Keterangan Gambar: Media Jakarta
“Masa
lalu menujukkan, bahwa Politik Devide et impera
Kolonialis Belanda sangat
efektif menghancurkan persatuan dan perjuangan rakyat untuk meraih Kebebasan”
Perbedaan
Suku, Agama dan Ras di Indonesia merupakan keanekaragaman sekaligus sebagai
kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi masyarakat. Bayangin saja begitu
luar biasanya kemajemukan di Indonesia. Menurut sensus BPS ada sekitar 1.340
banyaknya suku di Indonesia. Sementara itu, Indonesia mempunyai 748 bahasa
daerah (Bahasa Ibu) yang meliputi sekitar 17.508 pulau yang tersebar dari
wilayah Barat sampai Timur. Dan ada 6 agama yang diakui
oleh pemerintah. Bahkan pra masuknya agama Hindu, Islam, Budha, Katolik,
Protestan dan Kong Hu Cu di Nusantara, sudah banyak aliran kepercayaan di
setiap daerah yang dianut oleh masyarakat dan masih eksis hingga dewasa ini. Contohnya
di Tanah Toraja mereka menganut aliran kepercayaan Aluk Todolo, di Jawa Barat
ada aliran kepercayaan Agama Sunda Djawa, Jawa tengah dan Jawa timur ada
kepercayaan Kejawen, di tanah Batak ada aliran kepercayaan Parmalim, dan masih
banyak lagi aliran-aliran kepercayaan di Indonesia. Perkembangan pesat
penyebaran Agama di Indonesia, banyak yang kemudian mengalami perpaduan yang harmonis antara
aliaran-aliran kepercayaan nusantara dengan agama (Sinkretisme).
Masyarakat Indonesia mengalami fase persatuan di dalam perbedaan suku, agama, ras terutama
dilatarbelakangi adanya musuh bersama yaitu Kolonial Belanda. Terjadi lompatan kesadaraan nasional di era
kebangkitan dan puncaknya tahun 1928,
Indonesia mengikarkan Sumpah Pemuda
yakni Berbangsa Satu, Bertanah air satu dan Berbahasa Indonesia. Alhasil, nyaris tidak
ada konflik Suku, Agama maupun Ras. Akan tetapi berbeda di zaman kemerdekaan. Sentimen berbau SARA menjadi
senjata untuk meningkatkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Setidaknya ada
beberapa Konflik SARA yang mengerikan di Indonesia yang coba kita kemukakan[1].
Pertama, Konflik Agama di Ambon. Konflik berbau agama yang tragis meletus pada tahun 1999
silam. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari
1999, telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa
dan menghancurkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Selain ribuan yang
meninggal, diprakirakan sekitar 700.000 masyarakat kehilangan akan hak hidupnya
terutama kehilangan lahan dan tempat tinggal. Namun ironinya, bahwa konflik
berbau Agama ini sangat erat kaitannya dimotori oleh ABRI yang
mempunyai kepentingan atas ekonomi dan politik di tengah reruntuhan krisis
1998. Apalagi konflik
ini sebagai upaya untuk membendung pergerakan Republik Maluku Selatan.
Kedua, Tragedi Sampit.
Tragedi Sampit adalah konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan
bikin geger bangsa Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan
suku Dayak dengan orang Madura ini dipicu banyak faktor, diantaranya kasus
orang Dayak yang diduga tewas dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan
gadis Dayak. Sama halnya pula bahwa konflik mengerikan ini juga menguak banyak
keterlibatan para pemangku kekuasaaan dan ekonomi. Mungkin saya menyebutnya politik ventriloquisme. Wajar, karena
pasca jatuhnya Orde Baru berkuasa, banyak kalangan elit kemudian memprovokasi
keadaan yang bertujuan merebut kekuasaan.
Ketiga, Penyerangan Kelompok Syi’ah di Sampang. Aksi
penyerangan terhadap pengikut Syi'ah terjadi di Dusun Nangkernang, Desa Karang
Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur pada Agustus 2012
silam. Sebanyak dua orang warga Syi'ah tewas dan enam orang lainnya mengalami
luka berat serta puluhan warga mengalami luka ringan. Kasus ini sebenarnya
sudah berlangsung sejak tahun 2004. Puncaknya adalah aksi pembakaran rumah
ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta dua rumah jamaah
Syi'ah lainnya serta sebuah musala. Aksi tersebut dilakukan oleh sekitar 500
orang yang mengklaim diri sebagai pengikut ahlus sunnah wal jama'ah. Kejadian ini juga dinilai akibat sangat rendahnya peran Negara
dalam penyelesaian konflik. Bahkan Negara melalui aparatnya cenderung membiarkan terjadinya konflik ini meruncing.
Keempat, Konflik Poso. Konflik di Poso sangat identik dengan
pengkondisian yang diciptakan oleh Orba. Konflik Poso kemudian berlanjut pada
saat
pemilihan bupati pada Desember 1998. Menangnya pasangan Piet I
dan Mutholib Rimi menjadi pemicu
sentimen suku dan agama yang merusak entitas Ke-Indonesia-an. Hal ini kemudian
mendorong berbagai konflik di Poso yang terus-menerus berkedok suku dan agama.
Sesungguhnya Konflik di Poso juga sudah lama terjadi sejak politik pecah
bela Kolonial Belanda yang menggunakan sentimen Agama.
Dari berbagai kasus besar yang berkaitan
dengan Konflik SARA, ternyata juga masih kerap terjadi hingga saat ini. Konflik Horizontal ini bukan semata-mata sebagai Benturan
peradaban atau clash of civilizations (CoC) sebagaimana dalam kerangka
berpikir dari Huntington Samuel P. Artinya kebudayaan (SARA) bukanlah menjadi
poros terjadinya konflik. Namun persoalan atas penguasaan sarana-sarana
produksi sangat
relevan sebagai faktor deterministik yang menyebabkan
konflik sosial dan kemudian berlanjut dalam benturan peradaban. Sama halnya
dengan berbagai konflik baik di masa Orba dan Awal Reformasi, konflik SARA
dipicu krisis ekonomi yang kemudian berlanjut pada politisasi yang dilakukan para elit-elit di Indonesia untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan. Konflik Horizontal yang dicatat di masa lalu dengan menggunakan isu
SARA, kerap dipolitisir hanya untuk merebut kekuasaan atas politik dan ekonomi serta ditujukan untuk meredam persatuan dan
perjuangan demokratis rakyat. Hal demikian adalah tindakan barbar para penguasa
negeri di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghalalkan segala cara untuk
membuat kerusuhan di tengah masyarakat. Dewasa ini, isu menggunakan SARA juga dijadikan sebagai
politik untuk memecah belah masyarakat Indonesia.
Contohnya saja; berbagai isu SARA kerap bermunculan pada
saat-saat PILPRES maupun PILKADA. Tentu ini sangat disayangkan. Karena pemangku
jabatan di Indonesia selalu mempromosikan bahwa Pilkada-Pilpres sebagai pesta
demokrasi di Indonesia. Dengan berbagai
kampanye hitam, berbagai elit-elit politik menghembuskan SARA sebagai jalan
untuk memenangkan Calonnya. Sentimen SARA dijadikan sebagai barang politik di
dalam pertarungan menuju kekuasaan. Para elit politik beserta lembaga-lembaga
negara menganjurkan untuk berpilpres dan berpilkada yang bebas dari unsur-unsur
SARA. Tapi celakanya, para elit-elit dan calonnya adalah sumber yang menghembuskan unsur SARA di dalam kampanye-kampanye,
baik bertindak sebagai SUBJEK maupun diciptakan menjadi KORBAN SARA. Mereka
ibarat dua sisi mata pisau yang mampu menyayat-nyayat masyarakat sekaligus
merusak sistem demokrasi yang diagung-agungkan. Implikasinya setiap
PILKADA/PILPRES, masyarakat dimobilisasi untuk terpecah-pecah. Dan akibat
manajeman SARA untuk kampanye, menjadi
sebuah tragedi yang memicu konflik-konflik SARA diantara masyarakat.
Menjelang
Pilkada DKI Jakarta yang akan diselenggarakan pada Tahun 2017,
Konstruksi dibangun diantara para konstituen
(masyarakat pemilih) berkonstelasi dalam
perdebatan-perdebatan baik secara langsung maupun di dalam media sosial. Kita
Bukan
berdebat atas program maupun kinerja atau sepak terjang calon, namun lebih pada
sindirian yang kerap menggunakan SARA. Kondisi
demikian mengurangi rasa nyaman, damai antar umat beragama, suku dan ras. Pilkada yang dianggap sebagai
salah-satu instrument demokrasi, malah memecah belah persatuan diantara rakyat.
Sinisme, umpatan, kebencian menyebar di tengah masyarakat yang merupakan dampak
politik pilkada DKI Jakarta. Kita coba meminjam karya sastrawan realis Pramodya
Ananta Toer di dalam Novel Bukan Pasar Malam, untuk menjelaskan Pilkada.
Pilkada ibarat pasar malam, dimana para penonton berbondong-bondong datang ke
pasar malam untuk menikmati setiap suguhan hiburan yang dipertunjukkan. Dan
setelah pasar malam itu usai, para penonton pulang dengan segala kesusahan
hidupnya. Tak jauh berbeda dalam setiap pilkada maupun pilpres di Indonesia,
semasa kampanye rakyat dimobilisasi untuk mengikuti “pesta demokrasi”. Namun
setelah masa kampanye usai dan telah melahirkan sang Penguasa, rakyat kembali
hidup menderita dan semakin menderita akibat berbagai program si Penguasa yang
menghisap dan menindas.
Sekarang
kita akan focus melihat kinerja Gubernur DKI Jakarta Ahok. Tulisan ini berhadap
membuat kita tidak terpolitisir dengan berbagai isu SARA yang hanya memecah
bela persatuan dan perjuangan rakyat. Konflik SARA harus kita redam. Karena hakekatnya
musuh kita bukanlah Suku, Agama, Ras, Tapi musuh kita adalah penghisapan dan
penindasan terhadap masyarakat Indonesia.
Ada
beberapa indicator sebagai penilaian secara objektif terkait kinerja Gubernur
Ahok selama berkuasa di DKI Jakarta. Sehingga kita tidak lantas bergelut di dalam isu
SARA atau gagap dan merasa dibodohi dengan berbagai jelmaan di dalam
kampanye-kampanyenya. Nilai-nilai di dalam indicator penilaian terhadap kinerja
Gubernur Ahok, tentu akan kita lihat dengan realitas kehidupan masyarakat DKI
Jakarta.
Keterangan Gambar: BBC
- Program Pengentasan kemiskinan
Tujuan
penting dari pembangunan suatu bangsa atau Negara adalah kesejahteraan
masyarakatnya. Maka program pengentasan kemiskinan tentu memegang peran vital
untuk mewujudkannya. DKI Jakarta sebagai
cerminan Provinsi di Indonesia, ternyata tidak terlepas dari kungkungan
kemiskinan yang masih membludak dan cenderung meningkat. Tahun 2016 angka
kemiskinan DKI Jakarta mencapai 3,75% dari total jumlah penduduknya. Terjadi
tren kenaikan jika dibanding tahun 2015 sebesar 3,61%[2].
Kemiskinan juga diikuti semakin tingginya angka ketimpangan antara si kaya
dengan si miskin di DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta mengakui bahwa
kemiskinan semakin mendorong banyaknya masyarakat yang tinggal di kolong
jembatan, bantaran kali dan tempat-tempat kumuh. Realitasnya Di kota-kota besar
dampak pembangunan kerap meminggirkan masyarakat kecil yang semakin kehilangan
akses atas hak dasarnya dan membuat semakin naiknya angka kemiskinan. Kita juga
menilai bahwa angka kemiskinan yang disuguhkan BPS DKI Jakarta masih perlu
dimuktahirkan (disamping standarisasi kemiskinan yang sangat rendah, yakni
berpendapat 1,5 Dollar US/Hari). Karena realitasnya angka kemiskinan pasti
lebih tinggi daripada penyajian BPS DKI Jakarta terutama akibat dampak
intensifnya penggusuran, reklamasi, politik upah murah maupun inflasi di DKI
Jakarta yang tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan (Kebutuhan Hidup Layak
1 KK di Jakarta mencapai 4 Juta).
- Program menekan Angka Kematian bayi dan Ibu Melahirkan di DKI Jakarta
Berdasarkan
data BPS angka kematian ibu melahirkan di DKI Jakarta masih sangat tinggi.
Tahun 2015 angka kematian ibu 200 dari 100.000 kelahiran. Bahkan jika merujuk
pada targetan Pembangunan dunia (MDGs) yang salah satu indikatornya menekan
angka kematian Ibu, menargetkan angka kematian ibu 102 dari 100.000 kelahiran.
Jadi masih sangat tinggi angka kematian ibu walaupun DKI Jakarta menjadi
pusaran kota terbesar di Indonesia. Sementara angka kematian anak di DKI
Jakarta berdasarkan BPS DKI Jakarta 2015
mencapai 30 per 1.000 kelahiran. Masih tergolong tinggi jika dibanding standar
internasional 23: 1.000 kelahiran.
Factor
utama masih tingginya angka kematian Ibu dan bayi di DKI Jakarta diakibatkan
rendahnya akses atas kesehatan bagi masyarakat khususnya dijangkau oleh rakyat
miskin. Halnya juga dipengaruhi masih mahalnya biaya kesehatan dan BPJS
ternyata tidak menjadi solusi bagi peningkatan kesehatan di Indonesia termasuk Kartu
Jakarta Sehat.
- Program Pendidikan
Kebijakan
kartu Jakarta Pintar (KJP) salah-satu prioritas program yang dijalankan oleh
Ahok. Di sisi lain, kebijakan perbaikan sarana prasana juga menjadi
perhatiannya. Namun pada kenyataannya, anak-anak yang belum mengecap sekolah
masih lumayan tinggi di DKI Jakarta. Banyak anak-anak warga miskin yang belum
mampu bersekolah walaupun program KJP dijalankan. Di sisi lain penerimaan KJP dari mulai tahun
2014 sampai 2016 juga mengalami penurunan. Dan kenyataannya biaya pendidikan
sekolah juga masih sangat tergolong mahal di Ibu Kota, demikian pula di
perguruan tinggi.
Dan
paling mencegangkan adalah buruknya sarana prasana pendidikan di DKI Jakarta. Pemerintahan
Ahok bahkan mengakui bahwa ada sekitar 47% bangunan sekolah-sekolah di DKI Jakarta
masih sangat buruk[3]. Padahal
anggaran sangat tinggi yang mencapai 14 Triulin.
- Program pengentasan penyakit HIV/AIDS di DKI Jakarta
Program
dijalankan Ahok dalam pengentasan penyakit HIV/AIDS di DKI Jakarta melalui pilar
pencegahan, pengobatan dan mitigasi[4].
Akan tetapi selama Ahok memimpin DKI Jakarta ternyata belum menunjukkan adanya
perubahan untuk mengurangi penyakit HIV/AIDS. Tahun 2015, Data menunjukkan sebanyak 47.440 warga terjangkit
virus mematikan tersebut. Sekjen
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta, Rohana Manggala,
mengungkapkan jumlah pengidap tersebut terdiri dari penderita HIV ada sebanyak
39.347 orang dan AIDS mencapai 8.093 orang (Desember 2015). Dan DKI pun masih
bertengger menjadi provinsi tertinggi pengidap penyakit HIV/AIDS di Indonesia.
- Program Kelestarian Lingkungan di DKI Jakarta
Program
dari Ahok menjaga lingkungan hidup masih menekankan terkait pengendalian
sampah, banjir, tata ruang kota dan sebagainya. 1 hari di DKI menghasilkan
sampah sebanyak 7.000 Ton per hari.
Eits, sampah itu bukan semata-mata dari masyarakat, tapi juga berasal dari
industry, Rumah Sakit dan perusahaan-perusahaan korporasi. Pemprov DKI masih menangani dan mengelola sampah secara konvensional,
yakni dikumpulkan-diangkut-dibuang dan seterusnya berakhir di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, dengan ditumpuk secara terbuka. Dan
ironinya, bisnis sampah digunakan Ahok untuk mengundang investor asing
mengelolanya. Artinya ahok mendorong investor berebut untuk bisnis sampah yang
tujuannya hanya untuk mendapatkan profit.
Sementara
itu Survei
Most Livable City Inde yang disusun Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)
menempatkan Jakarta sebagai kota paling tidak nyaman dan tidak layak huni bagi
warganya. Kondisi dua kota besar ini sangat buruk, terutama dalam penataan
kota, minimnya ruang terbuka hijau. Buruknya tata ruang
terutama diakibatnya sisi mengedepankan investasi di dalam pembangunan di DKI
Jakarta yang sangat pesat malah menjadi penyumbang terbesar rusaknya tata ruang
kota yang diikuti hilangnya kawasan hijau di DKI Jakarta. Penggusuran,
reklamasi dan berbagai pembangunan
infrastuktur, menjadi instrument nyata yang merusak ekologis lingkungan di
Indonesia. Demikian emisi karbon yang tinggi di era Ahok sangat meningkatkan
perubahan iklim yang ekstrem di DKI Jakarta. Maka Zonaisasi kawasan hijau yang
menjadi legitimasi ahok di dalam menggusur warga miskin sesungguhnya menjadi
kedok saja.
Normalisasi
kali yang menggusur warga miskin selalu dianggap Ahok sebagai solusi untuk
menghindari banjir di DKI Jakarta. Demikian program reklamasi teluk Jakarta
yang terintegrasi dengan bendungan GWS yang dalam di program ini melibatkan
para korporat besar, dianggap juga solusi Jakarta bebas banjir. Namun
kenyataannya saat ini banjir juga masih melanda Jakarta. Bahkan ironinya, 1 jam
hujan di DKI bisa mengenangi beberapa kawasan Jakarta terutama di wilayah
Kemang[5]. Dan perlu diketahui bahwa memasuki musim
hujan, akan berpotensi rawan longsor di 22 kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta[6]. Jadi, bukan dengan menggusur
warga miskin atau reklamasi akan menyelesaikan banjir di DKI Jakarta. Tapi tata
ruang kota yang dirusak para koporasi besar termasuk borjuasi internasional adalah
penyebab kerusakan lingkungan DKI Jakarta. Tapi aneh pada bulan
November 2015 lalu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) malah diberikan penghargaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai perusahaan dengan
predikat baik dalam ketaatan dan kinerja pengelolaan lingkungan di Provinsi DKI
Jakarta sepanjang 2015.
- Kebijakan
Politik Pengupahan di DKI Jakarta
Selama
Ahok memimpin DKI Jakarta, kenaikan upah tahun 2014 sebesar 2.200.000,-, Tahun
2015 sebesar 2.700.000,- dan Tahun 2016 sebesar 3.100.000,-. Jika dibanding dengan kenaikan harga
kebutuhan hidup layak di Jakarta masih belum sebanding. Padahal jika dilihat dari keuntungan
para perusahaan di DKI Jakarta bisa mencapai triliun rupiah. Kalangan buruh di
DKI Jakarta menganggap bahwa upah buruh masih sangat rendah. Jika dibanding
dengan kota-kota besar di berbagai Negara asia, DKI Jakarta masih berada di
urutan buncit. Bahkan upah DKI Jakarta masih kalah dibanding dengan bekasi dan
karawang (walaupun bekasi dan Karawang masih belum sesuai KHL). Hal ini
kemudian yang mendorong para buruh-buruh DKI Jakarta semakin intensif melakukan
kampanye untuk kenaikan upah di DKI Jakarta.
- Program
Relokasi
Kebijakan relokasi warga miskin untuk
normalisasi kali dianggap Ahok untuk
menghindari banjir. Solusi rumah susun yang ditawarkan dianggap merupakan
pendekatan yang menekankan sisi kemanusian dan keadilan bagi korban relokasi. Bahkan
untuk relokasi perumahan warga miskin di bantaran kali, selama masa
pemerintahan Ahok selalu naik. Tahun 2016 dianggarkan sekitar 14,19 M hanya
untuk pengamanan saja dan masih terserap 1,38 M. relokasi yang dilakukan di DKI
Jakarta bahkan melibatkan berbagai modal pendukungnya. Word Bank megelontorkan
dana yang besar beserta perusahaan-perusahaan korporasi terutama yang terlibat
reklamasi memberikan dana untuk pengamanan relokasi. Dapat dilihat bahwa
dibalik relokasi Jakarta sangat besar kepentingan para korporasi dan lembaga
internasional menyukseskannya.
Ternyata relokasi oleh Ahok hakekatnya adalah PENGGUSURAN atas hak tempat
tinggal warga dan hak-hak ekonomi, politik, social dan budaya yang dirampas.
Normalisasi kali untuk menghindari banjir adalah mitos belaka yang dikembangkan
oleh Ahok yang terbantahkan dengan banjir yang masih ada disana-sini di DKI
Jakarta. Banjir bukanlah disebabkan tempat tinggal warga miskin di bantaran
Kali yang sudah ditempatin bahkan semenjak pra kemerdekaan. Karena kunon DKI
Jakarta dirawat dengan baik oleh warganya. Namun semenjak dominasi pembangunan
DKI Jakarta dikuasai oleh korporasi, semakin hilanglah zona kawasan hijaunya.
Daerah resapan (Drainase) semakin sempit karena DKI disesaki berbagi
gedung-gedung pencakar langit (Mall, Tower, Hotel, Apartemen) yang menjamur
yang pemiliknya berasal dari borjuasi besar komprador, tuan tanah besar hingga
kepemilikan asing.
Demikian Rusun yang dianggap sebagai solusi
atas penggusuran. Kenyataannya Rusun tidak malah memperbaiki kehidupan
masyarakat yang mengalami korban penggusuran. Selain Rusun yang hanya mencakup
40% korban, Rusun pun berubah menjadi bisnis perumahan bagi kalangan bawah yang
dikembangkan oleh pemerintah. Korban gusuran hanya gratis 3 bulan saja
rata-rata, setelah itu penghuni Rusun harus membayar 200.000-300.000 rb . tentu
ini sangat memberatkan warga Rusun dan tidak ada keadilan yang didapatkan.
Rumah yang digusur sebagian besar yang dianggap liar oleh Ahok sebagian besar
tidak dibayar ganti rugi. Demikian sebagian besar bagi korban yang telah
menempatin Rusun harus rela kehilangan pekerjaannya. Sebab banyak warga gusuran
yang rata-rata bekerja sebagai kuli bangunan, angkut, tukang parkir, ojek,
pedagang kecil, dsb kehilangan pekerjaan setelah dikandangi di Rusun. Tentu itu
berdampak pada hilangnya pendapatan akibat harus beradaptasi kembali di
lingkungan Rusun.
Lalu data LBH
Jakarta menunjukkan korban gusuran tahun 2015 terjadi 113 kasus
penggusuran paksa oleh Pemprov DKI. Total jumlah korban sebanyak 8.145 KK dan
6.283 unit usaha. Sedangkan
tahun 2016 berdasarkan rencana Ahok akan meningkatkan 3 kali lipat penggusuran
menjadi 325 titik jika dibanding tahun lalu.
Penggusuran
yang dilakukan Ahok sudah pasti melahirkan pelanggaran HAM terhadap korban
gusuran. Komnas HAM menemukan sejumlah pelanggaran HAM
dalam praktik-praktik penggusuran yang dilakukan pemerintah provinsi DKI
Jakarta. Komnas menuturkan pelanggaran Ham
tersebut ialah hilangnya akses warga atas tempat tinggal, kehilangan pekerjaan,
terganggunya pendidikan anak-anak korban gusuran, meningkatnya kemiskinan dan
konflik social hingga cara-cara brutal di saat penggusuran[7].
Kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan Ahok pada saat penggusuran menjadi
cirri khasnya. Bukan saja ribuan Satpol PP dan Polisi yang diturunkan, namun
TNI juga diturunkan di dalam setiap penggusuran (Kembali ke Barak Ommm).
- Program
Reklamasi
Salah-satu alasan
pemerintahan Pusat dan DKI Jakarta bersikukuh menjalankan program reklamasi
adalah untuk menghindari banjir. Reklamasi juga terintegrasi dengan pembangunan
bendungan GWS yang dianggap mampu menghindari Banjir di Ibu kota. Reklamasi
merupakan pekerjaan pengembangan kawasan berair
untuk mendapatkan lahan dengan cara dikeringkan. Dan Reklamasi
teluk Jakarta akan membangun 17 pulau A-Q dengan luasan lahan 2.700 Ha. Kawasan yang telah direklamasi akan diorientasikan untuk pengembangan usaha bisnis pariwisata,
property, industry. Dan dibalik reklamasi
teluk Jakarta melibatkan korporasi-korporasi besar semacam Agung Sedayu dan
Agung Podomoro (terlibat kasus suap perizinan Teluk Jakarta).
Reklamasi teluk Jakarta pada kenyataannya ditolak oleh warga Jakarta
terutama masyarakat/nelayan yang secara langsung mendapatkan dampak buruk atas
megaproyek ini. Setidaknya ada sekitar 12.000 Nelayan yang kehilangan tempat
tinggal [8]akibat
reklamasi. Dan lagi-lagi Ahok menawarkan Rusun kepada Nelayan (Sangat lucu jika nelayan tinggal di
Rusun yang jaraknya lumayan jauh dari bibir pantai. Ini sama saja menjauhkan
nelayan mencapai kedaulatan atas laut di Indonesia. Disamping Rusun bukanlah
solusi). Selain itu, reklamasi tentu bukanlah untuk menjaga ekosistem
lingkungan atau menghindari banjir. Sebaliknya reklamasi akan semakin merusak
lingkungan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Di beberapa Negara di dunia,
proyek reklamasi bahkan tidak lagi diperbolehkan karena ada ikatan hukum perlindungan lingkungan. Sebab reklamasi ini sangat berdampak buruk pada
penghancuran habitat maupun rusaknya keseimbangan ekosistem lingkungan
(hilangnya fungsi konservasi, tidaknya berfungsinya DAS yang hanya akan
memperparah banjir, kerusakan ekologis meluas, ancaman punahnya keanekaragaman
hayati laut serta perubahan hidrodinamika air laut.
Maka
jelas bahwa program yang ditolak warga DKI Jakarta ini hanyalah kepentingan
bisnis para korporasi besar yang dilanggengkan oleh Ahok.
Hmmmmmm
masih banyak jika diurut-urutkan berbagai kinerjanya. Tapi untuk sekarang cukup
dulu, next akan melanjutkan terbitan artikel untuk melihat kinerja Gubernur
Ahok memimpin DKI Jakarta. Setidaknya tulisan ini bisa bermanfaat agar tidak
gampang dipolitisir menggunakan SARA untuk kepentingan perebutan kekuasaan.
Karena sentimen
SARA yang dibangun hanya akan merusak
toleransi umat beragama, bersuku dan warna kulit di Indonesia. Saatnya kita
focus menilai kinerja Ahok apakah mengabdi pada kemajuan masyarakat DKI Jakarta
atau sebaliknya semakin memperparah kehidupan masyarakat di Ibu Kota !
Rachmad P Panjaitan (Ketum PP FMN)
[1] http://news.okezone.com/read/2016/02/25/340/1320731/lima-konflik-sara-paling-mengerikan-ini-pernah-terjadi-di-indonesia,
Diakses Pada 07 Oktober 2016.
[2]https://metro.tempo.co/read/news/2016/08/01/083792419/pertama-dalam-2-tahun-penduduk-miskin-jakarta-bertambah, Diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.
[3] http://news.liputan6.com/read/2415634/47-sekolah-di-dki-masih-jelek-ahok-malu-habiskan-dana-triliunan, Diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.
[4] http://kpap.jakarta.go.id/pages/detail/program.html, Diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.
[5] http://m.tempo.co/read/news/2016/08/28/083799571/Pengamat-Banjir-Kemang-Akibat-Pelanggaran-Tata-Ruang-, Diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.
[6] http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=23&date=2016-08-24, Diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.
[7]http://kbr.id/092016/komnas_ham__ada_pelanggaran_ham_dalam_setiap_penggusuran_di_jakarta/85072.html, Diakses pada tanggal 07 Nov 2016.
[8] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160913_indonesia_reklamasi_jakarta_jalanterus, Diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.
2 komentar:
Ahok harus dipernjarakan. Titik
Setuju. Tolak Ahok karena dia Gubernur yang mempunyai karakter anti rakyat boneka pemilik modal besar komprador.
Posting Komentar