Oleh:
Front
Mahasiswa Nasional (FMN) Ranting Universitas Indonesia
Kriminalisasi
dan kekerasan terhadap rakyat merupakan bentuk dari pemberangusan demokrasi, serta pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM). Rakyat
yang menjadi korban kriminalisasi dan tindak kekerasan terus
berjatuhan. Lebih dari empat tahun berkuasa, pemerintahan Jokowi-JK semakin
memperlihatkan karakternya yang anti terhadap demokrasi.
Di
kampus, mahasiswa terus menjadi korban pemberangusan demokrasi baik dalam bentuk pemberangusan
organsasi, pelarangan diksusi dan kegiatan ilmiah, tindakan kekerasan, intimidasi, hingga
kriminalisasi terhadap mahasiswa. FMN mencatat sebanyak 123 mahasiswa mendapat
skorsing, 55 mahasiswa mendapat sanksi Drop Out (DO),
202 orang mengalami tindak kekerasan, bahkan 191 mahasiswa dikriminalisasi. Korban
tersebut adalah mahasiswa yang melakukan kritik dan aksi protes di kampus. Kasus terbaru
yaitu pemberian sanksi skorsing kepada enam (6) orang mahasiswa Fakultas Ekonomi di
Universitas Negeri Makassar. Mereka
mendapatkan
sanksi karena mempertanyakan
realisasi anggaran dan pengadaan sarana-prasarana fakultas. Lebih buruk lagi,
20 mahasiswa UKI Toraja menjadi korban Drop Out karena menyelenggarakan kegiatan
mahasiswa di luar kampus.
Sementara
itu, tindak kekerasan dan kriminalisasi juga semakin luas terjadi di berbagai
sektor rakyat lainnya. Pelibatan aparat keamanan (TNI dan Polri) terus
meningkat untuk memuluskan berbagai program seperti pembangunan industri,
penggurusan, pembangunan infrastruktur dan mengamankan Objek Vital Nasional
Indonesia (OVNI). Sedangkan di perdesaan, dari data yang dihimpun oleh Aliansi
Gerakan Reforma Agraria (AGRA) memperlihatkan kekerasan terhadap kaum tani
terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854 orang
ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi.
Kondisi
tersebut diperparah dengan berbagai kasus kriminalisasi melalui UU ITE terhadap
rakyat yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Sebagai contohnya, kasus
yang menimpa Baiq Nuril,
seorang perempuan pekerja
di salah satu sekolah di NTB yang menjadi korban kekerasan seksual oleh
pimpinan sekolahnya. Tetapi,
kini justru menerima “pil pahit” karena dilaporkan oleh pelaku pelecehan seksual dengan menggunakan UU
ITE, bahkan Baiq Nuril
sempat mendekam di penjara.
Kasus ini menyedot perhatian rakyat karena melalui Mahkamah Agung, hukum di
Indonesia memperlihatkan ketidakberpihakannya terhadap korban kekerasan dan
kaum perempuan, karena MA memutuskan Baiq Nuril bersalah atas pelanggaran terhadap UU ITE.
Begitu
pula yang menimpa Anindya Shabrina, anggota FMN Cabang Surabaya yang menjadi
korban pelecahan seksual
yang dilakukan oleh salah satu anggota kepolisian di Surabaya. Kemarahan
Anindya yang dituangkan dalam akun
media
sosial berujung pada pelaporan dirinya dengan jerat UU ITE. Hingga kini,
Anindya masih dalam proses pemeriksaan oleh Poltabes Surabaya. Kedua contoh
tersebut menggambarkan betapa aturan dan kebijakan pemerintah memang memiliki
unsur untuk membatasi ruang demokrasi rakyat.
Demokrasi
yang selama ini dipromosikan oleh pemerintahan Jokowi sebatas pada demokrasi
prosedural tanpa substansi. Demokrasi dan kebebasan rakyat dipersempit menjadi demokrasi kotak suara sebagai prosedur formal pemilihan pemimpin semata.
Sedangkan ruang kebebasan
diberikan seluas-luasnya bagi klas penguasa, pemilik capital (borjuasi), dan
penguasa tanah yang terus memonopoli dan merampas tanah dan kekayaan alam
Indonesia. Rakyat juga dibawa pada politik pecah belah melalui
berbagai isu termasuk menggunakan isu SARA yang tujuannya tidak lain demi
mendulang suara.
Ini menunjukkan watak dan karakter demokrasi Indonesia
yang dijalankan oleh kapitalis birokrat yang mengabdi pada kepentingan
imperialism dan feodalisme. Sehingga, pada faktanya, rakyat akan terus dibayangi oleh teror,
intimidasi, hingga kekerasan yang mengancam nyawa. Di bawah kekuasaan rezim
Jokowi yang fasis, rakyat sama sekali tidak diberikan ruang untuk berjuang
menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Perjuangan rakyat di berbagai sektor dan
wilayah Indonesia terus dihadapkan dengan teror fasis dari rezim Jokowi. Tentu
saja hal tersebut secara gamblang telah melanggar Hak Asasi sekaligus
merampasnya dari tangan rakyat. Sudah sepatutnya rakyat Indonesia mulai saat
ini menyematkan pemerintahan
Jokowi
sebagai Rezim Fasis perampas hak rakyat.
Oleh
karena itu, FMN Ranting Universitas Indonesia menyerukan kepada seluruh
mahasiswa UI untuk bersatu dan berjuang bersama dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.
Kebebasan berdemokrasi dan pemenuhan hak rakyat hanya dapat direbut dengan
memajukan perjuangan kolektif yang besar serta bersatu dengan seluruh sektor
dan golongan rakyat. FMN Ranting UI siap menjadi alat perjuangan bagi seluruh
mahasiswa UI dalam upaya mewujudkan demokrasi sejati dan melawan kriminalisasi
serta segala bentuk tindak kekerasan. Kami mengajak semua mahasiswa untuk
kembali berorganisasi dan berjuang bersama untuk merebutk hak-hak demokratis
pemuda maupun rakyat secara umum. FMN menyampaikan pula kepada seluruh
mahasiswa UI untuk turun kejalan dalam momentum peringatan Hari Hak Asasi
Manusia (HAM) Sedunia pada 10 Desember 2018 untuk menyuarakan bersama tuntutan
dan aspirasi kita.
Salam Demokrasi ! Info&Kontak : Rifqi Aufa: 0856 0052 4587/ Line: 0numberlivesoon
0 komentar:
Posting Komentar