hutang tersebut
yaitu AS mendapatkan sebagian
besar emas dari Negara-negara tersebut
yang dulu menjadi ukuran cadangan kekayaan. Praktis, Imperialisme AS mampu
menjalankan berbagai kebijakannya yang nanti akan memuluskan skema dalam menguasai dunia baik di Negara-negara
kapitalisme itu sendiri maupun di Negara-negara dunia ketiga. Sebagai ciri
imperialism yang dijelaskan oleh V.I.Lenin, bahwa era ini ditandai dengan
kapitalisme monopoli internasional melalui eksport capital serta ekspor barang
dan jasa ke seluruh dunia. Tujuan tentu untuk menumpuk seluruh superprofit dari
seluruh rakyat dunia melalui pencurian nilai lebih atau hasil kerja klas
pekerja dan rakyat dunia. Praktis, imperialisme AS pasca
perang dunia II keluar sebagai penguasa tunggal di antara negara-negara
imperialisme dunia.
Dalam hukum ekonomi yang dikembangkan imperialisme, mulai dari liberalisme hingga neo-liberalisme di tahun 1970an, tentu akan selalu berhari depan krisis yang melanda. Kebijakan apapun yang dilahirkan imperialisme di dunia, akan selalu jatuh pada jurang krisis yang semakin membuat rakyat dunia kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun, pengangguran hingga perampokan-perampokan SDA secara barbar.
Sejarah G7
Hal ini
kemudian yang mendasari pembentukan G7 sebagai usaha untuk mengkonsolidasikan
dunia guna menyelamatkan borjuasi-borjuasi internasional, perusahan transnasional
atas krisis di tahun 1970. Krisis yang semakin akut semasa itu, ditandai dengan
tindakan-tindakan embargo atas energi sebagai usaha spekulan-spekulan
imperialisme untuk menjalankan praktek monopoli. Di sisi lain, perang agresi
dan konspirasi imperialisme AS di
negara-negara dunia ketiga untuk mendirikan negara bonekanya semasa perang
dingin, semakin memperparah krisis.
Empat negara
menjadi penggagas. Perancis, Inggris,
Jerman, dan Amerika Serikat mengadakan pertemuan pada 25 Maret 1973 untuk
mendiskusikan penyelamatan borjuasi internasional atas krisis imperialisme itu.
Pada Oktober tahun yang sama, Jepang bergabung dalam forum diskusi tersebut,
sehingga dikemudian hari kelompok lima negara ini disebut dengan istilah the
Group of Five (G5).
Beberapa
tahun kemudian, group ini menambah jumlah anggota menjadi tujuh dengan masuknya
Italia (1975) dan Kanada (1976) sebagai anggota baru. Dari sinilah kemudian
dikenal istilah the Group of Seven (G7). Lebih lanjut, pada 1997 Rusia
juga bergabung dalam kelompok G7, sehingga mengubah nama G7 menjadi G8 (the
Group of Eight). Dan Krisis di Ukraina menyebabkan Rusia keluar dari
pertemuan G8 pada 2014 lalu, sehingga jumlah negara anggota menjadi tujuh dan
mengubah nama forum tersebut kembali ke G7.
Hakekatnya
G7 ini adalah konsolidasi di antara negara imperialisme untuk menjalankan skema
jahat borjuasi-borjuasi internasionalnya, perusahan-perusahaan transnasional
(MNc/TNc) di dalam menguasai perekonomian di seluruh dunia. Pembagian diantara
mereka atas dunia telah usai. Tidak akan ada negara jajahan dan setengah
jajahan bisa mewujudkan negara rakyat atau bahkan menjadi negara kapitalisme. Sebab G7
akan selalu menghambat kemajuan negara-negara berkembang. Maka Jalan
satu-satunya hanyalah melalui perjuangan klas rakyat dunia menghancurkan
imperialisme, feodalisme dan rejim reaksioner sebagai syarat kebebasan bagi
rakyat dunia.
Sementara
kontekstual keadaan saat ini, AS memimpin negara-negara G7 lainnya untuk keluar
dari krisis sejak 2008 yang semakin akut dan mengkeroposi sistem imperialisme
itu sendiri. Imperialisme AS beserta sekutunya di G7 hanya akan merumuskan pencurian yang berlipat-ganda
terhadap nilai lebih klas buruh dan merampok hasil kerja rakyat dunia.
Relevansi
G7 terhadap kesejahteraan dunia hanyalah ilusi yang dibangun atas forum ini.
Sebaliknya, forum ini hanya mendiskusikan usaha-usaha untuk memasifkan
perampokan-perampokan, perang di tengah-tengah rakyat dunia. Hanya penderitaan,
kemiskinan, penghisapan dan penindasan yang dihasilkan G7.
KTT G7 di Jepang 26-27 Mei 2016 adalah persekongkolan
jahat untuk keluar dari Krisis
KTT
G7 merupakan pertemuan eksklusif pemimpin imperialisme dunia yang mewakili kepentingan
kapitalis monopoli besar dan perusahaan-perusahaan transnasional. Yang
disebut 'pemimpin dunia' tidak pernah mewakili kepentingan rakyat terhisap dan
tertindas dunia. Mereka
telah membawa penderitaan yang luar biasa untuk rakyat dunia dengan kebijakan
neoliberalisasinya. Di sisi lain, mempromosikan Ilusi Demokrasi dan HAM ala AS,
Perang Agresi, Perang melawan Teroris, menjadi cara-cara jahat yang dijalankan
imperialisme di dunia.
Pertemuan
G7 ini, hanya berusaha untuk memindahkan beban krisis di tubuh imperialisme
(G7) ke pundak rakyat dunia. Dalam pertemuan
KTT G7 di Jepang ini, mereka akan membahas isu [2]tentang
perekonomian rakyat dunia untuk menghadapi krisis, SDGs, Nuklir Korut, Laut
China, Investasi dan infrastuktur, komersialisasi kesehatan, perubahan iklim,
dan kesetaraan gender.
Dari
sejumlah pembahasan itu, tidak sedikit pun akan memberikan perubahan untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat dunia. G7 melakukan pembahasan tentang perekonomian
dunia dan berusaha keluar dari krisis, hanya akan melahirkan resolusi untuk memuluskan program-program borjuasi internasional (TNc/MNc) ke seluruh dunia
khususnya negara berkembang. G7 akan mempertahankan defisit anggaran di
negara-negara dunia khususnya negara berkembang, sehingga negara berkembang
akan terus bersandar pada investasi dan hutang luar negeri dari imperialisme untuk
membiayai APBN-nya (Skema eksport kapital). Mengapa di negara-negara berkembang terjadi defisit
anggaran ? alasannya bahwa negara-negara berkembang hakekatnya tidak akan
pernah mendapatkan surplus neraca perdagangan, karena perdagangan seluruhnya
dimonopoli imperialisme khususnya AS.
Demikian Infrastuktur yang sangat masif menjadi program imperialisme di seluruh dunia khususnya di negara berkembang di Asia seperti Indonesia. Hakekatnya pembangunan infrastuktur bukanlah mengabdi pada fasilitas rakyat. Namun pembangunan infrastuktur hanyalah menjadi objek investasi imperialisme, bisnis dan sirkulasi kapitalnya.
Demikian Infrastuktur yang sangat masif menjadi program imperialisme di seluruh dunia khususnya di negara berkembang di Asia seperti Indonesia. Hakekatnya pembangunan infrastuktur bukanlah mengabdi pada fasilitas rakyat. Namun pembangunan infrastuktur hanyalah menjadi objek investasi imperialisme, bisnis dan sirkulasi kapitalnya.
Sedangkan
isu SDGs, hanya menjadi produk untuk mengilusi dan mendikte jenis pembangunan
di seluruh dunia. Dengan isu mengentaskan kemiskinan, kepalaparan, ketimpangan
ekonomi, penyakit menular, dsb, hanya menjadi program untuk memuluskan operasi
kapital bagi imperialisme baik berinvestasi atau berbisnis. Jadi, SDGs
2015-2030 sebagai pengganti MDGs 2000-2015, bukanlah untuk rakyat, namun untuk
imperialisme dan mempertahankan kemiskinan rakyat dengan berbagai program yang
seolah-olah humanis.
Sementara
isu Korut, adalah usaha imperialisme AS dan sekutunya untuk terus memerosotkan
perjuangan rakyat Korut di dalam melawan negara-negara kapitalisme seperti AS
dan sekutunya Korsel. Serupa dengan isu laut China Selatan, hanya memberikan
legitimasi baik bagi AS maupun sekutunya di Asia untuk memperkuat militernya
dan berlahan untuk mengeliminasi kekuatan China. Jadi,
KTT G7 hanyalah sampah dan wabah penyakit bagi rakyat dunia.
Hadir di dalam G7, Jokowi Meneguhkan
dirinya sebagai Rejim Boneka Imperialism AS
Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menghadiri konferensi tingkat tinggi
(KTT) Group of Seven atau yang
dikenal dengan G7 di Ise-Shima Prefektur Mie, Jepang pada 26-27 Mei 2016. Beberapa
menteri ikut mendampingi presiden dalam pertemuan tersebut, diantaranya
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Sekretaris
Negara Pratikno, dan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Sofyan
Djalil.
Presiden
Jokowi diminta untuk menjadi pembicara utama dalam sesi pertama,
Stabilitas dan Keamanan Asia. Selain juga direncanakan akan melakukan beberapa
pertemuan bilateral di sela-sela acara. Kemudian timbul pertanyaan bagi kita, apa
misi Jokowi dalam pertemuan G7 ini ? Dirinya tentu tidak mempunyai misi untuk
memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Karena hekekatnya kita sepakat bahwa G7
adalah forum di antara imperialisme yang melahirkan resolusi untuk
intensifikasi penghisapan dan penindasan. Jadi Jokowi diundang ke G7 hanya menjadi gambaran
ketertundukan Jokowi kepada negara imperialisme sebagai tuannya dan mempunyai
komitmen untuk menyukseskan resolusi yang menyelamatkan G7 dari krisis yang
menggerogoti borjuasi internasionalnya (TNc/MNc). Sebaliknya, G7 yang dihadiri
Jokowi hanya akan berdampak semakin kuatnya dominasi imperialisme khususnya AS
di Indonesia yang menghisap dan menindas rakyat.
Dan
di sela pertemuan ini, Jokowi dan PM Jepang Abe menyepakati investasi dua
proyek transportasi, yakni pembangunan kereta berkecepatan sedang
Jakarta-Surabaya dan pembangunan Pelabuhan Patimbang di Subang, Jawa Barat. Hal
ini akan semakin memasifkan perampasan tanah tentunya di Indonesia.
Rachmad P Panjaitan (Ketum PP FMN)
[1] http://www.pp-frontmahasiswanasional.org/2013/10/lima-fitur-imperialisme-sebagai-tahap_26.html,
Diakses pada tanggal 27 Mei 2016.
[2] http://www.japan.go.jp/g7/summit/agenda/,
Diakses pada tanggal 27 Mei 2016.
0 komentar:
Posting Komentar