Dikte Neoliberalisme dan Dampaknya Terhadap Rakyat Indonesia
Neoliberalisme merupakan skema utama yang dijalankan oleh kapitalis monopoli internasional demi mengintensifkan penetrasi kapitalnya ke berbagai negeri. Akibat krisis keuangan yang berkepanjangan, kapitalis monopoli internasional mendesak peranan sektor swasta (privat) semakin dibuka dan pergerakan kapital diberikan ruang sebesar-besarnya tanpa hambatan. Selain itu, pengurangan drastis dana pelayanan sosial dan upah, pemotongan pajak korporasi, dan penghapusan regulasi yang menghambat masuknya kapital juga menjadi bagian yang tidak terpisah. Esensi dari neoliberalisme adalah dengan menekankan pada tiga aspek utama, yaitu Pertama Deregulasi atau pemangkasan seluruh kebijakan dan aturan negara yang menghambat iklim investasi. Kedua, Liberalisasi atas seluruh aspek ekonomi, keuangan, dan perdagangan untuk mendapatkan super profit. Ketiga, Privatisasi (swastanisasi) sektor-sektor publik demi memfasilitasi kapitalis monopoli internasaional maupun borjuasi besar dalam negeri. Semuanya bermuara pada monopoli yang dilakukan oleh imperialis, khususnya Amerika Serikat sebagai kekuatan utama di dunia.
Neoliberalisme tetap menjadi obat penenang bagi imperialis AS di bawah pimpinan Donald Trump
saat ini. Namun Trump tetap tidak mampu mengendalikan krisis dalam negerinya dan
memaksa AS untuk terus mendistribusikan krisis tersebut ke berbagai negeri.
Neoliberalisme telah terbukti gagal dan justru terus memerosotkan hidup rakyat
di Amerika Serikat. Kebijakan proteksi dengan jargon American First dan Make American Greet Again terus
mengalami keruntuhan.
Pada bulan Mei 2018 angka pengangguran di AS mencapai 3,8% namun naik cepat pada bulan berikutnya menjadi 4,0 % dari total angkatan kerja yang ada. Bahkan pada era Donald Trump, AS menunjukan semakin tajamnya jurang kemiskinan. PBB merilis sebanyak 41 juta orang Amerika hidup miskin, dan 18,5 juta di antaranya dalam kategori ekstrem. Hal ini terjadi karena monopoli kekayaan oleh kapitalis besar dunia, mereka menguasai mayoritas kekayaan di AS. Bahkan ketimpangan tersebut menunjukan bahwa kekayaan dari delapan konglomerat AS sebanding dengan pendapatan dari 32 juta rakyat AS. Kondisi semakin buruk karena Trump terus mengeluarkan kebijakan anti rakyat dengan mencabut subsidi bagi fasilitas publik seperti kesehatan dan pendidikan. Sementara di sisi lain, memberikan keringanan pajak bagi investasi dan operasi kapital milik kapitalis monopoli. Kondisi yang menyebabkan lebih dari 5 juta rakyat AS kehilangan akses fasilitas kesehatan karena pemangkasan anggaran publik untuk kesehatan. Kebijakan yang kurang lebih sama terjadi di Indonesia dengan memangkas anggaran dan subsidi untuk rakyat dan dialihkan bagi pelayanan primanya terhadap kapitalis monopoli internasional dan borjuasi besar dalam negeri.
Implementasi dari skema neoliberalisme adalah
liberalisasi dan privatisasi seluruh sektor publik dan sendi kehidupan rakyat.
Di Indonesia, skema tersebut telah berjalan sejak lama dengan berbagai
bentuknya. Sejak berkuasa pada tahun 2014, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)
telah secara konsisten mengimplementasikan skema neoliberalisme di Indonesia.
Melalui Paket Kebijakan Ekonomi (Jilid 1 – 16), pemerintah bertujuan untuk
memberikan keleluasaan bagi masuk dan berkembangnya kekuatan kapital baik
investasi maupun utang. Paket Kebijakan Ekonomi tersebut juga berimbas bagi
penghidupan rakyat Indonesia di berbagai sektor.
Bagi kaum tani, pemerintahan Jokowi adalah rezim
yang melegitimasi perampasan dan monopoli tanah secara sistematis melalui
program Reforma Agraria palsunya. Program yang sejak awal merupakan
implementasi dari kebijakan World Bank dengan mengucurkan bantuan sebesar US$
200 juta untuk One Map Program. Dalam
implementasinya Reforma Agraria hanya
menyasar tanah-tanah sisa, tanah bekas HGU, tanah timbul, tanah kelebihan HGU
dan tanah milik rakyat (hasil perjuangan). Tidak berorientasi untuk penghentian
pemberian dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) terhadap perusahaan-perusahaan
besar yang hakikatnya adalah tuan tanah besar.
Sementara itu selaras dengan program yang
menindas kaum tani, skema neoliberalisme juga ditujukan untuk memperdalam
penghisapan serta tindasan terhadap klas buruh. Kapitalis
monopoli terus mempertahankan industri Indonesia yang terbelakang dengan
mengandalkan upah rendah, karena investasi langsung adalah cara agar terhindar
dari ancaman pembusukan kapital.
Paket Kebijakan Ekonomi melahirkan PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang
menjaga standar upah buruh tetap murah. Pada tahun 2018, kenaikan upah buruh
sebesar 8,71 persen sementara di tahun 2019 menurun di angka 8,03 persen. Hal
tersebut melahirkan defisit upah yang semakin dalam. Sebagai contoh, rata-rata defisit upah riil buruh di Jakarta
pada tahun 2017 dibandingkan dengan UMK DKI (Upah Nominal) sebesar 20,75%.
Sementara, apabila dihitung dengan memperbandingkan antara upah riil dengan
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita (per orang dalam satu tahun), maka
rata-rata defisit sebesar 48%. Keadaan ini mengakibatkan penghidupan buruh
semakin merosot.
Sementara itu, skema neoliberalisme ini juga
mendorong korporasi mengambil alih pembangunan di kota. Seperti yang dilakukan
oleh Bank Dunia dengan membiayai Proyek Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang
merupakan megaproyek pembangunan untuk penataan kota di Indonesia. Proyek
dengan menyasar 154 kota, termasuk Jakarta, sebagai pilot project. Proyek nasional yang berdurasi Juli 2016 sampai
Maret 2022 dibiayai oleh pemerintah pusat, daerah, sektor swasta, dan lembaga
pendanaan multilateral. Jumlah nilai proyek ini mencapai US$ 1.743 juta.
Selain itu, Bank Dunia dan pemerintah
Belanda mendukung pemerintah DKI Jakarta dalam manajemen penanganan banjir
secara cepat dengan program bernama Jakarta Urgent
Flood Mitigation Project (JUFMP) dan Jakarta
Emergency Dredging Initiative (JEDI) yang berdurasi sejak tahun 2012 sampai
Maret 2017. Proyek yang terdiri komponen yang mendukung pengelolaan kontrak,
tinjauan desain teknik sampai relokasi pemukiman dan penanganan keluhan.
Artinya penggusuran paksa yang menimpa rakyat di perkotaan merupakan dampak langsung
dari implementasi kebijakan neoliberal. Demi pembangunan kota untuk
memfasilitasi ekspor kapital dan bisnis milik kapitalis asing dan borjuasi
besar dalam negeri, pemerintah menanggalkan kepentingan dan kehidupan rakyat.
Selain itu, imbas dari skema neoliberalisme juga
terjadi dalam lapangan kebudayaan. Imperialis AS memotori liberalisasi dan
privatisasi sektor pendidikan di berbagai negeri. Amerika Serikat di bawah
komando Donald Trump terus menerapkan standar ganda dalam kebijakan
neoliberalnya. AS seolah menjadi korban dari neoliberalisme sehingga melakukan
proteksi terhadap ekonomi negerinya. Namun di sisi yang lain tetap menggenjot
seluruh negeri untuk membuka perekonomian dan perdagangannya untuk investasi
asing. Demikian halnya dengan kebijakan pendidikan yang dikontrol secara global
oleh imperialis AS.
Dominasi Imperialis AS dalam Dunia Pendidikan
Kontrol dan dominasi imperialis AS di lapangan
pendidikan telah berjalan lama. Secara sistematis, neoliberalisme merangksek di
sektor pendidikan sejak AS mengkonsolidasikan berbagai negeri dalam World Trade Organization (WTO). WTO
selanjutnya yang memayungi berbagai perjanjian untuk meliberalisasi perdagangan
termasuk sektor-sektor jasa dengan melahirkan General Agreement on Trade in Service (GATS) dan Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Right (TRIPs). WTO memposisikan pendidikan sebagai
sektor dagang tersier. AS menjadi negara terdepan yang menggawangi proyek WTO
tersebut. Hal ini ditujukan untuk dapat mengakumulasikan keuntungan dari bisnis
pendidikan dan menguasai seluruh produk hasil penelitian melalui TRIPs. Di AS
sendiri, kebijakan tersebut berdampak pada kenaikan biaya pendidikan tinggi
hingga mencapai 1120% dari 1970 – 2012.
Amerika Serikat juga menjadi negara pertama yang
mengeluarkan kebijakan Utang Pendidikan atau Student Loan pada 1958 dengan mengeluarkan kebijakan The National Defense Education Act.
Kebijakan tersebut merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah federal AS
dengan pihak swasta (lembaga keuangan). Student
Loan melahirkan utang pendidikan yang menumpuk dan menjadi beban rakyat AS.
Akibat kebijakan tersebut, 70% dari mahasiswa di AS adalah penerima Student Loan dan lebih dari 44 juta di
antaranya memiliki total pinjaman senilai US$ 1,4 triliun. Bahkan sebuah
penelitian dari One Wisconsin Institute mengemukakan bahwa butuh 19,7 tahun
bagi mahasiswa untuk dapat melunasi utang pendidikan tersebut. Bank Sentral AS
(The Fed) menyampaikan bahwa akibat dari kebijakan tersebut rakyat AS memiliki
rata – rata sisa pinjaman pendidikan sebesar US$ 33.765 per orang di usia 40
tahun. Namun sialnya, kebijakan tersebut jusrtu terus dipromosikan oleh AS ke
berbagai negeri agar segera diterapkan. Hal ini tentu merupakan kebijakan yang
hanya menguntungkan institusi keuangan karena terus mendapat ruang untuk
mengalirkan kapitalnya. Student Loan merupakan
kebijakan yang akan membagi untung antara pemerintah dengan lembaga keuangan,
sementara rakyat akan terjerat utang yang semakin bengkak. Kebijakan yang saat ini sedang terus dipromosikan oleh
pemerintahan Jokowi, agar Indonesia dapat segera menerapkan Student Loan.
Sementara
itu melalui World Bank, imperialis AS melakukan hal yang tidak berbeda dengan
WTO. Sementara itu melalui proyek World Bank University Research For Graduate Education (URGE) yang kemudian
dilanjutkan dengan Development Of Undergraduate Education (DUE) dan Quality Undergraduate Education (QUE). Proyek tersebut mengusung tema “Paradigma
Baru” dalam dunia pendidikan. Pendidikan tidak lagi diposisikan sebagai bagian
dari tanggung jawab negara/pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pendidikan
menjadi bagian dari sasaran bisnis dan investasi serta untuk menopang
kepentingan perusahaan besar melalui riset-risetnya.
Skema neoliberalisme dalam sektor pendidikan merupakan instumen bagi
imperialis AS untuk menjaga dominasinya di berbagai negeri. Sehingga pendidikan
dapat menjadi bisnis yang menguntungkan untuk akumulasi kapital dan investasi.
Selain itu, dengan skema tersebut orientasi pendidikan juga ditujukan untuk
melegitimasi seluruh skema ekonomi-politik imperialis yang menindas rakyat di
berbagai negeri. Penemuan hasil riset, pengembangan teknologi dan teori
ditujukan untuk memperkuat dominasinya.
Skema dan Kebijakan Neoliberalisme Rezim Jokowi dalam Dunia Pendidikan
di Indonesia
Pendidikan
di Indonesia tidak akan mampu untuk berkembang dan maju. Pendidikan terus dipergunakan
untuk melegitimasi sistem sosial Setengah Jajahan dan Setengah Feodal yang
dipertahankan saat ini. Monopoli tanah oleh tuan-tuan tanah sebagai basis
sosial dari keberadaan dominasi imperialis di Indonesia terus dipertahankan.
Praktik perampasan tanah, penggusuran pemukiman demi menopang bisnis dan
kepentingan dari tuan tanah, borjuasi besar komprador dan imperialis menjadi
bagian dari tugas institusi pendidikan untuk menopangnya.
Seperti
yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) yang membangun kerjasama
dengan Agung Sedayu Grup pada tahun 2016 lalu. UGM diberikan tugas untuk
melakukan analisis akademik untuk studi Hidrolika yang dikerjakan oleh Jurusan
Teknik Sipil, kemudian juga terlibat dalam legitimasi melalui analisis untuk
penggusuran kawasan Kampung Baru Dadap, Jakarta Utara yang seluruhnya itu untuk
memuluskan proyek reklamasi. Proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang
mengancam lebih dari 16.000 nelayan, UGM juga berperan di dalamnya. Dari
kerjasama itu, UGM mendapat beberapa keuntungan seperti, mendapat bantuan dana
pembangunan gedung Fakultas Biologi, Jurusan Teknik Sipil mendapat Rp 450 juta
untuk analisis hidrolika-nya, dan UGM dapat membangun gedung kampusnya di
kawasan elit Pantai Indak Kapuk 2. Semua keuntungan tersebut tidak berimbas
kepada mahasiswa, biaya kuliah di UGM tetap tinggi dan semakin sulit dijangkau
oleh rakyat.
Pemerintah
melalui berbagai lembaga pendidikannya, terutama kampus menyebarluaskan
perspektif anti rakyat, anti ilmiah, dan anti demokrasi. Pengetahuan yang
diajarkan tidak pernah mampu untuk menjawab persoalan pokok kemelaratan,
kebodohan dan keterbelakangan hidup rakyat. Melalui kurikulum dan orientasi
pendidikannya, pemerintah terus memperlebar jarak pemisah antara pemahaman
teori ilmu pengetahuan dan pengembangan kemampuan praktik. Seolah-olah untuk
kemajuan rakyat, pendidikan harus dipisahkan antara ilmu pengetahuan teoritik
dan program praktik kejuruan. Namun itu semua semata hanya untuk memastikan
ketersediaan cadangan tenaga kerja melalui pengingkatan jumlah program
vokasional. Dalam Nawa Cita-nya, presiden Jokowi menargetkan akan memperbanyak
sekolah jurusan kejuruan dan kampus vokasi dengan perbandingan 80:20 dengan
jurusan keilmuan.
Dengan
demikian itu, maka kebutuhan perusahaan-perusahaan besar atas tenaga kerja
berskill rendah dan berupah murah akan semakin tersedia luas. Bahkan pemerintah
terus mempromosikan dan mendorong dihapuskannya berbagai jurusan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasar dan menggantinya dengan yang lebih adaptif
terhadap fenomena yang disebut-sebut revolusi industri 4.0. Pemerintah
mendorong dibukanya jurusan baru seperti jurusan Logistik, Ritel, Packaging,
E-Sport, Elektronika dan Green Building. Lulusan sekolah kejuruan dan vokasi
dilempar untuk menjadi buruh-buruh murah di berbagai cabang industri di
Indonesia. Mereka terus memadati kawasan pabrik manufaktur, pertambangan,
industri pengolahan, buruh jasa, dan pekerja serabutan.
Sementara itu, pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja yang layak
bagi lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Program peningkatan kreatifitas dan
kewirausahaan disuntikan sebagai obat penenang tanpa mampu menyembuhkan akar
penyakitnya. Rakyat terus dipaksa untuk menerima demokrasi ala imperialis yang
hanya menjadikan rakyat sebagai data statistik melalui demokrasi kotak suara. Ilmu pengetahuan yang diajarkan tidak pernah
memberikan jawaban atas kemiskinan yang terjadi, hanya sebatas insturksi untuk
saling berbagi, solidaritas sosial, donasi sosial yang tidak akan pernah
melepaskan rakyat dari belenggu kemiskinan. Pemerintah juga mengelabui rakyat
dengan menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa hidup tanpa utang dan investasi
asing. Fenomena korupsi dipersempit sebatas masalah oknum dan moralitas. Sementara itu, demi menjaga pengaruh dan
dominasi penghisapan feodalisme oleh tuan tanah, pemerintah mengubah esensi
dari nilai-nilai kebudayaan rakyat, seperti “menjaga adat dan tradisi” dan
“budaya timur”. Sungguh pemutarbalikan nilai yang hanya bertujuan untuk
menundukan rakyat. Semua itu merupakan peran aktif kampus-kampus di Indonesia
dalam memproduksi ilmu pengetahuan yang berpihak pada kepentingan imperialisme
dan feodalisme.
Ketundukan
terhadap imperialisme menyebabkan sektor pendidikan terus diintervensi melalui
berbagai skema dan program. Neoliberalisme di dunia pendidikan tidak pernah
berhenti hingga era pemerintahan Jokowi. Gelombang liberalisasi, privatisasi
dan komersialisasi pendidikan di Indonesia telah eksis sejak tahun 1994 hingga
saat ini. Hal tersebut tentunya dimulai pada saat pemerintah Orde Baru Soeharto
meratifikasi perjanjian WTO untuk meliberalisasi sektor perdanganan, pasar, dan
jasa yang salah satunya adalah pendidikan. Seiring dengan rangkaian kerjasama
Indonesia dengan IMF pada tahun 1997, salah satu dari Letter of Intent (LoI) yang dibentuk adalah paket bantuan untuk
pendidikan Indonesia sebesar US$ 400 juta. Paket pinjaman tersebut meliputi
liberalisasi sektor pendidikan tinggi dengan menjadikan universitas menjadi
status dan bentuk pengelolaan Badan Hukum, serta secara nasional melahirkan PP
No 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. Aturan
tersebut berlaku bagi Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung
(ITB), Intitut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas
Arilangga (UNAIR), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)-Bandung, dan
Universitas Sumatera Utara (USU).
Selanjutnya
dalam program yang lebih lengkapnya, World Bank bersama UNESCO membentuk Higher Education for Compt Project (HECP)
yang kemudian berganti dengan Indonesia
Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Tujuan
utamanya adalah untuk memastikan adanya sistem pendidikan tinggi yang di
liberalisasi dapat dilakukan melalui praktik otonomi institusi. Imbalan dari
liberalisasi pendidikan tersebut tidak lain adalah kucuran dana untuk membiayai
IMHERE sebesar US$ 114,54 juta. Hasilnya yaitu lahirnya UU BHP pada 2009 yang
kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2010. Pasca ketiadaan
peraturan UU BHP, World Bank kembali mendikte Indonesia secara langsung, “ A
new BHP must be passed to establish the independent legal status of all
education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN
has a legal subset of BHP”. Permintaan
tersebut kemudian direspon dengan melahirkan UU 12/2012 tentang Pendidikan
Tinggi. Aturan yang juga melegitimasi sistem pembiayaan Uang Kuliah Tunggal
(UKT) bagi PTN yang mengakibatkan biaya pendidikan tinggi semakin mahal dan
menjauh dari akses rakyat.
Sistem
pembiayaan pendidikan yang diatur dalam UU 12/2012 yaitu Uang Kuliah Tunggal
bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah bentuk dari komersialisasi pendidikan
yang nyata. Demi memenuhi hasrat untuk memonopoli profit yang semakin besar,
pembiayaan pendidikan terus dibebankan kepada rakyat. Prinsip sistem pembiayaan
UKT tidak berbeda dengan prinsip yang terdapat dalam penentuan harga BBM, yaitu
ditentukan dengan harga pasar biaya operasional. Artinya dapat dipastikan bahwa
biaya pendidikan akan selalu naik mengikuti naiknya kebutuhan biaya
operasional. Pemerintah di sisi lain jusrtu semakin memangkas anggaran untuk
membiayai pendidikan tinggi. Alhasil,
biaya pendidikan tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat dan menjauh dari
jangkauan rakyat.
Melalui
skema otonomi universitas, maka setiap kampus apapun itu statusnya akan
didorong untuk mencari sumber pendapatannya secara mandiri. Tentu pendapatan
terbesarnya adalah dari mahasiswa/rakyat. Hal ini dapat dilihat dari
perbandingan pendapatan universitas dari APBN dan biaya pendidikan. Universitas
Indonesia pada tahun 2017 mendapat suntikan APBN sebesar Rp 517,52 miliar sedangkan
dari layanan pendidikan nya mendapat Rp 893,44 miliar. Sedangkan di Universitas Airlangga, pendapatan kampus dari APBN hanya sebesar
Rp 261,30 miliar sangat jauh dibandingan dengan dana yang dikeruk dari rakyat
yang mencapai Rp 423,12 miliar.
Dampak
Liberalisasi Pendidikan Terhadap Akses Rakyat
Artinya, rezim Jokowi
telah gagal dalam memastikan hak dasar rakyat untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Jumlah pemuda lulusan SMA mayoritas terlempar pada jurang pengangguran dan
menjadi buruh murah. Di tengah situasi krisis ekonomi yang semakin tajam,
memaksa klas buruh dan kaum tani terus hidup dalam kemiskinan yang akut. Upah
yang diperoleh klas buruh jauh dari biaya kebutuhan hidupnya. Seperti contohnya
di Jakarta, upah buruh berdasarkan rumusan PP 78/2015 tentang Pengupahan
ditetapkan sebesar 3,9 juta rupiah, namun kebutuhan hidup keluarga buruh di
Jakarta bahkan mencapai 8 juta rupiah/bulan. Dengan upah yang rendah tersebut
sudah jelas klas buruh mayoritas tidak akan sanggup mengakses pendidikan
tinggi. Hal serupa juga terjadi di berbagai daerah, kesenjangan yang semakin
jauh antara upah buruh dengan biaya kuliah.
Fasisme di Dunia Pendidikan: Upaya
Rezim Jokowi Memberangus Demokrasi
Krisis yang makin akut di Indonesia juga berimbas pada
meningkatnya intensifitas gerakan rakyat untuk berjuang demi hak demokratisnya.
Hal tersebut juga dilakukan oleh pemuda-mahasiswa. Kampus-kampus di Indonesia
terus diterpa gelombang perjuangan demokratis dari gerakan mahasiswa. Namun,
rezim fasis Jokowi merespon hal tersebut dengan berbagai tindak kekerasan,
pemberangusan, dan kriminalisasi. Kriminalisasi dan kekerasan
terhadap rakyat merupakan bentuk dari pemberangusan hak demokratis serta
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Berbagai korban kriminalisasi dan tindak
kekerasan terus berjatuhan dan menimpa rakyat. Lebih dari empat tahun berkuasa,
pemerintahan Jokowi-JK semakin memperlihatkan karakternya yang anti terhadap
demokrasi.
Di
kampus, mahasiswa terus menjadi korban pemberangusan hak demokrasi. Tindak
kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap mahasiswa. FMN mencatat
sepanjang tahun 2017 – 2018 sebanyak 220 mahasiswa mendapat skorsing, 2457
mahasiswa mendapat sanksi DO, 632 orang mengalami tindak kekerasan, bahkan 218
orang dikriminalisasi. Korban tersebut adalah mahasiswa yang melakukan kritik
dan aksi-aksi di kampusnya.
Kondisi
tersebut diperparah dengan berbagai kasus kriminalisasi melalui UU ITE terhadap
rakyat yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Sebagai contohnya, kasus
yang menimpa Anindya Shabrina, anggota FMN Cabang Surabaya yang menjadi korban
kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu anggota kepolisian di
Surabaya. Kemarahan Anindya yang dituangkan dalam media sosial miliknya
berujung pada pelaporan dirinya dengan jerat UU ITE.
Rezim
Jokowi juga memperlihatkan wataknya yang fasis dengan menerbitkan
Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa (PIB).
Esensi dari peraturan tersebut adalah memastikan seluruh kampus untuk membuat
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang fokus pada pembinaan ideologi bangsa
(Pancasila). Kebijakan tersebut layaknya yang dulu pada era Orde Baru dikenal
dengan NKK/BKK, yaitu upaya untuk mengkanalisasi gerakan mahasiswa. UKM-PIB
akan menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah/Rektor untuk memberikan
justifikasi terhadap aktifitas mahasiswa di kampus. Sehingga akan menimbulkan
klaim dan tafsir tunggal mengenai Pancasila. Mahasiswa, organisasinya, dan
gerakan mahasiswa yang kritis, progresif dan maju akan dengan mudah dituduh
tidak Pancasilais. Tentu imbasnya akan semakin memperburuk iklim demokrasi di
Kampus. Kebijakan tersebut hanyalah ilusi dari demokrasi dan tidak akan
memajukan perkembangan demokrasi di kampus.
Pada
tahun politik ini juga, pemuda mahasiswa terus menjadi bahan bancakan untuk mendulang suara
elektoral. Sejarah panjang perjuangan rakyat Indonesia juga telah
memperlihatkan bahwa dari Pemilu ke Pemilu tidak pernah melahirkan perubahan
nasib bagi rakyat. Hal tersebut jelas karena Pemilu adalah sarana pertarungan
bagi Klas borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat
untuk memenangkan kekuasaan politik. Oleh karenanya, gerakan pemuda-mahasiswa
tidak boleh terilusi dan terbawa arus kontestasi Pemilu. Gerakan mahasiswa
harus tetap fokus untuk memperjuangkan hak-hak demokratisnya dengan
mengintensifkan perlawanan terhadap rezim Jokowi-JK, sebagai rezim yang
berkuasa saat ini.
Demokrasi
yang selama ini dipromosikan oleh pemerintahan Jokowi sebatas pada demokrasi
prosedural tanpa substansi. Sehingga pada faktanya, mahasiswa terus dibayangi
oleh teror, intimidasi, hingga kekerasan yang mengancam nyawa. Di bawah
kekuasaan rezim Jokowi yang fasis, mahasiswa sama sekali tidak diberikan ruang
untuk berjuang menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Tentu saja hal tersebut
secara gamblang telah melanggar Hak Asasi sekaligus merampasnya dari tangan
mahasiswa. Oleh karenya, sudah sepatutnya rakyat Indonesia mulai saat ini
menyematkan kepada Jokowi sebagai Rezim Fasis perampas hak demokratis.
Tugas dan Tanggung Jawab
Gerakan Mahasiswa: Bangkitkan,
Organisasikan dan Gerakan Pemuda-Mahasiswa untuk Memajukan Perjuangan
Demokratis Nasional di Indonesia
Di
tengah situasi tindasan fasis dan upaya pasifikasi yang dilakukan oleh rezim
terhadap mahasiswa, dan berbagai upaya pembungkaman dan kanalisasi yang terus
dilakukan oleh pemerintah, namun gerakan mahasiswa terus tumbuh dan berkembang,
berbagai aksi-aksi mahasiswa di tingkat kampus semakin intensif selama pereode
kekuasaan Jokowi-JK. Sejak tahun 2014 hingga 2019 mahasiswa dari kampus-kampus
besar seperti Universitas Indonesia (UI/Jakarta), Universitas Negeri Jakarta
(UNJ), Universitas Gaja Mada (UGM/Yogyakarta), Universitas Teknologi Bandung
(ITB/Bandung), Universitas Brawijaya (UNIBRAW/ Malang), Universitas Airlangga
(UNAIR/Surabaya), Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED/Purwokerto),
Universitas Sriwijaya (Unsri/Palembang), Universitas Andalas (Unand/Padang),
Universitas Palangkaraya (UPR/Kalimantan Tengah), Universitas Hassanudin,
Universitas Negeri Makassar, Universitas Andalas, UPI Bandung, Universitas
Mataram, UNSIMAR-Poso, terus melakukan perjuangan dan kampanye menentang
berbagai kebijakan komersialisasi pendidikan, pemberangusan hak demokratis
mahasiswa hingga tindasan fasis lainnya. Di tengah masifnya gerakan massa di
kampus-kampus, rezim terus melakukan berbagai upaya pembungkaman, mahasiswa
saat ini dihadapkan oleh kondisi kampus yang semakin fasis. Sanksi skorsing
hingga DO berkali-kali terjadi dan menimpa mahasiswa yang berjuang. Namun
demikian sanksi tersebut tidak juga melunturkan semangat dan daya juang
mahasiswa.
Lebih
jauh lagi, tradisi untuk bertalian erat dengan rakyat semakin menunjukan
kemajuannya. Gerakan mahasiswa makin intensif terlibat aktif dalam aksi-kasi
kampanye massa multisektoral, utamanya buruh dan tani. Di tengah aksi-aksi klas
buruh maupun kaum tani kini keterlibatan mahasiswa semakin besar jumlah barisan
yang terlibat. Aktifitas pelayanan massa ke basis-basis rakyat tertindas pun
makin pesat perkembangannya. Bahkan militansi mahasiswa kian hebat saat
berjuang dengan rakyat. Meskipun kerap dijadikan sasaran tindak represifitas
dan kriminalisasi. Mahasiswa justru semakin menunjukan kemajuan secara teori
dan praktiknya, kesadaran untuk mempersatukan perjuangannya dengan gerakan
rakyat semakin tumbuh dan berkembang. Simpulan dan analisis masyarakat
Indonesia setengah jajahan dan setengah feodal serta platform/garis perjuangan
demokratis nasional semakin luas diterima oleh Mahasiswa di berbagai kampus di
Indonesia, menunjukkan prospek yang cukup membanggakan.
Akan
tetapi di tengah kemajuan dan capaian dari gerakan pemuda/mahasiswa saat ini,
baik di segi teori maupun praktek, masih menyisakan problem yang fundamental
baik secara politik maupun organisasi. Secara
politik, pesatnya gerakan mahasiswa juga diimbangi oleh pesatnya upaya
rezim untuk melakukan kooptasi hingga kanalisasi terhadap gerakan mahasiswa.
Mayoritas organisasi mahasiswa masih belum memiliki garis perjuangan politik
yang objektif (sesuai dengan situasi kongkrit) terutama mengenai situasi
masyarakat Indonesia saat ini, serta orientasi dan jalan keluarnya. Bias
pemahaman tersebut mengakibatkan mayoritas gerakan mahasiswa terjebak pada
perjuangan normatif. Artinya, upaya dan semangat reformasi yang tidak
menyelesaikan masalah pokok tetap menjadi perspektif utama. Bahkan tidak
sedikit organisasi-organisasi mahasiswa yang melakukan kerjasama dengan rezim
melalui berbagai program-program yang mengilusi rakyat.
Aksi-aksi
dalam merespon masalah yang ada pun masih bersifat parsial dan terpisah dengan
problem pokoknya. Sementara organisasi yang memiliki perspektif politik tepat
dan maju (Demokratis Nasional) masih sangat minor pengaruh politiknya.
Perspektif, analisis dan isu yang dipimpin langsung oleh organisasi yang lebih
maju belum mampu dominan hidup di tengah massa. Hal ini yang harus menjadi
perhatian besar bagi FMN untuk meningkatkan pekerjaan politiknya demi
memperluas perspektif demokratis nasional di tengah massa dan di antara
organisasi-organisasi mahasiswa yang lainnya. FMN harus mampu memimpin secara
politik.
Masih
terbatasnya gerakan mahasiswa yang mempunyai prospektif politik yang maju telah
melahirkan lemahnya kepemimpinan politik dan organisasi dalam gerakan
mahasiswa. Hingga saat ini, berbagai gerakan mahasiswa yang lahir dan
berkembang secara dominan masih merupakan gerakan spontanitas. Gerakan
mahasiswa secara mayoritas tidak dipimpin oleh perspektif yang maju. Perjuangan
demokratis mahasiswa belum mampu diorientasikan dan diarahkan untuk secara
tegas menetapkan siapa musuh dan siapa kawan-nya. Upaya kooptasi dan kanalisasi
mengakibatkan gerakan mahasiswa terjerumus pada pusaran politik yang jauh dari
perspektif perjuangan rakyat. Hal ini terjadi karena lemah dan lambatnya
kemajuan dari organisasi mahasiswa yang maju. Kelemahan dan lambatnya
perkembangan organisasi demokratis nasional membuka peluang semakin besar
kepada rezim untuk menarik dukungan dari mahasiswa. Hal itu harus disikapi
dengan serius oleh Organisasi Mahasiswa yang maju.
Sesungguhnya,
di tengah situasi ekonomi, politik dan kebudayaan yang terus mengalami krisis
ini, merupakan momentum yang baik bagi FMN untuk memperbesar dan memperluas
organisasinya. FMN merupakan satu-satunya organisasi massa pemuda mahasiswa
yang memiliki perspektif demokratis nasional. Pada perkembangannya, secara
organisasional FMN masih memiliki kelemahan mendasar khususnya sebagai alat
perjuangan mahasiswa. FMN belum memiliki kemampuan kampanye secara nasional
dengan baik. Demikian pula halnya dengan melakukan rekrutmen skala besar di
kampus-kampus. FMN menilai bahwa pemerintah Indonesia di bawah rezim Jokowi
merupakan keberlanjutan dari pemerintah sebelumnya yang merupakan boneka dari
imperialis AS dan penjaga kepentingan borjuasi besar komprador serta tuan tanah
di Indonesia. Oleh karena itu, FMN dengan tegas menyatakan sikap berlawan
terhadap rezim Jokowi/pemerintah Indonesia.
FMN
meruapakan organisasi pemuda mahasiswa berskala nasional, yang memiliki
pandangan politik anti imperialisme dan anti feodalisme. FMN berkomitmen untuk
selalu berjuang bersama rakyat, khususnya klas buruh dan kaum tani Indonesia
untuk mengahiri sistem masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal di Indonesia.
Seperti yang tertuang dalam Program Perjuangan dan Resolusi hasil Kongres V
FMN, FMN memiliki tugas besar untuk menjadi organisasi besar yang diterima luas
oleh massa. FMN harus mampu memanifestasikan fungsinya sebagai sekolah, alat
pemersatu, dan alat perjuangan massa mahasiswa. Hal tersebut tidak terlepas
dari peranan aktif FMN yang harus terus ditingkatkan dalam bertalian erat dan
berjuang bersama rakyat tertindas diseluruh sektor, khususnya Buruh dan Tani.
Dalam kancah gerakan mahasiswa, besar dan luasnya FMN akan menjadi kunci
untuk mampu menjadi pusat gravitasi gerakan mahasiswa. Tugas dan tanggung jawab
untuk memperbesar organisasi harus pula diiringi oleh pekerjaan aliansi untuk
memperluas pengaruh politik di tengah berbagai organisasi mahasiswa yang
lainnya. FMN harus mampu menggalang dan menarik berbagai organisasi gerakan
mahasiswa ke dalam perjuangan yang dipimpin oleh politik yang tepat. Berbagai
organisasi dapat menjadi kawan beraliansi dan dimajukan perspektif politiknya
setahap demi setahap hingga menerima analisis, pandangan, dan sikap FMN secara
keseluruhan. Oleh karena itu, tetaplah teguh untuk terus MEMBANGKITKAN,
MENGORGANISASIKAN, MENGORGANISASIKAN, MENGORGANISASIKAN & MENGGERAKAN
mahasiswa di seluruh kampus. Dengan demikian maka akan semakin luas dan
besarlah organisasi serta pengaruh politiknya di tengah jutaan massa mahasiswa.
#Hardiknas2019
0 komentar:
Posting Komentar