"Amerika Serikat Membentuk Bank Dunia dan IMF untuk Mendikte Perekonomian Dunia"
Oleh: Panji Mulkilah Ahmad (Anggota FMN Cabang Yogyakarta)
Pembaca tentu
sudah mendengar kabar bahwa International Monetary Fund (IMF) dan World Bank
(WB) akan menggelar pertemuan pada Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali. IMF adalah
organisasi internasional yang bertujuan mempererat kerja sama moneter
internasional, mendorong perdagangan internasional, ketersediaan lapangan
kerja, kestabilan nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan bantuan kepada negara
anggota yang mengalami kesulitan finanisal.
Memang
kelihatannya IMF dan WB memiliki kemiripan, yaitu dalam hal pemberian utang
kepada negara anggotanya. IMF dan WB juga sama-sama dibentuk pada 1944 dalam Konferensi
Bretton Woods. Baik itu IMF dan WB, berada di bawah naungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Kita barangkali
masih ingat dengan sebuah foto Presiden Soeharto yang sedang menandatangani
kesepakatan IMF pada saat krisis 1998, di bawah hadapan Michel Camdessus,
selaku Managing Director IMF kala itu, yang terlihat jumawa melipat tangannya. Atas
saran IMF, Indonesia dijebak dalam gelombang privatisasi BUMN dan liberalisasi
perekonomian yang memperparah krisis. Pada era Orde Baru, kita mungkin juga
ingat bagaimana proyek-proyek yang didanai Bank Dunia ikut menambah masalah
baru seperti konflik agraria, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan. Tak
heran jika peraih nobel Joseph Stiglitz yang juga mantan pajabat tinggi Bank
Dunia, menilai jika IMF dan Bank Dunia telah gagal mengentaskan kemiskinan pada
negara-negara yang menjadi pasiennya, termasuk di Indonesia.[1]
Belakangan ini,
IMF dan WB tengah memperbaiki citra buruknya. Pada tahun 2015, misalnya.
Direktur IMF Christine Lagarde datang ke Indonesia dan menyampaikan pidato di
Universitas Indonesia. Lagarde mengulas mengenai peran pemuda dalam
membentangkan jalan kemerdekaan dan demokrasi di Indonesia, memberikan semangat
optimisme seperti sayap garuda, dan bahkan mengutip kata-kata bijak dari
Sukarno. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun memberi penegasan bahwa kedatangan
IMF tidak untuk menawarkan utang kepada Indonesia.
IMF dan WB
terpikat dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sanggup bertahan di
angka 5%, di saat angka pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Uni Eropa yang
tak lebih dari 2,5%. Jika saat krisis 1997-1998 terasa sekali desakan bahwa
Indonesia butuh IMF dan WB, saat ini justru kebalikannya, IMF dan WB yang
membutuhkan Indonesia. Itulah kenapa IMF dan WB membutuhkan semacam pencitraan
agar bisa diterima oleh Indonesia.
Pada laman resmi
Annual Meeting IMF dan WB Bali 2018, ada artikel menarik yang berjudul IMF, Tari Kecak, dan Sharing Economy.[2]
Berikut adalah tulisan yang bisa dikutip :
“Pada Annual Meetings IMF-WBG 2018
di Bali Oktober nanti IMF justru memberi ruang debat yang luas bagi kemajuan
serta inklusivitas ekonomi dan keuangan syariah, bahkan IMF mendorong
implementasi Core Principle on Zakat and Waqaf, hingga isu tentang bantuan sosial
(BANSOS). Tema-tema yang diusung oleh IMF-WB diatas agak berkebalikan dengan
doktrin utama Konsensus Washington yang seolah membatu dengan norma efisiensi
sebagai jalan tunggal meraih pertumbuhan.
Penyesuaian-penyesuaian inilah yang
menjadi penanda penting tentang keterhubungan, yang akhirnya mendorong semua
pihak untuk saling menyesuaikan diri tidak terkecuali IMF dan Bank Dunia dalam
mengikat makna atas peran dan keberadaanya masing-masing, paling tidak publik
di Indonesia kini mafhum bahwa keterhubungan (globalisasi) adalah kenyataan
yang alih-alih harus ditolak dengan ragam cara dan argumentasi, justru perlu
dimanfaatkan sebaik mungkin, inilah yang saya sebut makna pertama tentang
manfaat ke-saling-hubungan”
Artikel tersebut
berusaha meyakinkan kepada pembaca bahwa IMF dan WB telah berubah, mereka
bukanlah lembaga yang jahat, globalisasi tidak untuk ditolak, globalisasi bisa
dimanfaatkan oleh Indonesia. Ada semacam rasa percaya diri yang berusaha
menempatkan kedudukan Indonesia dengan IMF dan WB adalah setara. Namun benarkah
IMF dan WB sudah berubah? Benarkah Indonesia punya kedudukan yang setara di
dalam IMF dan WB?
Terdapat 189 negara yang bergabung menjadi
anggota IMF. Keanggotaan IMF diatur dalam sistem kuota. Untuk menjadi anggota,
maka suatu negara wajib menyetorkan sumbangannya kepada IMF. Semakin besar
sumbangannya, maka akan menentukan besaran dana yang dapat dipinjam dari IMF,
dan semakin besar pula voting power-nya
dalam mengambil suatu keputusan dalam forum IMF.[3]
Berikut adalah besaran suara yang dimiliki beberapa negara anggota :[4]
1. Amerika Serikat, 16,73%
2. Jepang, 6,23%
3. Tiongkok, 6,16%
4. Jerman, 5,39%
5. Perancis, 4,09%
6. Inggris, 4,09%
7. Italia, 3,06%
8. India, 2,67%
9. Rusia, 2,63%
10. Brazil, 2,25%
11. Kanada, 2,25%
12. Arab Saudi, 2,04%
13. Spanyol, 1,95%
14. Meksiko, 1,82%
15. Belanda, 1,79%
16. Korea Selatan, 1,76%
17. Australia, 1,35%
18. Belgia, 1,32%
19. Swiss, 1,19%
20. Indonesia, 0,96%
21. Lain-lain, 30,27%
Tidak jauh beda dengan
IMF, keanggotaan WB juga diatur menggunakan sistem kuota. Negara-negara besar
seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Tiongkok, Jerman, dan Perancis, masih
menghiasi papan atas penyumbang dana terbesar di WB, sekaligus pemegang suara
teratas. Ambil contoh misalnya dalam salah satu badan WB, yaitu International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD) :[5]
1. Amerika Serikat, 385.210 suara
2. Jepang, 166.152 suara
3. Tiongkok, 107.302 suara
4. Jerman, 97.282 suara
5. Perancis, 91.112 suara
Jumlah suara di atas tidak sebanding dengan
Indonesia yang hanya punya 23.739 suara. Dengan jumlah anggota sebanyak 189
negara, sebanyak 38,91% suara telah diraup oleh lima negara besar saja.
Menariknya, entah itu IMF maupun WB, posisi Amerika
Serikat selalu menjadi yang teratas dalam besarnya suara yang dimiliki.
Dominasi Amerika Serikat di IMF dan WB dapat memungkinkan terjadi karena
pemberian suara di IMF dan WB menggunakan sistem kuota, besaran suara
didasarkan pada besaran sumbangan yang diberikan. Amerika Serikat dapat membeli
suara begitu besar di IMF dan World Bank karena tidak terlepas dari kekuatan
ekonomi, politik, maupun militernya.
Ketimpangan suara antara negara besar dengan negara
kecil mencerminkan adanya ketidaksetaraan di dalam IMF dan WB itu sendiri.
Keputusan yang diambil dalam IMF dan WB bukanlah keputusan yang demokratis,
melainkan adalah dikte kepentingan kapital-monopoli negara-negara besar saja.
Di awal, kami memaparkan bahwa IMF dan WB saat
ini tengah mengubah citranya agar terlihat tidak sejahat sewaktu 1998. Annual
Meeting IMF dan WB 2018 di Bali pun, merupakan pembuktian dari usaha perbaikan
citra itu. Namun jika melihat adanya ketimpangan keanggotaan dalam IMF dan WB
saja, kita dapat menilai bahwa IMF dan WB masih organisasi yang sama seperti
sebelumnya. Citra yang hendak ditampilkan, luntur dengan sendirinya
[1] Lihat
dalam buku Stiglitz, Making Globalization
Work.
[3]
http://www.britannica.com/topic/International-Monetary-Fund
0 komentar:
Posting Komentar