“Front Mahasiswa Nasional Mendukung
Perjuangan Kaum Tani dan Rakyat Indonesia Untuk Melawan Reforma Agraria Palsu
Jokowi dan Berjuang Bersama Mewujudkan Reforma Agraria Sejati dan Industri
Nasional, Serta Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Kepada Rakyat ”
Masalah agraria di Indonesia merupakan masalah yang tidak kunjung selesai. Masalah utama
dari sektor agraria disebabkan oleh masifnya praktik perampasan dan monopoli
tanah yang dilakukan oleh perusahaan asing, perusahaan besar dalam negeri, dan
negara yang hakikatnya merupakan tuan tanah. Kepentingan untuk merampas dan memonopoli
tanah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tujuan untuk terus menambah penguasaan dan super profit bisnisnya.
Dalam sejarahnya, kelahiran
peraturan dari pemerintah kolonial
Belanda mengenai agraria dalam Agrarische Wet tahun 1870
menekankan pembukaan izin besar-besaran bagi modal asing atau perusahaan asing
untuk melakukan sewa tanah dan membangun perusahaanya di Indonesia. Kebijakan
tersebut adalah upaya dari kolonial Belanda untuk terus mengintensifkan
perputaran kapital dan akumulasi keuntungan demi menyelamatkan dirinya dari
terpaan krisis ekonomi dan finansial. Oleh karenanya, pada tahun 1870 Indonesia
menjadi sasaran serbu dari perusahaan-perusahaan asing untuk melakukan
perampasan tanah rakyat. Pada saat itu pula berkembang secara pesat
perkebunan-perkebunan milik asing dan tuan tanah khususnya di wilayah Jawa dan
Sumatera.
Pada
perkembangannya, Agrarische Wet tahun 1870 telah batal dan
tidak berlaku dengan sendirinya karena telah diberlakukan suatu peraturan agraria
nasional. Pada 24 September 1960, pemerintah Indonesia telah resmi mengeluarkan
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Momentum tersebut
selain menjadi dasar untuk menganulir dan menghapus seluruh peraturan dari era
kolonial juga menjadi momentum dideklarasikannya Hari Tani Nasional. Hal ini
merupakan tonggak maju perjuangan rakyat Indonesia untuk berdaulat di atas
tanahnya.
Namun, problem agraria tidak juga terselesaikan.
Di bawah rezim Jokowi yang telah memimpin lebih dari tiga tahun, problem agraria dan kehidupan kaum tani
tidak juga menjadi lebih baik. Ekspor kapital milik imperialis khususnya AS
semakin intensif dan masif ke Indonesia. Asean
Business Outlook Survey 2016 menunjukkan bahwa Indonesia adalah
negara tujuan investasi di kawasan ASEAN yang paling diminati perusahaan.[1]
Rezim Jokowi-JK terus memberikan “karpet merah” bagi investasi imperialis,
khususnya Amerika Serikat di Indonesia.Dalam Investment Report Executive Summary oleh AmCham Indonesia dan U.S
Chamber of Commerce (USCC) ditegaskan bahwa untuk memasifkan investasi
dibutuhkan iklim investasi yang baik dan menghilangkan kerumitan birokrasi yang
ada di Indonesia. AS menargetkan nilai kegiatan ekonomi Indonesia-Amerika akan
naik 46,2 persen dari US$ 90,1 miliar pada 2014 menjadi US$ 131,7 pada 2019.[2]
Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia harus mengimplementasikan peraturan dan
kebijakan yang tepat.
Salah satu imbas besar dari
dikte dan penetrasi imperialisme di Indonesia adalah meningkatnya perampasan
dan kian besarnya monopoli tanah. Kepemilikan atas
tanah semakin timpang. Sebagian besar tanah dan SDA,
masih tersentral ditangan segelintir orang (tuan tanah), baik swasta (asing dan
dalam Negeri) maupun oleh Negara. Orientasi
penguasaan tanah utamanya untuk pengembangan dan perluasan Perkebunan,
Pertambangan, Hutan, Taman Nasional, Infrastruktur, Properti Komersil.
Kondisi Kaum Tani dan Masalah Agraria di Bawah Rezim Jokowi
Hingga saat ini, pola dan
skema perampasan serta monopoli tanah masih terus terjadi. Kondisi tersebut
justru secara jelas dipertahankan oleh negara. Perusahaan-perusahaan besar
terus mengintensifkan perampasan dan monopoli tanah di Indonesia. Sebut saja
seperti, PT. Salim Group (penguasaan
areal kelapa sawit),
sekitar 1.155.745 Ha. Kemudian Wilmar International Group,
sekitar 210.000 Ha. Sementara Sinar Mas Group menguasai
tanah 2.309.511 hektar, Riau Pulp Group 1.192.387 hektar, Kayu Lapis Indonesia
(KLI) Group
1.445.300 Hektar, Alas Kusuma Group
1.157.700 Hektar, Barito Pasifik Group
1.036.032, Korindo Group
951.120 hektar, Jati Group
965.410 dan Suma Lindo Lestari Jaya Group
515.000 Hektar. Belum lagi, negara juga semakian mengokohkan posisi sebagai
tuan tanah (tipe baru) yang juga berperan langsung dalam melakukan monopoli dan perampasan tanah rakyat. Hal ini dapat terlihat
dari penguasaan secara luas tanah-tanah seperti, Taman Nasional (TN). Di seluruh kawasan Indonesia TN berjumlah 50, dengan total luasan 16.209.393 Ha yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Dan, dalam
bentuk PTPN, Negara juga melakukan monopoli tanah seluas ± 1,5 Juta Ha yang
tersebar di seluruh Indonesia, yang terdiri dari PTPN
I sampai XIV. Sedangkan Inhutani I-V melakukan monopoli tanah seluas
± 899.898.
Penguasaan tanah untuk sektor
perkebunan dan pertambangan saat ini sudah menguasai tanah mencapai 41,87 juta
ha. Perkebunan sawit yang hanya dikuasai oleh 25 tuan tanah besar swasta, sudah
mencapai 29 juta ha izin perkebunan, dimana 13 juta ha diantaranya sudah
ditanami sawit. Jumlah tersebut bahkan belum termasuk luas lahan perkebunan
yang dikuasai oleh Negara.
Sedangkan
untuk kawasan hutan, terdapat 531 konsesi hutan skala besar yang diberikan
diatas lahan seluas 35,8 juta ha. Jumlah yang tentu saja sangat timpang dengan
izin Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD) dan, Hutan Tanaman Hakyat
(HTR) yang terbagi dalam 60 izin, dimiliki oleh 257.486 KK (1.287.431 jiwa)
diatas lahan seluas hanya 646.476 Ha. Di Jawa Timur saja, monopoli tanah untuk
kawasan hutan sudah mencapai 1.691.026,2 ha yang terbagi dalam perusahaan
nasional dan swasta, dimana Negara sebagai pemegang konsesi terbesar mencapai
1.646.695,53 Ha melalui Perhutani, Taman Nasional, Tahura dan PTPN. Sedangkan
perusahaan swasta, mencapai 44.330,67 ha. Disektor pertambangan, terdapat
sekitar 8.000 izin pertambangan diatas lahan mencapai 2.519.415,82 ha (Per Juni 2012).
Kemiskinan dan kemerosotan hidup kaum tani dan masyarakat pedesaan,
semakin parah dengan mahalnya Sarana Produksi Pertanian (Saprotan), dan
rendahnya hasil produksi pertanian akibat maraknya liberalisasi disektor
pertanian, serta potongan lansung atas upah dan pendapatan kaum tani. Berbagai
skema liberalisasi pertanian, diantaranya: Sistem perkebunan Inti-Plasma,
Kemitraan, potongan upah dan pendapatan tani dan buruh perkebunan sawit dengan
skema Pendanaan Minyak Sawit (CPO Fund), dan PIS-AGRO.
Program
Kemitraan untuk Pertanian Berkelanjutan Indonesia (Partnership for Indonesian sustainable Agriculture: PIS-AGRO), yakni
kerjasama liberalisasi pertanian yang lahir dari
Forum Ekonomi Dunia di tahun 2012 sebagai satu bentuk baru dari penjarahan
kapitalis monopoli dan kaki-tangannya di dalam negeri. Program
kerjasama ini secara lansung berada dibawah kontrol imperialisme melalui Bank
Dunia, IFC dan korporasi monopoli sarana dan pasar produksi pertanian milik
imperialis lainnya, seperti: Nestle, Unilever, Syngenta, Bayer,
mckinsey&Company, Sinar Mas, Indofood, Monsanto, Duppont, Cargill, BASF,
Louis Dreyfus Commodities, IDH, Mercy Coprs Indonesia, Tiga Pilar Sejahtera,
BT-Cocoa, Kirana Megatara, Gunung Sewu Group, Rabo Bank dan, Bank Mandiri.
Kondisi tersebut
menyebabkan kemiskinan yang makin akut, khususnya yang melanda kaum tani di
perdesaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per-Maret 2016 yang
dirilis pada tanggal 18 Juli lalu menyebutkan bahwa, angka kemiskinan di
Indonesia mencapai 28,1 juta jiwa (10,86%),
dengan persebaran 10,4 juta jiwa diperkotaan
dan 17,67 juta jiwa di pedesaan. Angka tersebut ditetapkan berdasarkan standar
pendapatan minimum yang ditetapkan oleh bank dunia (Wolrd Bank) dan PBB sebesar
2 dollar AS perhari. Menurut BPS, upah riil buruh
tani harian secara nasional pada September 2016 juga mengalami penurunan
sebesar 0,38 persen dari Rp 37.290 pada Agustus
menjadi Rp 37.259. Jika mengacu pada standar kemiskinan yang digunakan pemerintah, maka
buruh tani sekalipun bukanlah kategori “orang misikin”.
Represifitas terhadap kaum tani dan rakyat
juga mengalami peningkatan seiring dengan massifnya monopoli dan perampasan
tanah. AGRA mencatat bahwa dalam waktu dua tahun pemerintahan Jokowi-JK,
setidaknya ada 49 kasus tindak kekerasan dan kriminalisasi yang dialami oleh
rakyat yang mempertahankan dan atau menuntut haknya atas tanah. Tindak
kekerasan terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854
orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi. Bahkan
dalam dua bulan (Juli – Agustus 2016), sekitar 200 petani ditangkap dan
dikriminalisasi dengan tuduhan pembakar lahan. Dalam 4 bulan (Mei – Agustus
2016) sedikitnya 5,000 orang petani dan masyarakat pedesaan di Papua ditangkap
paksa oleh aparat.
Kondisi yang serupa juga belum lama terjadi
di Kab. Lombok Timur-NTB. Pada
16 September 2017, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) telah melakukan
perampasan tanah dan pengusiran paksa terhadap kaum tani desa Bebidas, Lombok
Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini dilakukan melalui Operasi Gabungan yang menurunkan 700 personil (Polhut, Polisi dan TNI) untuk menggusur kaum
tani dari lahan seluas 300 Ha yang telah dikelola oleh petani sejak zaman
kolonial Belanda. Wilayah ini diklaim pemerintah sebagai kawasan TNGR berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan (SK. Menhut) Nomor: 280/Kpts-IV/1997 dengan luas
wilayah 41.330 Ha. Pemerintah
Indonesia secara sepihak menetapkan kawasan tersebut sebagai wilayah Taman
Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang terdiri dari 2 (dua) wilayah
pengelolaan dalam bentuk seksi konservasi wilayah, yaitu: seksi wilayah
konservasi I menangani wilayah yang berada di kawasan kabupaten Lombok Barat
(sekarang menjadi wilayah administratif Kabupaten Lombok Utara) dengan luas
12.357,67 Ha (30%) yang terdiri dari 3 resort yaitu; resort Anyar,
Santong dan Senaru. Seksi konservasi wilayah II yang terdiri dari wilayah
kabupaten Lombok Timur dengan luas 22.152,88 Ha (53%) dan wilayah kabupaten
Lombok Tengah dengan luas 6.819,45 (17%) yang terdiri dari 6 (enam) resort
yaitu; resort Aikmel, Kembang Kuning, Joben, Sembalun, Aik Berik dan Stiling.
Skema ini merupakan bentuk nyata dari program Perhutanan Sosial yang merupakan
bagian dari program Reforma Agraria pemerintah Jokowi.
Demi memastikan program tersebut, pemerintah
melakukan Operasi Gabungan untuk mengusir kaum tani desa Bebidas. Operasi
Gabungan TNGR (Polhut, POLISI dan TNI)
melakukan intimidasi, kekerasan, dan penangkapan terhadap kaum tani. Mereka
juga melakukan pengrusakan saung dan tanaman berupa bawang merah dan bawang
putih. Akibatnya, 6 (enam) orang petani ditangkap, korban luka-luka sebanyak 10
orang dimana 1 (satu) diantaranya, menagalami luka berat berupa patah tulang
lutut akibat terkena tendangan dari aparat kepolisian. (6
orang yang ditangkap telah dibebaskan)
Setelah berhasil mengusir warga dari lahan,
pihak TNGR dengan menggunakan Polisi Kehutanan (POLHUT) memaksa dan
mengintimidasi rakyat untuk mendatangani surat pernyataan yang isinya adalah
pernyataan bahwa lahan tersebut adalah lahan milik TNGR, dan mengiming-imingi
petani dengan janji bahwa mereka yang bertandatangan akan diberikan hak untuk
menggarap kembali lahan tersebut melalui skema kemitraan (perhutanan sosial).
Melawan Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Rezim Jokowi
Kebijakan dan program
reforma agraria selalu menjadi kampanye dari pemerintah Indonesia sejak
Soekarno hingga Jokowi. Dalam kepemimpinannya, Jokowi telah pula menyusun
program reforma agraria. Program reforma agraria ala Jokowi ini tersusun secara
lebih rinci pada Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019
yang disusun oleh Kantor Staf Kepresidenan (KSP). KSP juga membentuk Tim Kerja
Reforma Agraria untuk menjadi pelaksan. Dalam dokumen tersebut terdapat skema dua
tahap program reforma agraria, yaitu tahap 1 (satu) reforma agraria 9 juta Ha
tanah dengan pembagian 4,5 juta Ha untuk program legislasi asset dan 4,5 Juta
Ha lainnya untuk redistribusi. Sementara itu, tahap 2 (dua) adalah 12,7 juta Ha
untuk alokasi perhutanan sosial seperti Hutan Kemasyrakatan (HKm), Hutan Desa
(HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Program
Refoma Agraria Pemerintahan Jokowi 2014 - 2019
Program
|
Skema
|
Luas lahan (Ha)
|
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)
|
||
Legalisasi
Aset
|
Tanah Transmigrasi
Belum Bersertifikat
|
0,6
juta
|
PRONA
|
3,9
juta
|
|
Hasil
Penyelesaian Konflik Lahan
|
Proses
inventarisasi
|
|
Redistribusi
Lahan
|
HGU Terlantar dan
Tanah Terlantar
|
0,4
juta
|
Pelepasan Kawasan
Hutan
|
4,1
juta
|
|
Perhutanan Sosial (PS)
|
||
Legalitas
Akses
|
Pemberian Akses
Pegusahaan Hutan dalam Periode Tertentu
|
12,7
juta
|
Sumber:
Kantor Staf Presiden, Agustus 2017
Dari
tabel diatas, Perhutanan Sosial merupakan bagian dalam program Reforma Agraria
Jokowi yang mengalokasikan 12,7 juta Ha lahan melalui pemberian akses
pengusahaan hutan dalam periode tertentu.
Kebijakan reforma agraria
Jokowi menunjukan ketidaksungguhan pemerintah untuk menyejahterakan kaum tani
dengan memberikan kaum tani kedaulatan atas tanah. Reforma Agraria Jokowi
justru semakin mengukuhkan penghisapan feodalisme dan posisi tuan tanah besar.
Pertama,
Program
legalisasi atau sertifikasi tanah hanya akan menjerumuskan kaum tani pada skema
Land Market dan Land Bank untuk kepentingan imperialis dan tuan tanah besar.
Reforma agraria yang demikian justru merupakan keberlanjutan reforma agraria
palsu peninggalan rezim SBY yang menjadi turunan program Bank Dunia berupa Land Administration Project (LAP).
Kedua,
Reforma Agraria Jokowi sama sekali tidak menyentuh penguasaan tanah korporasi
dan perusahaan. Jutaan hektar tanah yang terdiri dari perkebunan besar, hutan,
Taman Nasional, dan pertambangan tidak menjadi sasaran Reforma Agraria.
Artinya, rezim Jokowi tetap melanggengkan monopoli tanah.
Ketiga,
Reforma
Agraria Jokowi sama sekali tidak memiliki kontrol atas sarana produksi (obat,
bibit, pupuk, teknologi dan alat kerja) serta terhadap harga produk pertanian.
Pemerintah justru semakin memberi keleluasaan bagi perusahaan besar asing untuk
memonopoli sarana produksi pertanian dan melakukan kontrol terhadap harga
produk. Hal ini justru menjadi salah satu skema yang kuat membelenggu kaum tani
Indonesia.
Oleh karena itu, program
Reforma Agararia Jokowi bukan merupakan reforma agraria sejati yang diinginkan
kaum tani dan rakyat Indonesia. Melainkan reforma agraria palsu yang tidak akan
pernah menyelesaikan ketimpangan struktur agraria. Pemerintah melalui program
tersebut justru memfasilitasi tuan tanah besar.
Sementara itu, Perhutanan
Sosial (PS) bukanlah program baru di Indonesia. Perhutanan sosial atau social forestry telah dijalankan oleh
Perhutani sejak 1972 sampai tahun 1981 dengan program Prosperty Approach yakni program pembangunan hutan yang mengikutsertakan
masyarakat terutama untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan dan
kesejahteraan masyarakat.Selanjutnya, pada tahun 1982-1985, berganti menjadi
program Pembangunan Desa Hutan. Pada tahun 1986-1995 menjadi Perhutanan Sosial.
Tahun 1996-1999 perhutani mengubah lagi dengan nama Pembina Masyarakat Desa
Hutan. Kemudian mulai tahun 2000-sekarang mengantinya dengan program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Pelaksanaan program Perhutanan Sosial didasarkan atas
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,dan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan KehutananNo.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial yang
mengatur bentuk-bentuk perhutanan sosial, obyek dan subyek, serta sistem
pengelolaan termasuk pendanaan. Berdasarkan Permen Lingkungan Hidup Kehutanan
No. 83 tahun 2016, terdapat 5 (lima) bentuk perhutanan sosial, yakni Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Hutan.
Perhutanan Sosial ala Jokowi hanya mengatur pemberian
akses pengusahaan hutan dalam periode tertentu (legalitas akses), bukan
penguasaan ataupun kepemilikan atas lahan. Dari lima bentuk perhutanan sosial,
hanya hutan adat yang memiliki hak sebagai milik. 4 (empat) bentuk lainya hanya
memberikan akses hak pengelolaan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang setelah
ditinjau tiap 5 tahun. Status penguasaan tanah tetap merupakan tanah Negara.
Praktik tersebut sesungguhnya tidak jauh beda dengan
pemberian Hak Guna Usaha (HGU). Perbedaanya,dalam program perhutanan sosial,
pemerintah memiliki skema mulai dari proses pembentukan sampai sistem
pengelolaanya, termasuk menggandeng lembaga perbankan dan institusi finansial
lainnya. Harapan tani miskin dan buruh tani mendapatkan hak atas tanah tentu
tidak terjawab dengan skema ini.Perhutanan Sosial hanyalah legalisasi akses
pekerjaan (pengusahaan) bagi rakyat atas suatu lahan yang pada intinya
merupakan praktik feodal dalam pengelolaan lahan dimana negara tetap mempertahankan
posisi sebagai tuan tanah. Padahal, alokasi 12,7 juta hektar merupakan jumlah
yang sangat besar jika serius diperuntukkan untuk mengatasi ketimpangan
penguasaan lahan di Indoensia.
Hutan Adat dalam
Perhutanan Sosial kenyataanya membelakangi pengakuan dan penghormatan terhadap
masyarakat adat. Hal ini dapat
dilihat dari proses penetapan hutan adat mensyaratkan adanya kebijakan
pemerintah yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat melalui Perda.
Dalamproses pengakuanya, masyarakat hukum adat harus membuktikan keberadaanya
yang masih eksis dengan berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus diajukan
oleh Masyarakat Hukum Adat dan tentu saja ini menjadi masalah.
Pemerintah seakan lupa atau sengaja
ingin menghapus sejarahpenghancuran masyarakat adat akibat dari kebijakan
pemerintah sendiri diperiode-periode sebelumnya. Dipertentangkannya sistem
pemerintahan desa dengan sistem pemerintahan adat, dikeluarkanya berbagai ijin
seperti HPH, pertambangan, perkebunan skala besar, taman nasional dan proyek
konservasi telah menghancurkan masyarakat hukum adat dan mengusir mereka dari
wilayah adatnya
Masalah lain dari program perhutanan sosial yang sangat
mendasar terletak pada penetapan obyek. Rujukan dari obyek Perhutanan Sosial
adalah Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang di SK-kan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. SK terkini ditetapkan pada tanggal
16 Januari 2017 dengan No.22/menlhk/Setjen/PLA.0/1/2017. Ditetapkan PIAPS
seluas + 13.462.102 (tigabelas juta empat ratus enampuluh dua ribu
seratus dua) hektar. Terdiri dari Areal Perhutanan Sosial yang berada di Hutan
Produksi seluas + 5.398.422 hektar, Areal Perhutanan Sosial yang berada
di Hutan Lindung + 3.167.227 hektar, Areal Perhutanan Sosial di Lahan
Gambut seluas + 2.222.167 hektar, dan potensi areal perhutanan sosial di
wilayah 20% Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)
seluas + 2.134.286 hektar.
Perhutanan Sosial menyasar tanah-tanah yang sudah terdapat
masyarakat tinggal atau menggarap, termasuk tanah-tanah yang sedang konflik.Hal
ini menunjukan tujuan sesungguhnya dari program perhutanan sosial adalah untuk
mengkonsolidasikan tanah dan menguatkan kepastian hukum atas tanah yang telah
dikuasasi oleh rakyat sebagai tanah Negara.
Sasaran Kemitraan Hutan sangat
terang, yakni tanah-tanah yang berkonflik dan berpotensi konflik baik dengan
perusahaan swasta pemegang izin maupun dengan Negara. Sehingga, program
perhutanan sosial mematahkan perjuangan rakyat yang sedang menuntut
pengembalian tanah-tanah yang selama ini telah dirampas. Pengertian lainnya, program perhutanan sosial melegalkan
praktek perampasan tanah rakyat, karena penyelesaian konflik melalui kemitraan
hutan menjadikan penguasaan atas tanah konflik tetap diberikan kepada pemegang
izin dan akan kembali menjadi tanah Negara. Dengan demikian, Perhutanan Sosial
tidak akan pernah menjawab persoalan mendasar kaum tani dan rakyat Indonesia.
Perhutanan Sosial sejatinya menguatkan inti dari Program Reforma Agraria Palsu
Jokowi
Pemuda Mahasiswa Berjuang Bersama Kaum Tani: Lawan Kebijakan Reforma
Agraria Palsu Jokowi Demi Mewujudkan Reforma Agraria Sejati, Pembangunan
Industri Nasional dan Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Kepada
Rakyat
Situasi krisis yang terus
memiskinkan rakyat Indonesia akan terus dijaga dan diperparah oleh rezim
Jokowi. Melalui skema Reforma Agraria Palsunya, rezim Jokowi dengan jelas telah
membuka ruang luas legitimasi bagi perusahaan besar asing milik imperialis, borjuasi
besar komprador dan tuan tanah besar untuk menguasai tanah-tanah rakyat. Hal
ini akan terus memperparah kondisi kaum tani di perdesaan dan rakyat Indonesia,
tidak terkecuali pemuda mahasiswa.
Skema pembagunan yang
dijalankan oleh pemerintah telah nyata menyedot
anggaran pendidikan sangat besar. Konsekuensinya adalah, biaya pendidikan
dan berbagai pungutan liar lainnya semakin tinggi. Hak pemuda untuk mengakses
pendidikan tinggi dengan demikian menjadi kian terbatas. Selain itu, tindasan
fasis yang dialami oleh kaum tani dan rakyat di sektor lainnya juga dialami
oleh mahasiswa.
Kampus saat ini tidak hanya
menjadi alat legitimasi dan corong propaganda dari rezim melalui produksi dan
reproduksi pengetahuannya. Lebih jauh lagi, kampus kini telah menjelma sebagai Juru Gebuk untuk menghalau dan
menghambat perjuangan mahasiswa. Dibawah rezim Jokowi, tindakan fasis semakin tinggi terjadi di berbagai
kampus. Hak politik mahasiswa terus dikebiri dan dirampas. Melalui Surat Edaran
Dikti No. 26 Tahun 2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus dan SK
Rektor pendukungnya, kampus menerapkan berbagai aturan dan tindakan yang
memberangus hak politik mahasiswa dan organisasinya. Tindakan tersebut meliputi
pelarangan berorganisasi, pembubaran kegiatan mahasiswa dan aksi protes di
kampus, pemukulan, penangkapan, skorsing hingga pemecatan (DO) terhadap
mahasiwa yang melakukan demonstrasi.
Sejak April 2016 hingga Agustus 2017, pemerintah melalui kampus maupun
aparat secara langsung telah melakukan 6 kali pemburan aksi dan
kegiatan;Pembubaran diskusi dan lapak baca di Universitas Telkom Bandung, pembubaran
perpustakaan jalanan di Taman Cikapayang Bandung dan Sleman DIY, pembubaran
aksi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Mataram, pembubaran aksi di
Universitas Andalas Padang, dan pembubaran aksi selebaran di Kota Bogor.
Skorsing terhadap 115 mahasiswa di ITB akibat melakukan protes. Sebanyak 24
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mendapat sanksi
pemecatan karena melakukan demonstrasi di kampus, 8 orang Mahasiswa Fakultas
Teknik Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI) Makassar di DO dengan
alasan penghinaan akademik dan non akademik di kampus. Sebelumnya mereka
melakukan aksi demonstrasi dengan tuntutan meminta Kopertis Wilayah IX turun
tangan menyelesaikan polemik gedung perkuliahan Fakultas Teknik UPRI yang
digembok oleh rektor. Di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta juga terjadi
tindasan fasis berupa pemberian sanksi DO kepada 22 mahasiswa yang melakukan
aksi menuntut transparansi dana kampus.
Lebih jauh lagi, rezim Jokowi melalui kampus dan aparatnya juga tidak
segan melakukan intimidasi dan tindak kekerasan terhadap mahasiswa yang
menyampaikan aspirasinya, melakukan kritik dan berkegiatan.Tercatat, 192 orang
mahasiswa menjadi korban dari tindasan fasis rezim Jokowi berupa pembubaran
kegiatan, pemukulan/kekerasan fisik, pelarangan kegiatan dan sebagainya.
Sementara itu, sebanyak 190 orang mahasiswa menjadi korban penangkapan dan
kriminalisasi akibat tindakan kampus yang anti demokrasi.
Hal tersebut terjadi tidak
lain karena dominasi imperialisme AS melalui topangan feodalisme sebagai basis
sosialnya. Sehingga, permasalahn seluruh rakyat, termasuk pemuda mahasiswa
tidak akan dapat terselesaikan tanpa perjuangan menghancurkan feodalisme dan
imperialisme. Menjadi sebuah syarat mutlak kemudian untuk memperkuat persatuan
rakyat dan memajukan perjuangannya.
Pemuda mahasiswa sebagai bagian dari rakyat yang memiliki unsr strategis
seperti pengetahuan yang tinggi, mobilitas, semangat juang, dan cinta terhadap
perubahan haruslah mampu bangkit dan berjuang bersama rakyat. pemuda mahasiswa
harus mampu mengambil bagian aktif dalam perjuangan mewujudkan reforma agraria
sejati dan pembangunan industrialisasi nasional. Salah satu langkanya adalah
dengan terus melakukan propaganda, kampanye hingga perluasan dan perbesar
organisasi untuk menjadi alat pemukul rejim yang semakin kuat. Mahasiswa harus
mampu menjadikan kampus sebagai benteng pertahanan rakyat yang di dalamnya
harus mampu diisi secara produktif segala aktifitas yang mampu menelanjangi
kebusukan rejim Jokowi-JK dan juga membawa dan memblejeti segala problem rakyat
khususnya kaum tani agar kampus mampu segera bertransformasi menjadi
laboratorium ilmiah dan ruang perjuangan massa rakyat.
Berdasarkan kondisi
objektif tersebut, Front Mahasiswa Nasional secara tegas menyatakan dukungannya
dan keterlibatan aktifnya dalam perjuangan yang dilakukan oleh Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA) dan kaum tani untuk melawan Reforma Agraria Palsu
Jokowi. Dukungan tersebut harus menjadi satu sikap yang tegas bagi seluruh
jajaran organisasi FMN, karena pada kenyataanya saat ini AGRA merupakan
satu-satunya organisasi massa
tani
nasional yang konsisten berjuang untuk mewujudkan reforma agraria sejati. Jalan
tersebut harus ditempuh demi terwujudnya reforma agraria sejati dan industri
nasional yang menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah
demokratis dan mengabdi pada rakyat.
Atas dasar itu, Front
Mahasiswa Nasional dalam memperingati Hari Tani Nasional ke 57 menuntut:
- Hentikan Program Reforma Agraria Palsu Pemerintahan Jokowi dan laksanakan Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional yang Mandiri dan Berdaulat.
- Hentikan Monopoli dan Perampasan Tanah melalui berbagai skema Pembangunan Infrastruktur, Perkebunan Besar, Taman Nasional, Pertambangan dan lainnya yang merugikan kaum tani.
- Hentikan tindak kekerasan, intimidasi, terror, dan kriminalisasi terhadap kaum tani dan rakyat. Berikan rakyat kebebasan untuk berpendapat, berorganisasi, dan ekspresi.
- Hentikan Operasi Gabungan dan Pengusiran yang dilakukan oleh Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) terhadap kaum tani Desa Bebidas, Lombok Timur, NTB.
- Cabut Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas
- Hentikan Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi Pendidikan. Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 dan Hentikan Sistem Pembiayaan Uang Kuliah Tunggal (UKT)
- Wujudkan Sistem Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Kepada Rakyat
.
0 komentar:
Posting Komentar