
Intervensi World
Bank dan IMF Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia: Dari Liberalisasi dan
Privatisasi Hingga Intervensi Orientasi Pendidikan
Oleh: Symphati
Dimas Rafi’i
(Ketua Umum FMN)
World Bank dan IMF: Intervensi
untuk Liberalisasi dan Privatisasi Pendidikan
World Bank (WB) dan IMF merupakan dua lembaga ekonomi
dan keuangan yang lahir atas perjanjian internasional yang dimotori oleh
Amerika Serikat. Amerika Serikat mengkonsolidasikan 43 negara lainnya untuk
bertemu di Bretton Woods, AS pada Agustus 1944. Pertemuan tersebut kemudian
dinamakan International Monetary and
Financial Conference of The United and Association Nations atau yang biasa
disebut dengan Bretton Woods Agreement.
Amerika Serikat menggunakan perjanjian tersebut untuk mengikat seluruh negara
anggota secara ekonomi dan politik. Pasca Perang Dunia II, seluruh
negeri-negeri yang terlibat perang mengalami krisis ekonomi yang akut. Hal
tersebut digunakan oleh Amerika Serikat untuk mendominasi dunia. Dalam World Bank
dan IMF, Amerika Serikat adalah pemegang saham terbesar sehingga secara
otomatis juga memiliki hak suara terbanyak dalam setiap pengambilan keputusan.
Dalam menghasilkan satu keputusan, minimal harus mendapat 85% suara, sedangkan
17,5% nya dimiliki oleh Amerika Serikat. Sehingga, hampir dapat dipastikan
bahwa semua keputusan harus melalui persetujuan Amerika Serikat.
AS menjadikan kedudukan
World Bank dan IMF sebagai alternatif cepat bagi berbagai negeri untuk meningkatkan
pembangunan dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi makro, melalui program
stabilitas dana pinjaman dan Stuctural
Adjusment Program (SAP). Di Indonesia, upaya untuk melakukan intervensi
dilakukan sejak tahun 1953, di mana Indonesia menjadi anggotanya. Namun pada
tahun 1964, pemerintah Indonesia menyatakan pengunduran dirinya sebagai anggota
World Bank karena dianggap merugikan rakyat danperkembangan negara. Baru pada
tahun 1967, melalui skema liberalisasi dan pembangunan milik Orde Baru, Indonesia kembali
menjadi
anggota World Bank.
Hasilnya adalah terbentuknya konsorsium negara kreditur untuk Indonesia dengan
nama Inter-Govermental Group on Indonesia
(IGGI) pada tahun 1967. IGGI beranggotakan Amerika Serikat, Australia,
Belgia, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Inggris, Austria, Kanada, Selandia
Baru, Norwegia, Swiss, World Bank, IMF, Asian
Development Bank (ADB), UNDP, serta OECD. IGGI kemudian berubah bentuk
menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI)
yang digawangi oleh World Bank dan dikepalai oleh Jepang. CGI kemudian
memberikan pinjaman sebesar US$ 8 miliar pada Indonesia saat diterpa badai
krisis keuangan dan moneter pada 1998. Tercatat sejak 1997 – 2003 Indonesia
menyepakati 26 kali perjanjian Letter of
Intent (LoI)
dengan IMF yang keseluruhannya memberikan syarat untuk memastikan liberalisasi
ekonomi, keuangan dan perdagangan. Sementara hingga tahun 2017 tercatat bahwa
pemerintah Indonesia memiliki hutang sebesar US$ 234,68 miliar terhadap World
Bank. Hutang pemerintah Indonesia terhadap World Bank saat ini menjadi yang
terbesar di antara cantolan hutang
luar negeri lainnya, sebesar 32,4%.
Sementara itu World
Bank pun melakukan hal yang tidak berbeda dengan WTO dan IMF. Proyek awal World
Bank untuk pendidikan di Indonesia adalah University
Research For Graduate Education (URGE) yang kemudian dilanjutkan
dengan Development Of Undergraduate Education (DUE) dan Quality Undergraduate Education (QUE). Proyek tersebut mengusung tema “Paradigma Baru” dalam dunia pendidikan.
Pendidikan tidak lagi diposisikan sebagai bagian dari tanggung jawab
negara/pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pendidikan menjadi bagian dari
sasaran bisnis dan investasi serta untuk menopang kepentingan perusahaan besar
melalui riset-risetnya. Dalam program yang lebih lengkapnya, World Bank bersama
UNESCO membentuk Higher Education for
Compt Project (HECP) yang kemudian berganti dengan Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE).
Tujuan utamanya adalah untuk memastikan adanya sistem pendidikan tinggi yang
menjadim liberalisasi dapat dilakukan melalui praktik otonomi institusi.
Imbalan dari liberalisasi pendidikan tersebut tidak lain adalah kucuran dana
untuk mebiayai IMHERE sebesar US$ 114,54 juta. Hasilnya yaitu lahirnya UU BHP
pada 2009 yang kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2010. Pasca
ketiadaan peraturan UU BHP, World Bank kembali mendikte Indonesia secara
langsung, “ A new BHP must be passed to establish the independent legal
status of all education institutions in Indonesia (public and private), there
by making BHMN has a legal subset of BHP” . Permintaan tersebut kemudian direspon dengan melahirkan UU
12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
World
Bank-IMF Merenggut Masa Depan Pemuda Mahasiswa
Skema tersebut
melahirkan fakta bahwa dunia pendidikan di Indonesia menjadi bagian dari bisnis
dan bertujuan untuk mengeruk uang rakyat. Hasilnya jelas, bahwa akses rakyat
terhadap pendidikan terus mengalami kemerosotan. Bagi pemuda di Indonesia,
pendidikan menjadi semakin sulit diakses hingga jenjang yang tinggi. Pemerintah
telah membatasi akses pendidikan hanya sebatas Menengah-Atas. Dari total 63,2
juta orang[1]
pemuda di Indonesia, hanya 6,9 Juta atau hanya 10,9% saja yang dapat mengakses
pendidikan tinggi. Mayoritas pemuda di Indonesia terlempar pada sektor-sektor
pekerjaan dan berpendidikan rendah. Sebesar 18,20% bekerja menjadi buruh di
industri manufaktur, 16,97% di industri jasa dan 19,15% bekerja serabutan.[2] Hal tersebut tidak terlepas dari skema
liberalisasi pendidikan tinggi yang dijalankan oleh pemerintah dari hasil
kerjasama dengan World Bank dan IMF.
Sistem pembiayaan pendidikan
yang diatur dalam UU 12/2012 yaitu Uang Kuliah Tunggal bagi Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) adalah bentuk dari komersialisasi pendidikan yang nyata. Demi
memenuhi hasrat untuk memonopoli profit yang semakin besar, pembiayaan
pendidikan terus dibebankan kepada rakyat. Prinsip sistem pembiayaan UKT tidak
berbeda dengan prinsip yang terdapat dalam penentuan harga BBM, yaitu
ditentukan dengan harga pasar biaya operasional. Artinya dapat dipastikan bahwa
biaya pendidikan akan selalu naik mengikuti naiknya kebutuhan biaya
operasional. Pemerintah di sisi lain jusrtu semakin memangkas anggaran untuk
membiayai pendidikan tinggi.
Melalui skema otonomi universitas, maka
setiap kampus apapun itu statusnya akan didorong untuk mencari sumber
pendapatannya secara mandiri. Tentu pendapatan terbesarnya adalah dari
mahasiswa/rakyat. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan pendapatan
universitas dari APBN dan biaya pendidikan. Universitas Indonesia pada tahun
2017 mendapat suntikan APBN sebesar Rp 517,52 miliar sedangkan dari layanan
pendidikan nya mendapat Rp 893,44 miliar.[3]
Sedangkan di Universitas Airlangga, pendapatan kampus dari APBN hanya sebesar
Rp 261,30 miliar sangat jauh dibandingan dengan dana yang dikeruk dari rakyat
yang mencapai Rp 423,12 miliar.[4]
Sementara itu,
kerjasama dengan berbagai perusahaan dan berbagai bisnis sampingan dari
perguruan tinggi pada faktanya tidak memberikan pemasukan yang berarti. Karena
tentu perusahaan-perusahaan yang bekerjasama dengan PTN tidak akan secara
sukarela memberikan bantuannya. Seperti contohnya di Institut Teknologi
Bandung, total pemasukan dari unit usaha hanya sebesar Rp 10,5 miliar sedangkan
pendapatan dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar Rp 415,25 miliar, begitu juga
dengan Universitas Padjajaran (Unpad) yang hanya mendapat Rp 938 juta sementara
UKT berkontribusi sebesar Rp 386,29 miliar.[5]
Dari hal tersebut, apa yang dimaksud dengan otonomi pembiayaan pendidikan dan
orientasi kerjasama dengan perusahaan tetap terus membebankan rakyat. Hasilnya
jelas kenaikan biaya pendidikan hingga mencapai Rp 27 juta per semeseter,
penerapan uang pangkal yang mencapai ratusan juta rupiah. Rakyatlah yang terus
dibebankan melalui biaya pendidikan yang semakin tinggi, sementara tanggung
jawab pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi dialihkan untuk pembangunan
infrasturktur dan perputaran modal di sektor lain demi memuluskan dan
memanjakan investasi dari kapitalis monopoli internasional.
Intervensi dari World
Bank dan IMF di dunia pendidikan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi.
Kedua lembaga tersebut juga terus memastikan agar universitas dapan menjadi
alat yang efektif dalam menopang seluruh skema ekonomi, politik dan kebudayaan
di Indonesia. Melalui paradigma baru yaitu “World
Class University” World Bank mendorong berbagai universitas untuk
mengembangkan riset maupun terlibat dalam menyukseskan program world bank dan
IMF, mendukung dan melegitimasi skema penghisapan yang dilakukan oleh
imperialis melalui borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan rezim bonek
Jokowi. Seperti contohnya adalah implementasi program MDG’s yang dilanjutkan
dengan SDG’s dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa. Begitu juga mengenai
tentang program tematik seperti “Migrasi”[6]
yang melegitimasi
skema
perbudakan modern melalui
pengiriman
tenaga
kerja
keluar
negeri. Kemudian KKN
Tematik
“Citarum
Harum”[7] yang menjadi bagian terintegrasi untuk melakukan perampasan dan monopoli tanah milik kaum tani, hingga berdirinya World Bank Corner di berbagai
universitas. Mahasiswa dipaksa dan dijadikan alat untuk melakukan sosialisasi, membenarkan
seluruh program tersebut, dan dipaksa menebar ilusi terhadap rakyat. Pada
kenyataanya, semua contoh program tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari proyek World Bank dan IMF.
Dunia pendidikan
menengah dan tinggi juga dijadikan sasaran untuk mempromosikan seluruh skema
neoliberal milik Amerika
Serikat
melalui kurikulum dan orientasi pembangunan pendidikan. Melalui World Bank, pemerintahan
Jokowi menargetkan akan lebih memprioritaskan pengembangan sekolah-sekolah
menengah kejuruan dengan target 80% dari seluruh sekolah yang ada di Indonesia.
Sementara untuk pendidikan tinggi, Presiden Jokowi sudah mewacanakan agar
kementerian segera mendorong universitas untuk membuka program-program studi
baru yang sesuai dengan kebutuhan industri, seperti pergudangan, logistik,
transportasi, perdagangan, serta mengembangkan program vokasional pada
perguruan tinggi. Pengembangan kurikulum tentang kejuruan/vokasional tersebut
tidak terlepas dari rencana besar untuk memastikan ketersediaan cadangan tenaga
kerja untuk kebutuhan industri dan perusahaan di Indonesia.
Pemuda lulusan dari
sekolah maupun perguruan tinggi digiring
untuk menjadi buruh-buruh murah dalam industri manufaktur maupun jasa milik asing dan juga pengusaha besar dalam negeri. Hal tersebut tentu bukan berarti
tersedianya lapangan kerja yang mampu menyerap seluruh pemuda di Indonesia.
Pemuda akan tetap banyak terlempar menjadi pekerja serabutan, di perdesaan
menjadi buruh tani, hingga menjadi korban pasar tenaga kerja global sebagai
buruh migran. Hal tersebut dikarenakan tidak dilaksanakannya reforma agraria
sejati dan pembangunan industri nasional yang mandiri dan berdaulat di
Indonesia.
Selain itu, terdapat
pula di dalam kurikulum pendidikan di Indonesia untuk mempromosikan program
wirausaha.[8]
Melalui mata pelajaran maupun mata kuliah, saat ini pemerintah terus menebarkan
ilusi dan kebohongan mengenai masa depan pemuda sebagai wirausaha. Di negeri
setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia ini, tidak akan ada hari
depan bagi pemuda untuk memiliki kemandirian ekonomi dalam hidupnya. Promosi
tersebut tidak lain merupakan buah dari program world bank tentang investasi
Sumber Daya Manusia. World Bank menekankan pentingnya untuk memasukan skema
tentang kewirausahaan dalam program pendidikan di Indonesia. Hal tersebut tidak
lain adalah upaya untuk mengalihkan krisis dan ketidakmampuan pemerintah untuk
memastikan tersedianya lapangan kerja yang layak. Artinya, kewirausahaan adalah
program untuk sekaligus melimpahkan beban krisis terhadap rakyat. Disisi
lainnya, hal tersebut secara prinsip hanyalah ilusi mengenai era globalisasi
dan kebohongan pasar bebas. Rakyat yang berwirausaha akan tetap terhambat
perkembangannya dan tidak akan bisa bersaing dengan mega bisnis yang dimiliki
oleh kapitalis
monopoli
internasional
dan borjuasi besar di
Indonesia.
Kondisi pendidikan dan
lapangan pekerjaan tersebut memperlihatkan bahwa krisis dalam tubuh negara-negara besar terus memburuk. Skema neoliberal
melalui promosi tentang keuangan inklusif pun tidak menjadi jalan keluar dari
krisis. World Bank dan IMF menjadi alat perusak kehidupan dan masa depan pemuda
di Indonesia. Bagi mahasiswa, selama dominasi skema neoliberal dari AS, termasuk di
dalamnya adalah peranan World Bank dan IMF akan selamanya pendidikan menjadi
sasaran perampas uang rakyat. Institusi pendidikan yang seharusnya mampu
diakses oleh seluruh rakyat terus menjadi komersil karena liberalisasi dan
privatisasi yang dijalankan. Selain itu, lembaga pendidikan yang seharusnya
menjadi garda terdepan mempromosikan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ilmiah, terus dirusak oleh dominasi imperialisme. Institusi
pendidikan menjadi bagian dari alat klas yang berkuasa saat ini terus menjadi
penjara bagi kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi intelektual.
Pemuda Mahasiswa Bangkit,
Berorganisasi dan Berjuang Melawan Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi
Pendidikan
Kondisi
rakyat Indonesia dan sektor pendidikan yang terus dibelenggu oleh intervensi kekuatan
keuangan global seperti Bank Dunia dan IMF melahirkan kondisi krisis yang
semakin akut. Liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan membuat akses
rakyat terhadap pendidikan kian tertutup. Begitu pula nasib dan masa depan mahasiswa
yang terus dibelenggu oleh skema pendidikan yang menjauhkan dirinya dari realita
kehidupan rakyat.
Atas
kondisi tersebut dan praktek panjang perjuangan rakyat Indonesia, maka mahasiswa
harus kembali bangkit dan mengambil peranan aktif dalam mewujudkan demokrasi dan
kesejahteraan rakyat. Sejarah telah memberikan pelajaran bagi mahasiswa, bahwa hanya
dengan berjuang maka hak demokratis rakyat dapat terpenuhi. Bahkan kemerdekaan
Indonesia dari tangan kolonialisme diraih dari hasil perjuangan panjang yang
berdarah-darah. Oleh karenanya, pemuda mahasiswa harus kembali ambil bagian aktif
dalam membangun gerakan di kampus-kampus dan perkotaan. Mahasiswa harus membongkar
ilusi individualisme dalam berjuang dan meraih tujuannya. Hanya dengan berorganisasi
dan membangun organisasi yang sejati dan maju-lah maka perjuangan kolektif dari
gerakan mahasiswa di Indonesia akan menemui hari depannya.
Tidak
sampai di situ, perjuangan organisasi dan gerakan mahasiswa harus pula
menyadari pentingnya mempersatukan diri dengan berbagai organisasi sektor rakyat
lainnya. Gerakan mahasiswa harus bersatu dengan gerakan buruh, tani, perempuan,
serta sektor rakyat tertindas lainnya. Karena persoalan dan masalah pokok dari mahasiswa
tetap sama dengan persoalan pokok rakyat Indonesia, yaitu akibat dominasi dan monopoli
atas tanah dan keterbelakangan industri di Indonesia. Persoalan tersebut harus diperjuangkan
dan dimenangkan secara bersama oleh seluruh rakyat tertindas.
Dalam waktu dekat ini, di Indonesia (Bali) akan dihelat
pertemuan akbar dari Bank Dunia dan IMF.
Momentum ini tentu harus menjadi perhatian besar bagi mahasiswa untuk melakukan
respon dan menyatakan sikapnya. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, bahwa Bank
Dunia dan IMF adalah aktor perusak pendidikan, perusak kehidupan rakyat dan masa
depan pemuda. Oleh karenanya, Front Mahasiswa Nasional menyerukan kepada seluruh
mahasiswa di Indonesia untuk menyatakan sikap secara bersama bahwa “Gerakan Mahasiswa
Menentang Pertemuan Bank Dunia dan IMF di Indonesia” bahwa “Bank Dunia dan IMF
serta pemerintah yang memfasilitasinya, adalah Musuh bagi Mahasiswa”.
* Paper ini sebelumnya telah dipresentasikan dalam Seminar Internasional bertajuk “Meningkatnya Peran Institusi Keuangan Global (World Bank dan IMF) dalam Pembangunan dan Pentingnya Peran Mahasiswa dalam Penegakan HAM”, Universitas Mahasaraswati, Bali. 2 Agustus 2018.
[8]
Peters, M.A. 2013. Managerialism and the
neoliberal university: Prospects for new forms of “open manadement” in higher
education. Contemporary Reading in Law and Social Justice, 5 (1), hlm 11.
0 komentar:
Posting Komentar