
Meneladani Perjuangan Klas Buruh
Hari buruh internasional
merupakan momentum besar dan bersejarah bagi perjuangan rakyat seluruh dunia.
Perjuangan klas buruh sebagai klas termaju dalam masyarakat hari ini menemukan
momentum politiknya dalam perjuangan
klas yang panjang. Pada tahun 1886 klas buruh di Amerika Serikat melakukan
demonstrasi besar-besaran dengan mengusung tuntutan pemberlakuan delapan jam
kerja. Demonstrasi besar yang berlangsung sejak April
1886 pada awalnya didukung oleh sekitar 250 ribu buruh dan dalam jangka dua
minggu dukungan membesar menjadi sekitar 350 ribu buruh. Kota Chicago adalah
jantung kebangkitan gerakan pada waktu itu yang diikuti oleh sekitar 90 ribu
buruh. Di New York, demonstrasi yang sama diikuti oleh sekitar 10 ribu buruh,
di Detroit diikuti 11 ribu buruh. Demonstrasi pun menjalar ke berbagai kota
seperti Louisville dan di Baltimore demonstrasi mempersatukan buruh berkulit
putih dan hitam. Hingga kemudian pada tanggal 1 Mei 1886,
demonstrasi yang menjalar dari Maine ke Texas, dan dari New Jersey ke Alabama
yang diikuti setengah juta buruh di negeri tersebut. Perkembangan dan meluasnya
demonstrasi tersebut memancing reaksi yang juga besar dari kalangan pengusaha
dan pejabat pemerintahan setempat saat itu. Melalui Chicago's Commercial Club, mereka mendanai untuk membeli peralatan
senjata mesin guna menghadapi demonstrasi.
Tentu saja, fenomena ini semakin mengentalkan kesatuan
dalam gerakan buruh se-dunia. Peristiwa monumental yang menjadi puncak dari
persatuan gerakan buruh dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh
Internasional tahun 1889. Kongres yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai
negeri pada waktu itu kemudian memutuskan delapan jam kerja per hari menjadi
tuntutan utama kaum buruh seluruh dunia. Selain itu, Kongres juga menyambut
usulan delegasi buruh dari Amerika Serikat yang menyerukan pemogokan umum 1 Mei
1890 guna menuntut pengurangan jam kerja dan menjadikan tanggal 1 Mei sebagai
Hari Buruh se-Dunia.
Sejarah panjang
perjuangan klas buruh bersama rakyat tertindas di seluruh dunia hingga saat ini
terus berjalan. Bahkan saat ini, perjuangan klas buruh untuk membebaskan
dirinya dari belenggu penghisapan dan tindasan semakin besar dan maju. Hal
tersebut juga terjadi di Indonesia yang merupakan negeri setengah jajahan
setengah feodal di bawah dominasi imperialisme AS. Kondisi krisis dalam tubuh
imperialis dan di dalam negeri menyebabkan kondisi klas buruh dan rakyat terus
mengalami kemerosotan hidup.
Kemerosotan
dan Kemiskinan Rakyat Akibat Dominasi Imperialis AS
Kondisi
rakyat AS hingga saat ini terus mengalami pemiskinan yang akut. Pada bulan Mei
2018 angka pengangguran di AS adalah 3,8% namun naik cepat pada bulan
berikutnya menjadi 4,0 % dari total angkatan kerja yang ada. AS menunjukan
semakin tajamnya jurang kemiskinan. PBB merilis sebanyak 41 juta orang Amerika
hidup miskin, dan 18,5 juta diantaranya dalam kategori ekstrem. Hal ini terjadi
karena monopoli yang dilakukan oleh kapitalis monopoli yang berada di AS,
mereka menguasai mayoritas kekayaan negara tersebut. Bahkan ketimpangan
tersebut menunjukan bahwa kekayaan dari delapan konglomerat AS sebanding dengan
pendapatan dari 32 juta rakyat AS. Kondisi semakin buruk karena Trump terus
mengeluarkan kebijakan anti rakyat dengan mencabut subsidi bagi fasilitas
publik seperti kesehatan dan pendidikan. Sementara di sisi lain, memberikan
keringanan pajak bagi investasi dan operasi kapitalis monopoli. Kondisi yang
menyebabkan lebih dari 5 juta rakyat AS kehilangan akses fasilitas kesehatan
karena pemangkasan anggaran publik untuk kesehatan. Sementara itu, dari sektor
pendidikan terdapat fenomena tunggakan utang mahasiswa dari perguruan tinggi
yang mencapai US$ 1.2 triliun, angka ini melonjak 10 kali lipat dalam jangka 10
tahun. Hal ini menyebabkan pasca kelulusannya dari perguruan tinggi, mahasiswa
di AS masih memiliki hutang yang harus dilunasinya.
Dalam upaya untuk
memperpanjang nafas hidup dari kapitalis monopoli, AS mengeluarkan berbagai
kebijakan yang semakin membebani berbagai negeri dalam krisis. AS sejak dipimpin
Trump terus berupaya untuk memberi hadiah
demi hadiah bagi kapitalis monopoli. Secara khusus adalah kebijakannya
untuk mengurangi beban pajak perusahaan yang melakukan pembangunan pabrik
manufakturnya di dalam negeri dan memberikan sanksi bagi perusahaan yang
menolak hal tersebut. Hal itu tentu ditujukan untuk menarik kembali kapital
yang berada di luar negerinya untuk dapat menyegarkan bisnis dan perekonomian.
Selama tahun 2018 ini pula The Fed (bank
sentral AS) telah melakukan tiga kali kenaikan suku bunga demi pemulihan
ekonomi. Meskipun pembangunan pabrik manufakturing tersebut berjalan, namun
tetap tidak mampu untuk menghapus kesenjangan ekonomi mereka. Kebijakan
tersebut juga berimbas pada berbagai negara, khususnya Indonesia yang mengalami
pelemahan nilai tukar mata uang terhadap Dollar AS. Krisis berlipat ganda yang
terjadi di berbagai negeri menjadi jalan bagi AS untuk mengintensifkan ekspor
kapitalnya semakin massal.
Munculnya
asumsi bahwa AS mulai tergantikan oleh China dalam dominasinya di kawasan Asia
tidak memiliki dasar yang kuat. China memang dalam beberapa tahun ini menjadi
sorotan karena mampu berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang terus stabil.
Namun secara prinsip dan fakta dominasi AS secara ekonomi belum tergantikan
oleh negara manapun, hal ini terlihat dari besarnya GDP mereka hingga mencapai
24,32% dari total GDP dunia. Sementara beberapa negara seperti Tiongkok hanya
18,4%, Jepang 5,91%, Jerman, 4,45%, dan UK 3,85%. Sementara Rusia hanya
memiliki GDP 1,8%.
Sumbangan
besar bagi pemasukan AS adalah karena dominasinya di berbagai negeri. Mayoritas
pendapatan AS didapatkan dari luar negaranya, terutama dari perputaran
kapitalnya di negeri-negeri jajahan maupun setengah jajahan. Demi memastian
dominasinya, AS melancarkan kebijakan Pivot Asia, yang menetapkan kawasan Asia
sebagai tempat strategis untuk aliran super profitnya. Demi mengamankan seluruh
keuntungan ekonominya, AS tidak saja mengembangkan kerjasama multilateral,
namun juga terus semakin memperkuat kerjasama bilateral dengan berbagai Negara.
Di kawasan regional ASEAN, terdapat beberapa alasan mengapa AS sangat berkepentingan menguatkan dominasinya.
ASEAN merupakan daerah penting karena pertumbuhan ekonominya mencapai 75%,
sementara keterhubungan antar negara mencapai 34%. Sementara peningkatan
konsumsi klas borjuasi kecil mencapai angka 61% dan pembangunan
infrastrukturnya meningkat hingga 20%.
Secara keseluruhan
keuntungan AS akan meningkat dari 56% menjadi 74% di tahun 2018. Sementara
khusus di Indonesia akan meningkat dari 54% menjadi 73%. Peningkatan keuntungan
tersebut didapatkan secara khusus dari 5 sektor prioritas, yaitu Software, IT
dan Telekomunikasi, Pelayanan Kesehatan, Konsultasi dan Pembinaan, Pendidikan,
dan Banking and Finance. AS juga berupaya untuk terus meningkatkan dominasinya
dengan membangun program kemitraan Indo-Pasifik, yang berbasis pada
negara-negara di semenanjung pantai barat AS, Asia Tenggara dan India. AS
menggelontorkan investasi sebesar US$113 juta. Dana tersebut ditujukan untuk
investasi pada sektor ekonomi digital, energi dan infrastruktur.
Saat ini, belum ada
satu pun negara dan pemerintahan baru yang terbentuk di negeri imperialis yang
sanggup dan memiliki rencana mengakhiri krisis atas bangsa dan negaranya dengan
mengalahkan dominasi Amerika Serikat dan mengakhiri tekanan terhadap negara dan
pemerintahannya dengan menantang Amerika Serikat secara militer. Negara
imperialis anggota G-7 sangat kecil kemungkinan mengambil peranan tersebut
sekalipun kelahiran kekuatan neo-fasis, faksi kekuatan borjuasi paling
reaksioner, terus tumbuh di Eropa. Kekuatan neo-fasis di Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan
Italia serta Spanyol terus tumbuh sebagai ekspresi kekecewaan sekaligus
ketakutan terhadap melemahnya kekuatan negara imperialis utama di satu sisi dan
kebangkitan kekuatan rakyat di negerinya sendiri dan ketakutan akan kebangkitan bangsa lainnya di
dunia. Nasib sistem
neoliberal yang dijalankan oleh Amerika Serikat ada di tangan perjuangan klas
tertindas dan terhisap seluruh dunia. Ada di tangan kebangkitan klas buruh
Amerika Serikat, buruh Uni Eropa, klas buruh di Rusia dan China serta lebih
dari itu perjuangan sejati kaum tani di negeri setengah jajahan dan setengah
feodal dalam rangka melancarkan Reforma Agraria Sejati dan mewujudkan industri
nasional.
Kondisi klas
buruh indonesia dibawah rezim boneka imperialisme-AS Jokowi-Jk
Rezim Jokowi telah memasuki akhir masa jabatannya
sebagai presiden, namun kondisi rakyat justru semakin buruk dan hidup miskin.
Sebutan bahwa Jokowi adalah rezim boneka dan anti rakyat tidak dapat terbantah
dan ditutup-tutupi lagi. Sejak berkuasa, Jokowi memang tidak berbeda dengan
rezim sebelumnya yang mengabdikan kepemimpinannya bagi kepentingan imperialis
AS. 16 Paket Kebijakan Ekonomi dan disempurnakan lagi pada bulan november 2018 dengan
mengeluarkan pembaharuan PKE-16 adalah merupakan implementasi paling bar-bar
dari skema neoliberal dan dikte dari imperialis. Paket kebijakan tersebut
menjadi pintu bagi aliran deras investasi asing ke Indonesia.
Imperialis AS menargetkan nilai
kegiatan ekonomi Indonesia-Amerika akan naik 46,2 persen dari US$ 90,1 miliar
pada 2014 menjadi US$ 131,7 miliar pada 2019. Rezim boneka Jokowi telah
memberikan pelayanan maksimal dengan
mengeluarkan dan melaksanakan berbagai peraturan dan kebijakan untuk melayani
dan melindungi arus kapital milik imperialis AS. Skema utama dari imperialis AS
di Indonesia adalah dengan tetap berbasiskan pada monopoli dan perampasan tanah
serta seluruh bentuk penghisapan feodalisme. Imperialis membasiskan
penghisapannya melalui operasi yang dilakukan oleh tuan tanah besar dan
borjuasi besar komprador di Indonesia. Sehingga menyebabkan tetap langgengnya
sistem setengah jajahan setengah feodal di Indonesia. Rezim Jokowi bertugas
untuk memfasilitasi seluruh kepentingan tersebut dengan berbagai program dan
kebijakan ekonomi sejak awal pemerintahannya.
Rezim
Jokowi juga semakin memperdalam penghisapan serta tindasan terhadap klas buruh.
Selain kebijakan PP 78/2015 yang merampas upah secara sistematis. Imperialis AS
melalui Bank Dunia mendesak rezim Jokowi untuk semakin memantapkan skema
fleksibilitas tenaga kerja. Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2016 merilis
dokumen yang menyatakan bahwa sistem fleksibilitas tenaga kerja di Indonesia
belum menguntungkan bagi investor. ADB menginginkan adanya aturan yang lebih
fleksibel dalam hal pemutusan hubungan kerja dan pembayaran pesangon, kontrak
jangka pendek dan implikasinya demi pembangunan ala imperialis.
Selanjutnya melalui PP 78/2015, kenaikan upah buruh
setiap tahunnya akan dihitung berdasarkan formula sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 sebagai berikut; UMn = UMt + (UMt X (Inflasit + ฮ % PDBt).). Jadi
kenaikan upah tahunan bagi buruh akan berdasarkan pada upah tahun berjalan,
ditambahkan dengan upah tahun berjalan dikali dengan inflasi ditambah prosentase
pertumbuhan ekonomi. Regulasi ini
sejatinya menguatkan politik upah
murah, pasalnya hanya membatasi kenaikan upah tahunan buruh tidak lebih dari
10%. Aturan
ini menjadikan nilai upah merosot dan penghidupan buruh semakin memburuk. Aturan
pengupahan dalam PP 78/2015 yang dikeluarkan oleh rezim Jokowi sungguh
merupakan aturan yang paling jahat dan kejam. Berikut adalah perbandingan
kenaikan upah sebelum dan saat diterapkannya PP 78/2015:
Persentase Kenaikan Upah (%)
|
|||
Sebelum PP 78/2015
|
Menggunakan PP 78/2015
|
||
2012
|
10,27%
|
2016
|
11,5%
|
2013
|
18,32%
|
2017
|
8,25%
|
2014
|
17,44%
|
2018
|
8,71%
|
2015
|
12,77%
|
2019
|
8,03%
|
Pemerintah menggunakan ukuran penetapan upah
didasarkan pada indikator-indikator ekonomi yang dibuat oleh imperialis yakni
inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak dikontrol oleh negara.
Faktor utama naiknya harga barang sehingga melahirkan inflasi yang tinggi
karena ditentukan berbagai faktor seperti, kemerosotan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS, ketergantungan bahan baku komoditas yang diimpor dari
industri asing, hilangnya pekerjaan di perdesaan karena perampasan tanah, upah
rendah yang memerosotkan daya beli, dihapuskannya subsidi untuk rakyat. Seluruh
faktor tersebut merupakan dampak dari dikte imperialis AS dan keputusan dari
pemerintahan boneka RI di bawah rezim Jokowi.
Sistem Fleksibilitas Tenaga Kerja
Memerosotkan Upah Buruh
Pelayanan
maksimal yang diberikan oleh pemerintahan Jokowi terhadap imperialisme semakin
memperburuk kondisi klas buruh. Melalui arahan dan dikte dari Bank Dunia,
pemerintah sedang melalukan revisi terhadap UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tujuanya adalah mempermudah aturan pengupahan, fleksibilitas tenaga kerja dan
perampasan hak politik buruh. Pada bulan April 2018, Bank Dunia mengeluarkan
dokumen berjudul World Development Report
(WRD) 2019: The Changing Nature of Work. Isi utama dari dokumen tersebut
adalah rekomendasi kepada seluruh negara anggotanya untuk menjadikannya sebagai
pijakan perubahan kebijakan fleksibilitas tenaga kerja.
Tujuan
utama dari lembaga tersebut adalah mendorong untuk penyesuaian dalam menghadapi
yang disebut oleh mereka era Revolusi Industri 4.0. Di mana penggunaan
teknologi canggih, otomatisasi, dan teknologi informasi untuk efektifitas
produksi dengan mengurangi tenaga manusia. Fleksibilitas produksi tersebut
semakin berdampak pada penerapan sistem kontrak dan outsourcing, jam kerja
panjang dan upah yang fleksibel.
Dalam mengintensifkan
fleksibilitas tenaga kerja, Pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri No. 36
tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Pemerintah
menargetkan jumlah buruh magang ditahun 2017 sebanyak 163,000 orang, angka ini
tidak jauh dengan jumlah buruh magang sepanjang tahun 2009 s.d 2016 yaitu
169,317 orang. Program pemagangan ini didukung oleh 2,648 perusahaan, dengan
1,776 diantaranya adalah perusahaan manufaktur di Indonesia. Permen
No 36
tahun 2016, ini sejatinya melegalkan cara pengusaha merampas upah lebih kasar dengan
mempekerjakan orang dalam status magang selama beberapa bulan dengan hanya
memberikan uang saku sebesar 60-75 persen dari UMK yang berlaku. Beberapa
perusahaan telah melakukan praktek tersebut, seperti di Tanggerang dan
Karawang. Pemerintah juga masih tetap memberlakukan Kepmen 231 tahun 2003
tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum sebagai cara perusahaan merampas
upah semena-mena dengan alasan ketidakmampuan membayar upah sesuai upah minimum
kota/kabupaten.
Tindasan Fasis dan Pemberangusan Demokrasi
Selain
merampas upah, PP 78/2015 juga memberangus hak politik buruh. Aturan tersebut
menghancurkan peran serikat buruh dan dewan pengupahan. Peran dewan pengupahan
yang dihancurkan oleh aturan tersebut menjadikan hak buruh untuk berunding
menjadi ditiadakan. Tidak ada lagi ruang yang dibuka bagi buruh untuk
memperjuangkan aspirasinya.
Pelarangan hak buruh
melakukan demonstrasi atau penyampaian pendapat umum dilarang di kawasan
industri berdasarkan SK Menteri Perindustrian No. 620 tahun 2012 tentang
penetapan 38 Industri & 10 kawasan industri sebagai Objek Vital Nasional
dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) yang melarang demonstrasi di
kawasan industri. Hingga saat ini perkembangannya, sudah terdapat 14 kawasan
industri yang melingkupi 49 perusahaan milik borjuasi besar komprador yang
ditetapkan sebagai OVNI. Selain itu, Ada UU Ormas, Nota Kesepahaman
antara TNI dan Polri terkait dengan pelibatan atau perbantuan tentara dalam
menghadapi unjuk rasa dan pemogokan, yang seluruhnya menindas hak politik
rakyat. Esensi dari berbagai peraturan tersebut ialah memberangus hak bagi klas
buruh untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya.
Orientasi utama dari pemerintahan Jokowi-JK adalah memberikan
pelayanan maksimal bagi investasi asing khususnya milik imperialis Amerika
Serikat di Indonesia. Pemerintahan Jokowi menetapkan kebutuhan dana yang
diperlukan dalam pembangunan infrastruktur hingga 2019 diperkirakan sebesar Rp
4.800 Triliun. Pada tahun 2015 realisasi anggaran infrastruktur dari
APBN hanya Rp 290 Triliun, di 2016 Rp 313,5 triliun dan tahun 2017 dialokasikan
hanya Rp 346,6 Triliun. Oleh karena itu, pemerintah semakin masif memangkas
subsidi dan mengalihkan dana sektor publik untuk percepatan pembangunan
infrastruktur.
Pencurian nilai lebih
selalu terus berupaya untuk ditingkatkan demi super profit bagi kapitalis
monopoli internasional. Berbagai alasan dan tipu daya dikeluarkan oleh
kapitalis monopoli demi melancarkan skema tersebut. Mereka mempromosikan
keadilan upah bagi klas buruh namun tetap tidak memberatkan bagi pengusaha
dengan mengedepankan dialog. Hal tersebut merupakan cerminan bahwa rezim Jokowi
semakin menjerumuskan buruh pada pertarungan dengan pengusaha di tengah
dominasi sistem oleh imperialis. Sehingga apa yang dikatakan bahwa perjuangan
klas buruh adalah perjuangan untuk melepaskan rantai yang mengikat dirinya
adalah tepat. Klas buruh hanya akan kehilangan rantai belenggu dirinya ketika
memenangkan perjuangannya bersama rakyat tertindas di Indonesia.
Revisi
Paket Kebijakan Ekonomi–16 (PKE-16): Memperkuat Dikte Neoliberal Amerika
Serikat di Indonesia.
Pada tanggal 16 Nopember 2018 rezim boneka
Imperialis Joko Widodo kembali memberikan pelayanan maksimal bagi tuannya,
melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Jokowi
telah mengeluarkan pembaharuan Paket Kebijakan Ekonomi XVI Tentang Relaksasi
Kebijakan Untuk Ketahanan Ekonomi Nasional. Berkedok perkembangan situasi
ekonomi global yang diprediksi akan terus melambat pada tahun 2019, kebijakan
normalisasi moneter di Amerika masih akan
terus berlanjut, perang dagang antara AS dengan negeri lain akan terus
berlanjut, volatilitas harga minyak dan komoditi utama di pasar dunia masih
tinggi, serta penarikan US Dolar kembali ke Amerika dan keluar (outflow) dari
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Telah menjadi alasan dikeluarkannya
pembaharuan paket ekonomi jilid 16.
Rezim Jokowi berharap melalui paket tersebut dapat
lebih meningkatkan kepercayaan dari kapitalis monopoli (imperialis), dan dapat
mendorong masuknya investasi dan hutang LN yang lebih besar, utamanya melalui
Investasi Langsung. Dengan masuknya investasi yang lebih besar lagi maka
diharapkan dapat menutup kenaikan defisit Transaksi Berjalan (CAD), dan agar
kepercayaan investor lebih meningkat lagi dalam jangka pendek. Kebijakan ini
semakin membuktikan bahwa rezim Jokowi tak ubahnya rezim-rezim penguasa
sebelumnya yang hanya menyandarkan pertumbuhan ekonomi pada investasi dan utang
LN, meskipun harus menjual diri dan menghancurkan kedaulatan bangsa.
PKE-16 memberikan gambaran semakin nyata dan vulgar
kedudukan rezim Jokowi sebagai boneka sekaligus pelayan paling setia
Imperialis. PKE-16 mengatur tiga kebijakan yakni perluasan fasilitas
pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), merelaksasi Daftar Negatif
Investasi (DNI), dan pengendalian devisa hasil ekspor (DHE) sumbardaya alam.
Tujuan sesungguhnya adalah memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi imperialis
untuk dapat menguasai seluruh sector industry strategis untuk mendapatkan
keuntungan yang melimpah serta semakin lapang bagi imperialis menguasai dan
memonopoli sumber-sumber ekonomi nasional, menjadikan Indonesia tetap sebagai
negeri setengah jajahan dan setengah feodal.
Pembaharuan paket kebijakan ekonomi-16 yang di
keluarkan oleh rezim Jokowi di bulan November
merupakan puncak dari seluruh paket kebijakan ekonomi yang sebelumnya telah di
keluarkan. Seluruh paket kebijakan ekonomi termasuk paket ekonomi 15 hanya di
tujukan untuk kepentingan dan keuntungan lebih maksimal bagi kapitalis monopoli
internasional (imperialis), tidak ada satupun kebijakan rezim Jokowi untuk
membela kepentingan rakyat Indonesia.
Dampak nyata dari paket kebijakan ekonomi ke-16
adalah kehancuran industri
skala kecil dan menengah semakin besar, karena mereka tidak akan dapat bersaing
dengan industri
milik borjuasi komperador dan kapitalis monopoli internasional yang memiliki
modal jauh lebih besar dengan penguasaan mesin dan teknologi yang lebih
modern. UMKM meskipun diberikan
kemudahan dalam pemberian pinjaman dengan bunga yang relatif rendah tidak akan
mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar milik imperialis dan borjuasi
besar komperador. Konsekuensi
dari situasi ini adalah PHK masal karena semakin banyaknya perusahaan yang
bangkrut dan dipaksa gulung tikar, rakyat Indonesia akan terus dipaksa bekerja
menjadi buruh di perusahaan-perusahaan asing milik imperialis dan borjuasi
besar komperador dengan upah murah akibat semakin ketatnya persaingan untuk
mendapatkan pekerjaan.
Untuk melayani kepentingan kapitalis monopoli
(Imperialis), monopoli dan perampasan tanah akan semakin massif untuk
pembangunan proyek infrastruktur, perkebunan dan pertambangan skala besar yang
selama ini dikuasai dan dimonopoli oleh segelintir borjuasi besar komprador,
tuan tanah dan kapitalis monopoli asing (imperialis). Implementasi pembaharuan
paket kebijakan ekonomi ke 16 memberikan kemudahan dan peluang lebih besar lagi
bagi imperialis untuk menguasi dan memonopoli segala sektor dan jenis industri
karena sudah dihilangkan seluruh aturan yang masih menghambat investasi. Selain
itu di dalam
paket kebijakan ekonomi 16 juga memberikan insentif pembebasan pajak sampai 0%
serta di berikan keleluasaan lebih besar lagi kepemilikan saham bagi kapital
monopoli asing hingga 100%.
Pembaharuan paket kebijakan ekonomi (PKE-16) selain
untuk mengatasi krisis ekonomi dalam jangka pendek sesungguhnya rezim Jokowi
ingin mendapatkan dukungan politik dan ekonomi dari tuannya (Imperialis) dalam
rangka untuk memenangkan pemilihan presiden bulan april tahun ini. Rezim jokowi
ingin agar dukungan lebih besar di berikan oleh imperialis pada dirinya agar
dapat memastikan skema kebijakan yang telah di berikan kepada imperialis
melalui paket kebijakan ekonominya dapat berjalan mulus seperti yang diinginkan
imperialis.
Rezim Jokowi ingin
mengulang kesuksesan rezim sebelumnya ketika SBY meraih kemenangan menjadi
presiden dua periode dalam pemilu 2009. Taktik jahat yang dijalankan oleh rezim
Jokowi melalui pemberian paket kebijakan ekonomi ke 16 selain telah
mengorbankan kepentingan seluruh rakyat Indonesia utamanya klas buruh dan kaum
tani juga akan menghancurkan kedaulatan
dan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Dampak
Neoliberalisme terhadap Pemuda-Mahasiswa
Pemerintah melalui berbagai lembaga
pendidikannya, terutama kampus menyebarluaskan perspektif anti rakyat, anti
ilmiah, dan anti demokrasi. Pengetahuan yang diajarkan tidak pernah mampu untuk
menjawab persoalan pokok kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan hidup
rakyat. Melalui kurikulum dan orientasi pendidikannya, pemerintah terus
memperlebar jarak pemisah antara pemahaman teori ilmu pengetahuan dan
pengembangan kemampuan praktik. Seolah-olah untuk kemajuan rakyat, pendidikan
harus dipisahkan antara ilmu pengetahuan teoritik dan program praktik kejuruan.
Namun itu semua semata hanya untuk memastikan ketersediaan cadangan tenaga kerja
melalui pengingkatan jumlah program vokasional. Dalam Nawa Cita-nya, presiden
Jokowi menargetkan akan memperbanyak sekolah jurusan kejuruan dan kampus vokasi
dengan perbandingan 80:20 dengan jurusan keilmuan.
Dengan demikian itu, maka kebutuhan perusahaan-perusahaan
besar atas tenaga kerja berskill rendah dan berupah murah akan semakin tersedia
luas. Bahkan pemerintah terus mempromosikan dan mendorong dihapuskannya
berbagai jurusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar dan menggantinya
dengan yang lebih adaptif terhadap fenomena yang disebut-sebut revolusi
industri 4.0. Pemerintah mendorong dibukanya jurusan baru seperti jurusan
Logistik, Ritel, Packaging, E-Sport, Elektronika dan Green Building. Lulusan
sekolah kejuruan dan vokasi dilempar untuk menjadi buruh-buruh murah di
berbagai cabang industri di Indonesia. Mereka terus memadati kawasan pabrik
manufaktur, pertambangan, industri pengolahan, buruh jasa, dan pekerja
serabutan.
Pelajar dan mahasiswa selalu diajarkan ilusi
pengetahuan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan globalisasi melalui peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
kompetitif. Sementara itu, pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja yang
layak bagi lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Hal tersebut
terbukti dari mayoritas persebaran pemuda dalam berbagai sektor lapangan kerja
menurut BPS 2018, seperti buruh manufaktur (18,20%), buruh jasa (16,97%), dan
pekerja serabutan (19,15%). Sementara, program
peningkatan kreatifitas dan kewirausahaan disuntikan seolah menjadi obat penenang tanpa mampu
menyembuhkan akar penyakitnya.
Sementara
itu akibat dari implementasi kebijakan neoliberal rezim Jokowi, pendidikan di
Indonesia juga semakin jauh dari jangkauan rakyat. Sistem
pembiayaan pendidikan yang diatur dalam UU 12/2012 yaitu Uang Kuliah Tunggal
bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah bentuk dari komersialisasi pendidikan
yang nyata. Demi memenuhi hasrat untuk memonopoli profit yang semakin besar,
pembiayaan pendidikan terus dibebankan kepada rakyat. Prinsip sistem pembiayaan
UKT tidak berbeda dengan prinsip yang terdapat dalam penentuan harga BBM, yaitu
ditentukan dengan harga pasar biaya operasional. Artinya dapat dipastikan bahwa
biaya pendidikan akan selalu naik mengikuti naiknya kebutuhan biaya
operasional. Pemerintah di sisi lain jusrtu semakin memangkas anggaran untuk
membiayai pendidikan tinggi. Alhasil,
biaya pendidikan tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat dan menjauh dari
jangkauan rakyat.
Di sisi
yang lain, demi mengurangi beban pembiayaan pemerintah, kampus terus membuat
berbagai bentuk biaya yang dibebani terhadap rakyat. Uang Kuliah Tungga secara
jelas telah menunjukan wajah aslinya untuk merampok uang rakyat dengan
penjualan jasa pendidikan tinggi. Selain biaya tiap semester yang tinggi,
mahasiswa baru di PTN yang masuk melalui jalur
mandiri akan dikenakan sejenis uang pangkal dengan
besaran jutaan hingga ratusan juta rupiah. Biaya
tersebut merupakan biaya tambahan yang dibebankan kepada rakyat dengan besaran
hingga mencapai ratusan juta rupiah. Tentu tambahan biaya tersebut semakin
memperlihatkan orientasi dari rezim Jokowi untuk membuat pemuda di Indonesia
tetap berpendidikan rendah dan mencetaknya menjadi tenaga kerja murah.
Di tahun 2017, Rata-rata lama sekolah penduduk
Indonesia tahun 2017 adalah 8,5 tahun[1],
yang artinya secara rata-rata penduduk Indonesia hanya mampu sekolah sampai
dengan jenjang pendidikan menengah pertama. Ini menunjukkan bahwa pendidikan
tidaklah dapat di akses oleh seluruh rakyat.
Situasi ini semakin di pertegas dengan angka dari 63,82 juta orang
pemuda di Indonesia. Justru aksesibilitas pemuda terhadap pendidikan di
Indonesia sangatlah sulit. Secara umum, pendidikan tertinggi pemuda didominasi
oleh pemuda yang tamat SMA/sederajat sebesar 36,89 persen dan tamat
SMP/sederajat sebesar 32,18 persen[2].
Untuk tamatan pendidikan tinggi, hanya 9,71 % pemuda yang mampu menamatkan
pendidikan tinggi. Bahkan pada tahun 2018, dari total lulusan
SMA/sederajat yang dapat melanjutkan ke
jenjang pendidikan tinggi negeri maupun swasta hanya 34%.
Artinya,
rezim Jokowi telah gagal dalam memastikan hak dasar rakyat untuk mengenyam
pendidikan tinggi. Jumlah pemuda lulusan SMA mayoritas terlempar pada jurang
pengangguran dan menjadi buruh murah. Di tengah situasi krisis ekonomi yang
semakin tajam, memaksa klas buruh dan kaum tani terus hidup dalam kemiskinan
yang akut. Upah yang diperoleh klas buruh jauh dari biaya kebutuhan hidupnya.
Seperti contohnya di Jakarta, upah buruh berdasarkan rumusan PP 78/2015 tentang
Pengupahan ditetapkan sebesar 3,9 juta rupiah, namun kebutuhan hidup keluarga
buruh di Jakarta bahkan mencapai 8 juta rupiah/bulan.
Dengan upah yang
rendah tersebut sudah jelas klas buruh mayoritas tidak akan sanggup mengakses
pendidikan tinggi. Hal serupa juga terjadi di berbagai daerah, kesenjangan yang
semakin jauh antara upah buruh dengan biaya kuliah.
Perbesar
Organisasi dan Perkuat Persatuan Bersama Klas Buruh-Kaum Tani untuk Memajukan
Perjuangan Demokratis Nasional
Sesungguhnya,
di tengah situasi ekonomi, politik dan kebudayaan yang terus mengalami krisis
ini, merupakan momentum yang baik bagi FMN untuk memperbesar dan memperluas
organisasinya. FMN merupakan satu-satunya organisasi massa pemuda mahasiswa
yang memiliki perspektif demokratis nasional. Pada perkembangannya, secara
organisasional FMN masih memiliki kelemahan mendasar khususnya sebagai alat
perjuangan mahasiswa. FMN belum memiliki kemampuan kampanye secara nasional
dengan baik. Demikian pula halnya dengan melakukan rekrutmen skala besar di
kampus-kampus. FMN menilai bahwa pemerintah Indonesia di bawah rezim Jokowi
merupakan keberlanjutan dari pemerintah sebelumnya yang merupakan boneka dari
imperialis AS dan penjaga kepentingan borjuasi besar komprador serta tuan tanah
di Indonesia. Oleh karena itu, FMN dengan tegas menyatakan sikap berlawan
terhadap rezim Jokowi/pemerintah Indonesia.
FMN
sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa yang memiliki perspektif demokratis
nasional telah menyatakan sikap tegas untuk berjuang bersama rakyat. Secara
khusus, pandangan, pendirian dan sikap FMN dalam menyikapi problem klas buruh ialah berjuang bersama dengan klas buruh dan
mengkampanyekan persoalaan klas buruh di dalam kampus. Karena persoalaan
mengenai perampasan upah dan lapangan pekerjaan juga menjadi bagian yang tidak
terpisah dari persoalaan pemuda mahasiswa. Selain itu, kampus yang juga
merupakan corong dari rezim untuk melegitimasikan seluruh kebijakan anti rakyat
tentu harus terus dibelejeti.
Kampus-kampus
memberikan pelayanan dan mencurahkan tenaga serta pikiran untuk melegitimasi,
menopang dan membohongi rakyat melalui berbagai tipu daya ilmu pengetahuan.
Kampus melalui lembaga riset, kajian dan studi, melalui profesor dan guru besar
terus memproduksi ilmu pengetahuan, teori dan hasil riset yang berpihak pada perampasan
upah buruh. Atas dasar keramahan terhadap investasi dan perputaran roda ekonomi
dalam negeri, para profesor di kampus menyampaikan bahwa upah buruh tidak
dibenarkan jika terlalu tinggi. Tentu hal itu merupakan ilusi dan kebohongan
berkedok rumus-rumus yang ditransformasikan kepada mahasiswa dan rakyat.
Ingat,
Indonesia adalah negeri setengah jajahan setengah feodal yang seluruh sistem
politik, ekonomi, dan kebudayaan didominasi oleh klas borjuasi besar komprador
dan tuan tanah. Artinya, perjuangan rakyat haruslah berorientasi untuk
mendelegitimasi kekuasaan pemerintah saat ini dan menghancurkan basis sosial
feodalisme di perdesaan. Kaum tani adalah kekuatan utama dalam perjuangan
demokratis nasional yang dipimpin oleh politik klas buruh. Hanya organisasi
yang memiliki politik anti terhadap imperialis dan anti feodal saja yang mampu
membawa maju gerak perjuangan rakyat Indonesia.
Berangkat dari hal
tersebut maka, tetaplah teguh untuk terus MEMBANGKITKAN,
MENGORGANISASIKAN, MENGORGANISASIKAN, MENGORGANISASIKAN & MENGGERAKAN
mahasiswa di seluruh kampus. Juga menjadi sebuah keharusan bagi FMN untuk terus
memajukan perjuangan dan bersatu bersama klas buruh dan kaum tani serta seluruh
rakyat tertindas di negeri ini.
Oleh: Departemen Pendidikan dan Propaganda PP FMN
[1]Lihat
lebih dalam pada “Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2018”,
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik
[2]Lihat
lebih dalam pada “Statistik Pemuda 2018”, diterbitkan oleh Badan Pusat
Statistik
0 komentar:
Posting Komentar