
Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
yang sesuai dengan hati nuraninya (2). Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (3).(Pasal
28E, UUD 1945)
Ancaman terhadap iklim demokrasi di
Indonesia terus menguat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu No. 2/2017) tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Presiden Jokowi mengesahkan Perppu No. 2/2017 ini pada Senin, 10/7/2017.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto menegaskan bahwa
kehadiran Perppu ini adalah untuk melakukan penertiban terhadap Ormas dan
mencegah penyebaran ideologi anti pancasila.
Berbagai dalih lainnya juga telah dilontarkan
oleh pemerintah seperti mencegah
penyebaran paham anti pancasila, menjaga stabilitas, dan pemberantasan terhadap
terorisme. Kenyataanya adalah rezim Jokowi-JK ingin memastikan seluruh
aktifitas politik dapat dikontrol dan tidak mengganggu jalannya roda
pemerintahan, layaknya rezim fasis Soeharto pada era Orde Baru. Pemerintah
menjadi lembaga satu-satunya yang berwenang menilai tingkat aktifitas politik
rakyat dalam organisasi tanpa perlu membuktikan dan mengujinya. Dengan
demikian, kebijakan Rezim Jokowi-JK saat ini secara sistematis dan bertahap merupakan
bagian dari upaya memberangus demokrasi di Indoensia.
Pemberlakuan Perpu No. 2/2017 menjadi pukulan
baru bagi rakyat dan organisasinya. Dalam Perppu No. 2/2017, terdapat Pasal 59
yang mengatur tentang larangan terhadap
Ormas. Beberapa poin dalam Pasal tersebut bersifat parsial dan menyudutkan
rakyat. Misalnya, larangan mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, kegiatan
separatis yang mengancam kedaulatan negara, dan menganut, mengembangkan,
menyebarkan ajaran/paham anti pancasila. Larangan-larangan tersebut sangat
rawan digunakan oleh pemerintah untuk melayangkan tudingan sepihak kepada
Ormas-Ormas yang dinilai melakukan pelanggaran.
Dalam kondisi krisis saat ini,
penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh imperialisme pimpinan AS beserta
tuan tanah besar, borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat semakin
massif terhadap rakyat di Indonesia. Gelombang perlawanan rakyat atas berbagai
kebijakan yang tidak adil akan terus meningkat.
Di perkotaan, perjuangan buruh dalam
menuntut dicabutnya PP No. 78/2015, melawan politik upah murah, PHK, pemberangusan
serikat, dan hak-hak lainnya kian hari akan kian masif. Untuk membendung
perjuangan buruh, tudingan atas pelarangan yang terdapat dalam Perppu sangat
rawan digunakan untuk menuduh serikat buruh yang dinilai mengancam keadulatan
negara, stabilitas ekonomi, dan mengganggu investasi modal asing di Indonesia.
Di pedesaan, perjuangan kaum tani terus
maju dan membesar untuk melawan sistem setengah feodal yang melanggengkan
perampasan dan monopoli tanah. Saat ini, rakyat juga menentang program keji dan
jahat yang merampas jutaan hektar tanah rakyat melalui pembangunan
infrastruktur skala besar. Selain menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk
meredam perjuangan rakyat, Perppu ini akan memudahkan pemerintah untuk memukul
gerakan kaum tani melalui organisasinya. Kaum tani yang berjuang merebut hak atas
tanah dan kehidupannya bisa dengan mudah dituding mengganggu keteriban, bahkan
dituduh separatis, dan akan mendapatkan sanksi pidana hingga pembubaran paksa.
Begitu pula dengan gelombang pasang
aksi-aksi rakyat di sektor lain, seperti: perjuangan mahasiswa di kampus-kampus
untuk menolak privatisasi dan komersialisasi pendidikan, pencabutan subsidi
pendidikan, kaum miskin perkotaan yang melawan penggusuran, dan gerakan rakyat
tertindas lainnya yang secara konkrit dan tegas menentang seluruh kebijakan
rezim yang anti rakyat dan memiskinkan rakyat akan mudah mendapat tudingan yang
sama.
Perppu No. 2/2017 memperkuat posisi
pemerintah sebagai kekuasaan tunggal dalam mengatur dan menilai aktfitas Ormas.
Posisi ini akan sangat membahaykan bagi rakyat. Pemerintah diberikan kewenangan
berdasarkan Perppu ini untuk menilai, menetapkan dan memberikan sanksi bagi
Ormas. Setidaknya terdapat dua poin utama yang menjadi penekanan atas bahaya
ini.
Pertama,
Perppu tersebut melegitimasi peran absolut
Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM untuk
memberikan tudingan, tuduhan, hingga penjatuhan sanksi pada Ormas yang dinilai
melanggar Perpu. Artinya, segala aktifitas politik Ormas akan secara subjektif
mendapat penilaian dari pemerintah tanpa melalui proses pengadilan. Kewenangan
ini dapat menjadi jalan pintas bagi pemerintah untuk membubarkan Ormas. Selain
tanpa melalui pengadilan untuk membutikan kesalahan, pemerintah juga meniadakan
aturan tentang tahap pemberian surat teguran/peringatan yang diatur dalam UU
Ormas sebelumnya yakni sebanyak tiga tahap. Perppu ini hanya memberlakukan satu
tahap dan berdurasi tujuh hari yang selanjutnya diteruskan ke tahap sanksi
penghentian kegiatan hingga pembubaran.
Kedua,
adanya sanksi pidana bagi anggota Ormas yang dinilai
tidak mengindahkan larangan Perppu berdasarkan subjektifitas dan otoritas
pemerintah. Penjatuhan sanksi pidana bagi anggota/pengurus Ormas didasarkan
pada aturan tentang larangan dalam Perppu tersebut. Hal ini dapat memicu
semakin banyaknya tindakan intimidasi dan kriminalisasi terhadap rakyat.
Berbagai aktifitas politik dari rakyat yang berjuang akan terus dibenturkan
dengan berbagai penangkapan hingga penahanan.
Di tengah krisis akut dalam tubuh
imperialisme dan negeri negeri bonekanya seperti Indonesia, seluruh rezim kaki
tangan imperialisme akan terus melakukan penetrasi aktif untuk meningkatkan
kadar fasismenya. Kehadiran Perpu No. 2/2017 menjadi alat baru pemberangus
demokrasi, penghambat kemajuan rakyat dan tirani bagi perjuangan organisasi
rakyat. Dengan demikian, perjuangan rakyat bersama kekuatan pokok klas buruh
dan kaum tani harus menutut pemerintah untuk segera membatalkan Perppu No.
2/2017 dan menjamin iklim demokrasi tetap berjalan baik. Oleh karena itu, Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional menyerukan
kepada seluruh tingkatan organisasi untuk melakukan aksi serentak pada hari Kamis,
20 Juli 2017di Pusat-pusat pemerintahan.
Pimpinan
Pusat Front Mahasiswa Nasional menyatakan tuntutan dan
sikapnya:
- Menolak dan Menuntut Agar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2017 segera dicabut.
- Menentang seluruh tindakan anti demokrasi di kampus, berupa pelarangan berorganisasi, berdemonstrasi, pembubaran kegiatan, hingga penjatuhan sanksi Drop Out bagi mahasiswa yang berjuang di kampus.
- Menentang segala tudingan dari rezim Jokowi-JK terhadap gerakan dan organisasi rakyat.
- Melawan seluruh upaya pemerintah untuk memberangus demokrasi dan gerakan rakyat.
- Mengajak seluruh mahasiswa untuk terlibat aktif dalam persatuan bersama rakyat untuk melawan seluruh skema dan kebijakan yang anti rakyat dan anti demokrasi dari pemerintah.
Jakarta,
18 Juli 2017
Hormat Kami,
Pimpinan
Pusat
Front
Mahasiswa Nasional
Symphati
Dimas Rafi’i
Ketua
Umum
0 komentar:
Posting Komentar