Perkuat Persatuan Rakyat
dan Majukan Perjuangan untuk Mewujudkan Reforma Agraria Sejati dan Industri
Nasional
Disusun oleh: Pimpinan Pusat Front Mahasiswa
Nasional
Pendahuluan
Pemerintahan Jokowi kembali meramu kebijakan baru untuk mengintensifkan
penindasan dan penghisapannya terhadap rakyat. Tidak puas dengan 16 Paket
Kebijakan Ekonomi pada peridoe pertamanya berkuasa, kini Jokowi akan
mengeluarkan kebijakan dengan skema Omnibus Law. Omnibus Law adalah
penyederhanaan aturan/undang-undang dengan menggabungkan beberapa undang-undang
menjadi satu sehingga melahirkan undang-undang payung yang akan mengatur secara menyeluruh dan memiliki kekuatan
terhadap aturan lain. Salah satu yang saat ini diprioritaskan untuk segera
terbit adalah RUU Cipta Kerja. Pemerintah menargetkan 100 hari untuk pengesahannya.
Omnibus Law Cipta Kerja akan merampingkan 82 Undang – undang yang
terdiri dari 1.194 pasal dan akan
meliputi 10 ruang lingkup yang akan diatur: 1) Peningkatan ekosistem investasi
dan kegiatan berusaha, 2) Ketenagakerjaan, 3) Kemudahan, Perlindungan dan
Pemberdayaan UMK-M serta perkoperasiaan, 4) Kemudahan Berusaha, 5) Dukungan
riset dan inovasi, 6) Pengadaan lahan, 7) Kawasan Ekonomi, 8) Investasi
pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional, 9) Pelaksanaan
administrasi pemerintahan, dan 10) Pengenaan sanksi. Pengaturan yang begitu
komprehensif ini merupakan keberlanjutan dari implementasi Paket Kebijakan
Ekonomi Jokowi. Pemerintah berkeinginan untuk menggenjot ekonomi Indonesia
melalui derasnya investasi dan utang yang masuk ke Indonesia. Berbagai
kemudahan bisnis dan investasi serta insentif lainnya akan diberikan pemerintah
untuk melayani kepentingan imperialis. Borjuasi besar komprador dan tuan tanah
akan dengan senang hati mendukung mati-matian kebijakan tersebut. Karena akan
memberikan suntikan vitamin berupa
kapital yang bersumber dari imperialis bagi keberlangsungan bisnis mereka.
Bagi rakyat Indonesia, berbagai retorika dan dalih yang menyelimuti RUU
Cipta Kerja hanyalah upaya untuk membodohi rakyat. Semua hanya omong kosong dan
janji murahan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Motif sesungguhnya yakni
imperialisme, khususnya Amerika Serikat yang tidak puas dengan pelayanan dari
rezim boneka Jokowi pada periode pertamanya. Mereka menginginkan Indonesia yang
semakin lapuk ini untuk terus memperlebar pintu
demi masuknya impor kapital berupa utang dan investasi. Agar dapat lebih
intensif dan besar-besaran dalam merampok kekayaan alam, merampas upah rakyat,
dan menjadikan Indonesia sebagai sasaran barang produksi milik imperialis.
Omnibus
Law Cipta Kerja: Implementasi Bar-bar Skema Neoliberalisme oleh Rezim Jokowi
Sejak masa kekuasaan rezim fasis Soeharto, Indonesia menjadi negeri yang
terus didominasi oleh imperialisme. Investasi dan utang terus menjadi andalan
dan jalan keluar satu-satunya untuk menggerakan roda perekonomian dan
pembangunan dalam negeri. Hal tersebut bahkan semakin vulgar dilanjutkan oleh
rezim Jokowi saat ini.
Kebijakan Indonesia yang selalu menggantungkan ekspor kapital
asing mengakibatkan utang luar negeri yang makin membengkak pasca krisis
1997-1998, terutama masa SBY dan Jokowi. Data yang disampaikan
dalam buku Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) bulan Agustus 2018
menjelaskan posisi utang luar negeri Indonesia yang semakin parah akibat
mengekor politik dari IMF dan Bank Dunia selama ini. Pada tahun 2010, total
utang luar negeri Indonesia berdasarkan kreditor (negara pemberi pinjaman dan
organisasi internasional) adalah sebesar $ 202,413 miliar. Pada saat ini utang Indonesia
mencapai Rp 5.199 triliun dengan kurs Rp 14.620 per dolar AS.
Dari seluruh total utang luar negeri tersebut, total utang luar negeri yang
berasal dari Bank Dunia (IBRD) adalah sebesar $ 16,862 miliar. Sementara total
utang luar negeri yang berasal dari IMF adalah sebesar $ 2,782 miliar. Pinjaman
terbaru rezim Joko Widodo (Jokowi) dari World Bank adalah pada Juni 2018
sebesar US$ 200 juta untuk program reforma agraria.
Jika UU Cipta Kerja diterbitkan, Indonesia akan semakin mempertahankan
statusnya sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal, penghasil bahan
mentah pertanian dan pertambangan untuk diekspor, sementara kebutuhan dalam
negeri dipenuhi dengan cara impor. Tidak cukup dengan mempertahankan kebijakan
upah murah melalui aturan yang sudah ada, rezim Jokowi ingin menghisap rakyat
lebih dalam lagi. Kelimpahan pengangguran dipelihara sehingga kapitalis
monopoli dapat mengeruk super profit dan mengintensifkan perampokan produk
lebih (surplus produk) dari kaum tani di perdesaan. Upah diatur hanya sebatas
untuk menjaga kestabilan pasar komoditas yang terus mengalami over produksi.
Sedangkan harga pemenuhan kebutuhan hidup buruh terus meningkat karena bukaan kran impor dan permainan harga, itu
menyebabkan perampasan upah buruh menjadi berlipat.
RUU Cipta Kerja merupakan kebijakan rezim Jokowi yang akan semakin
memberikan kemudahan bagi investasi asing milik imperialis dengan memangkas
aturan yang menghambat. Termasuk di dalamnya sistem ketenagakerjaan, impor,
hingga pengadaan lahan. Hal tersebut semata-mata bertujuan agar seluruh
kepentingan imperialis untuk membanjiri Indonesia dengan ekspor kapital dan
barang dapat semakin leluasa.
Melalui
RUU Cipta Kerja, pemerintah akan terus memudahkan fasilitas bagi investasi,
mempertahankan fleksibilitas tenaga kerja dengan upah rendah, perlindungan
maksimum industri dengan status sebagai obyek vital nasional, serta fasilitas
infrastruktur.
Dengan adanya RUU Cipta Kerja maka kontrol kapitalisme
monopoli semakin menentukan orientasi pembangunan ke seluruh aspek kehidupan.
Melalui pemerintahan Jokowi, imperialis akan terus mengontrol masalah agraria,
ketenagakerjaan, migrasi, pendidikan, kesehatan. Salah satu perhatian mereka adalah penyelematan
industri keuangan dan perbankan disaat produksi mengalami stagnasi dan
kemunduran. Industri keuangan dan perbankan merupakan saluran utama surplus
kapital untuk mengeruk mengumpulkan super profit dari berbagai negeri melalui
investasi. Mereka berusaha mengalirkan utang dan kredit secara cepat meluas di
masyarakat sampai perdesaan. Rakyat dimana-mana berada dalam jebakan kredit,
mulai dari kartu kredit dan pembiayaan konsumsi di perkotaan hingga utang dan
pembiayaan untuk produksi pertanian di pedesaan.
Kapital milik imperialis tidak lagi sekedar
berada di Bank. Mereka juga digerakkan dalam lembaga-lembaga
keuangan seperti perusahaan reksadana (mutual fund), pengelolaan dana
pensiun maupun investasi. Hal itu menjadikan kepemilikan aset (ekuisitas),
seperti perusahaan, dapat mudah berpindah bahkan oleh pihak ketiga yang sama
sekali tidak terhubung dengan perusahaan tersebut di pasar modal.
Menghancurkan Kehidupan Rakyat dan Menghambat
Kemajuan Pemuda
RUU Cipta Kerja menjadi bukti pemerintahan Jokowi
adalah pelayan setia kepentingan imperialis AS. Melalui Bank Dunia, imperialis
AS mendesak seluruh negara sekutu dan bonekanya untuk meningkatkan
fleksibilitas tenaga kerja. Dengan tujuan untuk beroperasinya aturan fleksibel
mengenai pemutusan hubungan kerja dan pembayaran upah, kontrak jangka pendek
demi mewujudkan pembangunan nasional versi mereka. Hal itu tertuang melalu dokumennya yang dikeluarkan April 2018 lalu
berjudul World Development Report (WDR) 2019; The Changing Nature of Work.
Dalam dokumen tersebut Bank Dunia memaksa agar seluruh negeri dapat
menghadapi perubahan Revolusi Industri 4.0. Bank Dunia menilai bahwa peraturan
ketenagakerjaan yang fleksibel bagi kapitalis akan dapat menjadi peluang bagi
perusahaan dan keberlanjutan bisnis. Mereka menyarankan kepada pengusaha agar
dapat memilih untuk tidak membayar upah minimum, merekomendasikan pengurangan
hak pekerja, dan membuat tenaga kerja menjadi lebih kompetitif.
Hasilnya jelas dalam RUU Cipta Kerja, bahwa akan melahirkan
fleksibilitas upah dan kerja. Upah buruh akan semakin mengalami kemerosotan
karena kemudahan yang diberikan negara kepada pengusaha. Pengusaha mendapatkan
keuntungan berlipat dengan pembayaran upah per jam dan diperbolehkan untuk
membayar di bawah Upah Minimum. Melalui upah per jam juga mengandung unsur
fasis dalam kebijakannya, karena sekaligus merampas hak klas buruh untuk cuti.
Upah yang sudah rendah akan semakin tidak ada artinya bagi klas buruh, karena
klas buruh akan dihadapkan pada ketidakpastian upah.
Sementara itu, untuk dapat terus menekan upah buruh dan disisi lain
meningkatkan produksi, pengusaha akan diberikan kemudahan dengan tidak adanya
kepastian status kerja. Melalui RUU Cipta Kerja, pengusaha diberikan kemudahan
untuk mempekerjakan buruh dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tanpa
batasan. Sehingga sistem kontrak akan semakin pendek dan tidak menentu.
Sedangkan tenaga Outsorcing juga dapat bekerja diseluruh bidang pekerjaan tanpa
terkecuali. Dalam bekerja, klas buruh semakin tertindas dengan sistem tersebut.
Sebab, pengusaha akan dengan mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Belum lagi penambahan waktu lembur yang semua 3 jam/hari dan 14 jam/pecan menjadi
4 jam/hari dan 18 jam/pekan. Bahkan RUU Cipta Kerja tidak lagi mengatur hak
cuti seperti melahirkan, haid, keguguran, menikah/menikahkan, semua itu
diserahkan kepada pengusaha.
Dengan demikian penghidupan klas buruh akan semakin memburuk jika RUU
Cipta Kerja disahkan. Pasalnya, tidak hanya kebijakan tersebut saja yang
menghantam klas buruh, kenaikan berbagai iuran dan pajak bagi rakyat adalah
bentuk perampasan upah yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah. Belum
lagi kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya fasilitas umum, hingga biaya
pendidikan. Semua itu menghimpit klas buruh dalam jurang kemiskinan yang
semakin curam.
Di perdesaan, ancaman bagi kaum tani dan masyarakat di perdesaan jika
RUU Cipta Kerja disahkan adalah semakin kuat dan intensifnya perampasan tanah
dan pengokohan monopoli tanah dalam sistem pertanian terbelakang. Dominasi
imperialisme di atas basis sosial feodal di perdesaan tentu akan menghubungkan
penetrasi kapitalnya hingga pelosok desa. Tentunya hal tersebut menguntungkan
bagi tuan tanah dan korporasi besar, namun merugikan bagi kaum tani.
Demi menyempurnakan program menjijikan
bertajuk Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RA-PS), pemerintah harus
membuka lebar masuknya kapital finans yang semakin besar. Esensi program
tersebut adalah sertifikasi dan redistribusi tanah terlantar dan bekas HGU.
Pemerintah justru mendorong masyarakat agar “menggadai” sertifikatnya untuk ditukar
dengan kredit usaha. Dengan demikian sertifikat tersebut akan terancam melayang
masuk ke brankas bank pemberi kredit.
Aspek pengaturan mengenai investasi,
perdagangan, hingga impor dalam RUU Cipta Kerja adalah untuk menyambut program
Jokowi di sektor agraria. Program RA-PS sejak awal merupakan
implementasi skema Bank Dunia. Pada Juli 2018, Bank Dunia menggelontorkan utang
sebesar US$ 200 juta bagi program Reforma Agraria pemerintah yang dialokasikan,
di antaranya untuk pelaksanaan One Map
Program. Program ini bertujuan untuk dapat mengontrol kekayaan alam dan
masyarakat bagi rencana- rencana investasi kapitalis besar monopoli asing.
Penguasaan data tersebut teradministrasi terpusat sehingga memudahkan rencana
investasi asing untuk mengakses dengan sistem e-Land (electronic-land).
Kebijakan
dan aturan agraria negara seperti ini akan terus memelihara ketergantungan
investasi asing, impor kebutuhan pokok, dan bahan baku. Akibatnya, Indonesia
tidak dapat membangun industri nasional yang mandiri dan memelihara politik
upah murah serta angka pengangguran yang terus membesar. Reforma Agraria ala Jokowi justru semakin membuat krisis
kronis terus memburuk, di antaranya: penggusuran paksa, jumlah migrasi paksa
membesar, perdagangan manusia, kenaikan harga, masalah kurang gizi, pendidikan
terbelakang, kesehatan masyarakat memburuk.
Sementara itu, RUU Cipta Kerja juga mengatur
impor pangan sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan
nasional. Ini merupakan kebijakan jahat yang akan membunuh rakyat secara
perlahan, menghancurkan kehidupan kaum tani, dan memperparah krisis di
pedesaan. Program ketahanan pangan Jokowi telah diperankan dengan cepat
oleh imperialis langsung yang bekerjasama dengan tuan tanah besar seperti
PISA-Agro (Partnership for Indonesian
Sustainable Agriculture). Pemerintah RI yang bekerjasama dengan korporasi
raksasa (diantaranya Monsanto, Du pont, Cargill, Bayer, Nestle, Unilever,
Sinarmas, Indofood) dan di bawah pendanaan IFC, Rabo Bank, Bank Mandiri justru
akan akan mempercepat keuntungan triliunan rupiah bagi korporasi dari
penghisapan terhadap kaum tani.
Hal tersebut dilakukan pemerintah demi memfasilitasi bisnis imperialis di
bidang agraria. Dengan penyederhanaan izin dan mempermudah investasi melalui
RUU Cipta Kerja, maka penetrasi bisnis di sektor agraria akan semakin meluas.
Di sisi lain, hal tersebut sebenarnya tidak akan pernah memperbaiki kualitas
dan kondisi hidup kaum tani. Justru sebaliknya, kenyataan bahwa Indonesia ada
di urutan ke 62 dari 113 negara dengan indeks ketahanan pangan terburuk,
sebanyak 22 juta orang mengalami kelaparan dan 9 juta anak Indonesia menderita
gizi buruk. Kenyataan tersebut akan terus memburuk dengan praktik dan
implementasi dari RUU Cipta Kerja. Sebab Indonesia tidak akan pernah mampu melahirkan
kedaulatan pangan jika tetap mengandalkan impor dan investasi imperialis di
sektor agraria.
Bagi kaum tani, suku bangsa minoritas, dan masyarakat perdesaan lainya,
RUU Cipta Kerja akan semakin mengancam kehidupannya. Menjadikan kaum tani akan semakin
intensif dihadapkan dengan perampasan tanah. Desa akan terus dimonopoli oleh
tuan tanah dan borjuasi besar komprador. Sementara itu, hasil produksi
pertanian akan mendapatkan harga yang rendah karena harus bersaing dengan
komoditas pangan impor. Semua itu tidak akan diterima oleh kaum tani. Karena
bagi kaum tani, investasi imperialis tidak akan menjawab problem mendasarnya.
Pengalaman
Indonesia menunjukkan investasi asing langsung (FDI) tidak memiliki tujuan
untuk membangun industri nasional Indonesia atau memajukan tenaga produktif
rakyat Indonesia. Kapitalis monopoli terus mempertahankan industri Indonesia
yang terbelakang dengan mengandalkan upah rendah karena investasi langsung
adalah cara agar terhindar dari ancaman pembusukan kapital.
Kondisi
yang demikian tentu akan menghambat secara langsung perkembangan tenaga
produktif pemuda. Pemuda di desa dan perkotaan semakin tidak memiliki hari
depan untuk mengembangkan diri melalui kerja produksi yang layak dan
berkualitas. Menjadi petani diperdesaan maupun buruh di perkotaan sama miskin
dan menderitanya. Sementara itu kebutuhan hidup harus tetap dipenuhi. Hal ini
memaksa pemuda Indonesia untuk terjerumus pada kemiskinan akut dan kehilangan
masa depannya.
Dengan
mahalnya biaya pendidikan yang terus disempurnakan menjadi skema liberalisasi,
privatisasi dan komersialisasi melahirkan tenaga produktif pemuda Indonesia
yang berpengetahuan dan berskill rendah, sehingga dipaksa untuk dibayar dengan
upah murah. Sementara itu, pemuda mahasiswa dihadapkan dengan universitas yang
tidak malu terus melacurkan diri bagi kepentingan imperialis dan tuan tanah.
Melalui
RUU Cipta Kerja, riset dan pengembangan ilmu pengetahuan akan dioptimalkan
untuk mendukung pencapaian bisnis imperialis dan borjuasi besar komprador. Mahasiswa
akan dipaksa untuk melakukan praktek, penelitian, dan pengabdian bagi
kepentingan tersebut. Ilmu pengetahuan yang murni harusnya dikembangkan demi
menjawab masalah rakyat semakin tidak ada artinya. Dengan demikian, mahasiswa
selain diperas uangnya dengan biaya kuliah mahal, juga diperas pikiran dan
tenaganya.
Tidak
ada tempat bagi ilmu pengetahuan dan mahasiswa dalam dunia industri di
Indonesia, selain menjadi bidak yang
membantu memuluskan bisnis korporasi besar. Maka tidak mengherankan jika
intensitas pembatasan, pembungkaman dan pelarangan akan meningkat di
kampus-kampus. Kampus akan dipaksa untuk bersih dari segala aktifitas yang
bertentangan dengan program strategis pemerintah.
Jalan
Keluar untuk Kedaulatan Rakyat: Bukan RUU Cipta Kerja, Tetapi Reforma Agraria
Sejati dan Industri Nasional
Land
reform atau reforma agraria sejati bertujuan untuk membuka jalan keadilan bagi
rakyat yang menggantungkan kehidupannya pada pengelolaan tanah dan sumber daya
alam dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat. Oleh karenanya, land
reform merupakan program mendasar yang harus dijalankan terutama oleh
negeri-negeri terbelakang atau negeri-negeri setengah jajahan dan setengah
feodal, demikian halnya di Indonesia. Pelaksanaan land reform sejati harus
disertai dengan perubahan orientasi pembangunan nasional, yaitu menjadikan land
reform sebagai dasar pembangunan ekonomi nasional, guna menjadi landasan bagi
pengembangan industri nasional. Jika land reform dijalankan dengan
sungguh-sungguh, maka investasi asing dan hutang luar negeri sebagai modal
untuk membangun negeri, sebetulnya tidak diperlukan.
Industrialisasi
nasional dibutuhkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan penghidupan,
meningkatkan pendapatan, memenuhi kebutuhan dasar rakyat, menjamin pertumbuhan
ekonomi yang cepat dan berlanjut, dan mencapai kemandirian ekonomi terlepas
dari dominasi imperialis.
Program land reform harus mencakup rencana bagaimana menata
produksi paska redistribusi tanah, yaitu melalui kolektif produksi atau
koperasi produksi pertanian di wilayah-wilayah land reform, yang bertujuan
utama untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan menjamin pasokan pangan
secara nasional sehingga tidak perlu mengimpor pangan dari luar. Tanpa
pengaturan kolektivisasi pertanian semacam itu, land reform (reforma agraria)
akan sedikit gunanya bagi kaum tani, meskipun telah mendapatkan pembagian
tanah. Karena akan jatuh kembali ke dalam cara produksi individual yang
menghasilkan produksi pertanian secara terbatas, apalagi jika mengalami musim
kering berkepanjangan dan bencana banjir.
Modal pembangunan dalam negeri dapat bersumber dari
hasil-hasil pelaksanaan land reform, berupa surplus pertanian sebagai akibat
langsung pelaksanaan land reform. Surplus pertanian itu oleh negara kemudian
ditanamkan kembali ke sektor pertanian, guna memodernisasi sektor pertanian dan
memajukan pedesaan pada umumnya. Sebagian dari surplus pertanian tersebut
diinvestasikan ke sektor industri, misalnya mengembangkan industri terkait
pertanian di desa-desa.
Pelaksanaan
land reform sejati sangat terkait erat dengan bagaimana sektor industri
dikembangkan, terutama industri-industri yang terkait langsung dengan
pertanian, industri ringan, maupun industri yang terkait dengan alat,
modernisasi dan teknologi pertanian. Contoh, alat cangkul tidak perlu diimpor
dari luar seperti sekarang, tapi dapat diproduksi sendiri di dalam negeri.
Demikian pula, pupuk, obat, benih maupun traktor tangan tidak perlu diimpor,
tapi dapat dibuat sendiri oleh buruh yang bekerja dalam industri terkait
pertanian.
Dengan demikian, land reform sejati dan industrialisasi
nasional dapat menjadi dasar bagi pembangunan mandiri dan bebas dari
ketergantungan utang dan investasi asing. Setelah land reform sejati berhasil
dijalankan dengan benar, dan hasil-hasilnya terutama surplus atau hasil produksi
pertanian mulai terlihat, maka tahap berikutnya yakni mengembangkan industri
nasional baru bisa dijalankan secara bertahap.
Industrialisasi
nasional berarti menasionalisasikan sektor-sektor industri yang vital dan
strategis yang berada di tangan modal monopoli asing. Dengan
demikian dalam kerangka program industrialisasi nasional, maka industri
tambang, perbankan, transportasi, kesehatan, pangan, telekomunikasi, dan energi
yang saat ini didominasi asing harus dinasionalisasikan. Kapital dan aset
komprador besar harus diarahkan kembali menuju industrialisasi nasional dan
pembangunan pedesaan.
Demikianlah,
program land reform sejati dan industrialisasi nasional sebetulnya merupakan
program sosial dan ekonomi yang realistis dijalankan untuk membangun bangsa-bangsa
yang mandiri, kuat dan demokratis serta terbebas dari model pembangunan yang
mengandalkan utang dan investasi asing, yang selama ini dipromosikan oleh Imperialis
Amerika Serikat.
Dampak land reform dan industri
nasional mampu memajukan pembangunan ekonomi, politik, dan kebudayaan serta
memperbaiki taraf pendidikan, kesehatan, dan ketersediaan pangan bagi
rakyatnya. Ketersediaan pangan dapat diproduksi secara merata di seluruh negeri
karena negara memberikan perhatian penuh agar produksi pangan terjamin secara
nasional, menjaga dan memodernisasi tenaga kerja, sarana dan infrastruktur
pertanian.
Industri nasional yang maju tidak
akan memiliki masalah upah seperti halnya di upah tenaga kerja di negeri-negeri
kapitalis dan negeri setengah jajahan-setengah feodal. Seluruh kebutuhan hidup
keluarga buruh disediakan secara cuma-cuma oleh negara seperti perumahan,
kesehatan, transportasi umum yang baik, serta jaminan pensiun.
Reforma Agraria sejati
dan industri nasional yang berdaulat tidak akan pernah diwujudkan melalui
program pemerintah yang culas dan boneka seperti Jokowi. Hanya dengan
menggalang persatuan seluruh rakyat dan memajukan perjuangan anti imperialis
dan anti feodal seluruh cita-cita sejati rakyat dapat diraih.
***
0 komentar:
Posting Komentar