“Lawan Segala Bentuk Pemberangusan Demokrasi di dalam Kampus”
Diterbitkan
Oleh:
Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional
Pengantar
Demokrasi menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan bangsa Indonesia. Proses untuk
melahirkan iklim demokrasi di Indonesia terus dilakukan bahkan pasca gerakan
demokratis Mei 1998. Upaya tersebut dilakukan oleh berbagai elemen dan unsur
masyrakat, khususnya gerakan rakyat. Hal ini tidak lain bertujuan untuk terus
memajukan iklim demokrasi di Indonesia. Perjuangan untuk menegakkan demokrasi
pasca Orde Baru terus mendapat tentangan dari rezim yang berkuasa. Pasalnya,
secara esensial rezim pasca Orde Baru tetap merupakan pemerintah boneka dan
anti demokrasi. Rakyat selalu dibelenggu oleh kemiskinan yang kian akut dan
pengekangan terhadap aspirasi politik rayat untuk berjuang terus dilakukan oleh
pemerintah, tidak terkecuali pada rezim Jokowi.
Perjuangan tersebut
terus dilakukan hingga saat ini. Di bawah pemerintahan Jokowi, bukan berarti
kondisi demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Saat ini, dinamika dan
perkembangan demokrasi tetap menjadi sorotan penting. Pasalnya, lebih dari tiga
tahun berkuasa, Pemerintahan Jokowi juga tetap melanjutkan tongkat estafet dari pemerintah sebelumnya dalam hal demokratisasi.
Di tengah situasi ekonomi dan kemerosotan hidup rakyat yang semakin dalam,
perjuangan rakyat untuk menuntut dan mempertahankan hak-hak dasarnya semakin
luas terjadi. Namun demikian, perjuangan rakyat hingga saat ini masih terus
dihadapkan dengan tindakan represif hingga kriminalisasi.
Tindasan terhadap
rakyat terus terjadi seiring dengan menguat dan meluasnya perjuangan rakyat di
berbagai sektor dan tempat di Indonesia. Hal ini tidak lain adalah upaya
pemerintahan Jokowi untuk memastikan percepatan berjalannya skema dan
programnya. Seluruh skema rezim Jokowi melalui 15 jilid Paket Kebijakan Ekonomi
secara esensi adalah upaya untuk memfasilitasi kepentingan modal dari
imperialis AS untuk melakukan penetrasi yang makin dalam di Indonesia. Seluruh
paket kebijakan ekonomi tersebut tidak lain untuk memfasilitasi investasi,
hutan luar negeri, mempercepat perizinan usaha, menjaga upah murah bagi buruh,
perampasan tanah untuk infrastruktur, dan pencabutan subsidi sektor publik.
Kian lama memerintah, rezim Jokowi semakin membuka kedok aslinya sebagai rezim fasis. Rezim
Jokowi tidak pernah berhenti untuk menindas rakyat dengan kekerasan demi
memastikan lancarnya skema dan program rezim untuk melayani imperialis,
borjuasi besar komprador dan tuan tanah. Kini, rakyat kembali dipukul dengan
diterbitkannya Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) yang menjadi ancaman baru
bagi demokrasi di Indonesia.
Perppu
Ormas: Ancaman Bagi Gerakan Mahasiswa
Demi keberlangsungan
dikte dari imperialisme AS di Indonesia, rezim Jokowi bersama dengan borjuasi
besar komprador dan tuan tanah terus melahirkan berbagai kebijakan dan
peraturan. Saat ini, Perppu Ormas menjadi pukulan nyata bagi gerakan rakyat. Dalam
Perppu Ormas terdapat berbagai aturan yang makin mempersempit ruang demokrasi,
dan meneror rakyat dengan sanksi pidana. Dalam penerapannya, Perppu ini berlaku bagi seluruh
organisasi rakyat: ormas tani, ormas
buruh, ormas pemuda-mahasiswa, ormas perempuan, ormas suku bangsa minoritas,
organisasi kaum profesional seperti wartawan, dokter, dosen, guru, pengacara,
bidan, dan lain-lain.
Dalam Perppu Ormas,
terdapat Pasal 59 yang mengatur tentang larangan terhadap Ormas. Beberapa
poin dalam Pasal tersebut bersifat parsial dan menyudutkan rakyat. Misalnya,
larangan mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, kegiatan separatis yang
mengancam kedaulatan negara, dan menganut, mengembangkan, menyebarkan
ajaran/paham anti pancasila. Larangan-larangan tersebut sangat rawan digunakan
oleh pemerintah untuk melayangkan tudingan sepihak kepada Ormas-Ormas yang
dinilai melakukan pelanggaran.
Perppu Ormas
memperkuat posisi pemerintah sebagai kekuasaan tunggal dalam mengatur dan
menilai aktfitas rakyat dalam memperoleh
hak berserikatnya. Kondisi ini akan melemahkan posisi rakyat di hadapan
kekuasaan politik. Pemerintah diberikan kewenangan berdasarkan Perppu ini untuk
menilai, menetapkan dan memberikan sanksi bagi Ormas. Setidaknya terdapat dua
poin utama yang menjadi penekanan atas bahaya ini.
Pertama, Perppu tersebut
melegitimasi peran absolut Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Hukum dan HAM untuk memberikan tudingan, tuduhan, hingga penjatuhan sanksi pada
Ormas yang dinilai melanggar Perpu. Artinya, segala aktifitas politik Ormas
akan secara subjektif mendapat penilaian dari pemerintah tanpa melalui proses
pengadilan. Kewenangan ini dapat menjadi jalan pintas bagi pemerintah untuk
membubarkan Ormas. Selain tanpa melalui pengadilan untuk membutikan kesalahan,
pemerintah juga meniadakan aturan tentang tahap pemberian surat
teguran/peringatan yang diatur dalam UU Ormas sebelumnya yakni sebanyak tiga
tahap. Perppu ini hanya memberlakukan satu tahap dan berdurasi tujuh hari yang
selanjutnya diteruskan ke tahap sanksi penghentian kegiatan hingga pembubaran.
Kedua, adanya sanksi pidana
bagi anggota Ormas yang dinilai tidak mengindahkan larangan Perppu berdasarkan
subjektifitas dan otoritas pemerintah. Penjatuhan sanksi pidana bagi
anggota/pengurus Ormas didasarkan pada aturan tentang larangan dalam Perppu
tersebut. Hal ini dapat memicu semakin banyaknya tindakan intimidasi dan
kriminalisasi terhadap rakyat. Berbagai aktifitas politik dari rakyat yang berjuang
akan terus dibenturkan dengan berbagai penangkapan hingga penahanan.
Perppu Ormas
diterbitkan dengan dalih untuk mencegah penyebaran ideologi anti pancasila,
menjaga stabilitas, dan pemberantasan terhadap terorisme. Sesungguhnya ini hanya
dalih yang tak memiliki dasar kuat. Tujuan Perppu Ormas sesungguhnya adalah
untuk dapat secara leluasa memukul organisasi
rakyat dan aktivisnya melalui tindakan represifitas, kriminalisasi bahkan
hingga penahanan seumur hidup. Hal ini dapat dilihat dari seluruh tindakan rezim
Jokowi yang memang mencerminkan rezim yang fasis dan anti demokrasi.
Aksi buruh, tani,
mahasiswa, kaum miskin di perkotaan kerap menjadi bulan-bulanan aparat pemerintah baik Kepolisian maupun TNI.
Pemberangusan serikat buruh masih terus terjadi, dalam penggusuran
perkammpungan kaum miskin di perkotaan pemerintah selalu melibatkan kepolisian
dan TNI untuk memukul rakyat.
Berdasarkan data Aliansi
Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dalam kurun waktu dua tahun pemerintahan Jokowi-JK (Oktober
2014 hingga Mei 2016), terdapat 49 kasus tindak kekerasan dan kriminalisasi
yang dialami oleh rakyat yang konsisten mempertahankan dan atau menuntut haknya
atas tanah. Tindak kekerasan telah terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di
tembak, 144 luka-luka, 854 orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120
orang dikriminalisasi. Hal ini juga terjadi di Papua, di mana sedikitnya 5000
orang yang terdiri dari kaum tani, suku bangsa minoritas dan masyarakat
pedesaan ditangkap oleh aparat.
Penelitian INDIES (2017) menemukan
bahwa militer terlibat dalam berbagai bentuk tindakan untuk melancarkan
berbagai proyek infrastruktur nasional, seperti pembangunan Dam Jatigede dan
Bandara Internasional Jawa Barat, pembangunan industri PT. Semen Indonesia di
Jawa Tengah. Selain itu, militer juga terlibat langsung dalam penggusuran
Kampung Pulo di DKI Jakarta. Keterlibatan militer berupa tindakan pengamanan
operasi perusahaan, intimidasi, kekerasan fisik, penangkapan, memfasilitasi
proses ganti rugi yang tidak adil, penggusuran, hingga terlibat langsung
membongkar dan mendirikan rumah warga yang digusur. Keterlibatan militer akan
terus meningkat sebagai bentuk fasilitasi pemerintah bagi investasi dalam
percepatan pembangunan infrastruktur berdasarkan Program Strategis Nasional
(PSN).
Khusus di sektor
pemuda mahasiswa, rezim Jokowi juga semakin intensif untuk melakukan tindakan
anti demokrasinya. Tindasan fasis rezim Jokowi semakin kuat terjadi di berbagai
kampus dan memukul gerakan mahasiswa. Lebih
lanjut lagi, berbagai upaya perjuangan mahasiswa di dalam kampus juga semakin
dikebiri dengan berbagai tindakan anti demokrasi baik oleh pihak kampus maupun
aparat negara. Di dalam kampus mahasiswa juga terus dikebiri dan dirampas hak
politiknya. Melalui Surat Edaran Dikti tentang pelarangan organisasi dan SK
Rektor pendukungnya, kampus selalu melakukan pemberangusan terhadap gerakan
mahasiswa. Tindakan tersebut meliputi pelarangan berorganisasi, pembubaran
kegiatan dan aktifitas di dalam kampus, hingga pemecatan (DO) kepada mahasiwa
yang melakukan demonstrasi.
Sejarah gerakan mahasiswa yang mampu membuktikan sebagai salah
satu kekuatan pendorong perubahan membuat rezim terus melakukan tekanan dan
tindasannya. Pasca gerakan demokratis 1998, mahasiswa terus dipaksa untuk hanya
menempati bangku-bangku kuliahnya,
proses depolitisasi semakin masif dilakukan. Organisasi-organisasi mahasiswa,
seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) juga kerap menjadi sasaran tindasan.
Seperti yang pernah terjadi di Universitas Indonesia pada tahun 2009, BEM
Universitas dibekukan oleh Rektorat lantaran melakukan aksi menuntut
transparansi dana Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Begitu juga BEM UGM pada
tahun 2011, pasca melakukan aksi protes pemberlakuan Kartu Identitas Kendaraan
(KIK), pihak Rektorat meminta BEM UGM menyerahkan nama-nama mahasiswa yang
melakukan aksi, namun hal tersebut tidak dipenuhi oleh BEM UGM, imbasnya adalah
pembekuan melalui penahanan anggaran kegiatan.
Sejak April 2016 hingga Agustus 2017 pemerintah melalui kampus
maupun aparat secara langsung telah melakukan 6 kali pemburan aksi dan kegiatan
di Univ Telkom Bandung yang membubarkan diskusi dan lapak baca, perpustakaan jalanan di Taman Cikapayang Bandung,
Sleman DIY, aksi di Univ Muhammadiyah Mataram, aksi di Universitas Andalas
Padang, Aksi selebaran di Kota Bogor. Skorsing terhadap 115 mahasiswa juga
dilakukan di ITB akibat melakukan protes. Sementara itu, sebanyak 24 mahasiswa
UMSU mendapat sanksi DO karena melakukan aksi demonstrasi di kampusnya.
Lebih jauh lagi, rezim Jokowi melalui kampus dan aparatnya juga
tidak segan melakukan intimidasi dan tindak kekerasan terhadap mahasiswa yang
menyampaikan aspirasinya, melakukan kritik dan berkegiatan, tercatat 192 orang
mahasiswa menjadi korban dari tindasan fasis rezim Jokowi. Sementara itu,
mahasiswa yang menjadi korban penangkapan dan kriminalisasi akibat kampus yang
anti demokrasi sebanyak 190 orang.
Data dan fakta tersebut menunjukan bukti bahwa tindasan fasis rezim
Jokowi sudah tertancap kuat hingga ke kampus-kampus. Hal ini membuktikan bahwa
kampus juga menjadi salah satu instrumen yang digunakan pemerintah untuk
melegitimasi dan menjaga kepentingan rezim berkuasa. Kampus hanya
diorientasikan untuk terus memproduksi dan mereproduksi pengetahuan yang tidak ilmiah
dan mengabdi pada kemajuan rakyat. Iklim demokrasi di dalam kampus juga semakin
dikikis dengan berbagai program kerjasama dan kurikulum yang tidak ilmiah.
Universitas Indonesia yang merupakan prototype
kampus di Indonesia justru terus menjauhkan mahasiswanya dari aktivitas
demokratis mahasiswa dan kenyataan masalah rakyat. Berbagai kebijakan
dikeluarkan untuk mengekang kebebasan politik mahasiswa; mulai dari pelarangan
aktifitas bagi organisasi massa, pemberlakuan Jam Malam, sulitnya mengakses
fasilitas bagi kegiatan politik yang kritis, pembubaran kegiatan diskusi juga
kerap terjadi. FMN juga pernah mengalaminya secara langsung, setidaknya dua
kali kegiatan yaitu Open Rekrutmen dan Diskusi mendapat intimidasi dan
pembubaran yang dilakukan oleh pihak keamanan kampus UI dengan alasan perizinan
(tempat yang digunakan adalah ruang terbuka untuk umum).
Belum lagi upaya depolitisasi yang terus dilakukan dengan berbagai
bungkus kegiatan seperti seminar dan kuliah umum. UI belum lama ini telah
mengundang Panglima TNI pada smester lalu dan Menteri Pertahanan pada kegiatan
Ospek tahun ini. Keduanya menyampaikan hal-hal yang justru membuat mahasiswa
menjadi apolitis, hanya menyerukan mahasiswa untuk mencintai bangsa dengan
pandangan sovinis, dan berusaha
mencerabut peran politik mahasiswa sebagai tenaga pendorong perubahan sejati di
negeri ini. Hal-hal serupa juga kerap terjadi di berbagai kampus lainnya di
Indonesia. Skema ini selalu dibungkus dengan dalih Bela Negara, penguatan
pancasila dan lainnya. Namun, dapat kita kritisi dan lihat dengan jelas bahwa rezim
Jokowi dan seluruh instrumen kekuasaanya-lah yang tidak pernah membela negara
dan mencintai bangsa. Rezim Jokowi hanya mementingkan skema milik imperialis,
menggadaikan kekayaan alam, menjual rakyat Indonesia menjadi tenaga kerja
murah, hingga menindas rakyat dengan kekerasan. Pada hakekatnya adalah
instrumen untuk menancapkan ide dan gagasan anti rakyat.
Semua
skema pemberangusan demokrasi tersebut terjadi sebelum lahirnya Perppu Ormas.
Sehingga dapat dipastikan bagaimana kemudia operasionalisasi Perppu Ormas di
kampus-kampus. Terlebih Menteri Polhukam telah melakukan provokasi dengan
menyerukan kepada Rektor dan pemimpin Universitas untuk menindak tegas
organisasi ataupun mahasiswa yang dinilai mengancam dan membuat ketidaknyamanan
di kampus. Hal ini adalah tanda bahaya bagi
mahasiswa yang selalu memiliki keinginan untuk berjuang dan semangat perubahan
yang tinggi. Kedepan jika kondisi ini terus dibiarkan, maka akan semakin banyak
lagi organisasi mahasiswa dan aktivis mahasiswa yang mendapat tudingan, label, intimidasi, hingga kekerasan dan
kriminalisasi akibat Perppu Ormas ini.
Perkuat dan Perluas
Perjuangan Mahasiswa Bersama Rakyat: Lawan Rezim Fasis Jokowi!
Perkembangan
atas kondisi rakyat yang semakin terhisap dan tertindas di bawah rezim Jokowi
JK harus selalu direspon oleh peningkatan gelombang perjuangan pemuda mahasiswa
dan rakyat yang semakin besar. Berbagai kebijakan dan program anti rakyat yang
dijalankan oleh Jokowi-JK harus mendapat perlawanan kuat melalui perjuangan
massa. Hal tersebutlah yang menjadikan mahasiswa harus semakin memperbesar dan
memperluas perjuangannya demi memajukan perjuangan massa mahasiswa.
Mahasiswa
harus benar-benar mampu menjadikan kampus sebagai benteng pertahanan rakyat. Kampus-kampus
haruslah disulap menjadi ruang-ruang
ilmiah untuk membongkar seluruh skema dari rezim Jokowi-JK. Selain itu,
mahasiswa harus bangkit untuk membangun organisasi sejati yang memiliki
pandangan dan pendirian yang tegas atas seluruh situasi dan jalan keluar bagi
penderitaan rakyat. Mahasiswa harus mampu memahami bahwa di tengah belenggu
sistem setengah jajahan dan setengah feodal di Indonesia, hanya organisasi yang
berperspektif demokratis nasional yang memiliki hari depannya dalam berjuang
bersama rakyat.
Atas
seluruh kondisi tersebut, Front Mahasiswa Nasional bersama mahasiswa di seluruh
Indonesia menyatakan sikap yang tegas bahwa Menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dengan menuntut:
- Cabut segera Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Batalkan seluruh Sanksi Drop Out dan Kriminalisasi lainnya terhadap Mahasiswa yang memperjuangkan hak-haknya.
- Cabut SK Dirjen Dikti No 26/2002 Tentang pelarangan organisasi ekstra kampus dan SK Rektor Pendukungnya. Peraturan yang nyata-nyata telah membatasi kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa.
- Hentikan segala bentuk pembatasan dan pelarangan dalam berorganisasi, berpendapat, dan bereksperesi terhadap mahasiswa dan seluruh rakyat.
- Hentikan seluruh tindasan berbentuk intimidasi, terror, kriminalisasi dan berbagai bentuk kebijakan fasis lainnya yang telah dan akan memberangus demokrasi, melanggar Hak Asasi Manusia dan membelenggu hak politik rakyat dalam berjuang.
- Hentikan depolitisasi melalui Program Bela Negara Palsu, yang hanya membodohi pelajar dan mahasiswa.
Jayalah Perjuangan
Massa !
Jayalah Pemuda
Mahasiswa !
Lawan Fasisme Di
Kampus !
0 komentar:
Posting Komentar